Silau cahaya matahari masuk melalui celah-celah vitrase berwarna putih. Mata birunya mengerjap beberapa kali sebelum Marissa benar-benar membuka mata.
Netranya menatap langit-langit kamar. Keningnya berkerut saat menyadari suasana kamar tampak asing.
Dengan kesadaran yang masih 80 persen, Marissa bangun dari tidurnya lalu duduk di atas kasur sembari mengumpulkan sisa nyawanya.
Hawa dingin menusuk punggung kulit putihnya. Lama dia memandangi tubuhnya yang hanya tertutupi selimut tebal. Marissa lalu memindai sekelilingnya dan betapa terkejut ia saat menyadari ini bukanlah kamar tidurnya.
"Sssttt…" desis Marissa kesakitan saat dirinya dengan cepat beranjak turun dari kasur.
Melirik ranjang yang dia tempati tidur. Sekelebat bayangan percintaan panasnya bersama seorang pria asing membuat tangannya seketika membekap mulut sendiri.
"Ya Tuhan … apa yang sudah aku lakukan?!" pekik Marissa dengan sangat pelan agar tak terdengar oleh pria asing nan tampan yang tengah tertidur pulas di sampingnya.
Tiba-tiba ekor matanya seketika melirik bercak merah yang terlihat di seprai.
"No.. itu artinya aku sudah tak perawan!" Bisik Marissa dalam hati seraya memegang daerah intimnya.
Marissa perlahan memunguti dress yang tercecer di lantai. Marissa bersyukur karena dress yang dipakai semalam masih dalam keadaan utuh. Lalu Marissa kembali mencari kain segitiga dan bra yang digunakan semalam.
SHIT! Marissa mengumpat saat melihat benda yang dicarinya. Celana dalam dan bra-nya berada di atas kasur.
Marissa lalu berjalan dengan berjinjit ke sisi ranjang satunya, lalu dengan gerakan cepat mengambil dalaman yang berada tepat di samping wajah pria itu dengan perlahan.
Kemudian Marissa masuk ke dalam bathroom lalu memakai pakaiannya kembali dan segera pergi dari kamar itu sebelum pria tampan tersebut bangun dari tidurnya.
"Huftt…" desah Marissa saat sudah berada di luar kamar.
Marissa lalu berjalan menuju lift yang terletak paling ujung dari koridor lantai tersebut.
Lagi lagi Marissa menghembuskan napasnya panjang ke udara saat merasa sudah aman dari pria itu.
"Setelah ini, apa yang harus aku lakukan?" batin Marissa menerawang jalan hidupnya yang penuh lika liku dan terjal.
TING
Suara lift berbunyi saat sudah sampai di lobby. Marissa lalu bergegas keluar lalu pergi dengan menaiki sebuah taksi yang sedang berhenti tepat di luar lobby hotel.
Di sepanjang perjalanan, Marissa terus merutuki kebodohannya sendiri. Marissa lalu naik ke lantai dua kemudian masuk ke dalam kamarnya. Marissa tinggal di sebuah kosan berlantai dua. Tempat yang strategis dan dekat dengan tempatnya bekerja, walau sedikit lebih mahal.
Setelah masuk, Marissa langsung berjalan menuju kamar mandi. Bukan hanya untuk membersihkan diri, namun lebih dari itu. Ia mandi untuk menghilangkan jejak percintaan panasnya dengan pria asing itu.
"Ck', apakah dia setan dracula sampai menghisap hampir seluruh tubuhku?" Wanita bermata biru itu terkesiap saat melihat tubuhnya di depan pantulan cermin saat membuka pakaian. Sekujur tubuhnya dipenuhi tanda merah hasil cupangan.
Marissa menarik dengan keras rambutnya yang basah di bawah guyuran shower.
"Semoga aku tak hamil," gumam Marissa saat teringat adegan panasnya yang tak memakai pengaman sama sekali. Terlebih saat menyadari jika mereka melakukan hubungan suami-istri itu berkali kali hingga pagi menjelang.
TOK TOK TOK
Karena ukuran kamarnya yang tidak terlalu besar membuatnya bisa mendengar suara ketukan pintu dari luar. Marissa menyudahi sesi mandinya dengan cepat lalu meraih kimono mandi dan memakainya. Kemudian berjalan menuju pintu.
"Astaga, Ris dari mana saja kamu ha? Apa kamu tak tahu semalam aku mencari mu kemana-mana seperti orang gila?!" ucap Rossa, melengos masuk sambil menggerutu saat melihat Marissa membuka pintu.
Marissa tak menjawab dan hanya mengulas senyum imutnya agar sahabatnya itu tak marah lagi.
"Hentikan senyumanmu itu, jurusmu tak akan mempan lagi padaku!" seru Rossa mencebik lalu berbaring diatas kasur milik Marissa.
"Kalau ini …." Kembali Marissa menunjukkan wajah imut.
Rossa tertawa melihat kekonyolan sahabat baiknya.
"Baiklah, kali ini aku akan luluh. Come here! Ada yang ingin aku tanyakan," pinta Rossa dengan wajah serius sambil menepuk sisi kasur sampingnya.
Marissa lalu menutup pintu kosan lalu ikut berbaring diatas ranjang queen bed miliknya.
"Hem, katakan apa yang ingin kau dengar dariku." Marissa seolah tahu maksud ucapan sahabatnya.
"Kata, Lusi kemarin kamu pergi bersama seorang pria tampan dalam keadaan mabuk. Apakah benar?!" Rossa menoleh dan menatap mata biru milik Marissa dengan intens.
"Hem." Marissa berdehem dengan posisi masih menatap langit-langit kamarnya.
"Lalu, apa kalian…." ucapan Rossa menggantung saat melihat Marissa mengangguk.
"Oh my—" Rossa menangkup wajah Marissa dan mereka saling bertatapan.
"Bagaimana bisa, Ris? Bukannya kita sepakat menjaga keperawanan kita? Kok kamu malah ...." Rossa tak sanggup melanjutkan ucapannya.
"Maaf, Ros. Semuanya begitu cepat terjadi sampai aku lupa diri. Terlebih pria itu menentangku. Kamu tahu bukan, aku tak suka saat ada orang yang memandangku rendah? Aku mungkin bisa miskin, namun harga diriku sangat tinggi, dan kau tahu aku," jelas Marissa.
Rossa beranjak bangun lalu duduk diatas kasur dengan posisi bersila. Kemudian Marissa pun ikut bangun dan duduk bersila di depan sahabatnya.
"Kau kecewa padaku, Ros?" tanya Marissa menatap wajah Rossa yang sendu.
Rossa mengangguk lalu memegang kedua bahu Marissa.
"Aku hanya tak ingin terjadi apa-apa padamu. Kamu tahu bukan, aku dan ibuku sangat menyayangi dan peduli padamu," ujar Rossa dan Marissa mengangguk.
"Setelah ini, apa yang akan kau lakukan? Apakah kau akan meminta pertanggungjawaban dari pria itu?!" kata Rossa lagi.
"Entahlah, Ros. Apa iya aku harus meminta pertanggungjawabannya!" ucap lirih.
Rossa menghela napasnya dengan panjang.
"Tentu saja!" Sambar Rossa dengan cepat. "Pria yang sudah mengambil keperawanan kamu itu harus bertanggung jawab," tegas Rossa.
"Tapi bagaimana kalau dia—"
"Gak ada tapi-tapian, Ris... Emangnya kamu jeruk yang habis manis sepah dibuang!"
Marissa menghela napas.
"Dimana kalian melakukannya? Dan bagaimana rasanya? Apakah milik pria itu besar dan panjang?!" Pertanyaan absurd Rossa keluar begitu saja dari mulutnya membuat Marissa ternganga.
"Pertanyaan apa itu?" Marissa yang kesal lalu mengambil bantal dan melempar tepat mengenai wajah Rossa.
Rossa mendengus kesal lalu mengambil bantal lainnya dan membalas melempar bantal ke wajah Marissa. Hingga terjadilah perang bantal keduanya.
Setelah puas perang bantal, mereka kembali membaringkan tubuhnya di atas kasur empuk milik Marissa..
"Ros ...." panggil Marissa dan Rossa menjawabnya dengan berdehem.
"Hem."
"Ros, bagaimana kalau aku hamil?"
Marissa berbalik dan menatap Rossa yang masih menatap langit-langit kamar.
Lama Rossa terdiam. Sejujurnya ia tak punya jawaban dari pertanyaan Marissa itu. Dia bahkan tak sanggup membayangkan bagaimana hidup sahabatnya itu nanti jika dirinya benar-benar hamil.
Bukan tanpa alasan, sebab ibunya dulu pernah mengalami hal yang serupa dengan yang dialami Marissa saat ini. Namun sedikit berbeda karena dulu ibunya hamil karena diperkosa.
Rossa lalu berbalik menatap mata Marissa dengan dalam.
"Aku akan selalu berada di sampingmu, Ris. Aku akan selalu siap membantumu. Bahkan jika aku harus mencari pria itu hingga ke ujung dunia," perkataan Rossa barusan membuat air mata Marissa menetes.
"I love you, my bestie!" Marissa memeluk sahabatnya erat. Jawaban Rossa seakan mampu membuat kekhawatirannya sirna seketika.
"I love you too, Darling," balas Rossa, mengusap punggung sahabatnya berulang.
"Hei, kau belum menjawab pertanyaanku tadi, Ris," kata Rossa sedikit berbisik. Membuat Marissa geli dan melerai pelukannya.
"Jawablah, Ris ... apakah miliknya besar dan panjang!!" teriak Rossa saat melihat Marissa kembali masuk ke dalam kamar mandi.
Di tempat berbeda, tepatnya di sebuah kamar hotel.
Pria tampan itu terlihat membuka mata. Pria bermata coklat itu bernama Giorgio Adam, berusia tepat 30 tahun hari ini.
Ya, semalam Giorgio dan sahabatnya berpesta di sebuah klub. Klub malam bukan tempat yang awam bagi Giorgio dan kawan-kawan yang notabene seorang pengusaha. Tuntutan pekerjaan yang membuatnya sudah terbiasa dengan hiruk pikuk dunia malam dan alkohol. Namun entah mengapa malam itu, Giorgio bisa mabuk. Padahal toleransinya pada alkohol sangatlah tinggi. Bahkan dirinya dikenal sebagai peminum yang andal.
Giorgio mengedarkan pandangan mencari wanita yang tidur bersamanya tadi malam.
"Kemana wanita itu?" gumam Giorgio.
Giorgio bangun lalu duduk di tepi kasur. Kepalanya masih terasa berat dan berdenyut. Entah minuman apa yang diminum semalam hingga membuatnya berakhir di ranjang bersama wanita asing.
Kemudian netranya melihat noda merah di atas seprai yang berwarna putih.
"Pantas saja terasa nikmat, rupanya dia anak perawan," gumam Giorgio menatap seprai putih itu.
"SHITT!!" Tiba-tiba Giorgio mengumpat keras saat menyadari jika semalam dirinya tak memakai pengaman saat berhubungan dengan gadis itu.
"Anak perawan dan tanpa pengaman, oh Tuhan.. lengkap sudah kesialanku hari ini!" ucap Giorgio sembari mengusap wajahnya dengan kasar.
Giorgio lalu mencari ponsel miliknya dan menekan nomor yang ada di layar ponsel.
Cari tahu wanita yang keluar dari kamarku. Sekarang!" kata Giorgio memberi perintah pada tangan kanannya. "Dan sekalian bawakan pakaian ganti. Oh iya, cek CCTV di klub itu juga, dan lihat siapa yang berani memberikan minuman sialan itu padaku." Sambung Giorgio dengan geram.
Bagaimana tidak geram, karena perbuatan orang itu, Giorgio bahkan sampai meniduri anak perawan orang, terlebih ia pun sudah menyemburkan benih premium miliknya yang selama ini tak diberikan pada sembarang wanita.
Giorgio beranjak dari ranjang lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan sisa dari percintaan panasnya semalam.
Dibawah guyuran shower, Giorgio menggosok tubuhnya dengan cepat dan keras. Ada rasa rasa jijik yang dirasakannya. Pria bermata coklat itu merupakan pria yang sangat pemilih dan selektif dalam mencari teman ranjang. Bahkan sebelum bercinta, wanita itu wajib memberikan surat keterangan dari dokter jika dia berbadan sehat dan tentunya tidak memiliki riwayat penyakit kulit atau kelamin.
Giorgio memandangi pantulan tubuhnya di cermin. Tubuh besar itu dipenuhi dengan tanda merah di beberapa bagian tubuhnya.
"Bagaimana bisa gadis perawan melakukan hal seperti ini? Apakah dia seorang pro?"
Mungkin jika tidak melihat noda merah itu, Gio begitu sapaannya akan mengira jika gadis yang ditidurinya itu sudah pro. Namun melihat darah tadi membuat asumsinya terpatahkan. Saking tidak percayanya netranya bahkan masih lekat menatap mahakarya yang dibuat oleh gadis perawan itu ditubuhnya.
Tak selang berapa lama, terdengar suara ketukan pintu dari luar. Giorgio melangkahkan kaki menuju pintu depan. Sudah ada Roby yang berdiri disana dengan sebuah paper bag di tangannya.
"Ini pesanan Anda, Tuan!" kata Roby berkelakar seraya menunduk hormat. Tiba-tiba netranya menangkap tanda merah di kulit putih sahabatnya itu.
"Suit suit ...." Roby bersiul lalu tersenyum jahil saat menatap Giorgio yang ada di hadapannya saat ini.
"Ck' kau terlalu banyak gaya, Rob! Masuklah ada yang ingin aku bicarakan," kata Giorgio lalu mereka masuk ke dalam kamar.
"Duduklah sebentar lagi pelayan akan datang membawakan sarapan untuk kita. Kau belum sarapan bukan?" kata Giorgio tanpa menunggu jawaban dari Roby, sahabatnya sebab ucapannya tadi bukanlah sebuah pertanyaan, melainkan sebuah pernyataan.
Setelah memakai baju, Giorgio lalu menghampiri Roby yang duduk di kursi dengan makanan yang yang sudah tersedia diatas meja oval.
"Kau bilang wanita itu perawan, lalu siapa yang membuat tanda sebegitu banyak di tubuhmu?" tanya Roby. Pria yang tak kalah tampan itu begitu penasaran cerita Giorgio.
"Kau tahu, karena kamulah aku berakhir di kamar ini. Andaikan saat itu kau tetap menemaniku, kejadian ini tak perlu terjadi," kata Giorgio. Mendadak kesal mengingat sang sahabat tidak ikut pesta bersamanya.
"Tapi tetap saja kau menang banyak karena menjadi yang pertama bagi gadis itu bukan!" goda Roby. "Dan, bagaimana rasanya? Ah.. pasti sangat nikmat dari wanita wanitamu sebelumnya," sambung Roby dengan senyum jahilnya.
"Makan dan jangan bicara. Aku sangat lapar karena melupakan makan malamku semalam," balas Giorgio dan mulai memakan makanannya.
Setelah sarapan, Roby mengantar Giorgio ke kantor. Rencananya hari ini akan ada meeting dengan perusahaan baru dari luar negeri.
***
Setelah meeting dengan klien dari Korea, Giorgio kembali ke ruangannya. Sudah ada Sita yang menunggu di dalam sana.
"Ada apa, Sita? Apa Oma menitipkan pesan padamu lagi?" kata Giorgio saat melihat Sita menunduk hormat padanya.
"Benar, Tuan, Oma Anda mengatakan jika pertunangan Anda dengan Nona Bella akan segera diurus olehnya sendiri jika Anda tak bergerak," kata Sita menjawab pertanyaan bosnya.
"Baiklah, kau boleh keluar. Nanti biar saya yang menelepon nenek tua itu!" Giorgio menyuruh sekretarisnya keluar.
Sita yang baru keluar dari ruangan bosnya itu berpapasan dengan Roby. Sita tersenyum lebar menyambut kedatangan pria pujaan hatinya.
Sudah sejak lama Sita menyimpan rasa pada Roby. Dia menyukai pria itu sejak dulu. Namun sayang, sifat dimiliki pria itu sebelas dua belas dengan sifat bosnya yang dingin.
"Kau sudah datang? Apa kau sudah menemukan wanita itu?" tanya Giorgio pada Roby yang baru masuk ke dalam ruangannya. Roby memang tidak ikut meeting atas perintah bosnya sendiri yang menyuruhnya mencari informasi mengenai wanita yang bersamanya semalam.
Roby tersenyum lebar, "Tentu saja! Itu seperti membalikkan telapak tanganku," Roby membalik tangannya dengan sombong.
"Aku sudah mengirim data wanita itu di ponselmu. Lihatlah, dan kau pasti tercengang!" seru Roby dengan misterius.
"Wanita itu bernama, Marissa Patricia. Umurnya 26 tahun, dia anak yatim piatu dan bekerja di klub malam tempat kemarin kita berpesta," Roby menjabarkan data wanita yang bernama itu.
"Menarik juga, jadi wanita itu bekerja di Klub malam, tapi masih perawan? Benar-benar wanita langkah." Giorgio tersenyum smirk menatap foto wanita di layar ponselnya. Wanita yang ternyata sangat cantik.
"Apa yang kau rencanakan? Senyummu membuatku takut," ujar Roby saat melihat senyum smirk sahabatnya. "Jangan lakukan itu, Man. Sepertinya dia wanita baik-baik. Buktinya dia pergi tanpa meminta imbalan kepadamu."
"Aku hanya akan memberikan sedikit pelajaran padanya," kata Giorgio lalu melempar ponselnya di atas meja.
"Apa kau marah karena dia meninggalkanmu seorang diri di kamar?! Ayolah, Man. Jangan diambil hati. Dia pasti sangat kaget saat itu," bela Roby.
"Kau gila, Rob! Dia sudah menginjak harga diriku. Dia meninggalkanku di kamar setelah tidur denganku, jika kau lupa!" tekan Giorgio geram. Lalu mengubah posisi duduknya dengan membelakangi Roby dan melihat ke arah jendela.
"Seorang Giorgio Adam ditinggal oleh seorang wanita? Apa kata dunia? Aku pasti akan membuat pelajaran padanya karena sudah berani pergi dari sana sebelum aku pergi meninggalkannya," lanjut Giorgio dengan mata tajam menatap pemandangan dari luar jendela kantornya. Marah, kesal menyelimuti hatinya tatkala harga dirinya diinjak-injak seperti ini.
"Ya, kau benar. Jangan sampai orang-orang tahu hal itu dan beranggapan kau seorang gigolo," kekeh Roby membayangkan bagaimana Giorgio yang ditinggal seorang diri diatas kasur.
Giorgio menatap sahabatnya itu dengan tajam.
"Sorry," ucapnya dengan cepat.
Giorgio menghela napasnya. "Kau benar, aku sudah seperti seorang gigolo yang ditelantarkan oleh seorang wanita," ucapan Giorgio membuat Roby tak lagi bisa menahan tawanya.
"HAHAHAHA!" ucapan Giorgio barusan membuat tawa yang sejak tadi ditahannya pun akhirnya pecah.
Roby tertawa dengan keras hingga tawanya memenuhi ruangan Giorgio .
Untung saja ruangan kerja Giorgio sudah dirancang khusus dengan kedap suara hingga tak akan ada yang mendengar tawa Roby yang sangat mengesalkan itu.
Keesokan harinya di Adams Corp.
TOK TOK TOK
"Masuk," ucap Giorgio saat mendengar suara ketukan dari luar.
Sita menunduk hormat saat memasuki ruangan bosnya.
"Ada apa?" ucap Giorgio to the point.
"Maaf, Tuan, klien kita yang dari Korea kemarin ingin memajukan jadwal meeting dikarenakan mereka harus kembali ke negaranya besok pagi," ucap Sita singkat, jelas dan padat.
"Baiklah, katakan pada Mr. Tamura kalau saya setuju dengan perubahan schedulenya," jawabnya dengan datar.
"Baik, Tuan." Sita menundukkan kepala kemudian beranjak keluar dari ruangan Giorgio .
Itulah yang disukai Giorgio pada Sita, sang sekretaris. Selama setahun bekerja, tak sekalipun Sita membuat masalah atau melanggar aturan yang sudah dia buat.
Tak seperti sekretaris yang terdahulu, mereka selalu membuat Giorgio naik pitam. Mulai dari cara berpakaian hingga selalu berusaha menggodanya.
"Huft benar-benar dingin," gumam Sita menghela napas setelah keluar dari ruangan bosnya. Dia kemudian kembali menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda.
KRING KRING KRING
Terdengar suara dering ponsel milik Giorgio. Giorgio menghela napas melihat nama yang tertera di layar ponselnya.
"Ya, Oma, ada apa? Gio sangat sibuk jadi langsung pada intinya," jawab Giorgio dengan malas dan to the poin saat mengangkat teleponnya.
Entah apa yang dikatakan sang Oma hingga membuat Giorgio menjauhkan ponselnya dari telinga.
"Baiklah, baiklah.. Gio janji secepatnya akan ke sana, tapi Oma pun juga harus janji akan menepati janjimu kali ini," pinta Giorgio pada sang Oma.
"Okey and i love you too, my old lady," balas Giorgio saat sang oma menyatakan rasa sayangnya pada sang cicit.
Giorgio tersenyum menatap layar ponselnya.
Saat usia 7 tahun, kedua orang tua Giorgio meninggal dunia dalam kecelakaan mobil. Dan semenjak saat itulah Rachel, sang Oma mengurusnya dan membesarkan Gio kecil hingga dewasa.
Gio begitu nama panggilan kesayangan dari sang oma. Terkadang dia merasa sangat bersalah karena tak mempunyai cukup banyak waktu menemani masa tua wanita yang sudah membesarkannya itu, namun pekerjaannya memang sangat banyak menyita waktunya. Terlebih sikap sang Oma yang selalu saja menyuruhnya menikah hingga membuatnya muak.
Giorgio tahu jika apa yang diinginkan sang oma untuk kebaikannya, namun Gio tak ingin menikah karena paksaan semata.
Gio ingin jika suatu saat menikah, dia akan menikah dengan wanita pilihannya sendiri. Namun sayang, sampai detik ini, belum ada wanita yang mampu menggetarkan sang pemilik hati.
***
Saat ini mereka sudah berada di klub yang semalam mereka booking saat merayakan pesta ulang tahun Giorgio. Namun kali ini berbeda, bukan pesta ulang tahun melainkan sebuah pesta keberhasilan proyek triliunan dollar antara perusahaannya dengan dengan perusahan korea.
Ya, sebelum mereka bertolak ke negara mereka. Giorgio menjamu mereka dengan mengundang ke klub malam yang sudah di reservasi Roby sebelumnya.
Suara dentuman musik memekakkan telinga siapa saja yang mendengarnya, terkecuali bagi orang-orang yang sudah terbiasa seperti Giorgio dan Roby.
Seseorang menepuk pundak Giorgio membuat pria tampan itu terkejut.
"Oh, God.. kau mengagetkanku, Dom. Dimana yang lain?" tanya Giorgio pada salah satu sahabatnya.
"Mungkin mereka masih dijalan," ucap Roby yang tiba-tiba datang entah dari mana.
Giorgio mengangguk. "Bagaimana dengan klien kita? Apakah mereka sudah sampai?" tanyanya lagi pada Roby.
"Sudah, mereka sudah berada di ruangannya masing-masing. Tenanglah dan nikmati malammu," ucap Roby dengan senyum smirknya.
"Hei, apa aku ketinggalan sesuatu?" tanya Dominic penasaran saat mendengar perkataan Roby yang penuh makna.
Giorgio tergelak mendengar ucapan Roby padanya.
"Kau sudah melakukan apa yang kuminta?" tanya Giorgio pada Roby lalu Roby mengangguk.
"Baiklah, kalian bisa pergi. Malam ini aku yang mentraktir kalian semua, katakan ini pada yang lain," Ucap Giorgio mengibaskan tangan menyuruh kedua sahabatnya pergi.
"Tidak. Katakan dulu apa yang kalian berdua rahasiakan."
"Come on, Dom jangan mengganggunya malam ini!" seru Roby lalu menepuk bahu Dominic seraya berjalan keluar dari ruangan Giorgio.
Kemudian tak berselang lama, Giorgio keluar dari ruangannya dan melihat dari jauh beberapa pelayan wanita masuk ke dalam ruangan yang sudah dipesan oleh Roby. Semakin dekat, Giorgio bisa melihat satu persatu pelayan wanita tersebut menghampiri para kolega bisnisnya.
Mereka menemani dan melayani kliennya minum, pelayanan yang diberikan pihak klub sangat baik. Bagaimana tidak baik, Giorgio bahkan sudah merogoh kocek dalam-dalam hanya untuk memberikan kesan terbaik bagi para klien dan investor perusahaannya.
Giorgio berjalan meninggalkan para kliennya untuk menikmati jamuan yang sudah disiapkan sejak kemarin. Lalu netranya tiba-tiba menangkap sosok wanita tinggi, putih dan cantik yang sedang melayani beberapa pria di bawah sana.
Ruangan VVIP yang ditempati Giorgio saat ini berada di lantai dua hingga bisa melihat wanita itu dengan jelas.
Harga dirinya seperti diinjak injak saat mengingat kembali bagaimana wanita itu meninggalkannya di kamar hotel seorang diri. Padahal biasanya, Giorgio lah yang akan meninggalkan wanita penghangat ranjangnya terlebih dahulu setelah mendapat kepuasan.
Ya, wanita yang tengah Giorgio perhatian adalah Marissa. Wanita yang sudah menginjak harga dirinya sebagai seorang pria.
Giorgio menatap Marissa dalam-dalam dengan senyuman yang entah. Pria bermata coklat itu bahkan bisa mengetahui ukuran tubuh seorang wanita tanpa harus menyentuhnya.
"36B, lumayan, aahh.. aku jadi menginginkan benda itu lagi," gumam Giorgio dan masih menatap wanita itu.
Giorgio masih mengawasi setiap pergerakan wanita itu hingga saat Marissa akan beranjak, tangannya ditarik oleh salah satu pria berotak mesum.
Giginya gemeretak melihat pemandangan itu. Giorgio tak suka melihat tangan Marissa disentuh orang lain. Namun senyumnya tiba-tiba terbit saat Giorgio melihat gerakan lincah wanita itu saat menyikut perut pria itu.
"Boleh juga," gumam Giorgio .
Senyum yang tadinya bersarang di wajahnya tiba-tiba berubah saat melihat wanita itu dihempas hingga dia jatuh ke lantai. Tangannya mengepal dengan kuat hingga terlihat memutih saat melihat ekspresi wanita itu menahan sakit.
"Maaf, Tuan. Bisakah Anda melepas tanganku? Aku harus kembali bekerja," ucap Marissa masih dengan nada sopan. Walau sekujur tubuhnya sudah remuk redam.
Hal seperti ini sudah hal lumrah bagi pekerja klub malam seperti Marissa. Mendapat sentuhan hingga pelecehan dari para tamu merupakan hal biasa setiap kali dirinya melayani tamu yang memiliki otak pendek dan mesum.
Tubuh Marissa yang tinggi serta seksi dengan wajah putih yang cantik, membuat para pengunjung tamu tersebut berlomba-lomba ingin menyentuhnya, tak terkecuali pria yang saat ini menggodanya.
"Hei, ayolah! Saya akan memberikanmu uang yang banyak bahkan lebih banyak dari gajimu disini. Bagaimana? Kau mau menjadi wanitaku?" tawar Pria itu.
Tangan Marissa sudah mengepal dengan kuat dan siap melayangkan tinjunya saat mendengar ucapan kurang ajar pria hidung belang itu.
"Tuan, lepaskan, aku mohon lepaskan tanganku!" pinta Marissa untuk kedua kali. Emosi sudah mulai menguasai dirinya, namun sebisa mungkin masih menahan diri.
"Jangan jual mahal padaku, Sayang. Aku bisa dengan mudah mendapatkan wanita yang lebih dari kamu!" kata Pria itu dengan marah karena ditolak terang-terangan di hadapan teman-temannya.
"Kalau begitu kau bisa melakukannya pada wanita jalang itu, Tuan!" Ucap Marissa dengan tatapan tajam sembari melepas tangan dari jerat pria itu.
Dan pria itu tak terima dengan penolakan yang diberikan Marissa yang dianggap sangat sombong dan jual mahal dengan statusnya yang hanya sebagai pekerja klub malam.
Pria itu semakin tertantang dengan penolakannya hingga membuatnya semakin bersemangat dan ingin menyentuh tubuh Marissa. Lalu dengan satu hentakan keras membuat tubuh Marissa terhuyung ke depan dan masuk ke dalam dekapan pria buaya itu.
"Huft! Kau sudah benar-benar membuat kesabaranku menghilang, Tuan!!" kata Marissa penuh penekanan setiap katanya.
Dengan gerakan cepat Marissa langsung menyikut perut pria itu dengan keras hingga membuatnya berteriak kesakitan sambil memegang perutnya.
"AUUWWW, DASAR WANITA SIALAN!! pekik pria itu dan langsung mendorong tubuh Marissa hingga membuatnya jatuh terjerembab di atas lantai.
"Sstt!" desis Marissa saat bahunya terbentur meja dengan keras.
Pria bertubuh tinggi dan besar itu berdiri lalu mengangkat tubuh wanita bermata biru itu dengan menarik baju yang dikenakan.
"Kau berani denganku! Kau tak tahu siapa aku, huh! Kau terlalu sombong dengan derajatmu yang hanya sebagai pekerja klub malam," ucapnya menghina.
Marissa lalu memukul pria itu dengan kepalanya hingga membuat hidungnya berdarah dan mengadu.
AARRGGG!!
"Apa bedanya kau dan aku, Tuan? Kau bahkan lebih hina dari kami karena masih mau menyentuh wanita malam seperti kami!" balas Marissa dengan ucapan tak kalah menohok yang membuat pria itu emosi dan siap menampar.
Namun belum sempat tangannya menyentuh wajah Marissa, bogeman mentah justru sudah melayang tepat di rahang tegas pria itu dengan sangat keras hingga membuat tubuhnya terhempas di atas sofa.
"AAARRRGGG!!" teriak pria itu lagi. Kembali kesakitan, namun kali ini karena mendapat pukulan keras dari pria yang tidak dikenal.
"SIAPA KAU! DAN APA URUSANMU DENGANKU, HUH!! AH.. APA DIA JALANGMU!!!" teriak pria itu lagi sembari memegang sudut bibirnya yang pecah dan mengeluarkan darah.
Giorgio lalu kembali menarik kerah baju pria itu lalu kembali meninju wajah pria itu tanpa ampun hingga membuat wajahnya babak belur.
Marissa memundurkan langkahnya saat melihat siapa pria yang menolongnya.
"Oh God, apakah dia pria itu?" ucap Marissa dalam hati lalu menundukkan kepalanya cepat.
Marissa menelan saliva dengan berat saat mendapati pria yang sama dengan pria yang ada di ranjang hotel waktu itu.
Benarkah itu dia?
Karena masih penasaran, Marissa lantas mencuri pandang pada pria tampan di depannya dan tanpa sengaja netranya bertabrakan dengan mata pria bermata coklat itu cukup lama. Lalu mengalihkan pandangannya ke samping.
"Apakah dia masih mengenaliku? Tidak tidak, dia pasti tak mengenalku karena waktu itu dia dalam keadaan mabuk berat," tanya Marissa bermonolog dalam hati.
Marissa lalu menundukkan kepala saat sang manajer klub datang menghampiri mereka.
"Ada apa ini!!" kata si manager itu dengan lantang. Lalu beralih menatap karyawannya.
"Marissa! Apa yang terjadi? Jangan katakan kau yang melakukan ini lagi?" seru sang manajer pada Marissa saat melihat seorang pria terduduk dengan hidung yang berdarah dan luka di sudut bibirnya.
"Maaf, maafkan saya, Tuan," kata Marissa meminta maaf pada sang manajer.
Manajer itu lalu memberikan kode pada Marissa dengan tatapan matanya. Setelah itu, Marissa pergi dari sana.
"Maafkan pegawai saya, Tuan," kata sang manajer meminta maaf pada pria yang terluka itu.
"Kenapa kau yang meminta maaf padanya?! Bahkan kau tak mendengarkan alasan dari pegawaimu itu sebelum menyuruhnya pergi?" ucap Giorgio tiba-tiba hingga membuat manajer itu berbalik dan menatapnya.
"Tu-tuan Adam!" seru manajer itu dengan kaget lalu menundukkan kepalanya saat melihat orang disebelahnya adalah tuan Giorgio Adam yang merupakan pelanggan VVIP nya. Salah satu pria berkuasa di negara ini.
"Usir pria ini dan jangan biarkan dia memasuki klub ini lagi. Kalau tidak, saya yang akan meratakan klub ini menjadi puing-puing batu," ucap Giorgio dengan tegas dengan nada mengancam.
"Ba-baaik, Tuan!" jawab sang manajer dengan gagap. Kemudian manajer itu memberikan tanda pada security yang berjaga di sana dan menyuruh mereka membawa pria itu keluar dari klub malamnya.
"KALIAN AKAN MENYESAL ATAS APA YANG KALIAN LAKUKAN PADAKU MALAM INI!! DAN KAU, TUNGGULAH PEMBALASANKU BAJINGAN!" teriak pria itu dengan terus berteriak hingga dia keluar dari klub malam itu.
Giorgio pergi dari sana setelah memberikan pelajaran pada pria yang sudah mengganggu wanitanya.
Wanitanya? Ya, Giorgio memutuskan akan menjadikan Marissa wanitanya. Entah mengapa saat melihat pria lain menyentuh tangan wanita itu, ada rasa tidak rela melihat tubuh yang sudah dinikmatinya di sentuh oleh pria lain juga.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!