“Lagi-lagi kafe ini,” gumam Ethan pelan sambil membuka pintu kafe favoritnya. Aroma kopi yang khas segera menyambutnya begitu dia melangkah masuk. Kafe kecil di sudut kota ini memang tempat favoritnya sejak pertama kali pindah ke sini dua tahun lalu. Di sini, dia bisa duduk diam di sudut, baca buku atau nulis catatan kecil di jurnalnya tanpa ada yang ganggu. Suasana kafe yang tenang cocok banget buat dia yang lebih suka hidup dalam dunia sendiri.
Ethan duduk di meja paling pojok, tempat favoritnya. Hari ini dia bawa buku yang baru dia beli kemarin, sebuah novel tebal yang kayaknya bakal cukup bikin dia sibuk selama beberapa hari ke depan. Saat pelayan datang, dia langsung memesan kopi hitam seperti biasa. “Espresso, double shot,” katanya singkat. Pelayan itu mengangguk dan pergi, sementara Ethan mulai membuka halaman pertama bukunya.
Sepuluh menit berlalu, dan Ethan udah mulai larut dalam dunia cerita yang dia baca. Tapi, tiba-tiba suara ramai dari pintu depan bikin konsentrasinya pecah. Dia mendongak dan melihat seorang cewek masuk ke kafe sambil tertawa lebar. “Oh, no,” pikir Ethan dalam hati. Dari penampilannya aja, udah jelas kalau dia tipe orang yang suka ngobrol dan berisik, dua hal yang paling dihindarin Ethan.
“Hey! Aku Zoe!” seru cewek itu ke arah barista sambil melambaikan tangan. Beberapa orang yang duduk di meja terdekat langsung menoleh karena suaranya yang terlalu nyaring untuk ukuran kafe yang biasanya tenang ini. Ethan merasa telinganya mulai gatal. "Tolonglah, ini kan bukan tempat karaoke," gumamnya dalam hati.
Zoe melangkah ke arah meja kosong, tapi seperti takdir bercanda, dia memilih meja yang tepat di sebelah meja Ethan. Wajah Ethan langsung berubah sedikit panik, namun dia cepat-cepat mengubur ekspresi itu dengan pura-pura membaca bukunya lagi. "Mungkin kalau aku diem aja, dia gak akan sadar aku ada di sini," pikir Ethan.
Tapi, jelas sekali takdir hari ini nggak berpihak pada Ethan. Zoe yang sibuk menaruh tas besar berwarna kuning terang di kursi sebelahnya, tiba-tiba menoleh ke arah Ethan dan langsung tersenyum lebar. "Hei! Kamu suka baca juga ya? Aku suka banget baca novel romantis! Eh, tapi bukan yang berat-berat gitu, sih. Aku suka yang kayak... apa ya? Yang tokoh utamanya cowok ganteng terus ceweknya kuat dan mandiri. Tau kan?"
Ethan cuma bisa melongo sejenak, berusaha memproses apa yang barusan terjadi. Sejak kapan orang asing tiba-tiba ngajak ngobrol orang di sebelah meja begitu aja? "Emm... ya, suka sih," jawab Ethan ragu, matanya kembali ke halaman bukunya, berharap Zoe bakal ngerti kalau dia nggak pengen ngobrol.
Tapi Zoe jelas bukan tipe yang gampang nyerah. “Oh my God, aku nggak expect kamu jawab! Biasanya kalau aku ngobrol gini sama orang random, mereka malah kabur. Kamu orangnya cool banget sih. Apa yang lagi kamu baca?” Zoe nyodorin kepala ke arah buku yang dipegang Ethan.
Ethan, yang jelas nggak siap buat gangguan ini, terpaksa nunjukin sampul bukunya. “Ini novel klasik... thriller,” jawabnya pendek.
“Wow, keren! Aku gak pernah baca novel thriller. Bukan karena nggak suka, sih, tapi aku tipe yang suka ketawa-ketawa, bukan tegang-tegang. Aku juga gampang mimpi buruk kalau baca cerita serem. Satu kali aku baca cerita horor pas di tempat tidur, terus malamnya aku mimpi dikejar setan di mal! Absurd banget gak sih?”
Ethan hanya tersenyum kaku, setengah bingung gimana caranya menanggapinya. Dia lebih milih balik fokus ke bukunya, berharap Zoe akhirnya sadar kalau dia lebih suka sendiri.
Tapi, Zoe adalah Zoe. Dan Zoe nggak gampang nyerah. “Kamu sering ke sini ya? Aku jarang lihat kamu. Aku biasanya nongkrong di tempat yang lebih rame kayak... oh, ada satu bar di ujung jalan yang live music-nya bagus banget! Kamu suka musik?”
"Ya, kadang-kadang," jawab Ethan singkat, berusaha memotong pembicaraan biar cepat selesai. Tapi di otaknya, dia udah berpikir keras gimana caranya melarikan diri tanpa terlihat kasar.
Seperti membaca pikirannya, Zoe malah semakin penasaran. “Oh! Musik favorit kamu apa? Aku suka banget indie pop, rock juga kadang, tapi yang klasik ya. Kayak The Beatles, tau kan? Lagu-lagunya tuh timeless banget! Dulu, pacarku pernah nyanyiin Hey Jude buat aku di depan semua orang pas ulang tahun. Super cringe tapi ya ampun... aku masih inget banget!”
Ethan hampir menjatuhkan bukunya. "Tunggu. Pacarnya?" pikirnya. "Kenapa orang baru ketemu lima menit udah cerita soal mantan pacarnya?"
Zoe lanjut cerita tanpa henti, kayak mesin yang diisi baterai penuh. Ethan cuma mengangguk dan tersenyum kaku sesekali, padahal di dalam kepalanya dia udah teriak-teriak minta pertolongan. Pikirannya penuh dengan bayangan dia lari keluar kafe sambil bilang "Misi, saya mau balik ke planet saya."
Setelah sekitar lima belas menit yang terasa kayak satu jam buat Ethan, akhirnya kopi pesanan Zoe datang. “Yes! Akhirnya, penyelamatku!” batin Ethan. Dia berharap Zoe bakal sibuk sama kopinya dan ngasih dia sedikit ruang untuk bernapas.
Tapi harapannya pupus saat Zoe menyruput kopinya dan, tanpa disangka, mulai cerita tentang hidupnya yang "sangat seru" seperti acara reality show. Dari teman-temannya, acara-acara sosial yang dia ikuti, sampai keluh kesah tentang pekerjaannya sebagai social media manager. Sementara itu, Ethan cuma bisa mikir, “Kenapa aku? Kenapa hari ini?”
Namun, di tengah segala kebisingan dan cerita panjang Zoe, Ethan tiba-tiba merasa... ada yang beda. Dia ngerasa kalau Zoe, meskipun terlalu cerewet dan nggak henti-hentinya bicara, ada sesuatu di balik senyumnya. Mungkin... dia juga sembunyiin sesuatu di balik keceriaannya. Sesuatu yang belum dia tahu, tapi bikin dia penasaran.
Waktu terus berjalan, dan sebelum Ethan sadar, dia mulai sedikit lebih rileks. Mungkin, pikirnya, Zoe nggak seburuk yang dia kira. Meski ngomong terus, dia punya energi yang nggak bisa diabaikan. Ada yang bikin Ethan sedikit... tertarik. Bukan dengan kata-katanya, tapi lebih ke caranya menjalani hidup dengan sepenuh hati.
Saat Zoe akhirnya pamit dengan senyum lebar dan berkata, "Seneng ngobrol sama kamu, Ethan! Mungkin kita bisa ketemu lagi di sini?" Ethan hanya bisa tersenyum kecil dan melambai pelan.
Begitu Zoe keluar dari kafe, Ethan menarik napas panjang, merasa lega sekaligus bingung. “Apa yang barusan terjadi?” gumamnya sambil melirik ke buku yang sejak tadi nggak bisa dia nikmati. Tapi kali ini, ada sedikit senyum di wajahnya. Entah kenapa, dia nggak merasa terganggu lagi.
Mungkin, cuma mungkin, Zoe bakal jadi bagian dari harinya yang selalu tenang walaupun dengan cara yang sangat berisik.
Pagi ini, Ethan duduk di tempat yang sama di kafe itu lagi. Seperti biasa, dia memesan kopi hitam double shot tanpa gula, dan seperti biasa juga, dia membawa bukunya. Tapi ada yang beda kali ini. Dia nggak bisa berhenti mikirin kejadian kemarin—pertemuan nggak terduga dengan Zoe, cewek yang tiba-tiba aja muncul kayak badai dan ngerubah suasana tenangnya jadi kayak pasar malam.
Dia ngerasa aneh. Ethan nggak pernah betah ngobrol lama-lama sama orang asing, apalagi sama orang yang begitu rame dan ceria kayak Zoe. Biasanya, kalau ada orang yang terlalu banyak bicara, dia langsung cari alasan buat kabur. Tapi kemarin, Zoe nggak cuma bikin dia bertahan di tempat itu, dia juga... entah kenapa bikin Ethan tertawa dalam hati. Jarang banget ada orang yang bisa bikin dia ngerasa kayak gitu.
Sambil menyeruput kopinya, Ethan mencoba kembali fokus ke buku yang lagi dia baca. Tapi, setiap beberapa detik, pikirannya terus melayang ke Zoe. Kenapa ya, dia bisa sekacau itu? pikirnya. Kayaknya dia punya cerita hidup yang menarik, walaupun dia sendiri nggak yakin mau tahu lebih jauh atau enggak.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Ada notifikasi pesan masuk. Dia mengambil ponselnya dan melihat nama yang muncul di layar: Zoe (Kafe).
Tunggu... Sejak kapan dia punya nomor Zoe?!
Ethan buru-buru membuka pesan itu. Isinya simpel tapi khas Zoe.
"Hey, Ethan! Lagi di kafe gak? Aku mau nongkrong di sana lagi. Ngobrolnya seru kemarin!"
Ethan menatap layar ponselnya selama beberapa detik, bingung harus merespon gimana. Bagian dirinya pengen bilang, "Maaf, lagi sibuk," atau mungkin cuma nggak usah dibalas. Tapi ada bagian kecil dari dirinya yang, anehnya, senang Zoe ngajak dia ketemu lagi.
Setelah berjuang dengan pikirannya sendiri, dia akhirnya mengetik balasan singkat.
"Ya, lagi di sini."
---
Hampir setengah jam berlalu, dan Ethan udah hampir yakin kalau Zoe nggak bakal datang. Bagian dari dirinya lega, tapi bagian lain sedikit kecewa. Tapi, seperti biasa, saat dia mulai nyaman dalam kesendiriannya, pintu kafe terbuka lebar, dan Zoe muncul dengan semangat yang kayaknya selalu berlebihan untuk ukuran hari Senin.
"Heeey! Aku nggak nyangka kamu beneran di sini!" Zoe langsung melangkah ke meja Ethan tanpa ragu. Dia bawa minuman dingin di tangannya tepat kebalikannya dari Ethan yang selalu pesan kopi panas.
Ethan cuma tersenyum kecil. "Ya, emang sering ke sini," jawabnya pelan, berusaha kelihatan nggak terlalu antusias. Dia belum tahu pasti gimana harus menghadapi energi Zoe yang kadang terlalu besar buat ruang kecil seperti kafe ini.
Zoe duduk di kursi yang sama seperti kemarin, tepat di sebelah meja Ethan. "Aku suka tempat ini, lho. Awalnya kupikir terlalu sunyi, tapi ternyata asik juga buat ngobrol! Tuh kan, aku jadi langganan di sini gara-gara kamu," katanya sambil menyengir lebar.
Ethan hampir tertawa mendengar kata-katanya, tapi dia menahan diri. “Kafe ini biasanya tenang banget,” katanya, mencoba mengingatkan Zoe kalau tempat ini bukan tempat buat ngobrol sepanjang hari.
Tapi Zoe jelas nggak menangkap maksudnya. "Tenang itu bagus. Tapi kalau keseringan juga bisa bosan. Aku orangnya suka ngobrol sama orang. Kamu tau kan, dunia ini tuh menarik kalau kita bisa dengar cerita orang lain. Ya kayak kamu, misalnya! Pasti hidup kamu tuh penuh misteri. Kamu tipe orang yang kayaknya gak banyak cerita, tapi kalau udah ngomong, pasti dalem!"
Ethan berkedip dua kali. "Hidupku biasa aja sih," jawabnya singkat. Tapi di dalam hati, dia sedikit tersentil. Apa iya dia seserius itu? Dia selalu merasa hidupnya sederhana—nggak ada yang perlu diceritakan.
"Oh, come on! Pasti ada hal seru yang kamu sembunyiin," Zoe bersikeras sambil menyeruput minumannya. "Eh, atau jangan-jangan kamu mata-mata gitu? Terus pura-pura jadi cowok introvert padahal malamnya kamu agen rahasia yang terjun dari helikopter!"
Ethan nggak bisa menahan tawa kecil yang akhirnya lolos dari bibirnya. "Kamu nonton terlalu banyak film kayaknya," balasnya. Dia gak nyangka Zoe bakal punya imajinasi segila itu.
Zoe tertawa senang. "Hah! Akhirnya kamu ketawa juga! Aku tau pasti di dalem sana, di balik wajah serius kamu, ada cowok yang suka bercanda juga!"
Ethan cuma bisa tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Mungkin."
Obrolan mereka berlanjut. Anehnya, Ethan mulai merasa lebih nyaman sekarang. Meskipun Zoe masih rame dan cerewet, ada sesuatu yang bikin Ethan lebih santai kali ini. Mungkin karena dia udah tahu apa yang diharapkan dari Zoe, atau mungkin dia mulai terbiasa dengan energinya. Mereka mulai ngobrol soal hal-hal sederhana—tentang buku, musik, bahkan sedikit tentang pekerjaan Zoe sebagai social media manager.
"Aku sering ngurusin akun buat brand fashion gitu deh," Zoe menjelaskan sambil menggerak-gerakkan tangannya antusias. "Kadang aku harus berhadapan sama klien yang ngotot banget mau konten yang... gimana ya, cringe banget. Ya ampun, kamu harus lihat request-request mereka, deh. Pernah ada yang minta aku bikin caption kayak, 'Jadilah versi terbaik dirimu dengan outfit ini.' Aduh, aku mau nangis waktu nulisnya!"
Ethan tertawa lagi. Kali ini tawa yang bener-bener tulus. "Itu beneran?" tanyanya, hampir nggak percaya.
Zoe mengangguk heboh. "Beneran! Aku kayak, 'Kamu serius mau pakai caption itu?!' Tapi ya, klien adalah raja, jadi yaudah, mau gimana lagi."
“Kasihan kamu,” Ethan menyahut, mulai merasa Zoe cukup menarik sebagai orang yang menjalani hidup di tengah gemerlap sosial media tapi masih bisa lihat sisi konyolnya.
Mereka terus ngobrol sampai Zoe tiba-tiba menanyakan hal yang nggak dia duga.
“Eh, kamu pernah pacaran nggak sih?” tanya Zoe tanpa basa-basi, sambil ngelirik ke arah Ethan.
Ethan langsung kaku. Pertanyaan itu kayak petir di siang bolong. "Kenapa nanya gitu?" tanyanya, sedikit defensif.
Zoe mengangkat bahu sambil tersenyum lebar. “Ya penasaran aja. Soalnya, tipe kamu yang pendiem dan misterius biasanya punya cerita cinta yang... mendalam. Aku cuma pengen tahu aja, siapa tau ada cerita seru.”
Ethan berpikir sejenak sebelum menjawab. Dia gak suka ngomong soal kehidupan pribadinya, terutama tentang hal-hal kayak gini. Tapi, entah kenapa, ada sesuatu dalam cara Zoe bertanya yang bikin dia nggak ngerasa terancam.
"Ya, pernah sih... tapi udah lama," jawab Ethan akhirnya, sambil menunduk sedikit, mencoba menghindari tatapan langsung Zoe.
Zoe tersenyum sambil meminum lagi minumannya. “Hmm, sepertinya ada kisah patah hati di sini... atau jangan-jangan kamu yang patahkan hati cewek itu?”
Ethan tertawa kecil lagi, kali ini lebih lepas. "Enggak, aku yang diputusin."
"Aww, poor Ethan," kata Zoe sambil bercanda dengan nada mengasihani yang jelas-jelas dibuat-buat. "Ya, gitu deh. Hidup nggak selalu adil."
Mereka terus berbicara selama hampir dua jam penuh. Ethan, yang biasanya suka buru-buru pulang setelah ngopi, malah kali ini betah berlama-lama di kafe. Zoe mungkin cerewet dan terlalu banyak bicara, tapi dia juga bikin Ethan melihat hal-hal sederhana dari sudut pandang yang berbeda. Bukan hal yang dia alami setiap hari.
Ketika akhirnya Zoe pamit karena ada urusan, Ethan tersenyum kecil. "Sampai ketemu lagi, Zoe," katanya tanpa sadar. Kalimat yang keluar begitu saja.
Zoe mengedipkan mata. “Pasti! Aku bakal terus datang ke sini! Jangan sampai kabur ya.”
Dan saat pintu kafe tertutup di belakangnya, Ethan menyadari sesuatu.
Mungkin, Zoe bener-bener bakal jadi bagian dari harinya, walaupun dalam versi yang sangat berbeda dari apa yang dia bayangkan.
Ethan duduk di kafe lagi, tepat di meja favoritnya yang biasanya jadi tempat persembunyiannya dari dunia luar. Tapi kali ini dia merasa aneh. Biasanya, duduk sendirian dengan kopi dan buku sudah cukup buat bikin dia merasa nyaman, tapi sejak pertemuannya dengan Zoe, suasana itu mulai terasa… kosong. Pikirannya nggak bisa lepas dari Zoe, cewek yang datang ke hidupnya kayak tornado tapi, entah kenapa, bikin hidupnya sedikit lebih menarik.
Ethan mencoba fokus ke bukunya, tapi rasanya sulit. Sudah beberapa hari berlalu sejak terakhir kali Zoe muncul di kafe, dan dia merasa ada yang hilang. Biasanya Zoe bakal datang dengan senyum lebarnya, cerita soal hal-hal konyol, dan bikin Ethan ngerasa kalau dunia ini nggak melulu soal keseriusan. Sekarang, tanpa kehadiran Zoe, dia ngerasa heningnya kafe terlalu sunyi.
Tiba-tiba, ponsel Ethan bergetar di atas meja, dan nama yang muncul di layar bikin hatinya sedikit lega. Zoe.
"Hey, Ethan! Lagi di kafe gak? Aku mau mampir nih, tapi kali ini aku mau ajak kamu nongkrong di luar. Keluar dari zona nyamanmu bentar, dong!"
Ethan tersenyum tipis membaca pesannya. Dia bener-bener nggak ngerti kenapa Zoe punya energi sebanyak itu. Dia sendiri lebih suka hidup dalam zona nyaman, apa pun di luar itu terasa terlalu ribet. Tapi, ada sesuatu dalam ajakan Zoe yang bikin dia penasaran.
"Di kafe sekarang. Ke sini aja dulu," balas Ethan singkat.
Nggak butuh waktu lama, Zoe udah muncul di depan pintu kafe, kali ini dengan jaket denim oversized yang dia padukan dengan dress warna cerah. Seperti biasa, dia terlihat penuh energi, seperti orang yang baru aja selesai minum segalon kopi.
“Heeey!” sapanya dengan senyum lebarnya. “Aku tahu kamu pasti di sini. Kamu tuh kayak hantu kafe ini, udah mendiami sudut ini sejak zaman dinosaurus kali ya.”
Ethan tertawa kecil. “Ya, tempat ini nyaman. Dan nggak banyak orang yang ribut,” jawabnya dengan nada bercanda.
Zoe duduk di seberangnya tanpa basa-basi. “Eh, tapi beneran, aku mau ajak kamu ke tempat lain hari ini. Masa iya hidup kamu cuma di sini doang? Kamu harus lihat dunia lebih luas, Ethan!”
Ethan mengangkat alis. “Dunia lebih luas?” tanyanya. “Kayak apa? Taman kota? Atau mal yang rame?”
Zoe tertawa. “Ya gak gitu juga, tapi serius deh. Aku tahu tempat seru. Gimana kalau kita nongkrong di taman aja? Lagi ada festival makanan di sana. Kamu suka makan, kan?”
Ethan berpikir sejenak. Sebenarnya, dia lebih suka menghabiskan waktu dengan baca buku sambil ngopi di tempat tenang seperti ini. Tapi ada sesuatu tentang Zoe yang selalu bikin dia merasa tertarik buat keluar dari rutinitas. Mungkin dia bisa coba, sekali ini aja.
“Baiklah,” jawab Ethan akhirnya, sambil memasukkan bukunya ke dalam tas. “Tapi kalau tempatnya terlalu rame, aku cabut.”
Zoe menepuk tangannya, senang banget kayak baru menang lotre. “Siap, Bos! Ayo kita pergi!” serunya sambil berdiri cepat.
---
Ternyata, Zoe nggak bohong. Festival makanan di taman kota itu seru banget. Ada banyak tenda makanan, musik live, dan orang-orang yang berseliweran dengan senyum di wajah mereka. Ethan langsung merasa canggung begitu masuk ke area festival. Keramaian bukanlah hal yang dia suka. Sementara itu, Zoe terlihat kayak ikan di air—dia langsung nyatu sama suasana.
“Lihat nih, ada stand churros! Kamu suka churros?” tanya Zoe sambil menarik tangan Ethan ke salah satu tenda makanan.
Ethan nggak sempat menjawab karena Zoe sudah sibuk memesan dua porsi churros dengan tambahan saus cokelat. Dia menyerahkan satu porsi ke Ethan sambil tersenyum lebar. “Ini enak banget, percaya deh! Kamu harus coba!”
Ethan mengambil churros itu dengan ragu. Meskipun dia nggak terlalu lapar, dia memutuskan buat ikut aja. Begitu dia menggigit churros pertama, dia harus mengakui Zoe benar. Rasanya enak banget.
“Gimana? Aku nggak salah pilih kan?” tanya Zoe dengan bangga.
Ethan mengangguk. “Lumayan,” jawabnya dengan nada santai. Tapi dalam hati, dia sebenarnya sangat menikmati makanan itu.
Setelah itu, mereka berjalan mengelilingi festival. Zoe terus bercerita tentang berbagai hal, mulai dari pekerjaannya yang semakin sibuk, sampai rencananya buat traveling ke beberapa tempat tahun depan. Ethan mendengarkan dengan tenang, sesekali menimpali, tapi sebagian besar waktu dia cuma senang mendengar Zoe bicara. Entah kenapa, suara Zoe yang awalnya terasa terlalu ramai kini mulai terdengar seperti bagian dari latar suara hidupnya yang baru.
Tapi di tengah obrolan, Ethan mulai memperhatikan sesuatu yang aneh. Meskipun Zoe terlihat ceria seperti biasanya, ada saat-saat di mana senyumannya terasa sedikit pudar. Kadang, matanya terlihat nggak seterang biasanya.
“Zoe,” panggil Ethan tiba-tiba, bikin Zoe sedikit terkejut.
“Iya?” jawabnya sambil tersenyum.
“Kamu baik-baik aja?” tanya Ethan, kali ini dengan nada yang lebih serius.
Zoe tertawa kecil. “Iya lah, kenapa nggak?”
Ethan menatapnya lebih dalam. “Entahlah. Kamu terlihat senang, tapi aku merasa ada yang kamu sembunyikan. Ada yang nggak kamu ceritain.”
Zoe terdiam sejenak. Senyum di wajahnya perlahan memudar. Dia mengalihkan pandangannya ke keramaian di sekitar mereka, seakan mencoba menghindari tatapan Ethan. “Hmm, kamu lebih peka dari yang aku kira ya,” gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Ethan nggak berkata apa-apa, membiarkan Zoe bicara saat dia siap. Dan setelah beberapa detik keheningan, Zoe akhirnya menghela napas panjang.
“Sebenernya… aku lagi ngalamin banyak hal akhir-akhir ini,” Zoe akhirnya berkata. “Pekerjaan makin berat, terus... masalah keluarga juga ada. Aku cuma nggak pengen bikin orang lain tahu kalau aku lagi... capek. Aku lebih suka keliatan ceria.”
Ethan mengangguk pelan. Dia nggak kaget mendengar Zoe bilang kayak gitu. Tipe orang kayak Zoe yang selalu ceria dan penuh energi sering kali menyembunyikan masalahnya di balik tawa.
“Kamu nggak harus selalu ceria,” kata Ethan dengan nada lembut, berbeda dari biasanya. “Nggak apa-apa buat ngerasa sedih atau capek.”
Zoe tersenyum kecil, tapi kali ini ada kesedihan di balik senyumnya. “Aku tahu, tapi... kadang aku ngerasa kalau aku nggak ceria, orang lain bakal kecewa. Makanya, aku terus kayak gini. Berusaha kuat, berusaha kelihatan bahagia.”
Ethan merasakan ada sesuatu yang berat dalam kata-kata Zoe. Dan dia tahu, Zoe butuh seseorang yang bisa dengerin tanpa nge-judge. “Kamu nggak harus jadi seseorang yang selalu bikin orang lain senang, Zoe,” katanya. “Kamu juga berhak buat istirahat.”
Zoe menatap Ethan sejenak, seakan nggak percaya kalau cowok pendiam yang selama ini selalu terlihat cuek bisa ngomong hal kayak gitu. Dia tersenyum tipis, kali ini lebih tulus. “Thanks, Ethan. Aku nggak nyangka kamu bakal bilang kayak gitu.”
Mereka melanjutkan berjalan di tengah festival, tapi kali ini suasananya lebih tenang. Zoe nggak seceria tadi, tapi dia terlihat lebih jujur. Dan Ethan merasa lega karena bisa sedikit membantu Zoe melepas beban yang dia simpan di dalam dirinya.
Setelah beberapa saat, Zoe tiba-tiba berhenti di depan sebuah stand yang menjual topi-topi lucu. Dia mengambil salah satu topi berbentuk telinga kelinci dan menaruhnya di kepala Ethan tanpa peringatan.
“Perfect!” seru Zoe sambil tertawa lebar.
Ethan memegang topi di kepalanya dengan ekspresi bingung. “Serius? Aku kelihatan kayak idiot.”
Zoe tertawa makin keras. “Justru itu! Kamu terlalu serius, Ethan. Hidup nggak harus selalu kelihatan keren. Sesekali, kamu boleh kok keliatan kayak kelinci.”
Ethan tersenyum kecil dan, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa... senang. Mungkin Zoe benar. Kadang hidup nggak harus selalu tentang buku-buku serius atau rutinitas yang tenang. Kadang, hidup perlu sedikit kekacauan, sedikit tawa, dan sedikit Zoe.
Dan di tengah keramaian festival, Ethan merasa kalau untuk pertama kalinya, dia nggak keberatan keluar dari zona nyamannya selama Zoe ada di sebelahnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!