Seorang gadis muda sedang tertidur di kasur kamarnya. Kamar yang sempit, tidak terlalu luas dan sedikit pengap. Jika dikatakan sebagai kamar, ini malah seperti gudang sementara. Meskipun ada kasur dan lemari serta meja di ruangan itu.
"Hei!! Bangun!" seru seorang pemuda sambil menendang ke kasur tanpa dipan tersebut.
Wanita itu langsung terperanjat, dengan cepat menarik kain selimut. Semalam gerah, dia hanya tidur pakai pakaian tipis. Sebenarnya ada AC di rumah itu, hanya kamar yang dipakai yang tidak dipasang.
"Bangun sekarang! Lalu ikut denganku!" ucap pemuda itu. "Tunggu dulu! Kau mandi dan berhias yang cantik!"
Pemuda itu menyeringai, kemudian keluar dari kamar bak gudang tersebut.
Dialah Lusi, gadis yang memiliki nasib kurang beruntung setelah tinggal dengan ibu tiri serta kakak tirinya. Setelah ayahnya wafat, Lusi memang memilih tinggal dengan ibu tirinya itu.
***
Beberapa saat kemudian. Lusi mengikuti kakak tirinya itu, karena sangat kasar dan dalam tekanan, Lusi terpaksa ikut. Sempat menolak, tapi malah diancam dengan kejam. Lelaki itu tak segan-segan menghabiskan gadis muda tersebut. Jiwa-jiwa kriminal sepertinya sudah mendarah daging. Yang Lusi tahu, dulu ayah kakak tirinya itu juga mendekam di penjara.
Takut, akhirnya Lusi menurut ke mana kakak tirinya membawanya malam itu.
Di sebuah tempat yang agak sepi.
"10 juta! Satu jam!" ucap pria berjaket kulit tersebut. Sejak tadi dia kelihatan gelisah menatap sekitar. Mungkin takut aksinya terekam kamera cctv atau takut ada yang mengetahui transaksi mereka berdua. Sebab ini bukan jual beli barang biasa. Jual beli jasa yang lumayan berbahaya.
Di depannya, terlihat laki-laki posturnya lebih besar. Tatapannya menyelidik pada barang yang ditawarkan kepadanya.
"Itu terlalu mahal, barangnya pun tak begitu bagus!" ucap lelaki tersebut. Ia masih melirik sosok gadis yang berdiri di belakang lawan bicaranya itu. Gadis muda, kelihatan tertekan dan menangis. Matanya merah, bengkak.
"Aku jamin kau tidak akan menyesal. Ini barang bagus, aku bisa jamin atau uang mu akan kembali." Laki-laki itu masih saja menawarkan.
"Lihat saja! Kau tak bisa menilainya? Aku bisa pesan online seperti ini hanya 500 ribu!"
Keduanya saling perang argumen, yang satu ingin harga tinggi karena sedang butuh uang, yang satu ingin barang bagus tapi dengan harga murah.
"Barang nya benar-benar bagus." Lelaki berjaket itu kemudian berbisik di telinga si hidung belang. Bagaimanapun juga, dia harus menjualnya dan dapat uang. Beberapa dept collector sudah mengejar-ngejar dirinya akhir-akhir ini. Pokoknya dia harus pulang membawa uang.
"Bagus apanya, tidak ada yang istimewa."
"Masih perawan!" Lelaki itu kembali berbisik.
Seketika pria hidung belang hidungnya langsung kembang kempis. Makanan empuk, jaman sekarang memang susah cari yang original. Kesempatan emas, dia pun mulai tertarik. Terlihat dari raut wajahnya dan seringainya yang jahat.
"Kau tidak menipuku?" Dia mencoba memastikan, takut zonk. Apalagi kalau sudah bayar-bayar mahal.
"Aku jamin uang kembali. Coba saja! Aku antar sampai kamar, akan aku tunggu di sini. Jika aku berbohong, cari saja aku!"
Keduanya akhirnya sepakat. 10 juta untuk satu jam saja. Gadis itu pun dibawa paksa oleh pria tersebut. Ketika tiba di depan kamar, di mana di sana hampir kamarnya terisi penuh oleh pasangan-pasangan yang tidak semestinya. Kini, gadis itu pun akan masuk ke dalam salah satu tempat terburuk dalam sejarah hidupnya.
"Edo!! Jangan lakukan ini! Tolong ... Jangan lakukan ini!" Lusiana mengemis pada pria berjaket itu. Dia memegangi tangan Edo, minta diselamatkan.
"Diam!" desis Edo marah. Ia menepis tangan Lusi. Mendorongnya agak kasar, sampai gadis itu mundur.
"Jangan lakukan ini, tolong lepaskan aku." Lusi masih mengiba, tidak apa-apa selama ini diperlakukan sangat buruk, tapi jangan sampai menjualnya. Sungguh Lusi sangat takut. Setelah ayahnya wafat, hidupnya memang seperti di neraka saat ikut tinggal bersama ibu serta kakak tirinya itu.
"Edoo. Aku mohon!" Lusi lari ke arah Edo lagi.
Tiba-tiba tangan Edo langsung menekan leher Lusiana. Sampai perempuan itu hampir kehilangan oksigen dan meninggal. Wajah Lusiana pucat, hampir saja dia mati karena tak bisa bernapas.
"Ssstt! Jangan kasar dengan wanita!" gumam pria hidung belang itu sambil melepaskan cengkraman Edo dari leher Lusiana. Belum apa-apa, kok wanita itu tewas. Dia belum mencobanya dan lagi dia sudah terlanjur penasaran dan membayangkan permainan apa yang akan dilakukan di dalam kamar dengan gadis yang katanya masih suci tersebut.
"Aku hanya ingin menunjukkan padanya! Agar dia tak melawan!" kata Edo kemudian melepaskan Lusi. Ia melemaskan otot-otot lehernya, lalu mendelik pada Lusi yang ketakutan.
"Sudahlah. Ini 5 juta. Sisanya 5 juta lagi setelah aku selesai dengannya. Sekarang kau keluar. Biarkan gadis ini melayaniku!" pria hidung belang itu langsung mengusir Edo. Sekarang dia yang akan berurusan dengan gadis kecil ini.
Lusiana tambah panik, dia mencengkram bagian jaket Edo. Akan tetapi, langsung ditepis lebih kasar lagi oleh Edo.
"Edo! Jangan tinggalkan aku. Edo ... Aku mohon Edo!!!"
Tak peduli seberapa keras Lusiana mengemis untuk minta tolong, Edo tak peduli. Lelaki itu malah sibuk menghitung uang lembaran merah yang katanya senilai 5 juta rupiah tersebut. Bibirnya mengulas senyum hajat. Malam ini Lusi sudah laku, besok dia akan mencari pelanggan lagi, dan Edo akan bisa melunasi semua hutang-hutangnya.
10 juta satu orang, jika sehari dia bisa mencari lebih dari 3 orang, Edo akan cepat kaya. Sebulan bisa meraup ratusan juta. Pikiran laki-laki itu benar-benar sudah kacau. Demi uang dia menjual adik tirinya tersebut.
"Oke, ini pas lima juta. Satu jam lagi aku ke sini. Berikan 5 juta nya lagi." Edo menempelkan uang ke hidung, aroma uang membuatnya lupa segalanya.
"Ya, sana! Cepat pergi!"
Pria hidung belang mendorong Edo untuk menjauh, kemudian langsung berbalik dan menarik lengan Lusiana agar masuk ke dalam kamar bersamanya. Sekarang waktunya bereaksi.
"Om, tolong saya. Jangan Om. Saya bukan perempuan nakal." Lusi memeluk tubuhnya sendiri karena takut. Apalagi cara lelaki itu menatapnya.
Pria yang dipanggil om itu malah melempar senyum. Kemudian menyeringai melihat Lusiana dari dekat. Sembari mengusap pipi Lusiana yang basah karena tangis.
"Jangan menangis, Om tidak akan kasar denganmu. Ikuti apa kata, Om. Maka kita akan sama-sama enak!" janji sang buaya darat. Lelaki itu menelan ludah, jakunnya naik turun. Seolah tak sabar menyantap hidangan pesta di depannya sekarang.
Lusiana menggeleng keras, matanya tertuju pada pintu. Ingin rasanya dia lari ke sana dan kabur. Entah bagaimana caranya, dia harus kabur.
"Sekarang, lepaskan pakaianmu!" perintah om-om hidung belang sambil melihat tubuh Lusi dari atas sampai bawah.
Jelas Lusiana langsung memeluk tubuhnya lagi, ia menggeleng keras.
"Oh, apa mau aku lepaskan cantik?" bisik sang predator. Dia kemudian maju, siap untuk melakukannya.
Lusiana tambah takut, apalagi sorot mata sang aligator yang menatapnya bagai mangsa. Tatapan mesyum yang mengerikan.
"Om, saya tidak mau. Saya ... Saya bukan wanita penghibur." Lusi tetap menjelaskan kalau dia perempuan baik-baik. Namun, pria dewasa itu tidak percaya. Hanya agar Lusi tenang, dia pun sedikit lembut dalam merayu gadis tersebut.
"Ya ... Saya tahu. Om tahu. Sini ... Sini sayang."
Rasanya merinding satu badan, Lusiana menatap sekeliling untuk mencari sesuatu. Dia ingin kabur.
"Sini ... Ayo. Jangan lama-lama. Waktu kita hanya satu jam!" Laki-laki itu merayu Lusi agar tidak berlama-lama. Durasi mereka sangatlah terbatas, hanya satu jam tak lebih.
Lusiana mundur, tangannya menyentuh remot AC. Ia menoleh sebentar lalu mengambil remot itu, tanpa aba-aba, Lusiana langsung mencolok mata buaya aligator itu tepat sasaran dan lumayan keras.
"Gadis Brengkes!!!!!" pekik si pria sambil memegangi satu matanya yang terasa amat sakit.
Lusiana mencoba lari, dia sudah berhasil membuka pintu. Jantungnya berdegup kencang, mencoba mencari jalan keluar dan bersambung.
Kaki Lusiana terus berlari. Dia tidak tahu ke mana tujuannya. Yang ada di benaknya hanya lari, sebab dia tak mau mahkotanya diserahkan begitu saja pada pria hidung belang. Begitu kencang kakinya berlari, tak peduli lelah dan sakit. Lusi hanya ingin kabur dari sana.
"Aku harus ke mana?" Lusi berhenti sesaat untuk mengambil napas. Panasnya ngos-ngosan. Jantungnya pun berdegup kencang.
Lusiana sedang ada di persimpangan jalan, kakinya bimbang, akan ke kiri atau kanan. Setelah menatapnya hati, Lusiana akhirnya memilih belok kiri. Dia lari pagi tanpa menoleh ke belakang.
Sayang sekali, di sana sangat ramai orang. Semuanya sedang berpesta minuman. Semakin takut, Lusiana mundur. Dia naik tangga darurat, pergi ke lantai atas. Sesekali dia berhenti untuk mengambil napas lagi, kemudian sampai di atap gedung. Pemandangan kota metropolitan yang penuh kelap-kelip lampu malam. Lusiana mengusap wajahnya, dia menangis di bawah langit dan bintang-bintang yang bertaburan.
"Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak mau pulang ..."
Lusiana terduduk sambil memeluk lututnya. Jika dia pulang, pasti Edo akan menangkapnya. Edo juga pasti akan menjual Lusiana lagi. Benar-benar dilema, Lusiana tidak punya tempat untuk kembali. Gadis itu nasibnya tidak menentu dan tak punya arah tujuan.
Tidak mungkin berdiri di atap gedung terus, Lusiana melihat sekitar. Jika sembunyi di sana, pasti akan ketahuan. Karena ada kamera cctv. Lusiana pun mencari ide. Dia berkeliling di atas, melihat sekitar. Mencari jalan keluar untuk kabur dari kejaran.
Tepat di gedung bagian belakang, terdapat pijakan untuk ke tempat lain. Meskipun taruhannya nyawa kalau sampai jatuh, tapi tetap Lusiana lakukan. Daripada diminta melayani pria hidung belang. Daripada dijual pada laki-laki rakus, Lusi pun mempertaruhkan nyawanya.
Dengan kaki gemetar, Lusiana berjalan di batas tembok kecil. Pilihannya hanya satu, lolos dari Edo dan hidung belang itu, atau mati karena jatuh dari ketinggian puluhan meter.
"Aku bisa ... Aku bisa. Jangan lihat bawah." Bibirnya gemetar, begitu juga dengan seluruh badan Lusi.
Lusiana memantrai diri sendiri agar tidak panik dan tenang. Kakinya gemetaran, jantungnya berdegup kencang, hingga tidak terasa, dia telah sampai diujung sana. Masih memegangi jantungnya yang hampir copot, Lusiana sempat-sempatnya mengintip ke bawah. Hampir saja dia terpeleset karena shock.
"Astaga!" Ia bergidik, menelan ludah dan kembali fokus pada tujuan untuk kabur jauh dari sana. Lusi berusaha tenang agar tetap seimbang.
Lusiana merambat pada sela-sela balkon, tangannya berpegangan kuat pada pagar stainless yang menjadi penahan balkon. Seperti tidak takut mati, dia trus berjalan dengan perasaan was-was.
"Siapa kau?" Seorang wanita muda kaget, ketika mendengar suara orang berjalan di balkon unitnya. Dia menatap curiga pada Lusi, mungkin gadis yang naik ke balkon miliknya adalah penyusup dah pencuri.
"Maaf, tolong ijinkan saya lewat. Seseorang sedang mengejar saya." Lusi bicara dengan gugup, tangannya terlihat gemetar.
"Kau pencuri?" tuduh wanita pemilik unit tersebut. Dia kelihatan hati-hati, takut Lusi adalah orang jahat.
Lusiana menggeleng keras. "Bukan, tolong saya. Seseorang sedang mengejar saya. Ijinkan saya lewat dan keluar dari gedung ini," Lusiana mengemis-ngemis agar diberikan jalan. Sebab itu adalah akses jalan untuk bisa kabur.
"Tolong saya," ucap Lusi sekali lagi. Ia meratap dengan mata yang sudah mengembun.
Mungkin kasihan, akhirnya Lusiana diberikan jalan untuk lewat. Tanpa bertanya apapun, wanita pemilik unit tersebut memberikan jalan pada Lusi.
"Mau aku lapor polisi?" tawarnya saat melihat raut ketakutan di wajah Lusi.
Lusiana menggeleng keras.
"Terima kasih," ucap Lusiana langsung lari menyusuri lorong gedung yang dia sendiri tidak tahu ada di mana.
Lusiana ingin segera turun, tapi lututnya terlalu lelah jika lewat tangga darurat lagi. Akhirnya dia memutuskan lewat lift. Dengan perasaan berkecamuk, dia berdiri menunggu lift terbuka. Panik, cemas dah was-was jadi satu.
Sebuah lift terbuka, kosong tak ada yang naik di dalamnya. Hanya Lusiana seorang diri. Dari lantai 21 turun ke lantai 1, rasanya lama sekali, karena mungkin ketakutan yang membuat waktu berjalan sangat pelan.
TIT!
Pintu lift terbuka, Lusiana akan keluar. Namun, kakinya langsung masuk lagi. Dia melihat orang-orang berlarian seperti mencari seseorang. Sembari memegangi jantungnya, Lusiana tak henti-hentinya berdoa.
Tiiit!
Lusiana memasang sikap siaga tatkala pintu lift terbuka di lantai 10. Jantungnya bergemuruh. Seorang pria masuk sambil menenteng tas laptop. Tanpa menoleh, pria itu menekan tombol lantai 17.
Lusiana memperhatikan penampilan pria di depannya itu dari belakang. Pakaiannya rapi, jas kantoran, pasti pengusaha. Lamunan Lusiana buyar, tatkala laki-laki itu mundur karena ada beberapa pria yang masuk dan ikut naik.
Takut, karena itu laki-laki yang semula lari-larian di lantai satu, Lusiana langsung mundur dan bersembunyi di balik laki-laki berjas hitam rapi tersebut.
"Nona ... Kau tidak apa-apa?" tanya pria tersebut.
Lusiana menggeleng dan menundukkan wajahnya. Sampai di lantai 10. Tiba-tiba laki-laki itu keluar dan Lusiana mengekor di belakang lelaki berjas itu. Seolah sedang membuntuti si pria.
"Nona. Kau mengikuti ku?" tuduh lelaki tersebut. Mulai waspada karena gerak-gerik orang tak dikenal yang tak wajar. Apalagi baru melihat Lusiana di sana.
Lusiana menggeleng, wajahnya ketakutan.
"Kau baik-baik saja?" yang tadinya menuduh, sekarang merasa prihatin. Karena wajah Lusi tak berbahaya. Mungkin orang ini minta bantuan dan butuh pertolongan, pikir si pria.
Kringggg!!!
Ponsel pria itu berdering, ada panggilan video masuk dari bosnya. Ia menghela napas dalam-dalam, baru juga sampai unit apartemennya, telponnya malah berdering. Sebenarnya dia ingin istrahat. Kalau sudah sampai apartemen, segala pekerjaan harusnya sudah selesai. Sambil menggerutu dalam hati, ia mengangkat panggilan tersebut.
"Tolong kirimkan aku duplikat perjanjian tadi sore!" ucap si penelpon.
"Baik, Pak!"
"Kau sedang berkencan rupanya!" sindir si penelpon. Ketika melihat lelaki itu bersama seorang wanita. Jarang-jarang sekretarisnya itu membawa perempuan ke apartemen.
Roy yang dituduh seperti itu, dia langsung mengelak dengan cepat. "Oh, bukan. Bukan, Pak!"
Entah bagaimana ceritanya, kebetulan saja wajah Lusiana tertangkap kamera sedikit. Roy yang sengaja mengarahkan kamera ke wajah Lusi, wanita asing yang baru saja dia temui.
Di sisi lain, Virgo jelas penasaran. Ada wajah yang sangat familiar di ingatannya. Lantas dia minta Roy mengarahkan kemera itu pada wanita yang bersama Roy.
"Roy! Kau sedang bersama siapa? Arahkan pada wajah perempuan itu." Virgo terlampau penasaran karena merasa tidak asing.
Roy sendiri merasa heran, kenapa bosnya penasaran dengan perempuan yang bahkan Roy sendiri tak yakin perempuan ini siapa. Namun, Roy melakukan apa yang diminta sang bos. Memperlihatkan wajah Lusiana secara sekilas.
"Kau di mana sekarang???" tanya pria di balik telpon. Ekspresi wajahnya langsung berubah. Seperti mimpi, atau seperti melihat hantu yang baru bangkit dari alam kubur.
"Apartemen, saya baru tiba, Pak." Roy menjawab dengan bingung, kenapa tanya lagi. Bukannya bosnya tahu, kalau dia ada di apartemen, habis pulang kerja juga.
Namun, seruan Virgo tambah membuat Roy bingung lagi. Karena perintah bosnya yang terdengar aneh.
"Wanita itu! Tahan dia!! Tahan bersamamu!" seru pria tersebut dengan tegas.
"Tapi, Pak!" Roy merasa aneh. Kenapa dia harus menahan seseorang? Apa atasannya itu mengenal wanita muda ini? Roy bertanya-tanya, tapi ucapan Bosnya kemudian langsung membuatnya tersadar dan harus menahan wanita muda di sebelahnya itu.
"Kau harus menahannya, paham!" ucap Virgo tegas. Telpon langsung mati, Roy dan Lusi saling menatap dan bersambung.
"Nona, ikut dengan saya!" ajak Roy begitu dapat perintah dari bosnya.
Roy dengan cekatan langsung menyentuh lengan Lusi dan mengajak gadis itu agar mau bersamanya. Lelaki itu harus menahan Lusi, jika tidak dia akan kehilangan pekerjaan. Entah apa yang dipikirkan bos nya itu, kenapa dia harus menahan seorang wanita muda.
Tidak masuk akal, sang bos memintanya menahan seorang gadis. Sampai saja gadis itu teriak, Roy pasti dapat masalah. Beruntung sekali gadis itu menurut. Roy sampai dibuat heran. Tak hanya sang bos, gadis ini pun membuatnya terheran.
Sebenarnya Lusiana sengaja ikut, sebab dia takut dikejar-kejar anak buah om-om hidung belang yang tadi, atau teman-teman Edo yang lain. Jika Lusi tertangkap, maka dia akan kembali dijual.
Ketika melihat sosok asing di depannya, yang namanya Roy itu, terlihat seperti orang baik, Lusiana pun memilih mengikuti Roy. Dia mengikuti ke mana arahan lelaki itu, sampai ikut masuk ke unit apartemen lelaki tersebut.
Walaupun awalnya Lusi sedikit ragu saat akan masuk ke dalam, tapi sepertinya itu adalah pilihan lebih baik, daripada tertangkap oleh orang-orang suruhan Edo atau anak buah pria hidung belang.
"Masuklah!" kata Roy yang melangkah duluan dan membuka pintunya lebar-lebar. Dia yang masuk pertama kali kemudian di belakang disusul oleh Lusi.
"Masuk, aku tidak akan berbuat jahat!" ucap Roy saat melihat kegelisahan di muka Lusi.
Ternyata di dalam apartemen pria bujang itu sangat sepi, meskipun masih bujang, tempat tinggalnya lumayan rapi sekali. Tidak hanya penampilan Roy yang rapi dan wangi, tapi penampakan ruang apartemen lelaki itu juga nampak bersih dan rapi sekali. Roy mungkin pria perfeksionis. Yang mana semua harus teratur, tertata sempurna. Bahkan barang-barang pun ditata sebegitu apik dan enak dilihat. Lusi saja merasa kalah rapi dari pria tersebut.
Kini, Lusi sudah masuk. Roy juga mempersilahkan tamunya itu untuk duduk.
"Kau bisa duduk," kata Roy sambil meletakkan tasnya. Dia menatap penuh selidik, merasa curiga, juga merasa penasaran. Wanita muda ini siapa? Sampai mampu menarik perhatian pak Virgo.
"Bisa minta tolong pintunya dikunci saja!" pinta Lusi tiba-tiba pada Roy yang baru dia kenal beberapa waktu lalu.
Pria itu jelas kaget, Lusi tidak takut, malah minta pintunya ditutup. Benar-benar membuatnya bingung. Sebenarnya apa hubungannya sang bos dengan gadis polos di depannya ini? Dilihat dari tampilan, jelas beda kelas dengan bosnya itu. Pasti bukan kekasih, apalagi selingkuhan, lalu hubungan keduanya seperti apa? Banyak pertanyaan bergelut dalam kepala Roy.
"Maaf ... Apa kamu tidak takut dengan ku? Kamu tidak takut di dalam sini? Hanya ada kita berdua?" Roy sampai mengerutkan keningnya. Dia memastikan apa baik-baik saja kalau pintunya dikunci, tidak sekedar ditutup saja seperti sebelumnya.
"Tidak! Aku lebih takut di luar, seseorang sedang mengejar ku!" balas Lusi dengan tatapan waspada. Dia melihat ke arah pintu, seperti takut kalau ada yang masuk dari sana. Lusi mungkin juga trauma, siapa yang tak trauma ketika dijual terang-terangan di depan pria hidung belang.
Namun, kalau di depan Roy. Lusi kelihatan tidak takut. Mungkin juga karena Roy kelihatan seperti orang berpendidikan yang tak mungkin melakukan hal-hal buruk demi citranya. Auranya orang baik, Lusi meyakini hal itu.
"Maaf, kamu ini sebenarnya siapa? Kenapa sampai ada orang yang mengejar? Kamu seorang kriminal? Kamu melakukan kesalahan pada orang?" tebak Roy. Sebenarnya bukan itu yang ingin Roy ketahui, dia lebih penasaran hubungan spesial apa antara bosnya dengan gadis sederhana ini.
"Bukan!!! Saya hanya mahasiswi biasa!" jawab Lusi cepat sebelum dia mendapatkan cap negatif. Memang kalau dilihat-lihat, Lusi patut dicurigai. Sebelum kecurigaan Roy makin dalam, Lusi langsung menjelaskan. Walau tidak terlalu detail.
"Oh ... Seorang mahasiswi. Lalu apa hubungan Nona ... Maaf, boleh tahu namanya?" Roy menaikkan separuh alisnya sembari mengamati Lusi dengan saksama. Dilihat dari atas rambut sampai kaki, tidak ada yang istimewa. Apa selera bosnya seperti ini? Setahu dia, bosnya memang lama sendirian. Tapi jika tertarik dengan seorang wanita, apakah harus seperti ini? Belum apa-apa, Roy menilai Lusi dengan penilaian rendah. Mungkin karena penampilan Lusi saat itu. Orang selalu melihat dari penampilan dulu.
"Siapa namamu? Boleh kan aku tahu?" tanya Roy sekali lagi.
"Lusi!" jawab Lusi cepat. Masih dengan pandangan mata yang cemas ke sana ke mari tak fokus. Seperti sedang diteror hantu. Ini karena dia benar-benar gelisah dan diliputi rasa ketakutan.
"Oh .. Lusi. Boleh saya tahu, apa hubungan Lusi dengan dengan Pak Virgo?" tanya Roy lagi. Sudah mirip polisi yang mengintrogasi sang tersangka. Roy tidak bisa membendung rasa penasarannya itu. Karena juga tak mungkin berani bertanya langsung pada pak Virgo.
Ditanya seperti itu, Lusi pun bingung. Tidak mengerti dan tidak mau tahu juga. Ia mengerutkan dahinya, siapa Virgo? Jelas Lusiana tak kenal. Nama itu memang tak asing, karena sama seperti zodiak Lusi, Virgo. Namun, jika ditanya sosok pemilik nama itu, jelas dia tak tahu apa-apa. Kenal saja tidak.
"Maaf, siapa pak Virgo?" Lusi lantas bertanya balik. Karena nama itu juga asing ditelinga nya. Hampir tak punya kenalan dengan nama seperti itu.
Roy berdiri, tangannya masuk ke saku celana kain yang ia kenakan, kemudian menatap penuh selidik pada gadis yang sudah ia persilahkan duduk sebelumnya. Ini jawaban pura-pura atau memang mereka tak ada kaitannya? Roy sibuk menghitung kemungkinan-kemungkinan yang terjadi.
"Pak Virgo, pemilik Lotta Mart! Kau lihat gedung di sana, pusat perbelanjaan paling tinggi itu? Dia juga pimpinan perusahaan Globalindo. Masa kamu tidak tahu? Bahkan wajahnya sering muncul di majalah bisnis. Pasti kalian saling mengenal, ya kan?" tanya Roy sambil menunjuk kaca jendela apartemen yang menghadap gedung Lotta Mart. Roy juga seolah menunjukkan gedung di sebrang itu milik siapa.
Jelas Lusiana tahu, dia pernah beberapa kali masuk ke sana untuk belanja atau sekedar cuci mata dengan teman-temannya. Hanya tahu gedungnya saja. Masalah management dan siapa pemilik atau siapa saja yang punya saham di saja, Lusi tidak akan tahu.
"Kau perhatikan gedung itu? Pemiliknya akan ke mari. Pak Virgo, beliau meminta saya untuk menahan mu di sini, jadi sekarang katanya ... Sebenarnya kau ini siapa, Nona Lusi? Apa hubungan kalian sebenarnya? Maaf, jika saya terlalu ikut campur, tapi ini benar-benar menganggu pikiran saya saat ini," gumam Roy. Tatapan penuh curiga. Dia masih memperhatikan Lusiana dari atas rambut sampai kaki. Bisa-bisanya dia dibuat begitu penasaran dengan urusan pribadi bosnya itu.
Padahal selama ini dia bukan tipe orang yang suka ikut campur, apalagi masalah pribadi. Hanya saja ini lumayan seru, ada apa bos Globalindo dengan wanita biasa ini? Adakah skandal yang tidak dia ketahui? Sebagai sekertaris dah orang paling tahu tentang Virgo, jelas Roy merasa dia harus tahu siapa perempuan ini.
Anehnya, tentang wanita ini, tidak ada hal yang sangat istimewa, bukan seorang model terkenal yang bisa membuat pak Virgo tergila-gila, lalu kenapa pak Virgo memintanya menahan Lusiana? Seribu pertanyaan bersarang di kepala Roy yang mempunyai potongan rambut klimis dan maskulin tersebut.
"Ceritakan secara singkat saja, jika kamu tidak mau menjelaskan pada saya," kata Roy. Masih memaksa ingin tahu kebenarannya.
"Tidak tahu, saya tidak tahu pak Virgo siapa, dan saya juga tidak ingin mencari tahu. Tolong ijinkan saya menginap satu malam saja, besok pagi-pagi sekali saya akan pergi. Jika saya di ijinkan, saya akan sangat berterima kasih, tolong saya, satu kali ini saja." Lusi tak malu lagi, mau minta tolong untuk diijinkan menginap di sana. Bahkan ia sampai mengunakan kedua tangannya untuk memohon-mohon.
Melihat gadis asing memohon-mohon seperti itu, Roy mengerutkan keningnya. Ada apa ini? Tambah mencurigakan sekali.
"Kau minta menginap di apartemen ini? Yang benar saya! Bahkan aku tak pernah membawa perempuan tidur di tempat ini!" celetuk Roy sambil berkacak pinggang. Dia menolak keras Lusi menginap di apartemen pribadinya. Ini bukan hotel, kalau mau menginap, silahkan sewa hotel. Jangan malah minta padanya. Untuk sesaat, Roy kelihatan gusar dan marah. Ketus, wajahnya jadi garang.
"Tapi saya sekarang terdesak, tidak ada tempat yang bisa saya datangi."
"Itu urusan kamu. Sebentar lagi pak Virgo datang, lebih baik kamu bicara saja dengan beliau. Jangan malah membawa-bawa saya dalam urusan kalian. Saya tidak mau ikut campur!" tegas Roy.
"Saya mohon ..."
"Tidak bisa!" balas Roy tidak mau kompromi. Alhasil, Lusi langsung lesu. Lalu bagaimana nasibnya malam ini? Apa dia harus terlunta-lunta di jalan malam-malam begini? Bisa-bisa dia lebih celaka lagi. Anak perempuan tengah malam di jalan, sudah pasti hal itu sangatlah mengundang bahaya sekali.
Tok tok tok
Di tengah keduanya berbicara, ada yang mengetuk pintu apartemen Roy. Lumayan cepat sekali, pasti itu bukan Virgo, pikir Roy yang merasa Virgo pasti masih di jalan.
TOK TOKTOKK??!
Pintu diketuk sangat cepat. Lusi langsung waspada. Dia bangun, beranjak dan hendak bersembunyi ke belakang. Akan tetapi, lengannya ditahan oleh tangan Roy yang lebih besar tersebut.
"Tetap di tempat!" ujar Roy dengan tatapan tajam.
"Jangan ke mana-mana. Awas kalau kau bergerak!" ancam Roy. Biar Lusi tetap di tempatnya, karena dia masih punya tanggung jawab pada pak Virgo. Kalau sampai perempuan ini pergi, Roy akan kena getahnya.
Roy kemudian berbalik. Dia menuju pintu, sebelum membukanya, dia memeriksa dulu. Siapa yang ada di luar sana.
Sedangkan Lusiana justru menelan ludah, ia ingin sembunyi agar aman. Tapi kenapa susah sekali mencari tempat yang aman di dunia ini. Bayang-bayang akan kembali ditangkap langsung memenuhi kepalanya.
"Kau diam, aku akan periksa siapa yang datang!" ucap Roy, mewanti-wanti Lusi agar diam di tempatnya. Dia menoleh sekali lagi, memastikan Lusi tetap dan tidak kemana-mana.
Roy pun mengintip di pintu, ada dua pria berjaket jeans dengan topi di kepalanya, dari tampilan saja mencurigakan. Dari gerak geriknya saja sangat tak meyakinkan. Roy tahu, dia dalam masalah. Jelas orang itu tidak kelihatan orang baik-baik dan orang normal pada umumnya. Dirasa sangat mencurigakan kalau secara visual penampilan seperti itu.
"Siapa mereka berdua? Apa kata gadis itu benar? Dia sedang dikejar-kejar orang?" gumam Roy yang masih mengintip. Dia lalu berbalik lagi, dilihatnya Lusi yang duduk dengan cemas.
"Apa orang ini yang dia maksud?" gumam Roy.
"Apa aku harus telepon security?" tanya Roy pada dirinya sendiri.
"Sebaiknya aku tak membukanya, terlalu beresiko, pak Virgo akan memecat ku jika aku tak menahan perempuan ini." Roy memikirkanmu sesuatu.
"Tok! Tok! Permisi!"
Suara laki-laki di depan pintu. Pria di depan pintu mulai berbicara. Karena mereka yakin, di dalam pasti ada orangnya. Dua laki-laki itu sama sekali enggan beranjak dari depan unit apartemen Roy.
Sementara itu, Roy terlihat ragu, akan membuka atau tidak. Namun, pintunya semakin digedor. Kalau dibuka, dia pasti kena masalah. Lebih baik dia diamkan saja. Paling orang itu juga pergi dengan sendirinya.
Namun, tiba-tiba Roy mengumpat.
"Sialann!" umpat Roy pelan. Ia langsung menyentuh kenop pintu dan memutarnya lalu bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!