“BOCAH TENGIIIIK!”
Teriakan nyaring wanita itu melengking dari puncak bukit, menyentakkan sejumlah besar burung-burung yang sedang bertengger di ranting-ranting pohon.
Para penghuni perguruan di kaki bukit itu sudah tak asing dengan situasinya. Sudah menjadi… semacam makanan sehari-hari.
“Bukit Mingyue menjadi ramai sejak kedatangan si bocah tengik,” gumam Penatua Agung sambil memandang ke arah bukit di mana wanita yang berteriak itu tinggal.
Wanita yang tinggal di Bukit Mingyue itu adalah Penatua Kelima, Wang Wu, dan si bocah tengik adalah muridnya.
“Tunggu sampai aku mematahkan kakimu!” teriak Wang Wu dengan marah.
Orangnya masih belum kelihatan.
Dari Serambi Ketua di mana tiga penatua berdiri, semak-semak tampak bergetar ketika sepasang kaki berdebam di jalan setapak menuju lapangan di kaki bukit, ranting-ranting kering berkeretak terinjak sepasang kaki itu.
Yang disebut Serambi Ketua itu adalah aula utama di mana seluruh aspek berpusat. Sama fungsinya dengan aula singgasana di sebuah kerajaan.
“Nama sama, sifatnya juga mirip,” komentar Penatua Ketiga.
“Mirip apanya?” sembur Penatua Kedua yang memang terkenal dengan mulut pedasnya. “Apakah masih belum cukup di Longtian ada dia?” dengusnya sambil menunjuk ke arah bukit itu dengan ekor matanya.
“Bocah Tengik! Kembali!” Suara Wang Wu sekarang terdengar semakin dekat.
Dan ketiga penatua di Serambi Ketua itu merasa seperti mendapat firasat buruk.
Orangnya belum kelihatan, tapi suaranya sudah membuat sakit kepala!
Tak lama kemudian, seorang pemuda berparas imut melompat keluar dari semak-semak di lereng bukit dan mendarat di pekarangan di mana sejumlah murid sedang berlatih di bawah Serambi Ketua. Pemuda itu menghambur ke arah Penatua Agung. “Pak Tua, tolonglah!” katanya terengah-engah. “Aku tak mau jadi muridnya lagi!”
“Tak mau jadi muridnya, lalu siapa yang mau jadi gurumu?” seloroh Penatua Agung tanpa beban sedikit pun.
“Aiya!” Pemuda itu menggamit lengan Penatua Agung dan menggoyang-goyangkannya dengan gaya merajuk. “Pak Tua… rubah betina itu tak bisa diandalkan. Dia tak pernah mengajariku apa-apa. Yang dilakukannya setiap hari hanya merendamku di bak mandi, menyuruhku menipu dan mencuri…”
Para murid yang sedang berlatih serentak mengerling ke arah pemuda itu.
Itu dia—si bocah tengik!
Bocah tengik itu bernama Wang Lu, sebenarnya adalah juara pertama dalam perekrutan murid baru Paviliun Pedang Dewa Longtian.
Bisa dikatakan bahwa jika semuanya berjalan baik, Wang Lu sebenarnya sudah memiliki modal wibawa yang cukup di awal karirnya.
Tapi nasib mempermainkan orang.
Wang Lu yang diberkahi segudang bakat dan ketampanan, tampaknya membuat para dewa bahkan cemburu, sehingga mereka memberinya lelucon besar. Perolehan juara pertamanya harus ditukar dengan sebagian besar daya hidupnya.
Demi meraih juara pertama itu, Wang Lu mengerahkan hampir seluruh esensinya hingga menyebabkan kerusakan fatal pada pondasi internalnya.
Sekarang, selain paras tampannya, tak ada lagi yang bisa dibanggakan.
Meraih juara pertama, tapi berakhir sebagai murid tak berguna. Lalu dengan terpaksa diangkat menjadi Murid Pewaris salah satu penatua yang katanya sudah menjadi dewa namun tak bisa diandalkan.
Seorang wanita cantik dengan aura sempurna seorang dewi.
Hanya saja…
Tuhan tampaknya membuat kesalahan ketika Dia membuatnya, menaruh naga dan rubah sekaligus padanya, dan itu malah menjadikannya lebih mirip gagak pemakan bangkai daripada keduanya.
Setelah selesai hari itu, Tuhan merasa ada sesuatu yang salah, jadi Dia membuat kompensasi dan meminjam setengah kecantikan dari keponakan phoenix untuk menutupi kekurangannya.
Sekarang monster cantik itu turun gunung dan menyeruak ke arah Serambi Ketua dengan membabi-buta.
“Junior Kelima, tenanglah!” Penatua Ketiga mencoba menghalanginya.
“Siapa?” hardik Wang Wu. “Siapa berani menghalangiku?!”
Penatua Ketiga langsung beringsut.
Wang Lu berlindung di balik punggung Penatua Agung. Kedua tangannya mencengkeram bahu lelaki tua itu dan memutarnya ke sana-kemari sebagai tameng.
“Aiya!” Penatua Agung mengerang tak sabar. “Junior Kelima… sebenarnya apa saja yang sudah kauajarkan padanya selama ini? Kenapa setiap harinya hanya membuat keributan?”
“Mengajarinya?” Wang Wu membelalakkan matanya. “Siapa yang sanggup mengajarinya?” Ia berkilah.
“Tak mau mengajarinya, lalu untuk apa kau mengekangnya?” tanya Penatua Agung setengah menggerutu.
“Bukankah dia lumayan tampan?” sergah Wang Wu.
“Tidak masuk akal,” gerutu Penatua Agung. “Memangnya tampan bisa dimakan?”
“Ai yo! Kakak Senior…” Wang Wu mengentakkan sebelah kakinya dengan gaya merajuk kekanak-kanakan. Raut wajahnya berubah dengan cepat. Tiba-tiba memperperlembut suaranya. “Bagaimanapun aku sudah memasuki usia menikah,” katanya dengan gaya kemayu yang jelas dibuat-buat. “Tentu saja aku membutuhkan seorang pemuda tampan untuk menghangatkan tempat tidurku.”
Para murid berdesis menahan tawa.
“Ni—” Penatua Agung tak bisa berkata-kata.
Tidak seorang pun berdaya mendebat Wang Wu. Selain tak tahu malu, wanita itu juga tak bisa diajak bicara serius di dalam segala hal.
“Tampanku…” Wang Wu menelengkan kepalanya melewati bahu Penatua Agung, melongok ke arah Wang Lu sambil mengulum senyuman nakal. “Ayo pulang!” ajaknya dengan gaya merayu.
Wang Lu spontan mengernyit dan bergidik. “Pak Tua!” bisiknya di dekat telinga Penatua Agung. “Percaya atau tidak, dia yang seperti ini jauh lebih mengerikan daripada dia yang sedang marah?”
“Memang mengerikan,” timpal Penatua Agung balas berbisik.
“WANG LU!” hardik Wang Wu menyentakkan semua orang. Wajahnya berubah lagi.
Wang Lu serentak melejit dan menghambur menjauhi serambi, melarikan dirinya lagi.
Wang Wu kembali memburunya, dan ketiga penatua di Serambi Ketua itu serentak menarik napas lega.
Tak hanya merasa lega karena terbebas dari Wang Wu, tapi juga merasa lega karena terbebas dari tanggung jawab mendidik muridnya yang tidak berguna.
Wang Lu mungkin terlahir dengan segudang bakat. Tapi bakat hanyalah kecepatan di mana esensi internal menyerap pertumbuhan jiwa. Tanpa esensi internal, bakat tidak lagi berguna.
Siapa yang sudi menjadi gurunya?
Para penatua yang terhormat itu sempat berdebat sebelum memutuskan siapa yang pantas menjadi gurunya.
Bagaimanapun Wang Lu adalah juara pertama. Menurut peraturan, juara pertama berhak menjadi Murid Pewaris.
Kalau mereka mengingkarinya, orang luar akan mengira mereka tak punya kredibilitas. Tidak memegang janji.
Bukankah itu sangat memalukan?
Hanya saja, posisi Murid Pewaris ini berada di atas posisi Murid Internal di mana orang yang dianggap sebagai penatua dapat mewariskan langsung kemampuannya.
Jadi kuotanya sangat terbatas.
Paling tidak, hasilnya, murid pewaris harus lebih unggul dari murid internal.
Tapi kondisi Wang Lu saat ini sudah tak memungkinkan untuk berkembang. Setidaknya itulah yang diyakini para penatua. Jadi, masing-masing mereka mencari alasan.
“Aku setiap hari sibuk mendidik murid internal,” alasan Penatua Ketiga. “Mana ada waktu untuk menerima murid pewaris?”
“Kalian semua tahu, aku tak pandai mendidik murid,” alasan Penatua Ketujuh. “Kalau tidak, mana mungkin muridku sampai…” katanya dengan gaya dramatis, mencoba mengungkit muridnya yang sudah tewas.
“Aku setiap hari sibuk mengurus misi dan kegiatan di Balai Umum,” alasan Penatua Keempat.
“Aku bertanggung jawab atas murid eksternal!” alasan Penatua Keenam.
“Aku bertanggung jawab atas keuangan,” alasan Penatua Kedua.
“Murid pewarisku sudah paling banyak,” alasan Penatua Kedelapan.
Begitu seterusnya semua orang beralasan, hingga tiba giliran Penatua Kelima, wanita itu tak bisa beralasan.
Dia tak pernah mengangkat murid seumur hidupnya. Tak pernah berkontribusi. Juga tak pernah melibatkan dirinya dalam urusan pengelolaan.
Wang Wu mencoba memasang wajah manja seorang gadis kecil yang tak berdaya. “Kakak Senior…”
“Kau yang paling senggang!” sergah semua orang menghardik kompak.
Wang Wu langsung terdiam dengan wajah mencebik, seperti anak kecil ingin menangis.
Itu adalah jurus andalannya!
Tapi tidak berguna.
Lalu dengan terpaksa Wang Wu menjemput Wang Lu yang baru sadarkan diri setelah terbaring koma selama berhari-hari di pondok pengobatan.
“Mulai sekarang aku adalah gurumu,” katanya sambil memasang wajah cemberut seorang anak kecil. “Soal menerima murid, sebenarnya…” ia menggantung kalimatnya sembari mengetuk-ngetukkan ujung telunjuknya ke ujung telunjuk satunya. “Aku juga tidak berpengalaman, jadi… jangan terlalu nakal, ya…?” katanya sambil tersenyum tersipu-sipu, sama persis seperti anak kecil yang sedang gembira namun malu-malu.
Wang Lu spontan mengernyih melihat tingkah lakunya.
Yang benar saja? pikirnya. Kelompok pak tua itu tak mungkin sengaja mencari orang untuk mempermainkanku, kan?
“Bagaimana?” tanya Wang Wu dengan tampang memelas kekanak-kanakan.
Wang Lu hanya mengerjap dan tergagap-gagap.
“Ah, sudahlah!” timpal Wang Wu cepat-cepat. Raut wajahnya berubah lagi. Kali ini memasang wajah tak sabar seorang wanita penggoda. “Terima saja!” desaknya sambil mengedipkan sebelah matanya.
Wang Lu menjadi semakin ragu.
“Sangat jarang melihat muka sombongku ini memelas!” Wang Wu menambahkan, kali ini dengan tampang memelas seorang ibu.
“Tapi…”
“Aiya!” sergah Wang Wu memotong perkataan Wang Lu. “Tak ada yang mau jadi gurumu,” katanya berterus terang. Kali ini memasang wajah seorang kawan. “Patuhlah!” tandasnya dalam bujukan tegas yang disertai senyum simpatik.
“Aku sudah mendengarnya dengan jelas,” gumam Wang Lu sembari tertunduk muram. “Mengenai kondisiku…”
“Kau tenang saja!” Wang Wu meyakinkannya. “Karena kelompok pak tua itu sudah mempercayakanmu padaku, aku pasti akan membalikkan keadaanmu.” Ia berjanji. “Kerusakan pondasi internal, tak akan mengalahkanku!”
Semangat Wang Lu pun bangkit.
Dan…
Di sinilah ia sekarang.
“KENA KAU!” teriak Wang Wu dari sudut pekarangan.
Semua mata serentak mengerling ke arahnya.
WUUUSSSSHHH!
“WOAAAAAAAAAAAAAAAA….”
“Masih berani kabur lagi?”
“Mmm…”
“Masih berani mencuri arakku lagi?”
“Mmmm…”
“Masih berani menipu uangku lagi?”
“Mmmmm…”
“Masih berani mengadu macam-macam pada pak tua itu lagi?”
“Mmmmmm…”
“Masih berani—”
“MMMMMMM!”
Setelah berhasil membekuknya, Wang Wu meringkus Wang Lu dengan selendang dan membungkusnya seperti kepompong. Kemudian menceburkan pemuda itu ke dalam bak mandi tanpa melepaskan lilitannya.
Sekarang wanita itu berdiri di tepi bak sembari bersedekap, membungkuk di atas kepala Wang Lu dengan sikap mengancam.
Wang Lu meronta-ronta seperti belatung.
Wang Wu tak menggubrisnya. Ia berbalik dan meninggalkan ruangan pemandian itu, dan membiarkan Wang Lu tetap begitu selama tiga hari.
Waktu sudah berlalu setengah tahun sejak ajang perekrutan murid baru di perguruan itu, dan sampai sejauh ini, yang dilakukan Wang Wu hanya merendam muridnya dalam bak mandi.
Murid lain—teman satu angkatan Wang Lu—sudah menguasai jurus-jurus dasar perguruan dan mendapatkan senjata spiritual, sebagian bahkan sudah dilepas dan dibiarkan turun gunung untuk latihan berburu monster.
Tentu saja Wang Lu juga sudah diizinkan turun gunung dan dilepas sendiri, bahkan sebelum yang lain. Tapi bukan untuk latihan misi atau berburu monster. Melainkan untuk menjual barang atau belanja bahan makanan, sesekali berjudi hingga menipu, bahkan mencuri.
Itulah yang diajarkan Wang Wu pada Wang Lu.
Metode pelatihan Wang Wu ini… memang cocok untuk orang tidak berguna seperti muridnya.
Enam bulan lagi, ujian tahunan akan dilaksanakan, tapi Wang Wu bahkan tak yakin dirinya bisa pulih kembali. Bagaimana bisa dia ikut ambil bagian?
Tapi Wang Wu tetap mendaftarkannya.
“Junior Kelima, kau… tidak sedang bercanda, kan?” Penatua Keempat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan ujian tahunan itu meragukannya.
“Kau yang sedang bercanda! Apa aku terlihat sedang bercanda?” sembur Wang Wu tak sabar.
“Tapi…”
“Tapi, tapi! Apanya yang tapi?” sergah Wang Wu memotong perkataan Penatua Keempat. “Wang Lu adalah muridku satu-satunya, kalau bukan dia, lalu siapa lagi yang harus kudaftarkan? Aku?”
Penatua Keempat menyerah.
Lalu Penatua Agung turun tangan.
“Kudengar kau mendaftarkan Wang Lu dalam ujian tahunan?” Pria tua berambut putih itu mendatangi pondok Wang Wu setelah mendengar pengaduan Penatua Keempat.
“Kenapa?” seloroh Wang Wu acuh tak acuh. “Bukankah setiap murid wajib ikut ujian di tahun pertamanya? Kalau tidak, muridku akan diusir dari sekte!”
“Tapi dengan kondisi Wang Lu saat ini, aku bahkan tak yakin dia bisa melewati babak pertama!”
“Bisa melewatinya atau tidak, yang penting dia tidak diusir dari sekte,” tukas Wang Wu. “Paling-paling aku harus menikahinya!”
Penatua Agung mendesah pendek. “Tampaknya kau bersikeras mempertahankannya,” katanya. “Sebenarnya apa tujuanmu?” Penatua Agung memicingkan matanya. “Aku tak percaya kau menginginkannya untuk… menghangatkan ranjang seperti yang kau katakan!”
“Memang tak sepenuhnya,” sahut Wang Wu tanpa beban. “Tapi bagaimanapun muridku memang lumayan tampan! Bukankah sangat disayangkan kalau sampai jatuh ke pelukan gadis lain?”
“Seriuslah sedikit!” desak Penatua Agung dalam bujukan tegas yang membuat Wang Wu mendesah pendek.
“Tak peduli apa tujuanku,” ungkap Wang Wu mulai serius. “Tapi orang yang diserahkan padaku… tentu aku akan mempertanggungjawabkannya.”
“Kuharap kau tak berakhir sebagai lelucon.” Penatua Agung mengakhiri pembicaraan dan berpamitan.
“MMMMMMM!” Wang Lu memekik di ruang pemandian.
Wang Wu mengerang dan menghampirinya. Kemudian melepaskannya.
Dan kalimat pertama yang diucapkan pemuda itu saat mulutnya terbebas adalah, “Shifu! Kau serius ingin mengikutsertakan aku dalam ujian tahunan?”
Rupanya ia mendengar pembicaraan gurunya tadi.
“Memangnya kapan aku pernah serius?” sahut Wang Wu tak peduli.
Wang Lu langsung terdiam. Diam-diam mengerang sembari memutar-mutar bola matanya.
“Kembali ke pondokmu dan ganti pakaian!” titah Wang Wu sembari berlalu.
Wang Lu kembali ke pondoknya.
Tak lama berselang, Wang Wu datang ke pondoknya membawa nampan berisi larutan madu dan buah-buahan. “Sudah tiga hari kau tidak makan,” katanya. “Sebaiknya hindari dulu makanan berminyak.”
“Ini—” Wang Lu menunjuk keranjang buah sambil mengernyit.
“Tidak mau?” sergah Wang Wu bernada menantang.
“A—aku mau! Aku mau!” Wang Lu merenggut keranjang buah itu cepat-cepat. Ia tahu persis perangai gurunya yang maha kejam. Wanita itu bisa menarik kembali semua niat baiknya hanya karena alasan sepele. Serius dan bercanda baginya tidak ada bedanya.
Lebih baik makan buah daripada tidak makan sama sekali, pikir Wang Lu.
“Setelah selesai, pergilah ke Balai Leluhur. Temui Penatua Ketujuh, dan minta dia mencarikanmu senjata yang cocok,” pesan Wang Wu sebelum pergi. Kemudian melemparkan Plakat Otoritas pada Wang Lu.
“Senjata?” Wang Lu spontan merongos. “Kau belum mengajariku apa pun,” protesnya. “Kau bahkan melarangku menggunakan kekuatan spiritual! Senjata apanya? Kau sedang mencoba mempermalukanku?”
Wang Wu berhenti di ambang pintu, lalu mengerling melewati bahunya. “Jadi muridku tak perlu punya malu,” katanya tanpa beban. "Gurumu tak tahu malu!"
Wang Lu mengerang tak berdaya.
Beberapa saat kemudian, pemuda itu sudah berada di Balai Leluhur.
Balai Leluhur adalah pusat warisan dan senjata spiritual. Di dalamnya terdapat banyak kitab dan artefak kuno di samping senjata spiritual. Semuanya adalah peninggalan leluhur klan Long. Itulah sebabnya tempat itu disebut Balai Leluhur.
“Senjata warisan biasanya akan memilih sendiri pewarisnya,” jelas Penatua Ketujuh. “Semua senjata di sini adalah senjata warisan,” katanya. “Tapi… kenapa tidak satu pun bereaksi?”
“Bukankah sudah jelas?” gumam Wang Lu seraya tersenyum pahit. “Tak ada yang bereaksi, artinya tak ada yang memilihku. Bukan begitu?”
Penatua Ketujuh mendesah dan memaksakan senyum. “Tak perlu berkecil hati,” katanya menyemangati. “Tidak terpilih, bukan berarti tak punya pilihan.”
Wang Lu mengangkat wajahnya, memberanikan dirinya untuk menatap ke dalam mata Penatua Ketujuh. “Maksud Penatua Ketujuh…”
“Di ruang pertama tadi, adalah koleksi senjata yang didapat dari berbagai tempat, dibawa oleh para murid yang menjalankan misi.” Penatua Ketujuh memberitahu. “Karena kau murid pewaris, kau boleh memilih sendiri senjata yang cocok!”
“Benarkah?” Semangat Wang Lu bangkit kembali.
“Ayo!” Penatua Ketujuh memandunya kembali ke ruang depan, di mana sejumlah senjata dipajang sebagai penghias ruangan.
Wang Lu tertegun di depan deretan rak senjata itu, tiba-tiba kembali menjadi ragu.
“Kenapa?” tanya Penatua Ketujuh dengan nada lembut. Di antara sembilan penatua, Penatua Ketujuh adalah yang paling ramah.
Anehnya Wang Lu justru paling segan padanya!
“Aku belum tahu bakatku.” Wang Lu mengaku.
Penatua Ketujuh tersenyum maklum. “Gurumu belum menurunkan bakat?”
“Ya!” jawab Wang Lu sambil tertunduk muram.
“Tak perlu terburu-buru!” Penatua Ketujuh menasihati. “Senior Kelima pasti punya pertimbangan sendiri. Kau tahu? Meski gurumu biasanya terlihat tak acuh, sebenarnya dia telah melakukan banyak hal untukmu.”
Wang Lu mengangkat wajahnya lagi, menatap Penatua Ketujuh sekali lagi.
“Apa kau tahu berapa banyak sumber daya yang sudah dihabiskannya untuk pembaptisanmu?” tanya Penatua Ketujuh.
“Pembaptisan?” Wang Lu mengerutkan keningnya.
“Ya!” Penatua Ketujuh menatap Wang Lu dengan seringai penuh arti. “Pemandian yang kau anggap lelucon itu!”
Wang Lu menelan ludah. Seketika ia teringat pembicaraan gurunya dengan Penatua Agung.
“Tak peduli apa tujuanku. Tapi orang yang diserahkan padaku, tentu aku akan mempertanggungjawabkannya!”
“Gurumu telah menghabiskan semua yang dimilikinya demi pemulihanmu!” Penatua Ketujuh memberitahu. “Jangan mengecewakannya!”
Wang Lu langsung terdiam.
Baiklah, tekad Wang Lu.
Shifu…
Mulai sekarang, aku akan mendengarkanmu!
“Penatua Ketujuh, menurut Anda, senjata apa yang cocok untukku?” Wang Lu meminta pendapat.
Seulas senyuman samar tersungging di sudut bibir Penatua Ketujuh. “Kita masih belum tahu bakat dan tingkat kekuatan spiritualmu. Tapi… mengingat senjata andalan gurumu adalah tongkat bambu, kemungkinan yang akan diajarkan adalah teknik tongkat. Jadi, kusarankan kau pilih jenis tombak!”
“Hao!” kata Wang Lu bersemangat. Kemudian mulai memeriksa koleksi tombak.
Penatua Ketujuh membantu memilihkannya. “Coba yang ini!” Ia mencabut salah satu tombak dan memberikannya pada Wang Lu. “Tombak itu didapat dari reruntuhan kuno wilayah barat, dibuat dari logam ter…”
KRAAAK!
Sementara Penatua Ketujuh belum selesai menjelaskan perihal tombak yang disarankannya, tombak itu mendadak patah di tangan Wang Lu.
“Baik—” Penatua Ketujuh menyelesaikan perkataan dengan tercekat.
“Ma—maaf!” ungkap Wang Lu tergagap-gagap. “Aku…”
“Haish! Sudah lupakan!” sergah Penatua Ketujuh cepat-cepat. “Bagaimanapun tombak itu didapat dari reruntuhan kuno,” katanya. “Sudah pasti barang usang!”
Kemudian Penatua Ketujuh menyarankan tombak lain yang tampak masih baru.
Tapi lagi-lagi tombak itu juga patah setelah Wang Lu menyentuhnya.
“Barang-barang tua ini tampaknya memang hanya cocok sebagai pajangan!” gerutu Penatua Ketujuh. Kemudian bergegas ke deretan rak yang menyimpan koleksi pedang. “Kita coba pedang saja,” katanya.
Wang Lu mengikutinya.
“Coba yang ini!” Penatua Ketujuh mengambil salah satu pedang dan memberikannya pada Wang Lu. “Itu Pedang Damaskus, terkenal sebagai pedang terkuat di dunia!”
Wang Lu menariknya keluar, kemudian menyusur jari di sepanjang mata pedang.
KRAAAK!
Pedang itu juga berkeretak dan pecah berkepingan.
Bahkan pedang terkuat di dunia?
“Ini—” Penatua Ketujuh tergagap dengan raut wajah syok. Apa mungkin hanya kebetulan? pikirnya.
Wang Lu melemas dengan raut wajah bersalah.
“Begini…” kata Penatua Ketujuh sedikit gelagapan. “Kau kembalilah dulu! Katakan pada gurumu aku ingin bicara.”
“Shi!” Wang Lu menjawab muram. Kemudian pulang dengan segenap perasaan kalah.
Apa sebenarnya yang terjadi? pikirnya.
Benarkah semua senjata itu patah karena sentuhanku?
Atau semua senjata yang disarankan memang seburuk itu?
Penatua Ketujuh yang baik hati tak mungkin sengaja meremehkanku, kan?
Sesampainya di Bukit Mingyue, Wang Lu menyampaikan pesan dari Penatua Ketujuh pada gurunya, tapi tak sempat menceritakan perihal senjata yang patah itu.
Wang Wu langsung pergi dan menghilang dalam waktu yang lama.
Wang Lu menyisi ke lereng bukit, memperhatikan para murid yang sedang berlatih di pekarangan Serambi Ketua di bawah sana.
Dua teman satu angkatannya—juara dua dan juara tiga yang terpilih menjadi murid internal, sekarang sudah berkembang pesat.
Yu Fengmu paling memukau.
Yu Fengmu adalah pangeran ketujuh dari Kekaisaran Lijingguo, juara dua sewaktu perekrutan.
Sekarang dia juara satu, batin Wang Lu dengan pahit. Juara di dalam segala aspek.
Entah itu kemampuan maupun ketampanan, ditambah latar belakang kekaisaran, wibawa dan daya tarik Yu Fengmu memang tak terkalahkan.
Membuat Wang Lu tersengat rasa iri.
Sebenarnya, kalau diingat lagi, Yu Fengmu mendapatkan juara dua juga tak lepas dari campur tangan Wang Lu.
Bisa dikatakan jika Wang Lu tak banyak membantunya, dia bahkan tak bisa mencapai gerbang.
Bukan gerbang biasa. Tapi gerbang pembatas alam, seperti portal gaib. Disebut Gerbang Kepala Naga.
Dikatakan Paviliun Longtian dibangun dari kerangka Naga Langit. Untuk bisa memasukinya, seseorang harus melewati Gerbang Kepala Naga.
Sekali saja berhasil melewati ujian ini, selamanya orang itu sudah bisa keluar-masuk area ini.
Tapi Gerbang Kepala Naga hanya terbuka setiap sepuluh tahun sekali, dan untuk mencapainya, setiap orang harus melewati jembatan kabut yang bisa membuat orang berhalusinasi.
Wang Lu, dengan kepribadian dan kesadaran sempurna, tidak terpengaruh oleh ilusi kabut, menyadarkan Yu Fengmu dan memandunya untuk mencapai gerbang, mendampinginya sepanjang jalan, melindunginya saat dalam bahaya, menginstruksinya supaya mereka bisa melewati setiap rintangan itu bersama-sama.
Sampai saat terakhir, nilai mereka selalu imbang. Kemudian dihadapkan untuk saling mengalahkan.
Pertarungan melawan Yu Fengmu memaksa Wang Lu hingga tahap yang paling ekstrem, di akhir kemenangannya, kekuatannya tiba-tiba tak terkendali. Jika ia melepaskannya, ia akan membunuh Yu Fengmu, tapi jika ia menariknya kembali, ia akan menghancurkan dirinya sendiri.
Dan Wang Lu memilih menghancurkan dirinya.
Yu Fengmu tahu persis akan hal itu!
Dan ia sangat berterima kasih.
Tapi kata terima kasih saja tak cukup untuk membalas semua yang telah dilakukan Wang Lu. Terutama sekarang Wang Lu berakhir sebagai orang tak berguna.
Jadi, sebagai gantinya, Yu Fengmu berjanji akan menjadi lebih kuat agar bisa melindungi Wang Lu.
“Mulai sekarang, akulah yang akan melindungimu!” janji Yu Fengmu.
Dan itu telah dibuktikannya!
Tepat setelah Wang Lu jatuh ke palung dan jadi bahan tertawaan, Yu Fengmu selalu jadi orang pertama yang membelanya.
Bahkan ketika seseorang mencemooh Wang Lu di belakang Wang Lu, Yu Fengmu akan menindaknya tanpa sepengetahuan Wang Lu.
“Kau tidak mengecewakanku,” gumam Wang Lu tanpa bisa menutupi perasaan irinya.
“Siapa? Aku?”
Suara seseorang di belakangnya membuat Wang Lu terperanjat. “Shi—Shifu!”
Gurunya tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya.
“Akhirnya kau mulai mengerti ketulusanku!” seloroh gurunya dengan sikap masa bodoh.
“Siapa yang membicarakanmu?” dengus Wang Lu.
“Ikut aku!” instruksi Wang Wu sambil berbalik, tidak memedulikan dengusan Wang Lu.
“Ke mana?” tanya Wang Lu.
“Kau akan tahu,” jawab Wang Wu tanpa menoleh.
Wang Lu memaksa dirinya bangkit dan mengekor di belakang gurunya tanpa bertanya lagi.
Beberapa saat kemudian, mereka sampai di depan sebuah gerbang batu yang dijaga dua pengawal dengan helm baja dan tombak yang bersilangan.
Sebuah papan bertuliskan: Gunung Dalam, terpampang di atas gerbang itu.
Gunung Dalam adalah tempat paling sakral di Paviliun Longtian. Tidak sembarang orang diizinkan masuk, terutama seorang murid.
Tapi Wang Lu berbeda.
“Dia murid pewarisku!” kata Wang Wu pada kedua penjaga itu, tentu saja dengan sedikit tekanan aura pembunuh.
Lalu keduanya pun diizinkan masuk.
“Wuah! Ini Gunung Dalam?” Pemandangan di balik gerbang itu membuat Wang Lu terpukau.
Dilihat dari luar, gerbang tadi terlihat seperti gua. Tampak gelap di bagian dalam.
Mungkin gerbang itu ditutupi energi spiritual seperti portal gaib, pikir Wang Lu.
Ada lapangan rumput yang lebih luas dari pekarangan pondok mereka, seperti bukit landai yang menjorok ke sungai di lembah sana. Sungai kecil berair bening bagaikan kristal. Permukaannya tampak berkilauan bagaikan permata yaspis.
Sebuah jembatan kayu rendah tanpa pagar pembatas, membentang di atas sungai kecil itu, menghubungkan lapangan rumput dengan taman bunga di seberang sungai.
Dua buah gunung bertengger di seberang taman bunga, dan sebuah gazebo di seberang sungai dekat jembatan.
Segala sesuatu di sana bercahaya berwarna-warni.
Daun-daun, pepohonan, rerumputan dan bunga-bunga, menyala seperti lampion. Bahkan kupu-kupu menyala seperti kunang-kunang, berwarna-warni seperti lentera sungai.
Serbuk cahaya berwarna-warni bertebaran di mana-mana seperti debu menyala.
Seperti dunia peri, pikir Wang Lu. Jelas sekali tempat ini dipenuhi energi murni. Pantas saja Ketua berlatih tertutup di sini!
Benar!
Ketua Paviliun Longtian yang sampai sekarang masih jadi misteri, katanya sedang berlatih tertutup di salah satu gunung di seberang sana.
“Omong-omong… untuk apa kita ke sini?” tanya Wang Lu saat mereka mulai menyeberang di atas jembatan.
“Biar kuberitahu,” kata Wang Wu sembari merenggut bahu Wang Lu.
“Shi–Shifu! Kau mau apa?” Wang Lu tersentak dan gelagapan, dan sebelum ia menyadari apa yang terjadi, Wang Wu sudah mendorongnya ke sungai.
BRUUUUSSSH!
Wang Wu menepuk-nepukkan kedua telapak tangannya seperti sedang menepiskan debu, kemudian menyeringai sembari bersedekap.
“Shifu!” Wang Lu meronta-ronta di dalam air. “KENAPA AKU DIRENDAM LAGIIII?”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!