Teriakan penuh histeris seorang pria paruh baya terdengar menggema di salah satu lorong bawah tanah sebuah mansion mewah. Dibalik keindahan mansion itu, tersimpan sebuah rahasia besar yang hanya diketahui oleh keluarga inti saja.
"Argh! Sakit!!"
"Cepat katakan! siapa yang menyuruhmu menggagalkan rencana ku!"
Pemuda itu menatap sinis kearah pria tua yang duduk meringkuk di atas tanah. Meskipun pada kenyataannya tangan pemuda itu sudah gatal ingin mencabut nyawa pria tua itu dalam sekejap. Hanya saja, hatinya tidak akan puas membiarkan seorang penghianat mati dengan mudah.
"Setrum dia sampai dia mau mengatakan yang sebenarnya!"
Bzzzt
Bzzzt
Bzzzt
"Argh!! Sakit!"
"Aku tidak akan angkat bicara! Karena aku sudah bersumpah akan setia sampai mati!" teriak pria tua itu dengan suara bergetar menahan rasa sakit dan ngilu luka di tubuhnya.
Pemuda itu tersenyum menyeringai mendengar perkataan pria tua itu.
"Benarkah? Aku masih ingin melihat sejauh mana kesetiaan mu kepada pria busuk itu!"
Pemuda itu mengeluarkan pisau tajam kesayangannya sembari tersenyum menyeramkan.
Sreek
Sreek
Sreek
Tanpa rasa takut ataupun jijik pemuda itu mengeluarkan seluruh organ bagian dalam tubuh pria tua itu sebelum memenggal kepalanya.
Para anak buah pria itu merinding sekaligus mual melihat aksi bejad tuan mereka. Namun, mereka harus kuat menyaksikan adegan sadis itu kalau tidak mau menggantikan posisi pria tua itu.
"Buang tubuhnya ke laut!" perintah pemuda itu dengan aura membunuh yang kental. Ia tidak mau jejak pria itu terendus oleh saingan bisnisnya.
Dengan tubuh berlumuran darah, pemuda itu keluar dari ruangan bawah tanah. Pemuda itu lalu masuk ke kamarnya dan melangkah menuju kamar mandi.
Air shower membasahi seluruh tubuhnya hingga menghapus semua jejak darah yang menempel di tubuh maupun pakaiannya.
Orlando Kalvino Dirgantara Gultom. Setelah dewasa Orlando akhirnya tumbuh menjadi pemuda yang begitu tampan.
Setelah menginjak usia 23 tahun, Orlando memutuskan mengajar sebagai seorang dosen di salah satu kampus bergengsi di Italia. Ia dikenal sebagai dosen killer dingin dan pelit dengan nilai.
3 tahun telah berlalu. Orlando masih belum bisa merelakan kepergian ibunya. Ia hanya bisa memendam perasaan sedih dan kecewa di dalam hatinya seorang diri.
#
#
Di kediaman Arnold
David tak henti-hentinya menghela napas memikirkan hubungan keluarga kakaknya. Setelah Karina meninggal. Hubungan Ocean dan salah satu putranya menjadi dingin.
Orlando begitu marah kepada Ocean atas kematian Karina. Andai saja Ocean tidak mencampuri kehidupan pribadi Sean 5 tahun lalu. Karina tidak akan meninggal. Itulah yang tertanam di bena pemuda itu.
Sudah tiga tahun berlalu. Namun, hubungan mereka tak kunjung membaik.
Kedatangan putrinya membuyarkan lamunan David.
"Enza! Darimana saja kamu?" tanya David dengan mata melotot. Suara bariton pria paruh baya itu menghentikan langkah Vicenza Maxima Arnold.
"Enza habis pulang kuliah, Dad. Enza capek seharian di kampus. Enza mau mandi dulu." sahut Enza buru-buru naik ke lantai 2 menuju kamarnya.
David menghela napas melihat sikap cuek putrinya. Beberapa hari ini sikap Enza tiba-tiba berubah drastis tanpa alasan yang jelas.
Di dalam kamarnya
Enza mengeluarkan sebuah kado yang baru saja dia beli di mall. Kado itu akan Enza berikan kepada pria yang sangat dicintainya beberapa tahun ini.
"Besok dia akan berulang tahun. Aku yakin dia akan tinggal sendirian lagi setelah ditinggal Uncle pindah ke Indonesia." gumam Enza tersenyum tipis menatap foto seorang pemuda yang tersembunyi di galeri ponselnya.
Enza memutuskan mandi sebelum turun ke lantai satu makan malam keluarga. Ia yakin sebentar lagi ibu dan kedua saudaranya pulang kerja.
#
#
Di ruangan makan
"Bagaimana dengan kampus barumu, Nak? Apa kamu menyukainya?" tanya Christine dengan tatapan lembut.
"Sure, Mom. Enza sangat menyukainya." sahut Enza sembari mengunyah makanan yang ada di dalam mulutnya.
"Mommy harap kamu bisa mengubah sikap kerasa kepalamu. Bagaimanapun sekarang kamu sudah menginjak usia dewasa dan cukup matang memikirkan sebuah pernikahan." celetuk ibunya tiba-tiba membuat Enza terdiam.
"Sayang, Enza masih muda. Usianya belum cukup matang menikah dalam waktu dekat."celetuk David menatap istrinya dengan penuh peringatan.
"Aku hanya sedang mengingatkan putri kita, sayang." balas Christine dengan wajah serius.
Entah mengapa selera makan Enza tiba-tiba hilang mendengar ucapan ibunya.
"Enza tiba-tiba ingat kalau Enza masih punya tugas yang belum diselesaikan. Enza pamit ke kamar dulu Mom, Dad." ujar Enza menyudahi makan malamnya.
Enza buru-buru kembali ke kamarnya menghindari perdebatan kedua orang tuanya.
Vicenza Maxima Arnold. Enza merupakan anak ketiga David dan Christine. Gadis berusia 21 tahun itu sekarang berkuliah di salah satu kampus bergengsi swasta di Italia beberapa hari ini. Enza memutuskan kembali ke Italia setelah menetap selama 1 tahun di Inggris.
#
#
Orlando duduk di kursi meja bar salah satu ruangan khusus kediaman orang tuanya. Ia melirik sekilas kearah layar ponselnya saat mendengar sebuah notifikasi pesan WhatsApp.
[Apa yang sedang kamu lakukan? Apakah besok kamu memiliki jadwal mengajar?]
Orlando terlihat tidak menggubris pertanyaan dari pengirim pesan itu. Ia malah meneguk segelas wine dalam sekali teguk.
"Madre. Orlando begitu merindukan, Madre." gumam-nya meneteskan air mata.
Tiga tahun ini hanya dengan minum alkohol dan mabuk Orlando bisa tidur dengan nyenyak. Pria itu tidak akan bisa tidur nyenyak dalam keadaan sadar. Setelah kepergian Karina. Orlando sering kali bermimpi buruk dan mengalami gangguan kecemasan.
Keesokkan harinya Orlando menjalani hari-harinya seperti biasa.
Beberapa mahasiswa dan mahasiswi terlihat berlalu lalang menuju ruangan kelas mereka masing-masing.
Orlando melewati mereka dengan wajah datar dan dingin. Siapapun tidak ada yang berani berkomentar maupun mengkritiknya secara langsung.
Dibalik sikap dinginnya. Beberapa mahasiswi cukup terpikat dengan ketampanannya. Hingga tak ayal mereka dengan senang hati mengulang mata kuliah yang diampu oleh Orlando agar bertemu dengan dosen muda, tampan dan berprestasi sepertinya.
Tok
Tok
Tok
"Masuk!" sahut Orlando tanpa mengalihkan pandanganya dari laptopnya.
Gadis itu menatap wajah cuek Orlando dengan perasaan canggung.
"Apa kedatangan ku mengganggu pekerjaanmu?" tanya Gadis itu meletakkan sebuah bingkisan di atas meja Orlando.
"Aku hanya ingin memberikan hadiah kecil ini. Selamat ulang tahun. Semoga kebahagiaan selalu menyertai mu." lanjut Gadis itu saat tidak mendapatkan jawaban dari Orlando.
Orlando tetap diam tanpa mengucapkan sepatah katapun. Bahkan menatap wajah gadis itu rasanya Orlando masih enggan.
Gadis itu pura-pura melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Sepertinya aku harus kembali ke kelas sebelum Madam Karelia datang." ujar gadis itu sebelum keluar dari ruangan Orlando.
Dengan wajah sedih gadis itu kembali ke kelasnya. Sebentar lagi mata kuliah akan dimulai. Ia tidak ingin datang terlambat.
Orlando hanya menatap bingkisan itu dengan wajah tenang dan datar sebelum melanjutkan pekerjaannya.
Setelah selesai mengajar. Orlando memutuskan pulang lebih awal. Pria itu memutuskan singgah di sebuah toko bunga dan membeli sebuket bunga mawar putih.
Tak beberapa lama mobil yang dikendarai Orlando tiba di sebuah pemakaman umum.
Orlando terdiam beberapa saat di dalam mobil sebelum keluar. Ia melangkah menuju salah satu makam berwarna putih yang masih sangat terawat.
Orlando meletakkan bunga mawar itu di atas makam ibunya dan berucap dengan mata berkaca-kaca.
"Madre..., hari ini merupakan ketiga kalinya Orlando berulang tahun tanpa kehadiran Madre. Biasanya Madre yang paling pertama mengucapkan selamat ulang tahun kepada Orlando. Namun sekarang, Orlando hanya bisa mengenang momen itu tanpa bisa merasakannya kembali."
"Madre tenang saja. Selama tiga tahun ini Orlando hidup dengan baik. Hanya saja, Orlando belum bisa melepas kepergian Madre."
Tiba-tiba air mata pemuda itu mengalir deras menatap makam ibunya. Meskipun darah mafia cukup kental mengalir di dalam tubuhnya. Namun, Orlando tetaplah manusia biasa yang punya perasaan kehilangan ibu yang sangat dicintainya.
"Madre.... apakah kepergian Sean sangat membekas di hati Madre?"
Pertanyaan itu membuat hati Orlando kembali sakit mengenang hari pertama kepergian ibunya.
"Madre... Apakah surga itu indah? Apakah Madre sangat betah tinggal disana hingga memutuskan pergi tiga tahun lalu? Madre tidak usah khawatir. Orlando yakin Sean belum meninggal, Orlando yakin Sean pasti masih hidup."
Raut wajah Orlando tiba-tiba berubah datar dan menatap lurus ke depan.
"Ternyata kamu ada disini." celetuk seorang gadis muda meletakkan sebuket mawar putih di atas makam Karina.
Orlando hanya diam tanpa menjawab pertanyaan gadis itu.
Gadis itu menghela napas panjang dan berusaha menunjukkan senyum terbaiknya di depan Orlando.
"Aku tahu kamu belum bisa merelakan kepergian Aunty. Tapi, hidup akan terus berjalan. Kamu harus tetap melanjutkan hidupmu dan menata kembali masa depanmu."
"Apa kamu tidak berniat mengunjungi Uncle di Indonesia. Aku dengar akhir-akhir ini kondisi kesehatan Uncle kurang baik. Mungkin kedatang kamu bisa mengobati sedikit rasa sakitnya." lanjut gadis itu mencabut beberapa rumput hijau yang mulai tumbuh di pinggir makam Karina. Gadis itu mengangkat kepalanya dan menatap wajah dingin Orlando saat tidak mendengar jawaban dari pemuda itu.
Tiba-tiba Orlando mengalihkan pandanganya kearah gadis muda itu. Ia menatap wajah polos itu dengan tatapan tajam dan penuh peringatan.
"Jangan pernah mencampuri urusan keluarga ku, Enza! Kau masih kecil dan tidak memiliki hak menggurui orang yang lebih tua darimu!" ketus Orlando sebelum berlalu dari sana.
Enza buru-buru berdiri mengejar langkah Orlando dan menjelaskan tujuan ucapannya barusan.
"Aku tidak bermaksud menggurui mu! Aku hanya ingin kamu dan Uncle berbaikan dan mengakhiri semua masalah yang terjadi 3 tahun yang lalu."
Orlando tidak memperdulikan perkataan Enza. Ia langsung masuk ke dalam mobilnya dan meninggalkan pemakaman begitu saja.
Enza menatap kepergian mobil Orlando dengan wajah murung.
Saat kembali ke mansion Arnold. Enza melihat kedua orang tuanya menunggu kepulangan-nya dengan wajah cemas.
"Dari mana saja kamu?" tanya Christine menatap wajah murung putrinya.
"Enza baru pulang dari makam Aunty, Mom." jawab Enza dengan wajah murung.
"Lalu mengapa raut wajah kamu berubah murung, Sayang?" tanya Christine mengelus kepala putrinya dengan lembut.
Hiks
Hiks
Hiks
Tiba-tiba Enza memeluk ibunya dan menangis sesenggukan.
Christine dan David saling memandang melihat sikap tak biasa putri mereka.
David mengelus kepala putrinya dengan bertanya dengan suara lembut.
"Putri Daddy kenapa tiba-tiba menangis?" tanya David dengan lembut.
"Enza tiba-tiba rindu dengan Aunty" katanya dengan bibir bergetar.
"Sayang, hidup dan mati seseorang tidak bisa diprediksi oleh manusia. Pada akhirnya kita semua juga akan meninggal dunia mengikuti jejak Aunty Karina." ujar David dengan bijak.
"Apa kamu bertemu dengan Orlando di makam Aunty?"
David yakin kesedihan putrinya tidak lepas dari sikap keponakannya yang terkesan datar dan dingin. Apa lagi sejak tiga tahun lalu kepribadian pemuda itu tiba-tiba berubah total. Siapapun tidak bisa menjinakkan pemuda itu termasuk Oscar dan Nica sekalipun.
Enza mengangguk dengan pelan.
"Bukankah hari ini ulang tahun Orlando? Haruskah kita mengundangnya makan malam bersama di mansion Arnold?" celetuk Christine tiba-tiba.
"Daddy akan menghubungi Orlando." ujar David mengeluarkan ponselnya menghubungi keponakannya.
#
#
Disisi lain
"Sakit!!"
"Lepas!"
Seorang wanita berpakaian minim diseret oleh seorang pemuda dengan wajah datar menuju salah satu ruangan bawah tanah salah satu club langganannya.
"Bukankah beberapa menit yang lalu kau secara terang-terangan menggodaku jalang!" bisik pemuda itu menjambak rambut wanita itu dengan tatapan membunuh.
"Aku mohon...., lepaskan aku!" pinta wanita itu dengan mata berkaca-kaca.
Orlando tersenyum menyeringai melihat tatapan menyedihkan wanita itu.
Orlando mengeluarkan beberapa jenis pisau dari dalam jaketnya dan menggores wajah wanita itu dengan tatapan puas.
"Argh!!"
"Sakit!"
"Kau benar-benar gila!" teriak wanita itu tidak bisa menahan rasa sakit dan ngilu di wajahnya.
"Benarkah?" tanya Orlando menghentikan kegiatannya.
"Ya! Kau benar-benar sakit jiwa! Kau butuh psikiater untuk menyembuhkan mental mu!" hina wanita itu mempertegas ucapannya.
Sreek
Sreek
Sreek
Lagi-lagi Orlando melakukan hal yang sama. melukai tubuh targetnya tanpa perasaan dan rasa bersalah. Ia mengeluarkan seluruh organ tubuh wanita itu dengan tatapan puas.
Setelah selesai menghabisi wanita itu. Orlando berdiri dan menatap genangan darah merah yang membasahi lantai.
Orlando berlalu dari sana tanpa disadari oleh siapapun.
Setibanya di mansion lama orang tuanya. Ponsel Orlando tiba-tiba berdering. Saat melihat nama si penelpon. Orlando langsung mengangkat panggilan masuk itu.
"Yes, Uncle. Ada apa?" tanya Orlando dengan suara dingin.
David terdengar berdehem pelan mendengar suara dingin keponakannya.
[Hem! Uncle dan Aunty ingin mengundang mu makan malam di kediaman Arnold untuk merayakan ulang tahun mu. Apakah kamu memiliki waktu luang?]
Orlando terdiam mendengar ucapan David. Ia sebenarnya tidak ingin pergi kemana-mana malam ini. Namun, Orlando juga tidak bisa menolak permintaan David.
"Baik, Uncle. Orlando akan datang makan malam di kediaman Arnold." ujar Orlando sebelum mengakhiri panggilan telepon dari David.
Tepat malam hari di kediaman Arnold. Orlando melangkah masuk ke dalam mansion dan menemukan seluruh keluarga Arnold ternyata sudah berkumpul disana.
"Ternyata Uncle Darren juga ada disini."celetuk Orlando menyapa adik ibunya.
"Uncle tidak mungkin melewatkan ulang tahunmu tahun ini. Bukankah hari ini kamu akan berusia 27 tahun. Uncle rasa usia 27 tahun sudah cukup matang untuk memulai hubungan serius dengan seorang wanita." sahut Darren membuat raut wajah Orlando berubah warna. Ia terlihat tidak tertarik dengan topik pembicaraan sang paman.
"Jika kamu kesulitan mencari pasangan. Uncle dan Aunty punya beberapa kandidat wanita yang cocok menjadi pasangan mu." celetuk istri Darren angkat bicara.
Enza hanya diam dan menunduk mendengar pembicaraan mereka. Meskipun terselip sedikit rasa cemas dan khawatir di dalam hatinya.
"Sebaiknya kita makan malam dulu. Kalian bisa membicarakan masalah itu setelah makan malam usai." ujar David tiba-tiba melangkah kearah mereka.
Semua keluarga Arnold melangkah menuju ruangan makan. Oscar dan istrinya sedang berada di Indonesia menjenguk Ocean yang sedang sakit. Sementara Nica dan Luiz juga tidak bisa berkunjung ke Italia dalam waktu dekat karena kondisi Ocean yang tidak memungkinkan.
Tak ada satupun dari mereka yang bisa ikut bergabung merayakan ulang tahun Orlando.
Keesokkan harinya Orlando terbangun dengan wajah lelah. Ia tidak bisa tidur tadi malam karena memikirkan ucapan keluarga besar Arnold.
Flashback On
"Orlando... Usia Kakak ipar tidak akan lama lagi. Kakak ipar ingin melihat kamu menikah dengan wanita yang kamu cintai. Abang ipar didiagnosa menderita kanker hati stadium 4. Ia hanya memiliki waktu 1 bulan sebelum pergi untuk selama-lamanya. Karena dokter sudah menyerah dan tidak bisa berbuat apa-apa menyembuhkan penyakit Abang ipar."
Deg
Tubuh Orlando membatu mendengar penuturan David.
"Bagaimana bisa?" lirih Orlando dengan tatapan kosong.
"Sejak kematian kakak. Kakak ipar lebih sering mengurung diri di dalam kamar. Ia merasa bersalah atas kematian kakak dan juga Sean."
"Uncle harap kamu mempertimbangkan ucapan Uncle hari ini. Bagaimanapun hanya kamu yang belum menikah diantara kedua saudaramu. Sementara Sean..."
Mata David berkaca-kaca mengingat keponakan pertamanya.
"Jika kamu belum memiliki pasangan, Uncle bisa mengenalkan beberapa putri rekan bisnis Uncle padamu. Mereka berasal dari keluarga terhormat dan berpendidikan." celetuk Darren tiba-tiba mengalihkan kesedihan saudara kembarnya.
"Tidak usah, Uncle. Orlando sudah memiliki kekasih dan akan mengenalkan wanita pilihan Orlando kepada kalian." ujar Orlando tiba-tiba.
Tanpa Orlando sadari ucapannya barusan membuat hati Enza sedih.
Flashback Off
Di kampus
Enza masuk ke dalam kelas dengan wajah murung dengan kepala menunduk. Sang sahabat yang melihat kedatangan Enza langsung menghampirinya.
Enza duduk di salah satu kursi kosong dengan kepala menunduk.
"Hai Princess keluarga Arnold! Mengapa wajahmu terlihat seperti gadis muda yang mendapatkan banyak tekanan?" tanya Fidelis duduk di sebelah Enza.
Enza mengangkat kepalanya dan menatap sahabatnya dengan mata berkaca-kaca.
"Ternyata dia sudah memiliki kekasih. Keluarga kami memintanya untuk segera menikah sebelum kondisi kesehatan Uncle semakin memburuk. Karena Uncle hanya memiliki waktu 1 bulan untuk bertahan hidup." lirih Enza membuat Fidelis ikut sedih mendengar ucapan Enza.
Fidelis tahu bagaimana perjuangan Enza mendekati Orlando. Namun, sikap dingin dan cuek pria itu membuat cinta Enza bertepuk sebelah tangan.
"Bagaimana jika ucapannya tadi malam beneran? Apa dia akan menikah dengan kekasihnya?" lirih Enza dengan suara bergetar.
Fidelis menatap kedua mata Enza dengan perasaan iba. Ia tersenyum tipis dan berucap dengan lembut. "Bukankah kamu masih memiliki waktu untuk menyakinkan Orlando kalau kamu mencintainya."
"Tapi kami tidak mungkin bisa bersama, Fidel. Keluarga kami juga tidak akan setuju dengan hubungan kami. Bagaimanapun status kami sebagai sepupu akan menjadi salah satu alasan Orlando menolak perasaan ku." lirih Enza dengan wajah sedih.
Fidel tersenyum tipis dan membisikkan sesuatu di dekat telinga Enza.
"What!! Apa kamu gila! Aku tidak mau melakukannya! Jika rencana yang kamu bisikkan ketahuan, kedua orang tuaku bisa murka!" tegas Enza dengan wajah kesal membuat beberapa puluh pasangan mata mengalihkan pandangan mereka kearah Enza dan Fidelis.
"Hanya dengan cara itu kamu bisa mendapatkan pria dingin sepertinya." bisik Fidelis membuat Enza terdiam.
"Apa kamu tahu. Barusan aku melihat pak Gultom mengajak salah satu dosen muda populer di kampus kita dinner nanti malam. Coba kamu tebak apa yang ingin pak Gultom sampaikan kepada dosen populer itu." celetuk Fidelis kembali menghasut Enza.
Entah mengapa Enza tiba-tiba gelisah mendengar penuturan Fidelis.
"Bagaimana jika Miss Clarissa yang akan dibawa Orlando dalam pertemuan keluarga Minggu depan?" gumam Enza dengan wajah cemas.
Enza bisa memprediksi kalau keluarga besarnya pasti akan sangat setuju dengan wanita pilihan Orlando. Lalu bagaimana dengan perasaannya. Enza sudah terlanjur mencintai Orlando sejak mereka remaja.
Tiba-tiba dosen masuk dan menghentikan obrolan keduanya. Selama perkuliahan berlangsung, Enza tak henti-hentinya melamun memikirkan perkataan Fidelis beberapa saat lalu. Penjelasan dosen yang mengajar seakan seperti angin lalu di telinganya.
Tak terasa hari sudah sore. Enza memutuskan melangkah menuju parkiran kembali ke mansion. Beberapa mahasiswa dan mahasiswi terdengar heboh saat melihat perlakuan romantis dosen dingin di kampus mereka kepada salah satu dosen perempuan yang paling populer di kampus mereka.
Deg
Langkah Enza terhenti saat melihat Orlando secara terang-terangan membukakan pintu mobil untuk Miss Clarissa. Miss Clarissa merupakan salah satu dosen tercantik dan termuda di kampus Enza. Pria mana yang akan menolak pesona memikat wanita itu. Bahkan pemuda dingin seperti Orlando terpikat dengan pesona wanita itu.
Enza melanjutkan langkahnya setelah mobil yang dikendarai Orlando bersama Clarissa berlalu dari sana. Enza masuk ke dalam mobil dan duduk beberapa saat menenangkan perasaannya.
"Mengapa hatiku sakit setiap kali melihatnya dekat dengan perempuan lain. Mengapa mencintainya sesakit ini." gumam Enza tidak bisa menahan air matanya.
Hiks
Hiks
Hiks
Setelah puas menangis. Enza meninggalkan parkiran kampus dan mengemudi menuju salah satu tempat kesukaannya.
Tak beberapa lama Enza tiba di salah satu pantai terbaik di Roma.
#
#
#
Pantai Mediterranean
Enza keluar dari mobilnya dan melangkah menuju salah satu butik yang ada disana membeli pakaian pantai yang sedikit transparan dan seksi.
Enza tersenyum tipis setelah mengenakan pakaian pantai yang diinginkannya. Enza lalu keluar dari butik dan melangkah menuju salah satu restoran outdoor di sekitar pantai.
Sejam telah berlalu, Enza terlihat masih betah disana menunggu sunset muncul. Sembari menunggu sunset tenggelam bersama gelapnya malam. Enza memutuskan berjalan sekitar pinggir pantai menikmati sunset dan mengabadikan beberapa moments indah.
Enza ber-selfie dengan background sunset di tepi laut Mediterranean. Ia tersenyum manis menatap kamera dan memamerkan leher jenjangnya.
Enza memposting foto itu di story Instagramnya dan menambah caption manis.
"Tempat teristimewa tetaplah tempat yang sama. Sama halnya dengan hati. Sekuat apapun hati mu mengacuhkannya, tujuannya akan tetap kearah yang sama."
Enza melanjutkan langkahnya setelah memposting foto cantiknya.
#
#
Disisi lain
Setelah selesai makan malam bersama Clarissa. Orlando langsung mengantar Clarissa kembali ke kediaman orang tua wanita itu.
"Kamu tidak perlu menjawab pertanyaan ku dengan terburu-buru. Aku masih memiliki waktu selama 3 hari sebelum acara pertemuan keluarga tiba." ujar Orlando menatap wajah cantik Clarissa.
Clarissa hanya mengangguk sebelum membalikkan tubuhnya. Namun, jauh di lubuk hatinya wanita itu juga tidak bisa menyembunyikan wajah bahagianya.
Ting
Sebuah notifikasi tiba-tiba muncul di layar ponsel Orlando. Ia langsung membuka notifikasi itu dan menatap datar kearah layar ponselnya. Warna wajahnya tiba-tiba berubah merah dan rahangnya mengeras tanpa alasan yang jelas.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!