NovelToon NovelToon

Heartbeat

1.

"Honey, apakah dia akan datang? " Christian menggenggam erat tangan sang istri, Alya. Keduanya duduk di barisan paling belakang guna menyambut kedatangan seseorang.

Hari ini adalah pernikahan ulang antara Dylan keponakannya dan Jesselyn. Ah bahkan Alya melewatkan momen Yara berjalan menuju altar membawa keranjang berisi cincin pernikahan orang tuanya.

Pernikahan di selenggarakan di kediaman pribadi Carl Sebastian di Singapura.

Alya sudah tidak bertemu putra semata wayangnya hampir setahun. Setelah lulus senior highschool Dyon memutuskan masuk universitas, ambil jurusan otomotif di Jerman. Biasanya Dyon akan berkunjung setiap pergantian musim. Namun kali ini belum juga pulang.

Dengan berat hati Alya menyetujui kepindahannya, semua demi kebahagiaan Dyon. Padahal ia berharap bisa merawatnya lebih lama lagi. Namun ternyata Dyon dewasa lebih cepat dari perkiraan.

"Dia bilang akan hadir. Tenanglah sayang, aku yakin dia menepati janji. " Christian berusaha menenangkan Alya.

Christian masih belum bisa memberitahu istrinya perihal kegiatan baru Dyon yang berbahaya. Bisa-bisa Alya terkena serangan jantung jika tahu. Bagaimana tidak? Dyon adalah buah hati mereka satu-satunya. Tentu Alya, Christian dan keluarganya tidak ingin terjadi hal buruk menimpa Dyon.

Dyon baru berusia delapan belas meski sudah berada di tahap akhir pendidikan universitas. Ya, Dyon selalu akselerasi sejak Elementary hingga senior highschool. Jika teman-temannya menghabiskan dua belas tahun untuk belajar, Dyon cukup di angka sembilan. Katakanlah Dyon memang cerdas dengan IQ seratus delapan puluh. Sejak kecil dia sangat menyukai ilmu Sains, matematika dan dunia otomotif tentunya.

Baru di saat usianya legal Dyon berani mengambil tindakan untuk melakukan hobi sekaligus sumber pemasukan mandirinya.

Suara tepukan tangan memeriahkan acara wedding kiss keduanya, bertepatan dengan kemunculan pria muda dari arah belakang taman.

"Dyon... " Alya menoleh kemudian berdiri untuk memeluk anaknya.

"Mama merindukanmu sweetheart." Gumam Alya menahan agar cairan bening di pelupuk matanya tak terjatuh.

"Ya, aku juga ma. Maafkan aku." Suaranya begitu berat mengalun indah.

Dyonisius Olrigo ( Oliver x Rodrigo ) adalah pria dengan bola mata brown, rambut pirang, tingginya bahkan satu koma sembilan meter. Perutnya sixpack dan otot lengannya luar biasa kekar. Banyak gadis-gadis di kampusnya mengejar, berusaha mendekati hingga memimpikan menjadi kekasihnya. Sayang, Dyon sangat cuek tak tersentuh.

Hanya ada satu gadis yang berhasil mencuri perhatiannya selama ini, yaitu Hanna Rodiles gadis sebayanya. Hanna memang asli warga negara Jerman. Ia merupakan putri angkat pasangan suami-istri pemilik eibtaler Hof, peternakan terbaik di Berlin.

Hanna dan Dyon sama-sama mengikuti mata kuliah ilmu ekonomi di techinal university of Munich. Pertemuan mereka terjadi ketika Dyon dan Hanna duduk bersebelahan di aula.

"Sepertinya aku harus pindah." Gumam Hanna masih bisa di dengar Dyon. Semua mata tertuju padanya hanya karena Dyon memilih bangku di sampingnya.

"Just stay! " Perintah Dyon, sesaat Hanna terpaku mendengar suara Dyon. Pantas semua gadis memujanya, pikir Hanna yang mengangguk lalu fokus membaca buku hingga kedatangan Profesor.

"Sapalah kakak sepupu mu Dyon, lalu Grandpa dan Grand ma." Christian menepuk punggung Dyon lembut setelah pelukan terurai.

"Baik pa. " Ketiganya berjalan mendekat ke arah altar, dimana semua keluarga bergantian mengucap selamat.

"Kak Dyon... " Suara gadis remaja cantik berhamburan memeluk tubuh jangkung Dyon. Itu Givi putri Theo dan Daniar.

"Givi, apa kabarmu? " Tanya Dyon mengusap lembut kepala Giverny.

"Baik kak, kenapa baru pulang? " Giverny memicingkan mata menyelidik.

"Banyak tugas kampus. Ayo kita makan." Ajaknya menyunggingkan senyum manis.

Dyon biasanya bersikap dingin pada siapa saja, hanya Givi yang mampu meluluhkan hatinya. Kadang Alya dibuat khawatir oleh sikap anaknya, apakah Dyon menyukai Giverny? Namun sejauh ini tidak ada prilaku menyimpang Dyon yang menunjukkan ketertarikan secara emosional pada putri Theo itu.

"Kak, ceritakan bagaimana kampus? Apa kau menyukai seseorang? " Giverny berceloteh sejak tadi sambil menikmati sosis panggang berukuran besar. Dan tentu Dyon yang memotongnya menjadi kecil-kecil. Bahkan tak sungkan menyeka noda saus di sudut bibir Giverny.

"Hem, ada. Tapi dia tidak ramah sepertimu." Jawab Dyon jujur.

"Wah pasti dia gadis yang cantik, mungkin dia cuek karena kakak bersikap dingin padanya. " Kemungkinan benar pemikiran Giverny, hanya saja Dyon masih enggan menjalin hubungan asmara di usia dini. Terlalu rumit dan merepotkan. Lebih baik ia fokus memulai karir.

"Kapan-kapan ajak dia berlibur ke Paris. Aku ingin mengenalnya. " Giverny merengek manja memeluk lengan kekar Dyon. Pria itu tersenyum simpul tak ingin menanggapinya.

****

"Hanna, bisa kau belikan aku benang woll dengan beberapa warna? " Nyonya Hof memberi Hanna catatan beserta seikat uang pecahan lima puluh dolar.

"Baiklah nek. " Meski Hanna tahu itu hanya sebuah alasan ia tetap menerima tugas dari Sunny Hof, istri tuan Albert Hoffmann.

"Hati-hati." Teriak Sunny ketika Hanna berjalan mendekati wrangler SUV hitam miliknya. Itu adalah hadiah dari tuan dan nyonya Hof untuk Hanna karena berhasil masuk universitas jalur beasiswa. Juga ketekunannya membantu mengelola peternakan.

"Dia sudah pergi? " Tuan Hof keluar, keduanya berdiri di beranda mengamati kepergian Hanna.

"Ya, semoga mereka tidak bertemu. Atau Hanna akan terjebak. " Raut kesedihan tergambar di wajah renta Sunny.

"Apa belum ada kabar dari calon pembeli itu? " Tanya tuan Hof. Biasanya dia lebih fokus mengatur pekerjaan di peternakan. Untuk urusan laporan dokumen dan lain-lain istrinya paling jago.

"Masih menunggu keputusan. Harus tanya cucunya suka atau tidak baru membeli." Ya, mereka berdua sepakat lebih baik menjual secepatnya peternakan agar semua berjalan Damai.

"Gerald pasti akan terus mengancam Hanna. Aku kasihan padanya. " Lirih Albert mengingat putra semata wayangnya yang selalu mengincar Hanna jika berkunjung.

"Semoga setelah ini terjual, Gerald akan berhenti." Tambah Albert. Rencananya mereka ingin membagi dua hasil penjualan untuk Gerald dan Hanna.

Hanna Rodiles merupakan cucu dari sahabat sunny dan Albert. Sebelum wafat kakek Hanna menitipkannya sejak usia Hanna sepuluh tahun. Tahun yang begitu menyedihkan baginya. Hanna kehilangan kedua orang tuanya akibat kecelakaan pesawat. Sementara kakek yang sudah tua sering sakit-sakitan dan tutup usia enam bulan kemudian. Tak tega melihat Hanna hidup sebatang kara Sunny pun akhirnya setuju mengadopsi Hanna secara resmi.

Hanna mengendarai mobilnya menuju pusat kota, ia berpapasan dengan Gerald di jalan utama pedesaan. Sudah pasti paman angkatnya ingin menemui ayah dan ibunya. Apalagi, meminta peternakan agar beralih menjadi miliknya. Kalau tidak Gerald akan mengirim Hanna ke rumah bordir.

"Bajingan itu! " Umpat Hanna. Kali ini ia tak mau mengalah, Hanna banting stir berbalik arah mengejar Gerald.

Hanna selalu selamat karena selama ini ia tinggal di asrama milik kampus. Kebetulan sekarang sedang libur akhir musim panas. Jadi ia memutuskan cuti bekerja dan mengunjungi orang tua asuhnya.

Tin tin...

Brak...

Terdengar bunyi mobil yang saling bertabrakan.

"Shit." Umpat Gerald ketika mobil Hanna menabrak bagian belakang mobilnya. Dia keluar dengan amarah memuncak.

"What the hell are you doing Rodiles? " Teriak Gerald sambil menggedor jendela mobil meminta Hanna keluar.

"Hai uncle Ge. Maaf aku tidak lihat ada mobil di depanku." Hanna sengaja menampilkan deretan giginya yang berjejer rapi dan bersih.

Gerald adalah pria matang berusia tiga puluh lima, dia tergolong rupawan meski kulitnya sedikit tan. Sementara Hanna, dia bertubuh sintal bak model profesional. Namun dia selalu menutupi kemolekannya menggunakan kemeja kebesaran dan celana jeans belel atau kargo. Setiap paginya Hanna akan berlari sebelum memulai kegiatan beternaknya saat tinggal di kediaman Hoffmann.

Gerald tidak suka kehadiran Hanna sejak awal. Dia bahkan memilih tinggal di kota untuk menghindarinya.

"Kau sengaja Rodiles aku tahu itu. Tunggu saja pembalasanku. " Gerald berbalik tanpa memperpanjang masalah mereka. Padahal bagian belakang mobilnya penyok.

"Uncle, kau harus jadi pria baik." Gumam Hanna menatap kepergian Gerald.

Lantas apakah Hanna membenci Gerald? Jawabannya tentu tidak, dia sangat menghormati keluarga Hoffmann yang sudah mau mengasuhnya. Selama Gerald tidak mengganggunya Hanna akan terus menahan diri. Sebisa mungkin tidak membuatnya marah.

Hanna kembali mengemudikan mobilnya menuju pusat kota. Menikmati semilir angin di sepanjang jalan. Hanna merindukan kegiatan berbelanja setiap pulang kampung.

ketika dia turun dari mobil, tatapannya langsung tertuju pada pria muda bertubuh tinggi dan kekar. Dia berjalan bersama pria tua, kemungkinan kakeknya keluar dari coffeeshop.

Niat hati ingin menyapa, Hana hanya bisa termangu di lewati olehnya begitu saja. Tak mau ambil pusing, Hana memilih masuk ke dalam untuk membeli americano ice sebelum berbelanja titipan nyonya Hof.

"kalian saling kenal? " tanya sang kakek sempat melirik ke belakang, penasaran akan sosok gadis barusan.

"hanya anak kampus yang sama." jawabnya acuh.

"Dyon, Grandpa harap kau bisa memiliki banyak teman seperti kakak sepupu mu Dylan." menasehati pelan-pelan adalah jurus jitunya membimbing cucu, guna menjadi pria sejati calon pemimpin perusahaan sang ayah kelak.

"baik tuan Rodrigo. aku mengerti." Balasnya tetap bersikap sopan pada kakek dari pihak ibu.

2.

Sebagai hadiah ulang tahun ke sembilan belas, Rodrigo menyiapkan kado amat mahal untuk Dyon cucunya. Mereka bahkan terbang jauh ke Berlin dari Paris demi survey langsung tempatnya.

"Selamat datang di tempat kami tuan Rodrigo, dan tuan Dyon." Sambut pasangan suami istri pemilik yang hendak menjual lahannya.

"Terima kasih, tuan dan nyonya Hoffmann. Tempatmu lebih bagus dari sebuah foto di website. " Puji Rodrigo usai berjabat tangan, tak lupa Dyon juga melakukannya demi sopan santun.

"Kami akan mengajak anda berkeliling, mari." Sunny mempersilahkan tamu penting mereka meninggalkan beranda menuju kandang kuda, tempat latihan hingga padang  rumput sebagai pakan alami.

Sementara di sebuah kamar, seorang pria tengah sibuk mengacak-acak isi lemari pakaian. Mencari benda yang sangat ingin dia miliki, apalagi kalau bukan sebuah dokumen bernilai tinggi.

"Sial, dimana Rodiles menyembunyikan sertifikat itu? Bahaya jika dia yang menyimpannya." Umpat nya, yang tak lain adalah Gerald.

Mendengar sebuah percakapan samar-samar, Gerald bergegas keluar mencari sumber suara. Ternyata niat orang tuanya menjual peternakan kuda bukan omong kosong belaka. Buktinya sudah ada calon pembeli di sana.

"Fuck Hoffman! " Gerald menggeram kesal memperhatikan keempatnya dari jauh. Tampak berbicara serius guna mendapat kesepakatan.

Sejujurnya Gerald tidak benar-benar dalam mengancam Hana. Dia hanya tidak ingin Hana keluar dari keluarga Hoffman. Maka dari itu Gerald perlu memegang satu-satunya alat untuk mengancam Hana maupun orang tuanya. Jika sudah laku, Gerald akan kehilangan satu-satunya alasan untuk tetap dekat dengan Hana.

Ya, Gerald memiliki perasaan pada gadis yang di asuh oleh orang tuanya sendiri. Sejak memasuki rumah, Gerald sudah terpikat pada Hana kecil yang saat itu berusia sepuluh tahun.

Yang pasangan Hoffman pikir, Gerald menginginkan tempat itu karena tak mau berbagi dengan Hana soal warisan. Nyatanya putra mereka telah jatuh cinta pada adik angkatnya. Gerald tidak kekurangan uang sama sekali, dia memiiki dua jalur pemasukan. Baik bersih maupun kotor.

"Aku terserah cucuku. Jika dia suka aku akan membeli nya. " Kesimpulan Rodrigo di akhir perbincangan. Mereka tengah mencicipi susu pasteurisasi hasil dari peternakan. Selain kuda, ada juga sapi.

"Kami ambil. Terima kasih grandpa. " Ucap Dyon, keputusannya sudah bulat tentang rencana pengembangan kedepannya.

"Ge, kemarilah! Mereka adalah pemilik baru peternakan kita." Teriak Tuan Albert sengaja, meminta anak semata wayangnya mendekat.

"Dia Gerald Hoffman, putra kami." Kata Sunny memperkenalkan Gerald pada Rodrigo dan Dyon.

Dyon merasa familiar melihat wajah Gerald yang tampak dingin dan menyeramkan. Dia perlu mencari tahu informasi mengenai pria yang kini berdiri angkuh, kedua tangannya berada di dalam saku jaket kulitnya.

"Sayang sekali, aku tidak berniat menjualnya. Kalian pulang saja! " Perintah Gerald seenaknya. Dyon mengernyit heran, apa maksud pria itu?

"Maaf tuan Gerald, tapi orang tua anda sudah setuju. Lagi pula semua dokumen sudah berada di perjalanan menuju kantorku, uangnya sudah kami transfer barusan. " Rodrigo menjelaskan secara terperinci proses jual beli tersebut bukanlah sebuah permainan.

"Oh ya? Kita lihat saja, aku akan mengajukan gugatan pengadilan untuk mendapat kembali apa yang menjadi milikku." Tatapan tajam Gerald tertuju pada orang tuanya. Dia marah, kenapa mereka tega menjual rumah penuh kenangan sejak dirinya bayi.

"Cukup Ge! Ini masih atas nama diriku. Aku yang berhak mengaturnya." Sunny juga tak rela sejujurnya, tapi ini semua demi ketentraman masa depan Hana maupun Gerald.

Di tengah suasana tegang, deru mobil Hana mengalihkan perhatian semua orang. Keterkejutan tampak jelas dalam sorot mata Dyon, namun segera ia berhasil mengendalikan dirinya.

"Nek, kakek, uncle ada apa? " Tanyanya polos, melihat sekilas entitas pria dingin berdiri diantara keluarganya.

"Hana, maaf. " Satu kata dari mulut kakek Albert sudah mampu menjelaskan maksud pertemuan itu. Hana sedih, bagaimana bisa mereka menjualnya dengan mudah?

Dengan begitu Gerald akan semakin membencinya.

"Ini semua gara-gara kau Rodiles! " Gerald bergegas mendekat, menarik paksa lengan Hana menjauh menuju taman belakang rumah. Langkah kakinya nyaris tak seimbang mengikuti kecepatan Gerald.

"Uncle lepas, sakit. " Pinta Hana berusaha melepaskan cengkraman Gerald. Kantung belanjaan berbahan karton bahkan tergeletak begitu saja di hadapan Dyon.

Ingin rasanya Dyon menyusul mereka, menyelamatkan Hana dari sikap keras pria yang ternyata pamannya.

"Nona tadi satu kampus dengan cucuku." Beritahu Rodrigo, dia bisa melihat kedua tangan Dyon mengepal kuat seakan tengah menahan amarah.

"Hana adalah putri asuh kami, dia juga membantu mengurus saat sekolahnya libur." Ungkap Sunny menjelaskan.

"Jika berkenan, anda dan tuan Dyon bisa menikmati makan malam di rumah kami. Ada dua kamar kosong di paviliun, seharusnya nyaman untuk menunggu esok hari. " Albert menawarkan penginapan demi memecah suasana canggung.

Dyon berjongkok, merapikan isi belanjaan Hana yang berceceran. Dia sempat memegang bra berenda yang masih terbungkus plastik. Dari ukuran Dyon tahu itu milik Hana.

"Grandpa bisa kembali ke hotel bersama Driver. Aku masih ingin melihat-lihat." Dyon menjawab lebih dulu dibanding Rodrigo.

"Baiklah, enjoy your time. Aku akan pamit." Setelah menepuk punggung sang cucu, Rodrigo lantas beranjak menuju tempat parkir. Tak lupa berpamitan pada suami istri Hoffman.

Dyon malah mencari keberadaan Hana dan pamannya. Menuju taman belakang rumah, pemisah antara kediaman utama dan Paviliun.

"Uncle, ini salahku. Seharusnya aku tidak mengirim dokumen begitu saja, tapi mereka bilang untuk memindahkan atas namamu." Sejak tadi Hana berusaha meyakinkan Gerald yang marah besar, ternyata benar Hanalah yang menyimpan sertifikat tanah selama ini.

"Dengar Rodiles, sejak kau menginjakkan kaki dirumah ini hidupku jadi berantakan. Aku terpaksa keluar dari rumah, kehilangan hakku atas tanah ini dan kau... " Tangan Gerald terayun ke arah leher Hana untuk mencekik, namun segera Dyon menahannya erat.

"Jangan sentuh dia! " Kata Dyon penuh penekanan. Maksudnya, Dyon tidak suka ada pria berani memukul seorang gadis. Apalagi Hana sepertinya bersikap baik pada Gerald.

"Kau hanya orang asing yang tidak tahu apa-apa. Pergi kau! " Balas Gerald tak mau kalah.

Gerald hendak melayangkan tinju ke wajah Dyon jika Hana tidak melerai.

"Stop uncle! " Teriak Hana. "Tolong jangan lakukan itu, dia temanku. " Aku Hana. Dia merutuki ucapannya, bisa-bisa Dyon marah karena dia sok akrab padanya.

Gerald tidak suka Hana membela pria lain di hadapannya. Tak ingin kecemburannya terbongkar, dia akhirnya memilih pergi meninggalkan mereka berdua.

"Tolong maafkan Gerald. Dia pria baik, hanya... "

"Emosi." Potong Dyon dingin.

"I guess, ya. " Lirih Hana hampir tanpa suara.

"Dyon... " Panggil Hana menghentikan langkah Dyon yang ingin pergi. " Selamat, karena kau telah menjadi pemilik baru peternakan ini." Lanjutnya.

Tak ada tanggapan dari pria itu, membuat Hana mendesah frustasi. Dyon memang tipe pria dingin dan irit bicara. Padahal Hana hanya berniat menjalin keakraban.

***

Menjelang malam harinya, Hana membantu Sunny memasak di dapur. Membuat pizza homemade, apple pie, hingga menata meja makan. Katanya dinner kali ini spesial, tapi Hana tidak banyak bertanya.

"Hana, panggil temanmu untuk makan bersama. " Perintah Albert, dia baru dari gudang anggur setelah setengah jam memilih yang terbaik untuk menyambut pemilik baru.

"Teman? " Hana belum mengerti.

"Ya Tuhan anak ini,,, " Sunny memukul lengan Hana yang kini mengaduh pura-pura kesakitan.

"Teman kampusmu, dia pemilik baru tempat ini Hana. Tuan Dyon ada di paviliun nomer satu, cepat panggil." Hana pikir Dyon sudah pergi sejak tadi, ternyata dia tinggal.

"Baiklah nek. " Akhirnya Hana pasrah menuruti.

Hana menyusuri jalan setapak menuju paviliun. Ia begitu cantik meski hanya mengenakan crop rajut putih dan celana bahan berwarna senada. Ada tiga kamar yang biasa di sewakan ketika pengunjung merasa terlalu malam untuk kembali ke kota. Dyon memutuskan menginap hanya demi melihat Hana lebih lama.

Entahlah, dia merasa penasaran terhadap gadis itu.

Tok tok tok...

Sudah tiga kali Hana mengetuk pintu, namun tidak ada sahutan dari dalam. Alhasil Hana membukanya begitu saja.

"Sorry... " Segera Hana berbalik saat melihat Dyon baru selesai mengenakan kain pembungkus miliknya.

"Kau ternyata lebih tidak sopan dari yang aku kira, nona Hoffman. " Sindir Dyon tanpa ragu. Tangannya tetap bekerja, memakai kaos dan celana bahan hitam.

"Um, ya. Itu salahku, sungguh maafkan aku." Hana mengakui attitudenya tadi memalukan.

"Apa kau juga sering melihat pamanmu bertelanjang? " Hana membalikkan badan, melayangkan tatapan tajam pada Dyon.

"Kami tidak tinggal satu atap, jangan asal menghina." Tak Terima, Hana memberanikan diri melawan Dyon si dingin dan kaku.

"Pergilah, aku akan menyusul." Malas berdebat, Dyon mengusir Hana dari kamarnya.

Tanpa kata Hana keluar dengan membanting keras pintu kamar. Dia benar-benar marah pada Dyon yang sok tahu, merendahkan dirinya seenak jidat.

"Ya Tuhan, dia pikir dia siapa? Menyebalkan." Tangannya mengepal memukul udara melampiaskan kekesalan.

"I can hear you... " Suara Dyon terdengar mendekat dari arah belakang.

"Whatever." Balas Hana memutar bola matanya jengah.

Sudut bibir Dyon tertarik melihat tingkah seorang Hana Rodiles. Dia sangat menikmati suasana di tempat baru miliknya.

3.

Makan malam di dominasi oleh cerita seru pasangan Hoffman. Mulai dari awal mereka saling mengenal hingga menua bersama mengurus peternakan. Ada gurat sedih di wajah keduanya kala mengingat Gerald yang sudah tidak pernah tinggal di rumah mereka.

"Lalu kalian akan tinggal dimana setelah ini? " Hana juga ikut sedih memikirkan nasib keluarga asuhnya.

"Tenang saja Nana, kami masih memiliki rumah di desa asal Sunny. Kau ingat pernah menginap di sana sebelum masuk asrama?" Perkataan Albert sontak membuat Hana menggebrak meja saking antusias.

Dyon yang sejak tadi fokus memandangi Hana sampai terlonjak kaget dibuatnya.

'Gadis ini' batin Dyon, untung dia tidak memiliki riwayat jantungan.

"Benar kek, wah tempat itu memang indah. Dyon kau harus melihatnya juga." Tangannya secara refleks menyentuh lengan berotot Dyon.

"Ehem, kau mau aku membelinya juga?" Pancing Dyon bermaksud menolak ajakan Hana.

"Tidak perlu! Kau menyebalkan." Pasangan Hoffman hanya tertawa melihat tingkah keduanya. Yang satu seperti api, membara. Si pria bagai air di Kutub Utara, dingin dan kaku.

"Hana, tidak perlu membantu. Pergi ke kamar jangan lupa kunci pintu." Sunny menyuruh Hana pergi tidur karena sejak tadi mulai menguap. Sementara peralatan makan yang kotor biar menjadi urusannya.

"Aku akan membantu." Dyon menawarkan diri.

"Mustahil, haha... " Hana malah tertawa mengejek mendengar ucapan pria di sampingnya.

"Bukan masalah besar, atau kau memang tidak pernah melakukannya nona Hoffman." Lagi-lagi Hana di buat kalah telak oleh Dyon.

"Terserah kau saja." Saking kesalnya Hana benar-benar tidak berniat membantu. Dia berlarian masuk kedalam.

Padahal Dyon hanya beralasan, dia ingin tahu dimana letak kamar Hana jika membantu mengantar cucian piring ke dapur. Ternyata gadis itu menempati kamar di loteng.

"Tuan Dyon, kau bisa mengambil kebutuhan apapun di Dapurku. Aku tidak akan mengunci pintu." Kata Sunny memberitahu sebelum dia mulai membilas piring untuk di masukkan ke dalam mesin pencuci.

"Terimakasih nyonya Hoffman. "

"Panggil saja Sunny. " Sunny meralat.

"Thanks Sunny, aku pamit." Dylan keluar melalui pintu belakang rumah.

Hana merebahkan tubuhnya diatas tempat tidur tanpa dipan. Hanya ada tikar bambu sebagai alas kasur. Kamar ini tempat ternyaman baginya, meski ia harus selalu waspada dengan mengunci kamar demi selamat dari Gerald. Bisa saja sewaktu-waktu pamannya pulang dalam keadaan mabuk dan menyelinap masuk. Sungguh Hana tak ingin hal buruk menimpa mereka berdua.

Hana tertidur dengan mudah setelah perutnya terisi penuh. Ia bahkan lupa mengunci pintu tidak seperti biasanya.

Di tengah malam, entah mimpi atau memang benar nyata. Hana merasa ada satu sosok menyelinap masuk dan perlahan duduk di tepi ranjang. Dia diam mengamati wajah cantik Hana yang terlelap.

"Nana... " Gumamnya lirih sekali, tangannya bergerak mengelus lembut pipi Hana.

Hana menggeliat merasa terusik oleh sentuhan itu. Matanya terbuka sedikit kalah oleh kantuk.

"Dyon? " Panggil Hana antara percaya dan tidak, kenapa pria itu ada di hadapannya sekarang.

"Tidur lagi." Katanya, suaranya mengalun indah di telinga Hana yang malah tersenyum padanya.

"Dingin, peluk aku." Entah dorongan dari mana Hana begitu berani menarik Dyon hingga jarak mereka begitu dekat. Mata bertemu mata, hidung hampir bergesekan. Degup jantung keduanya terdengar oleh satu sama lain.

"Nana kau yang memancing ku. " Bisik Dyon, nafasnya memburu seakan menahan gejolak memuncak. Libidonya benar-benar meningkat.

Dyon akhirnya mengecup bibir Hana sekali, rasanya yang manis membuatnya ketagihan hingga berakhir menjadi lumatan-lumatan kecil. Hana seperti sedang bermimpi, diapun turut membalas tak kalah bergairah. Namun tak lama Dyon mendengar dengkuran halus Hana, dia kembali tertidur. Dia terkekeh geli.

Esoknya, Hana terbangun cukup siang. Dia melewatkan sarapan pagi. Sunny dan Albert begitu menyayangi Hana, mereka tidak pernah memaksanya membantu kegiatan rumah tangga. Hana sendiri yang berinisiatif mengerjakan beberapa tugas, seperti memasak, merapikan rumah juga mengurus peternakan.

"Nek, dimana Dyon? " Mengingat samar mimpinya semalam, Hana ingin bertanya pada Dyon kebenarannya.

"Dia kembali ke kota larut malam. Katanya ada urusan mendadak." Jawab Sunny, wanita tua itu tengah duduk santai di sofa merajut sambil menonton berita.

"Oh... " Hana hanya ber oh ria, berarti tebakannya benar jika semalam hanya mimpi.

"BREAKING news. Pengusaha berlian Rodrigo di kabarkan masuk rumah sakit akibat kecelakaan mobil di jalanan kota Berlin. Besar kemungkinan hal tersebut di sengaja. Kita akan menunggu hasil investigasi dari pihak kepolisian, sekian." Kebetulan mereka mendengar berita televisi mengenai kecelakaan kakeknya Dyon.

"Nek, aku harus pergi. " Buru-buru Hana mengambil kunci mobil di atas drawer sepatu. Ia sampai mengabaikan panggilan Sunny.

"Kumohon uncle bukan kau orangnya." Gumam Hana mulai menyalakan mesin mobil.

Hana takut Gerald bertindak sadis dengan merencanakan kecelakaan mobil tuan Rodrigo karena telah membeli peternakan. Bagaimana jika Dyon membencinya gara-gara hal tersebut? Tidak bisa, Hana terlanjur menyukai Dyon.

Meski hanya sebuah mimpi tapi Hana menyukai sikap hangat Dyon. Biasanya dia dingin dan cuek padanya. Tapi semalam, Dyon bahkan tersenyum manis sekali. Hal yang amat jarang Hana lihat.

Untungnya Hana tahu dimana tempat Gerald menghabiskan waktu senggangnya. Dia mendatangi cafe di sebrang pusat kebugaran. Pria itu memang di sana, sedang mengobrol serius dengan anak buahnya.

Hana tahu Gerald merupakan seorang berpengaruh di Berlin, bisa dibilang cukup ditakuti para penjahat kelas teri disana.

"Uncle! " Panggil Hana dengan nafas memburu. Anak buahnya langsung mengundurkan diri, membiarkan bos mereka mengobrol.

"Sekarang apa, Rodiles?" Gerald memalingkan wajah tak ingin menatap Hana.

"Kau melakukannya, jangan sakiti Dyon ataupun kakeknya! Jika kau marah, lampiaskan saja padaku. " Ucap Hana penuh penekanan juga mengancam.

"Kau hanya gadis ingusan Rodiles, tidak perlu ikut campur terlalu jauh." Peringat Gerald, sebelumnya dia berdiri menggebrak meja.

"Uncle, aku tidak akan mengambil apapun yang bukan menjadi milikku, kau tenang saja. Tapi kumohon jangan menjadi orang jahat. " Ini yang paling tidak Gerald suka, Hana selalu menganggapnya pria jahat. Mata itu penuh kemarahan tertahan.

Bisakah Hana bersikap lembut padanya? Gerald frustasi berurusan dengan makhluk bernama wanita.

"Kembali ke asrama Rodiles! Tempatmu bukan disini." Perintah Gerald lalu keluar meninggalkan Hana. Hana lantas mengejarnya, berniat meminta Gerald meminta maaf pada keluarga Dyon.

Tapi sekelompok orang bertubuh kekar tiba-tiba turun dari mobil, menyerang Gerald beserta anak buahnya. Tak ingin membahayakan Hana, Gerald mengeluarkan senjata dari balik jasnya.

"Tetap berada di belakangku! " Bisik Gerald.

"Uncle siapa mereka? Apa suruhan tuan Rodrigo? " Hana berdiri ketakutan, tangannya yang gemetar mencengkram lengan Gerald.

"Jangan sampai gadis itu terluka! " Suara seseorang memerintah melalui earpod para penyerang.

Gerald tidak bisa menarik pelatuk begitu saja, jadi dia berkelahi dengan tangan kosong memberi perlawanan.

"Run Hana! " Teriak Gerald pada Hana.

Hana hanya perlu menemui Dyon, meminta maaf atas nama pamannya. Meski itu akan sulit. Dia akhirnya memutuskan pergi dari sana, berlari menuju rumah sakit pusat kota yang tak jauh lagi.

Namun tubuhnya malah menabrak pria yang berdiri angkuh di samping mobil. Tatapannya menjadi tajam terhadap Hana yang mencoba menetralkan nafas.

"Dyon,,, " Dadanya masih naik turun akibat berlarian. "Tolong maafkan pamanku, bagaimana kondisi tuan Rodrigo? " Lanjutnya.

Dyon hanya diam tak menjawab, perasaannya menjadi campur aduk berhubungan dengan Hana.

"Nona Hoffman, ah maksudku Rodiles. Jika kau tidak ingin terkena imbas, lebih baik buang nama belakang sialan itu!" Hana merasa Dyon membencinya karena ia merupakan keponakan Gerald.

"Maaf, atas nama uncle aku minta maaf Dyon." Setetes cairan bening membasahi pipi Hana, Dyon refleks mengusap sisanya di sudut mata.

"Nana,,," Hana menunggu ucapan Dyon selanjutnya, " GO! " Dia menoleh ke belakang, lalu seorang perempuan menarik paksa Hana menjauh. Hana di masukkan ke mobil milik Dyon dan pergi dari tempat itu.

"Turunkan aku! " Pinta Hana berusaha membuka pintu, lalu ia menoleh ke belakang melihat Dyon mulai mendekati Gerald yang ternyata sudah di kepung.

"Nona, berbaliklah! " Saran Perempuan di sebelah Hana.

Hana menutup mulutnya tak percaya ketika Dyon memukul pelipis Gerald menggunakan moncong senjata miliknya. Gerald langsung terkapar di atas jalan.

"Bawa dia! " Kata Dyon dingin.

Hana semakin merasa bersalah. seharusnya dia tidak menuruti permintaan Sunny, mengirim dokumen itu ke alamat yang ternyata kantor tuan Rodrigo di Paris. andai saja dia tidak melakukannya, Gerald tentu tidak akan mencelakai kakek dari pria yang mulai ia sukai.

"kemana? " tanya Hana datar menatap kosong ke luar jendela.

"penginapan tuan Olrigo." jawab Emma, orang kepercayaan Rodrigo dalam mengawasi Dyon tanpa sepengetahuan cucunya.

'Olrigo, nama belakangnya.' gumam Hana dalam hati, Hana bahkan tidak mengenali siapa Dyon sesungguhnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!