NovelToon NovelToon

Lucid Dream ( Change Dimensions)

1. Prolog.

GELAP.....

SESAK.....

PANAS....

SAKIT....

Wanita itu meringis saat merasakan sakit yang tidak dia ketahui dari mana datangnya terasa sangat nyata di pergelangan tangannya. Seolah ada sebuah tali yang melilit tangan wanita itu dengan kuat. Tetapi, tidak ada apapun di sana. Hanya kegelapan pekat dan hawa panas yang membuat ia sulit bernapas.

Wanita itu meronta, berusaha melepaskan diri, namun hal sebaliknya justru terjadi dimana rasa sakit pada pergelangan tangannya semakin kuat.

Dia berusaha untuk tenang, menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Kegelapan itu berangsur-angsur memudar, membuat wanita itu mampu melihat cahaya redup yang cukup untuk mengetahui di mana dia berada.

"Ini,,,, Di mana?" dia bergumam bingung, mengerjapkan mata secara berulang.

"Bagaimana bisa aku berada di sini?" dia bergumam lagi, mengamati apa yang berada di sekitarnya..

"Gua,,, Tidak,,, bukan, ini hutan? Tapi bagaimana mungkin? Hutan macam apa ini?"

Wanita itu kembali berkata pelan, kecemasan merayap ke dalam hatinya kala melihat hutan namun gelap seperti gua dan terlihat aneh di matanya, dimana semua yang berada di sana berwarna hitam. Tidak terlihat satupun tanda-tanda kehidupan. Batu, tumbuhan, awan, langit dan,,,, bulan hitam.

"Tidak,,,tidak,,, aku harus pergi dari tempat ini. Bulan hitam terlalu aneh untuk dipikirkan dari sudut manapun," dia berkata pelan sembari menggelengkan kepala, berusaha menyingkirkan segala pemikiran buruk yang masuk ke dalam benaknya.

Wanita itu berbalik, bersiap untuk pergi, namun rasa sakit pada pergelangan tangannya kembali muncul dengan rasa sakit yang lebih kuat, seolah ingin memberi peringatan bahwa wanita itu tidak di ijinkan meninggalkan tempat itu.

Wanita itu terus memberontak, mengarahkan pandang pada pergelangan tangan kirinya yang terasa sakit, namun tetap tidak melihat apapun selain hanya rasa sakit terbakar yang kuat. Satu waktu wanita itu menarik tangannya, detik berikutnya rasa sakit itu semakin kuat dia rasakan. Seolah ada tali tak kasat mata yang mengekang pergelangan tangan kirinya.

"Arghh,,, kenapa ini menjadi semakin kuat?" dia mengerang dangan wajah meringis, mersakan lilitan pada pergelangan tangan kirinya menguat tanpa bisa mengetahui apa yang melilit tangannya.

'WUSHHHH,,,,,'

Angin berhembus lembut menerpa wajah dan tubuh wanita itu, namun terasa dingin dan menyayat kulitnya, membuat wanita itu kembali meringis merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Dan saat itulah wanita itu melihatnya

Diujung jalan sejauh mata memandang, wanita itu melihat seseorang,,, lebih seperti sesosok yang tidak bisa disebut bahwa itu manusia.Tidak terlihat apakah sosok itu memiliki kaki atau tidak, namun terlihat sangat jelas sosok itu meluncur mendekat ke arah wanita itu.

Besar, hitam dan wajah yang tertutup gumpalan asap hitam di sekitarnya dengan jubah hitam panjang yang menutupi seluruh tubuhnya. Keringat mulai membasahi wajah wanita itu. Kepanikan luar biasa mulai merayap dihatinya.

Napasnya berpacu, berusaha untuk lari, namun lilitan ditangannya masih menahan wanita itu untuk pergi. Sesuatu yang melilit pergelangan tangannya mulai terasa panas. Udara disekitar mulai berubah berat dan membuat dia kesulitan untuk bernapas.

Sementara sosok itu semakin mendekat, menambah kepanikan yang dia rasakan, sekuat apapun wanita itu berusaha untuk melepaskan diri, tidaklah berguna.

Tubuhnya mulai bergetar ketika sosok itu semakin dekat. Hingga ia bisa melihat sebuah sabit besar yang tiba-tiba terbentuk dari gumpalan asap hitam yang berada di sekitarnya, seolah sosok itu sedang menggenggamnya. Sosok itu terus bergerak mendekat.

Lebih dekat,,,

Lebih dekat,,,

Lebih dekat,,,

Dan mengangkat wajahnya secara tiba-tiba, memperlihatkan wajahnya yang hanya sebuah tengkorak hitam dengan mata menyala merah.

"AAAAAHHHHHHH,,,,,,,,,,,!!!!!! "

Wanita itu berteriak, terbangun dari tidurnya dengan seluruh tubuh basah karena keringat yang mengucur deras.

Napasnya tersengal seolah baru saja berlari bermeter-meter jauhnya.

Tok,,

Tok,,

Tok,,

Suara ketukan pintu mengalihkan perhatiannya untuk sesaat, cukup untuk membuat dia tahu siapa yang ada di balik pintu.

"Leora,,, Apakah kamu baik-baik saja?" suara wanita bernada khawatir terdengar.

Wanita itu mengatur napas sebelum memberikan jawaban.

"Aku baik-baik saja, Bibi. Hanya kaget karena melihat serangga ketika bangun tidur," jawab Leora berbohong.

"Ada-ada saja," sambut Bibi terkekeh pelan.

"Segeralah turun, Bibi sudah menyiapkan sarapan!" sambungnya lalu suara di balik pintu menghilang sepenuhnya.

Leora tidak merespon kalimat terakhir yang di ucapkan sang Bibi padanya. Tangannya justru mencengkram kepala disertai gelengan pelan.

"Mimpi,,,,"

"Itu hanya mimpi. Mimpi menyebalkan yang bisa terjadi pada siapa saja," ucapnya menenangkan diri.

Leora bergegas ke kamar mandi untuk bersiap pergi bekerja seperti biasa, menatap bayangan dirinya sendiri melalui pantulan cermin. Lingkaran hitam akibat kurang tidur terlihat sangat jelas dimatanya.

"Entah sudah keberapa kalinya aku memimpikan hal yang sama," Leora berkata pelan.

Leora menghidupkan air untuk mencuci wajah, namun gerakannya terhenti ketika ia melihat pergelangan tangannya sendiri memiliki jejak hitam samar melingkari pergelangan tangan kirinya.

"Apa ini? Dari mana asalnya?" Leora bergumam bingung.

Di bawah air mengalir, ia terus menggosok jejak hitam yang menyerupai gelang di tangannya, tetapi jejak hitam itu tidak bisa di hilangkan begitu saja, hingga ia memilih untuk mengabaikannya.

Namun, sebelum Leora bisa melakukan hal itu, rasa terbakar itu kembali datang di pergelangan tangan tepat dimana lingkaran hitam samar itu berada. Membuat wanita itu jatuh berlutut sembari memegangi tangannya sendiri.

"Arrhhh,,,,"

Leora mengatup rapat bibirnya, menahan suara agar tidak kembali berteriak. Setelah beberapa saat, rasa sakit itu berangsur-angsur hilang. Namun warna hitam yang semula samar, kini menjadi lebih gelap dari sebelumnya, seperti tato berbentuk gelang yang sengaja di buat di pergelangan tangan Leora.

"Apa yang sebenarnya terjad__,,,"

Kalimat Leora terputus ketika ia merasakan kepalanya berdenyut selama beberapa detik. Detik berikutnya, sebuah adegan bermain di depan matanya, membuat wanita itu seolah tengah menonton sebuah film.

Sosok bayangan hitam yang selalu muncul di mimpi Leora tengah mengejar seseorang. Orang itu berlari secepat yang dia bisa. Perlu beberapa saat bagi Leora untuk mengetahui orang itu adalah seorang pria berambut panjang dengan warna abu terang.

Pria itu terus berlari, lalu berhenti di bibir jurang. Dalam penglihatan Leora, pria itu berbalik dan tersenyum lemah seolah bisa melihat dirinya. Mata biru terang pria itu tertuju pada Leora, bibirnya bergerak ingin mengatakan sesuatu, hingga ia bisa membaca gerakan bibir pria itu yang mengatakan.

'TOLONG'

Leora tersentak mundur, lalu mencengkram kepalanya sendiri yang terasa berdengung.

DUGHH,,,!

Kepala Leora membentur wastafel dengan keras. Bersamaan dengan itu, adegan yang bermain di depan matanya lenyap begitu saja. Digantikan dengan rasa nyeri di kepala bagian belakang karena membentur wastafel kamar mandi.

"Ouch,,,,, Arhhh,,,!" Leora mengerang pelan, lalu segera menyelesaikan ritual paginya dengan cepat.

"Oh sial,,,, Aku akan terlambat," umpat Leora terkejut ketika melihat jam berapa saat itu.

Wanita itu berpakaian dengan cepat, menarik asal pakaian yang menurut dirinya nyaman untuk di kenakan dan menutupi pergelangan tangannya menggunakan wristband agar lingkaran hitam itu tak terlihat orang lain.

"Leora,,, Habiskan dulu sarapanmu!" tegur wanita paruh baya yang sudah menunggu di meja makan.

"Aku sudah terlambat, Bibi makan sendiri dulu saja untuk hari ini," jawab Leora sembari mengecup lembut pipi wanita paruh baya yang ia sebut Bibi.

"Sebagai gantinya, aku tidak akan pulang terlambat malam ini," ujar Leora lagi.

"Aku berangkat, jangan lupakan makan siang Bibi," Leora menambahkan.

Wanita paruh baya yang di panggil Bibi adalah wanita yang tinggal bersama Leora sejak ia berhasil membeli rumah. Namun, Leora tidak memiliki waktu untuk merawat rumahnya sendiri. Pekerjaan di toko miliknya sendiri kerapkali membuat wanita itu bahkan tidak pulang.

Pertemuan Leora dengan Bibi beberapa tahun lalu berawal ketika wanita paruh baya itu di ganggu beberapa preman dan tidak memiliki tempat tinggal. Dan sejak itu bibi tinggal bersama Leora sampai sekarang.

Menjaga dan merawat ketika Leora sakit layaknya anak sendiri, membuat wanita itu tidak bisa tidak menganggap sang Bibi keluarga. Kalimat majikan dan bawahan pun ia hapus begitu mudahnya. Bibi Giana yang selalu di panggil Leora dengan sebutan Bi Gina.

Sejak ia tinggal bersama sang Bibi, Ia selalu menceritakan segala keluh kesahnya, mendapatkan perhatian penuh dari orang asing yang kini menjadi keluarga satu-satunya. Satu hal yang belum wanita itu ceritakan pada Bibi adalah tentang mimpi yang ia alami. Mimpi aneh yang berulang kali datang dan kini rasa sakit di tangannya menjadi nyata tanpa bisa menjelaskan bagaimana hal itu bisa terjadi, selalu melihat potongan kejadian bagaikan sebuah film. ia bahkan tidak tahu di mana hutan serba hitam itu, tempat aneh yang tak pernah ia lihat sepanjang hidupnya.

Leora menggelengkan kepalanya pelan, menghapus segala pemikiran aneh yang muncul hingga tak terasa ia sudah tiba di tempat di mana ia bekerja sekaligus tempat yang telah resmi menjadi miliknya.

'TOKO COKLAT'

Leora tiba di toko miliknya dan di sambut dengan senyum hormat dari karyawannya yang sudah tiba lebih dulu dari dirinya.

. . . . . . .

. . . . . .

To be continued....

2. LD Pembuat Masalah

Leora tiba di toko dan di sambut dengan senyum hormat dari karyawan wanita yang sudah tiba lebih dulu dari dirinya. Wanita yang sebaya dengan Leora sekaligus menjadi orang kepercayaan Leora.

"Selamat pagi, Nona," sapanya membungkuk hormat.

"Pagi, Monic," balas Leora tersenyum ramah.

"Apakah Anda baik-baik saja, Nona?" tanya Monic.

"Aku baik, mengapa kamu bertanya?" tanya Leora mengerutkan kening.

"Anda terlihat sedikit pucat," jawab Monic khawatir.

"Hanya gangguan tidur, bukan hal besar," sambut Leora kembali tersenyum.

"Apakah Anda yakin?" tanya Monic memastikan.

"Tentu saja. Oh,,,bisakah aku minta tolong padamu untuk memesankan kopi di cafe sebelah?" pinta Leora.

"Tentu, Nona," jawab Monic tersenyum.

"Tolong, bawa ke ruanganku," ucap Leora.

"Baik," sahut Monic.

'BRAAKK,,,,!!!'

Suara benturan keras berhasil membuat kedua wanita itu mengurungkan niat untuk masuk ke dalam toko, mengarahkan pandangan mereka ke arah datangnya suara.

Seorang pria berperawakan sedang dengan rambut sepanjang bahu terikat mengenakan apron hitam jatuh tersungkur di depan cafe-nya sendiri. Sementara di depan pria itu, seorang pria berperawakan besar dengan tato yang memenuhi tubuhnya tengah berdiri sembari melipat kedua tangan dengan tatapan meremehkan yang dia berikan pada pria yang telah tersungkur.

Leora menghampiri pria itu tanpa berpikir dua kali, merasakan firasat buruk jika ia tidak menghentikan dua pria itu.

Pria berambut panjang sebahu itu meringis, merasakan rasa sakit di punggungnya usai menghantam papan menu sampai rusak.

"Apa-apaan ini?" sergah Leora menghampiri pria yang tersungkur dan membantunya berdiri.

"Kamu terluka, Aron?" ucap Leora cemas.

"Aku,,,, Tidak apa-apa." jawab Aron pelan berusaha menegakkan tubuhnya sendiri.

Leora menggeram kesal, menatap pria berperawakan besar yang masih berdiri angkuh dengan seringai di wajahnya.

"Apa yang anda lakukan adalah kekerasan, apakah anda tahu itu?" sentak Leora sembari menatap tajam pada pria besar di hadapannya.

"Lalu kenapa?" tantang pria itu.

"Hhaahh,,, sekarang aku ingat," desah Leora menghilangkan sisi sopannya.

"Kau adalah orang yang membuat masalah di toko milikku beberapa hari lalu," ucap Leora.

"Lalu,,,?" pria itu melangkah maju sembari tersenyum mengejek.

"Ingin melaporkan hal ini pada polisi?" ejeknya.

"Untuk mendiamkan orang sepertimu, aku tidak membutuhkan bantuan polisi," jawab Leora seraya berdiri di depan pria yang menjadi sahabatnya, menghadap pria besar itu tanpa memperlihatkan ketakutan di wajahnya.

"Cih,,," dia mencibir, lalu meludah.

"Apa yang kau pikir bisa kau lakukan?"

"Apa yang bisa dilakukan dengan tubuh kecilmu, manis? Kau hanya akan menyakiti dirimu sendiri. Badut di belakangmu saja tidak mampu menjaga dirinya sendiri,"

"Akan sangat di sayangkan jika wajah cantikmu rusak bukan?"

"Atau,,,,"

Pria itu mencondongkan tubuhnya, mengikis jarak diantara dirinya dengan wanita di depannya hingga Leora bisa mencium aroma alkohol dari hembusan napas yang menerpa wajahnya.

"Bersenang-senanglah bersamaku malam ini dan aku akan melepaskanmu,"

Pria pemilik nama Aron itu meraih tangan Leora, menarik tangan wanita itu untuk mundur.

"Leora,,, Sudahlah, jangan dipermasalahkan lagi, kamu bisa terluka," Aron berkata pelan.

"Benarkah?" Leora tersenyum sinis, menepis lembut tangan pria di belakangnya.

"Lalu kenapa kau tidak mencobanya untuk mengetahui apa yang bisa dilakukan tubuh kecil ini seperti yang baru saja kau katakan?"

"Atau kau hanya membual dengan menjadikan tubuh besarmu sebagai alat untuk menindas tapi tidak dengan otakmu?" lanjutnya.

Aron membelalakan kedua matanya mendengar apa yang baru saja Leora ucapkan. Tangannya menarik kembali tangan Leora untuk mundur, namun wanita itu tetap bergeming. Matanya menatap marah pada pria berperawakan besar yang berdiri di depan mereka.

"Apakah itu sarkasme terbaik yang bisa kau ucapkan?" pria itu mendengus kesal.

"Oh,,, Maaf, ini adalah reaksi defensif yang akan di lakukan oleh setiap orang," jawab Leora.

"Kau_,,,,"

Kekesalan yang di rasakan pria itu membuat dia mengangkat satu tangannya, mengayunkan tangan itu dengan gerakan cepat ke arah wanita yang berada d hadapannya. Namun, sebelum tangan itu bisa mendarat di pipi Leora, satu tangan wanita itu bergerak cepat menangkap tangan pria itu, membuat Aron bahkan pria besar itu terkejut dengan reflek wanita di depannya.

Leora mencengkram kuat pergelangan tangan pria besar itu, menjauhkan dari pipinya, lalu memutar tangannya dengan sudut sembilan puluh derajat dan menarik tubuh pria itu dengan satu sentakan. Tepat saat tubuh pria itu tertarik maju, Leora mendorong dada si pria menggunakan telapak tangannya. Dalam hitungan sepersekian detik, pria itu melayang selama beberapa saat di udara, hingga,,,,

'GEEDDUUBBRRAAKKK,,,,!!!!'

Pria itu terlempar dan jatuh tepat di atas tumpukan box kayu yang terletak beberapa meter dari tempat Leora berdiri.

Semua orang yang berada di sana tercengang atas hal yang baru saja Leora lakukan. Tidak pernah menyangka tubuh kecil wanita yang mereka ketahui sebagai pemilik toko coklat di kota itu mampu membuat tubuh besar pria itu terlempar dengan satu kali sentakan.

Bahkan wanita yang baru saja melakukan hal itu membelalakan kedua matanya setelah melihat apa yang baru saja ia lakukan seolah ia sendiri tidak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi.

'Apa itu tadi? Bagaimana mungkin? Bagimana bisa? Kenapa gerakan tangan pria itu terlihat begitu lambat? Kenapa pria itu terasa sangat ringan ketika ku dorong? Dan mengapa dia bisa terlempar sejauh itu?' batin Leora.

Leora menatap tanganya sendiri selama beberapa saat, sampai suara gemuruh tepuk tangan mengisi keheningan yang membuat wanita itu segera tersadar, orang-orang mulai berkerumun menatap kagum wanita yang bisa mengalahkan pria yang dikenal sebagai pembuat masalah di kota itu dengan mudah.

"Nona, Anda luar biasa" seru salah satu wanita pada Leora.

Leora tersenyum canggung, lalu berbalik cepat sebelum mendapatkan banyak pertanyaan dari pemilik toko lain yang berada di sekitar toko miliknya, membawa Aron untuk masuk ke cafe pria itu dengan mengabaikan tatapan semua orang yang memberinya tatapan berbeda. Termasuk mengabaikan bagaimana nasib pria yang baru saja ia lempar.

Wanita itu menutup pintu cafe, membalik papan dari cafe itu menjadi 'CLOSE', lalu meminta sahabatnya untuk duduk di kursi yang ia siapkan.

"Lepaskan pakaianmu!" perintah Leora.

"Eehhhh,,,,kenapa?" tanya Aron dengan wajah memerah.

"Apa yang kau pikirkan?" decak Leora berkacak pinggang.

"Punggung mu pasti memar, dan itu perlu di kompres untuk mencegah bengkak di punggungmu," jelas Leora.

"Ahh,,, itu,,, Aku bisa melakukan itu sendiri," jawab Aron gugup.

"Aronn,,,," Leora memanggil sembari melipat kedua tangannya.

"Baik,,, Baik,,, Jangan beri aku tatapan seperti itu" keluh Aron menyerah.

"Aarrhh,,,!"

Gerakan pria itu terhenti sembari meringis ketika ia akan melepaskan pakaiannya. Cukup untuk membuat Leora mengulurkan tangan untuk membantu pria itu.

"Angkat tangan mu!" perintah Leora lagi.

Pria itu menurut, mengangkat kedua tangannya ke atas. Dengan gerakan hati-hati, Leora menaikan t-shirt yang Aron kenakan setelah melepaskan apron yang sebelumnya menempel di tubuh pria itu, hingga ia bisa melihat luka memar di punggungnya yang berkulit putih.

Gerakan hati-hati yang di lakukan Leora serta jarak wajah mereka yang begitu dekat membuat pria itu merasakan desiran halus di hatinya.

'Terlalu dekat,,,,' batin Aron.

"Jangan melakukan apapun, aku segera kembali," pinta Leora.

Aron mengangguk pelan dan melihat Leora meletakkan t-shirt miliknya di sandaran kursi sebelum melangkah ke belakang dimana dapur pribadinya berada seolah cafe itu adalah miliknya.

Tak sampai lima menit, Leora kembali dengan sebuah wadah berisi air beserta handuk kecil di satu tangan, dan sebuah kotak obat di tangannya yang lain, lalu meletakkan wadah berisi air beserta kotak obat di meja di samping pria itu duduk.

Aron menegakkan punggungnya kala merasakan handuk basah menyentuh kulitnya, mengembalikan rasa nyeri yang sebelumnya menghilang.

"Sakit?" tanya Leora khawatir.

"Aku masih bisa menahannya," jawab Aron pelan.

Leora memperlembut gerakan tangannya, berharap apa yang ia lakukan bisa mengurangi rasa sakit yang di rasakan pria di depannya.

"Terima kasih, Leora," ucap Aron menyadari tindakan yang dilakukan wanita itu.

"Bagaimana bisa kau berurusan dengannya?" tanya Leora seraya mengoleskan krim pereda nyeri menggunakan jarinya dengan perlahan.

"Aku tidak memiliki niat untuk berurusan dengannya, aku hanya mencoba bernegosiasi ketika dia tidak mau membayar makanan yang dia makan di kedai depan_,,,Aarrhh," Aron menjawab disertai rintihan pelan sembari menegakkan punggung.

"Itu terdengar sama dengan kaulah yang mencari masalah saat kau sendiri tahu dengan jelas bagaimana hal itu akan berakhir," sambut Leora.

"Dan bukankah kau juga tahu si besar itu bukan orang yang bisa di ajak untuk bernegosiasi?"

Leora berkata dengan perasaan kesal di hatinya, tidak terima melihat keadaan sang sahabat.

"Aauuhhh,,,,!!" Aron mengerang kala Leora tanpa sadar menekan punggungnya yang terluka terlalu kuat.

"Aahh,,,_ Maaf, maaf," sesal Leora segera menarik tangannya sendiri.

Aron terkekeh pelan, sangat mengerti wanita yang kini tengah mengobati lukanya melakukan itu bukan karena sengaja, lalu tersenyum sembari berkata,

"Aku hanya tahu, aku melakukan hal yang benar, dan aku juga yakin jika kamu yang melihatnya, kamu pun akan melakukan hal yang sama,"

"Haahhh,,," desah Leora.

"Baiklah,,, baik,,,, Tuan baik hati, sekarang aku obati dulu lukamu, jadi jangan terlalu banyak bergerak," imbuhnya.

Leora meletakkan handuk di tepi wadah lalu mengitari Aron dan duduk berhadapan dengannya seraya membuka kotak obat.

"Tapi kau berakhir dengan di lempar olehnya, bagaimana kau akan menjelaskan itu?" tanya Leora.

Aron terdiam sejenak, mengunci pandangan pada wanita di depannya yang memperlihatkan ekspresi khawatir yang tulus.

"Haahh,,, Sudahlah, lupakan saja pertanyaanku,"

Wanita itu kembali mendesah pelan, lalu menunduk memeriksa isi dari kotak obat yang ia ambil. Tangannya terulur mengambil cairan antiseptik, lalu meneteskan cairan antiseptik pada kapas dan mencondongkan tubuhnya pada pria di depannya.

"Tahan sebentar," ucap Leora.

Dengan hati-hati, wanita itu mengobati pipi dan sudut bibir Aron yang terluka. Sesekali, meniupkan udara tipis pada sudut bibir yang terluka dengan harapan tindakannya dapat mengurangi rasa perih yang pria itu rasakan.

'Ukh,,,, Ini tidak baik,' batin Aron.

'Kamu terlalu dekat Leora. Bagaimana mungkin aku bisa tenang jika kamu sedekat ini? Dan kenapa aku tak menyadari lebih awal jika kamu terlihat begitu cantik jika di lihat dalam jarak sedekat ini?' imbuhnya.

Aron menelan salivanya, menatap Leora dalam. Namun perhatian Leora hanya tertuju pada luka di sudut bibirnya.

"Aku justru lebih tertarik dengan bagaimana caramu bisa melemparnya sejauh itu?" tanya Aron pelan mengalihkan perhatiannya dan berharap Leora tidak mendengar detak jantungnya.

Gerakan tangan Leora terhenti, pandangan wanita itu menerawang, mengingat kembali hal yang baru saja dia lakukan, hal yang cukup untuk membuat hatinya merasa gelisah.

'Apa yang salah denganku? Aku bahkan tak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi. Aku kesulitan untuk mencernanya. Dan kau justru mempertanyakan hal yang aku sendiri tidak tahu jawabanya,' keluh Leora dalam hati.

Menyadari perubahan suasana hati wanita itu dari wajahnya, Aron meraih tangan Leora, memberikan remasan lembut pada wanita itu, lalu tersenyum tulus padanya.

"Sejujurnya itu memang mengejutkan, tapi itu juga keren di waktu yang sama. Aku yakin hal itu akan memberikan efek jera padanya. Aku bahkan merasa kamu menjadi luar biasa," tutur Aron menatap lekat wanita yag ada di hadapannya, kembali tersenyum.

"Tidakkah kau menganggap aku aneh?" tanya Leora lirih.

"Pada dasarnya kita memang terlahir aneh bukan?" sambut Aron tertawa renyah.

"Kata-katamu justru akan mematahkan semangat orang yang baru saja kau bangkitkan, Aron," sambut Leora memajukan bibirnya.

"Aku meragukan hal itu berlaku untukmu," jawab Aron tertawa.

"Karena sejauh yang ku tahu, kehilangan semangat hanya dengan kalimat ringan yang diucapkan seseorang, kamu bukanlah salah satunya," Aron menambahkan.

"Sepertinya kau memang terlahir berbakat untuk membuat suasana hati seseorang menjadi lebih baik," sambut Leora mulai tertawa.

"Ku harap kau adalah salah satunya," jawab Aron tersenyum lebar.

"Sangat, dan itu selalu berhasil," sambut Leora.

"Baiklah,,,sudah selesai. Untuk sementara kau ikut aku dulu dan tutup cafe ini untuk satu hari ini saja," kata Leora.

"Mana bisa begitu?" jawab Aron keberatan.

"Kau bahkan masih kesulitan untuk bergerak Aron," kata Leora.

"Dan kau tak memiliki seseorag untuk membantumu di sini," tambahnya.

Aron terdiam membenarkan ucapan Leora. Ia terdiam untuk berpikir sejenak, hingga akhirnya mengangguk setuju dan mengikuti saran Leora pergi ke toko wanita itu untuk beristirahat disana setelah mengunci pintu cafe.

. . . . .

. . ..

To be continued....

NOTE:

- Sarkasme

Adalah majas sindiran menggunakan kata-kata kasar dan keras.

- Defensif

Adalah sikap bertahan atau pertahanan diri berupa perilaku atau strategi.

3. Ld Kembali Bermimpi.

Dapur pribadi yang berada di toko Leora memiliki table kitchen yang unik bagi sudut pandang Aron. Dilengkapi dengan peralatan sederhana, namun cukup lengkap jika hanya ingin membuat menu sarapan untuk di nikmati setiap hari dengan menu berbeda. Salah satu yang menarik perhatian pria itu adalah kursi bulat tinggi yang berada di depan meja mampu memberikan rasa nyaman ketika ingin menikmati makanan sembari mengamati si pembuat menyiapkan makanan yang akan di santap.

Aron duduk di salah satu kursi, meletakkan satu tangan di atas meja sembari menopang dagu dengan pandangan tertuju pada Leora yang berdiri membelakangi dirinya. Tanpa sadar, ia tersenyum, enggan mengalihkan pandangan dari punggung wanita yang tengah mengeluarkan sesuatu dari oven, lalu berbalik dengan gerakan tiba-tiba yang membuat pria itu tersentak dan menjatuhkan dagunya.

"Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Leora tertawa pelan.

"B-b-bukan apa-apa," jawab Aron tergagap.

"Jawaban dan caramu menjawab mengatakan hal yang berbeda," sambut Leora menyipitkan mata.

"Tapi, ku akui satu hal, kau cukup pandai dalam mengelak," sambungnya.

"Dan kau cukup pandai dalam mendesak," balas Aron tak mau kalah.

"Ya,,, Ya,,, Ya,,, tak mau kalah seperti biasa," cibir Leora.

"Makan ini!" imbuhnya memberi perintah sembari menyodorkan Croissant.

"Croissant Coklat Kacang dengan taburan gula di atasnya, seperti yang kamu suka," ujar Leora.

"Maaf, hanya ini yang bisa ku buat dengan bahan yang tersisa. Sepertinya, bahan yang ku pesan akan datang terlambat hari ini," Leora menambahkan.

"Ini sudah lebih dari cukup untukku, aku bahkan sudah merepotkan dan mengganggumu di pagi hari," jawab Aron tersenyum.

"Terima kasih, Leora," tambahnya.

"Tak ku sangka kau cukup sadar diri," ucap Leora tanpa beban.

"Tck,,, Ku tarik kembali kata-kataku," sahut Aron.

"Aku tidak seharusnya berterima kasih pada orang yang masuk ke dapurku seenaknya," balasnya.

Mereka berdua saling pandang sejenak, lalu tertawa tanpa ada satupun dari mereka merasa tersinggung.

Aron mulai menyuap makanannya, sementara Leora hanya menyeruput kopi yang dia buat sendiri.

"Kenapa kamu tidak makan?" tanya Aron.

"Aku sedang tidak berselera untuk makan," jawab Leora.

"Bolehkah aku bertanya padamu, Leora?" tanya Aron di sela makannya.

"Tentu, apa itu?" sahut Leora balas bertanya.

"Sebelum itu, aku ingin memastikan satu hal," ujar Aron memasang wajah serius.

"Apa?" tanya Leora.

"Kau tidak memasukan racun atau semacamnya ke dalam makananku bukan? Yang menjadi alasanmu tidak mau makan di saat kamu bahkan tidak menyentuh sarapanmu di rumah?" selidik Aron menyipitkan mata.

"Aku tidak akan setega itu pada sahabatku sendiri. Khusus untukmu aku hanya menambahkan obat cuci perut!" jawab Leora dengan seringai di wajahnya.

"BURRRR,,,,,, UHUUKK,,,!"

Aron menyemburkan makanan yang tengah ia kunyah dan berakhir tersedak.

"Aronnn!!!" pekik Leora segera berdiri.

"Ewww,,, Apa kau sudah gila!" sungut Leora sembari membersihkan makanan yang mengotori wajah serta pakaiannya.

"Pft,,,,Ha,,, ha,,, ha,,, Maaf,,, Maaf. Aku sengaja," jawab Aron tanpa beban, lalu kembali terbahak.

"Lucu sekali. Maka kau akan kehilangan kesempatan untuk bertanya!" jawab Leora cemberut.

"Hei,,, Ayolah, itu tidak adil," protes Aron.

"Selalu ada kata adil untuk pembalasan!" jawab Leora cemberut sembari membersihkan wajahnya menggunakan serbet.

"Kalau begitu, kamulah yang harus di salahkan. Bagaimana bisa kamu membuat lelucon dengan memasang wajah bahwa kamu telah melakukan hal yang kamu katakan? Jika tidak mengenalmu dengan baik, siapapun akan menganggap yang kamu katakan itu bukan lelucon," ucap Aron tak mau kalah.

"Terima kasih pujiannya," sahut Leora seraya duduk kembali.

"Ini bukan pujian, Lea," Aron menggeram gemas.

"Baik,,, Katakan padaku apa yang ingin kau tanyakan!" perintah Leora.

"Kamu masih saja suka memerintah seperti biasa," sindir Aron.

"Waktumu lima detik," ujar Leora.

"Apa? Itu tidak cukup!" sanggah Aron keberatan.

"Lima,,," Leora mengangkat tangan, menunjukkan lima jarinya.

"Hei,,," protes Aron.

"Empat,,, " Leora melipat kelingkingnya sekaligus mengabaikan protes yang Aron berikan.

"Baik,,, Baik,,, Hentikan! Akan aku katakan," erang Aron merasa kalah.

"Tiga,,," ucap Leora lagi.

"Eerrgghh!" Aron menggeram kesal dengan tangan mencengkram rambutnya sendiri.

"Menyebalkan! Aku hanya penasaran kenapa kamu memakai Wristband hari ini?" Aron berkata cepat.

"Karena aku ingin," jawab Leora singkat.

"Tolong definisikan kata 'Ingin' yang kamu ucapkan!" balas Aron.

"Sayang sekali, waktumu telah habis," jawab Leora menjulurkan lidahnya.

"Apa yang sudah terjadi?" tanya Aron lagi.

Intonasi pada suara Aron seketika berubah, menatap lekat wanita yang duduk di depannya, menyelami ke dalam mata wanita itu untuk mencari tahu apa yang tengah di sembunyikan sahabatnya.

"Kau tahu?"

"Sikapmu yang selalu ceria itu tidak berpengaruh padaku di saat aku bisa menyadari dengan cepat bahwa ada yang salah dengan senyumanmu,"

Leora memalingkan wajah dan menyeruput kopinya lagi, lalu mengernyit. Suara Aron masih terdengar jelas, namun pandangannya tiba-tiba berkabut, cukup untuk membuat kepalanya sedikit menunduk.

"Ada apa?" tanya Aron lagi.

"Aku benar-benar payah dalam membuat kopi, buatanmu jauh lebih enak dari ini," jawab Leora tanpa menoleh.

'Ku mohon jangan sekarang. Setidaknya jangan di depannya,' harap Leora dalam hati.

"Jika kamu ingin berbohong padaku, kamu perlu mencari alasan yang lebih baik dari ini!" jawab Aron tidak puas.

Samar-samar, Leora kembali melihat tempat aneh yang selalu muncul di mimpinya. Berulang kali Leora mengerjapkan mata, berharap hal itu akan membuat penglihatannya kembali normal.

"Lea,,," panggil Aron.

"Hmm,,, Ya,,, Ada apa?" sahut Leora tanpa mengangkat wajah.

"Apakah kamu baik-baik saja?" tanya Aron mulai terdengar cemas.

Leora berniat untuk menjawab pertanyaan Aron dengan benar agar tidak membuat pria itu khawatir. Namun, apa yang terjadi justru sebaliknya.

Rasa terbakar tiba-tiba menyengat lebih kuat dari sebelumnya di pergelangan tangan dimana wristband nya terpasang. Satu tangannya yang masih memegang cangkir terulur dengan hati-hati, menahan rasa sakit yang tidak bisa ia pahami, dan berusaha untuk meletakkan cangkirnya. Namun,,,

'PYARRR,,!!!'

Leora menjatuhkan cangkir di tangannya, menimbulkan suara berisik di dapur yang sebelumnya terasa tenang tanpa suara.

Aron berdiri dan menghampiri untuk menopang wanita itu saat tubuhnya kehilangan tenaga untuk menahan tubuhnya sendiri.

"Lea,,,!" panggil Aron.

Tepat setelah Aron kembali memanggil namanya, rasa panas terbakar di tangannya digantikan dengan dengungan di kepala Leora, memperlihatkan kembali dengan lebih jelas sebuah hutan yang selalu menjadi mimpi buruk bagi Leora.

Pria yang memiliki rambut abu terang itu terlihat lebih jelas, rambut abu-nya memiliki helaian perak yang berkilau di kepalanya dan tengah berdiri di bibir jurang. Di jarak beberapa meter dari pria itu, sosok besar hitam menggenggam sabit melesat cepat kearah pria itu seakan ingin menebasnya.

Sekali lagi, pria itu menoleh ke arah Leora dan tersenyum lemah, bibirnya kembali membentuk sebuah kata,

'TOLONG,,,'

Leora memejamkan mata, mecengkram kuat kepalanya, berusaha untuk kembali ke kesadaran miliknya saat kepulan asap hitam bergerak seolah ingin menyerang dirinya.

"Lea,,!" panggil Aron lagi.

Leora tersentak, merasakan sentuhan tangan seseorang yang tengah menopang tubuhnya dengan melingkarkan tangan di bahu Leora. Rasa sakit yang sebelumnya Leora rasakan berangsur-angsur hilang.

"Kita ke rumah sakit sekarang!" ucap Aron khawatir.

"Tidak, aku tidak apa-apa," tolak Leora.

"Kamu tidak melihat seperti apa dirimu bukan?" sahut Aron mulai kesal.

"Kamu masih dengan tenangnya mengatakan tidak apa-apa setelah aku melihatmu seperti itu?" sambungnya.

"Beberapa hari ini aku kurang tidur, itu hanya anemia," jawab Leora mencoba menenangkan sahabatnya.

"Hanya,,,?!" dengus Aron.

"Kamu bilang hanya?" ulang Aron kesal.

Leora menghembuskan napas panjang, menurunkan tangan pria itu dari bahunya.

"Aku baik-baik saja, sungguh. Pekerjaanku akhir-akhir ini cukup banyak karena beberapa pesanan yang aku terima, dan aku tidak bisa tidur dengan benar yang membuatku bermimpi buruk, itu saja," jelas Leora.

"Kamu tidak mengatakan kebenaran sepenuhnya, bukankah begitu?" tanya Aron menatap lekat mata wanita di depannya.

Cara Aron menatap membuat Leora memalingkan wajahnya. Aron tertawa pelan sebelum mengulurkan tangan untuk meraih dagu Leora dan mengarahkan wajahnya hingga pandangan mereka saling bertemu.

"Jangan lupakan satu hal ini Lea, aku mengenalmu jauh lebih baik dari siapapun yang kamu kenal. Aku tidak berniat untuk mendesakmu. Tapi, jika kamu ingin berbohong, jangan lakukan di depanku, karena aku akan segera tahu setelah kamu mengatakannya," tutur Aron lembut.

"Dan jika kamu memang tidak ingin mengatakan hal itu, aku tidak akan memaksamu, aku juga tidak akan bertanya mengapa," Aron menambahkan.

Leora terdiam, menepis lembut tangan pria yang masih berada di dagunya dan memalingkan wajah lagi, tidak yakin bagaimana harus bereaksi. Sebelum keheningan berlangsung lebih lama, pintu dapur terbuka.

"Suara apa itu tadi?" Monic bertanya panik.

"Aku tidak sengaja menjatuhkan gelas," jawab Leora.

"Apakah Anda terluka?" tanya Monic khawatir menghampiri atasannya.

"Tidak," jawab Leora singkat.

"Saya akan membersihkannya, sebaiknya Anda beristirahat," saran Monic.

"Tidak perlu sampai seperti itu Monic, aku bisa melakukannya sendiri," jawab Leora.

"Anda sudah terlihat tidak sehat sejak pagi," sanggah Monic.

"Bagus sekali bukan? Kamu memintaku istirahat sementara kamu sendiri memaksakan dirimu sendiri," ucap Aron.

"Apakah menurutmu itu adil?" sindirnya.

"Kenapa sekarang kalian berdua menyerangku?" protes Leora.

"Karena kamu sangat keras kepala!" jawab Aron.

"Maaf, Nona. Namun, saya sependapat," timpal Monic.

"Baiklah,,, Aku turuti kalian, kalian senang?" sungut Leora.

Aron tersenyum penuh kemenangan, sementara Monic hanya mengelengkan kepala melihat atasannya dan pria yang menjadi pemilik cafe di sebelah toko sang atasan lebih sering adu argumen namun saling peduli satu sama lain.

Leora bangun dari duduknya, ingin bersantai di sofa yang di sediakan toko miliknya. Namun, ketika ia mencapai pintu, penglihatannya kembali berkabut, kepala berdenyut lebih kuat dan tenaganya tiba-tiba terkuras begitu saja.

Leora terhuyung, kehilangan keseimbangan dengan pandangan yang berubah hitam kelam. Sebelum tubuhnya terjatuh menyentuh lantai, sepasang tangan kokoh telah menangkapnya.

"LEA,,,,!!!"

...\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=...

Leora mencengkram kepalanya dan mengerjap. Mencoba untuk kembali membuka matanya dan tersentak menyadari dirinya tidak berada di dapur toko, melainkan hutan yang memiliki warna serba hitam.

Tangannya merasakan kembali sebuah lilitan yang menekan kuat pergelangan tangan kirinya.

' Tidak mungkin,,, Mustahil,,, Kenapa aku bisa berada di sini? Tempat apa ini sebenarnya? Jangan katakan padaku setelah ini akan ada _,,,'

Kalimat dalam benaknya terputus saat ia melihat sosok hitam di kejauhan mendekat ke arahnya.

. . . . . .

. . . .. .

To be continued....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!