NovelToon NovelToon

Awan Hitam Di Hidupku

Semakin di Sembunyikan

Malam ini semua anggota keluarga berkumpul, ada hal penting yang akan dua keluarga ini bahas.

"Bagai manapun Ratia tetap harus segera di bawa keluar dari negeri ini," Hanggoro Atmojo yang tengah berkuasa saat ini memulai pembicaraan.

"Aku tak ingin kita mengulur waktu, beberapa kali ia dalam bahaya. Sebelum terlambat!"

"Tapi mas, apa tidak terlalu dini untuknya?" sang istri yang masih berat melepas sang putri, berusaha membujuk suaminya agar mempertimbangkan kembali keputusan besar yang akan di ambil.

"Usianya masih tujuh tahun mas!"

"Cukup dewi, ini semua demi keselamatan Ratia. Kita melakukannya bukan ingin membuangnya!" kali ini sang mertua yang angkat bicara, Kusuma Atmojo.

"Aku bahkan tak pernah tidur selama semalam penuh bersama putriku yah, lalu kini kalian ingin dia lebih di asingkan lagi?" isak tangis Dewi Hadinata kian menggelegar, seolah memecah keheningan malam.

"Dewi, kamu jangan begini. Kita tidaklah punya pilihan nak!"

"Kenapa kalian tidak biarkan kami pergi ke alam lain saja sejak awal." suara Dewi terdengar lirih, di sertai dengan buliran air mata yang terus mengalir. Beberapa saat semua membisu.

Sementara di sofa sebelah terduduk laki-laki tua, Suharjo Hadinata. Dia yang sedari tadi diam membisu, rentetan kejadian yang membahayakan sang cucu trus melintas di pelupuk matanya.

"Pak" terdengar Hanggoro yang memanggil sang mertua, untuk menimpali diskusi malam ini. Tak ada sautan dari laki-laki yang di panggil tadi. Di sudut lain nampak wajah tegang namun tetap berusaha menguasai diri. Hanggoropun menatap wajah kakak iparnya itu, namun Cipto pun memalingkan muka sambil meremas wajahnya.

"Aku tidak setuju mas, aku tak bisa melepasnya pergi begitu jauh!"

"Dia akan baik-baik saja sayang, Ma...." Belum selesai Hanggoro berucap sang istri langsung memotong

"Aku akan ikut kemana putriku pergi."

"Jangan memikirkan hal yang mustahil dewi," kali ini Hanggoro sedikit meninggikan nada suaranya. "Bagaimanapun dirimu harus tetap disisiku, akan sia-sia semua yang kita lakukan selama ini jika kau ikut menghilang!"

"Suamimu benar dewi, pikirkan Rama dia juga tidak akan baik-baik saja jika ibunya ikut pergi." kali ini sang kakak, Cipto yang sedari tadi diam ikut membuka suara.

"T-tapi..... bagaimana aku mampu mas, selama ini saja terasa sangat berat untukku. Setiap detik, setiap nafasku semua di penuhi rasa bersalah. Lalu sekarang dia akan semakin menjauh, itu artinya aku tak dapat melihatnya dalam jangka waktu yang lama. Bagai mana bisa."

"Tapi sayang, ini kita lakukan bukan tanpa alasan. Sudah kukatakan ini semua demi kebaikan dia," kali ini Hanggoro dengan lembut membelai kepala sang istri yang nampak sudah tak bisa menguasai diri lagi.

Di dalam kamar seorang anak kecil berumur tujuh tahun, mengedarkan pandangan keluar. Ia melihat di balik celah pintu. Ia berusaha menelaah apa yang akan terjadi kedepan, semburat kebencian amat sangat nampak di mata gadis kecil itu. Ia mengingat setiap kata yang di ucapkan para orang dewasa yang sudah ia pahami kemana arah tujuan diskusi mereka malam ini.

"Nduk, sini kembali tidur." ucap seorang wanita yang sudah berumur,ibu Ratri.

"Kamu belum akan mengerti nduk." namun tanpa di sangka gadis kecil itu secepat kilat ia menggeleng, seolah menegaskan bahwa ia sangat memahami situasi sekarang.

"Nek, kenapa ayah dan kakek begitu ingin aku pergi. Apa aku menyusahkan mereka selama ini,? Terasa pilu dada sang nenek mendengar ucapan sang cucu, ia bahkan tak dapat menjelaskan segala yang ia ketahui.

Krekkk... Pintu kamar tiba-tiba saja di buka sang kakek

"kenapa belum tidur nduk?"

"Aku belum bisa tidur kalo ibu trus menangis kek."

" Tapi ibu mu akan baik-baik saja," kakek Suharjo menepuk punggung cucunya dengan lembut.

"Tapi kek aku gak mau jauh dari kakek, aku takut." mata gadis kecil mulai mengembun.

Seketika dada sang kakek terasa di tekan kuat, nafasnya tersengal, pandangannya menggelap. Ia terjatuh ambruk kelantai.

"Bapak tidak kuat hanggoro, bapak tidak mampu!" ucap laki-laki itu setelah sadar dari pingsannya, di sana terlihat beberapa dokter menanganinya.

"Pak, sejujurnya aku juga tak mampu."

"Apa tidak kita cari cara lain?" Mata sang kakek menatap menantunya penuh harap, berharap merubah rencana.

"Tidak pak, kita bukan membuangnya. Dia akan tetap bersekolah dengan baik," Hanggoro menarik nafas dalam.

"Kita semua harus tetap berada disini agar tak ada yang curiga atas apa yang kita lakukan terhadap Ratia."

"Lalu kemana dia akan di sembunyikan?"

"Di suatu yang cukup sulit di jangkau, di sana ia bisa bersekolah dengan baik pak. Jadi, kemampuannya akan tetap berkembang dengan baik!"

"Tapikan..."" Suharjo terlihat ragu, namun sang menantu hanya memberi senyum penuh arti.

"Mas, apa tidak kita tunda keberangkatan Ratia. Apa tidak menunggu keadaan bapak stabil?" ucap Dewi penuh harap dan mengulur waktu keberangkatan sang putri.

"Tidak sayang, putri kita akan berangkat esok pagi. Dan malam ini kita semua tidak ada yang boleh meninggalkan rumah!" kalimat itu benar-benar menghancurkan harapan Dewi.

Malam di lalui Dewi dengan penuh tangisan, di mana ia tinggal di sebuah rumah yang layak di sebut istana. Sementara putri kecilnya semenjak di lahirkan terpaksa di boyong ke kampung tempat orangtuanya mengasingkan diri dengan dalih mencari ketenangan di hari tua. Pilu tangisannya terdengar menyayat hati, Hanggoro tak dapat melakukan apapun.

Sementara di ruang lain di sudut rumah, Kusuma Atmojo duduk di sebuah ranjang. Matanya tak henti menatap sang cucu, yang bahkan baru ini menginap di rumah bak istananya.

Namun tanpa di sangka Ratia tiba-tiba terjaga dari tidurnya, "kakek?" Mata kecil menatap heran pada kakeknya itu.

"Kenapa nduk?, tidurlah kakek akan berjaga." Ratia menggeleng,

"Apa masih takut?"

"Ratia benci kakek dan ayah" Kusuma hanya tersenyum, ia tau sang cucu belum mengerti benang kusut apa yang sudah menggulung keluarga Atmojo.

"Kakek tau nduk, tumbuhlah menjadi wanita yang baik. Suatu hari nanti kita akan bersama." tak dapat di sembunyikan ujung mata Kusuma berembun, hatinya tersayat sang cucu membencinya.

Malam berlalu, semua nampak biasa-biasa saja dari pandangan orang yang tak mengerti. Mereka harus pandai menyembunyikan apa yang sedang terjadi, agar tak menjadi boomerang.

Namun di pintu belakang, sosok laki-laki berumur lima puluh tahun dan seorang wanita yang masih cukup muda keluar secara bergantian. Nampak sosok laki-laki itu memegang tangan seorang gadis kecil. Langkah besarnya membuat sang gadis kecil sedikit berlari mengimbangi. Gegas mereka bertiga mengendari sebuah mobil yang mana pak supir sudah bersiap. Wanita muda yang mengikuti tadipun dengan cepat menarik dan mendekap gadis kecil, menutupnya dengan sebuah blazer hitam. Tak sedikitpun kaca hitam mobil di buka, hanya hembusan nafas berat yang terdengar.

Di sebuah jendela seorang anak laki-laki berumur Lima belas tahun menatap mobil yang kian menjauh."Aku akan membawamu pulang suatu hari nanti".

Masih Aman

Kejadian sebelum Ratia pergi trus membuat sang paman prustasi, ia trus mengutuki dirinya. Wira Atmojo, anak bungsu dari keluarga Atmojo. Karna kecerobohannya hampir saja membuat sang keponakan meregang nyawa dan kini tak ia ketahui keberadaan gadis kecil yang sangat dia sayangi.

Bayangan bagai mana tangis Ratia yang hampir saja meregang nyawa.

Sebulan sebelum Ratia semakin di asingkan, Wira yang baru selesai menyelesaikan dinas luarnya. Sejenak ia mampir untuk membelikan seperangkat mainan masak-masakan dan juga boneka untuk keponakannya. Ia berniat langsung mengantar apa yang ia beli.

Namun sialnya ia tak menyadari, keluarga musuh melihat hal itu. Pada akhirny mereka tau keberadaan Ratia.

"Tak ada yang perlu di sesali, semua akan baik-baik saja kedepannya paman" Rama, anak pertama dan cucu pertama keluarga Atmojo.

"Tapi Rama, andai paman sedikit berhati-hati ini tak akan terjadi. Sekarang kakek dan ayahmu tak memberi tahu kemana adikmu mereka sembunyikan. Bahkan mungkin kita tak bisa hanya untuk mendengar suaranya, siapa yang menemaninya saja paman tidak tau," Wira meremas wajah yang sudah tak terurus.

Dari pintu belakang seorang wanita melangkah penuh keanggunan.

"Wira jangan trus mengutuki dirimu, bulan depan hari pernikahanmu. Tenangkan diri, bukan semua salahmu. Ibu yakin bahkan sangat yakin, keluarga itu sudah lama mencium keberaan Ratia," ibu Kartika berusaha menenangkan putranya.

"Jangan menunjukkan gelagat aneh di depan publik, maka semua akan baik-baik saja!"

Sementara Rama hanya duduk diam tanpa ekpresi, ia bahkan mengingat dengan jelas tangisan sang ibu setiap malam. Ia juga tau bahwa sang ibu mengandung, namun dengan alasan yang ia belum ketahui mengapa sang adik di serahkan kepada keluarga ibunya.

Hari-hari berlalu hati dan pikiran Rama mulai terusik untuk mengetahui kenapa adiknya di asingkan.

"Bu, apa ayah masih lama pulang?" Tanya Rama di meja makan.

"Belum tau sayang, ayah mu belum menelpon ibu. Kenapa?"

"Hmmmzz ada hal yang ingin Rama tanya."

"Apaaa?". Biasanya Rama selalu bertanya seputar pelajaran saja.

"Kenapa adik ku di Asingkan?"

"Ramaa...." Dewi menatap putrnya begitu dalam, membuat gurat luka nampak jelas.

"Kalian bahkan tak pernah mengenalkannya pada ku bu!" Yah sesaat setelah di lahirkan, Rama tak pernah di kenalkan pada adiknya. Bahkan ia dilarang untuk sering mengunjungi rumah nenek. Ia juga selalu di ajari untuk mengaku tidak mempunyai saudara.

"Saat Rama ke rumah nenek saja, dia bahkan tak pernah di perbolehkan main denganku!''

"Rama ibu tak bisa menjelaskannya dengan mu,ini semua hanya kesalah pahaman saja!"

"Kesalah pahaman bagai mana bu?, apa tidak sangat berlebihan sampai jiwa adik ku terancam?". Tak ada jawaban, ibunya hanya diam.

Di balik pintu, Hanggoro berdiri menahan langkah hanya untuk menguping pembicaraan anak dan istrinya. Lambat atau cepat putranya harus tau apa yang terjadi, ia tahu Rama sangat menyayangi Ratia, meski mereka di pisahkan.

Di kesokan harinya Hanggoro bangun lebih pagi walaupun ini hari libur.

"Sayang, apa kita harus mulai membuka rahasia ini kepada Rama agar dia tidak terus-menerus menyalakan kita atas apa yang terjadi pada Ratia?"

"Rama masih terlalu muda mas,"

"Tapi, kamu tau sendirikan pemikirannya sudah sangat kritis dan dewasa. Kita tak akan mungkin bisa menutup rapat rahasia ini."

"Mas.... apa kamu sudah mencoba menelpon Erina?" Entah karna pikirannya masih tertuju pada putrinya dia tak menanggapi pembicaraan suaminya, ia malah mengalihkan begitu saja.

"Sampai saat ini pihak IT keluarga kita belum bisa memastikan, bisa saja mereka menyadap dan melacak semuanya." Namun di saat obrolan bersama sang istri ia melihat sebuah drone yang cukup jauh, dengan segera ia masuk dan turun kebawah dengan langkah cepat.

"Ada apa Hanggoro, apa sudah ada kabar dari dari Erina dan pak Muh?" Ibu Kartika heran melihat putranya dengan wajah cemas.

"Belum ada bu, ke mana ayah?"

"Ada di dalam Ruangannya, apa ada masalah?" Hanggoro tak menjawab ia langsung berlari ke sebuah ruangan.

"Yah, ada sesuatu!"

"Ayah sudah tau, sudah sejak tadi malam mereka mengintai kita. Mereka pasti berpikir Ratia masih di sini." pak Kusuma langsung memotong, karna sudah menyadari hal itu lebih dulu.

"Ternyata kita tidak terlambat, walapun istri mu dan keluarganya membenci ayah. Itu bukan suatu masalah." Hanggoro menatap wajah sang ayah dengan rentetan pertanyaan.

"Maksud ayah?"

"Pada malam setelah kejadian itu mereka tidak akan berpikir bahwa Ratia sudah kita tarik kerumah ini, dan ayah tau mereka mengawasi semua rumah sakit yang kita punya. Dan mereka juga akan berpikir kita akan mengasingkan Ratia setelah dia benar-benar sembuh," pak Kusuma menjelaskan kepada Hanggoro kenapa ia terlihat kejam terhadap cucu kecilnya. Ketika ayahnya melarang membawa Ratia kerumah sakit, padahal saat itu kondisi Ratia sangat menghawatirkan. Dan ayahnya sangat bersikukuh pengasingan Ratia harus secepatnya tanpa di tunda. Hari ini ia mengerti betapa sang ayah sangat memahami pergerakan musuh.

"Lalu sekarang apa yang harus kita lakukan yah?"

"Biarkan saja, yang paling penting Ratia sudah aman."

"Tapi Erina dan pak Muh belum sama sekali memberi kabar,'' Hanggoro kembali meremas wajahnya.

"Apa mereka baik-baik saja, aku tak bisa membayangkan dia harus menempuh jarak yang sangat jauh dengan keadaan yang lemah.''

"Apa yang kamu Kwatirkan, bukankah Ratia anak yang berbeda?"

"Tapi yang berbeda intelektualnya saja yah, fisiknya sama saja anak umur tujuh tahun!" Gurat frustasi terlihat di wajah hanggoro.

"Ayah tau, itulah mengapa Erina ikut serta. Wanita itu akan sangat bisa kita andalkan."

Tak ada sanggahan lagi dari Hanggoro karna ia sangat mengenal Erina.

Tuk tuk.... kedunya menoleh ketika suara di ketukan di pintu dan langsung di dorong. Seorang laki-laki berpenampilan santai masuk tanpa meminta persetujuan, karna memang sudah di tunggu oleh empunya. Ia datang dengan pakaian seadanya karna tau sudah banyak mata yang mengintai.

"Bagaimana riko, apa sudah aman?" Kusuma langsung ke inti.

Riko tampak menimbang kata yang akan ia ucap, "tuan untuk saat ini, jangan membicarakan apapun tentang nona muda di jaringan Telepon. Kita sama sekali belum aman untuk hal itu" Kusuma dan Hanggoro tak menimpali seolah ingin penuturan lebih jauh.

"Perbanyak perbincangan masalah pekerjaan dan rencana pernikahan tuan Wira saja, dan untuk Nona Ratia kita harus banyak berdoa semoga mereka menyerah."

"Menurut pengamatanmu sampai berapa lama mereka akan melakukan itu?"

"Untuk waktu satu atau dua tahun kita tidak bisa menelpon nona muda tuan,"

"Apaaa?, kenapa bisa selama itu Riko" Nafas hanggoro nampak memburu dadanya terasa ngilu.

"Tenangkan dirimu, musuh kita bukan orang sembarangan Hanggoro!!!"

"Aku tau yah, apa tak ada cara lain. Kenapa sampai begitu lama?"

"Kita jangan gegabah ini demi kebaikan Ratia dan kita semua" nada bicara Kusuma terdengar lemah.

"Tuann ....." Riko menjeda dan menatap kedua tuannya, menunggu sampai mereka sedikit menguasai diri.

"Sepertinya mereka juga mengetahui bahwa nona Ratia berbeda''

"Maksud mu?'' Kusuma menatap lekat wajah riko.

"Kecerdasan nona muda, sudah mereka ketahui tuan" Hanggoro kian terhentak, ia semakin sadar jika putrinya semakin jauh dalam pelukannya.

Birawa Baskoro

Di sebuah rumah yang sama megahnya dengan rumah keluarga Atmojo, seorang laki-laki tengah duduk di ruang kerjanya. Ya dialah Birawa Baskoro, seorang yang trus membawa dendam pada mantan sahabatnya. Sakit hati dan kesedihan yang trus merasai diri membut kobaran api dendam itu tak kunjung mereda. Jarinya mengetuk-ngetuk meja. Mengedarkan pandangan pada setiap wajah yang ada di hadapannya. Amarah Birawa Baskoro semakin membesar, bagai mana tidak semua rencana mereka gagal.

"Beni, bagai mana?" Ia memulai bertanya dengan suara keras.

"Tuan, sampai saat ini tidak ada satupun anggota keluarga Atmojo yang melakukan panggilan ke luar negara." salah satu di antara mereka menjawab.

"Lalu???"

"Di kediaman keluarga Hadinata juga sudah tidak ada tuan, tapi menurut saya anak itu sudah pergi jauh dari rumah,"

"Bagaimana mungkin, anak itu masih lemah!" Birawa yang masih sangat yakin jika Ratia masih di sembunyikan di rumah keluarga Atmojo.

"Jika anak itu masih d rumah keluarga Atmojo sudah pasti kakek dan neneknya akan sering berkunjung kesana tuan, tapi ini sama sekali tidak ada. Dan yang pasti Hanggoro dan istrinya sangat jarang di rumah." Pemaparan yang cukup jelas dari Beni membuat Birawa semakin gelisah.

"Lalu ke mana Hanggoro akhir-akhir ini??"

"Dia hanya ke kantornya saja, dan akhir bulan ini akan diadakan pernikahan adiknya tuan. Jadi, rumah sering sekali di tinggalkan, bahkan penjagaan pun hanya seadanya saja," Beni menjelaskan, sembari tangannya masih menatap hp di tangannya.

"Ini tuan." ia menunjukkan sesuatu pada Tuannya, itu adalah undangan yang entah di mana ia dapatkan.

Birawa Baskoro sejenak terdiam, seolah sedang menimbang sesuatu.

"Baik awasi trus rumah itu!" Tekatnya untuk m*nghabisi Ratia semakin besar, saat ia tau bahwa Ratia memiliki kecerdasan yang luar biasa serta wajah cantik yang sudah terlihat jelas meski masih berusia tujuh tahun.

"Jangan sampai kita gagal Beni, anak itu akan sangat berbahaya untuk Baskoro Group." kali ini nada suaranya terdengar lemah. Karna selain dendam yang belum padam, Ratia bisa jadi ancaman besar bagi Baskoro Group. Kecerdasan Ratia bisa saja memporak porandakan mereka.

"Tuan, bagaimana jika Wira Atmojo juga memiliki anak perempuan?, apa kita akan melakukan hal yang sama?" Sebuah pertanyaan dari salah satu pengawal keluarga Baskoro.

"Jika anak itu nanti memiliki hal yang sama maka mau tidak mau kita harus m*lenyapkannya juga, tapi jika tidak biarkan saja. Wira dan Hanggoro memiliki Fisik yang berbeda, saya yakin anak-anak dari Wira tidak akan memiliki hal yang sama dengan anak Hanggoro. Kita hanya perlu Fokus pada anak itu." Birawa menjelaskan.

"Tidak mungkin anak itu bisa di sembunyikan selamanya."

"Baik tuan, akan segera kami cari."

"Tapi, pastikan anak itu kalian dapatkan sebelum ia dewasa!"

"Maksud tuan?" beni meminta penjelasan lebih,

"Bukankah kalian sudah melihat wajah anak itu, dan kecerdasannya yang luar biasa itu. Jika ia sempat dewasa, maka anak itu akan punya pengaruh yang tidak main-main. Kita tak bisa lagi melakukan apapun jika itu terjadi," tangan Birawa terkepal erat, sampi telapak tangannya memutih. Ketakutan dan dendam kian mendorong raga tua itu kedalam jurang keputusasaan.

Setelah beny dan yang lainnya keluar dari ruangan Birawa, anak laki-lakinya Raksa Baskoro kali ini bersiap untuk turut memasuki ruangan itu. Sesampainya di sana ia melihat sang ayah yang nampak begitu gusar, ia berjalan bolak balik di ruangan itu.

"Ayah..." Ia memanggil ayahnya dengan cepat. Ketakutan akan ayahnya yang tak mampu menguasai dirinya sendiri.

"Raksa, dari mana saja kamu??"

"Apa ayah lupa?, ayah yang menyuruku ke kantor hari ini untuk menggantikan ayah!" Raksa yang semakin bingung karna tingkah ayahnya.

"Kenapa lama sekali?"

"Lama?, apa yang ada dipikiran ayah?" Laki-laki berumur tiga puluh tiga tahun itu, seketika mengkerutkan keningnya, tatapannya penuh pertanyaan.

"apa ayah masih mengejar putri keluarga Atmojo itu?"

"Tentu saja Raksa, anak itu harus kita dapatkan." Birawa menjawab cepat.

"Bukankah beny sudah meluk*inya berkali-kali?"

"Iya, tapi anak itu masih hidup Raksa!!!", Guratan ketakutan kian membesar di wajah tua Birawa.

"Ayahhh...sampai kapan dendam ayah akan mereda?" Pertanyaan yang Raksa lontarkan sukses membuat mata sang ayah membulat sempurna. Keheningan terjadi beberapa saat.

"Apa ayah akan trus mengganggu keluarga itu?"

"Maksudmu Raksa, ayah tidak pernah mengganggu mereka, Kusuma Atmojo lah yang memulai semua ini!" nada tinggi semakin menggelegar, memenuhi segala penjuru rumah. Namun Raksa hanya diam, ingin ia ikut berteriak namun rasanya itu akan sia-sia saja.

"Apa kamu hanya akan diam saja, sementara anak itu hidup bebas?, kenapa tak membantu ayah Raksa?" kalo ini suara Birawa melemah.

"Aku harus bagai mana, bukankah ayah pernah mengatakan pada ku, agar aku fokus pada prusahaan saja???" Raksa membela diri, karna ia memang kurang peduli pada urusan dendam ayahnya.

"Lagipula anak itu sudah terluka yah, aku tak percaya jika ia mampu bertahan. Ayah tau sendirikan tidak ada satupun rumah sakit yang menanganinya. Dan sudah dapat di pastikan, bahwa anak itu sudah tak berada di kediaman keluarga Atmojo ataupun keluarga Hadinata. Jika anak itu di bawa keluar negeri sudah pasti kondisinya akan melemah, anak sekecil itu tak akan mampu. Dan satu lagi yah, jika anak itu masih di negeri ini kita pasti akan segera mencium keberadaannya. Lain cerita jika ia tidak bersekolah, itu akan lebih baik." Raksa menjelaskan alasan ia sedikit kurang peduli.

"Maksudmu lebih baik?"

"Jika ia tidak bersekolah, maka kecerdasannya akan sia-sia. Dia tidak akan menjadi ancaman untuk kita. Lalu apa gunanya lagi dia hidup, yang pasti keluarga Atmojo sudah merasakan sakit atas apa yang ayah lakukan terhadap putrinya." Tandas Raksa dengan yakin. Mendengar hal itu Birawa sedikit tersenyum.

"Lalu bagai mana menurutmu, apa langkah kita kedepan?"

"Kita harus lebih fokus pada Baskoro Group, kita singkirkan prusahaan-prusahaan yang ada di bawah naungan keluarga Atmojo,yah."

"Tapi Raksa ayah belum yakin kita bisa melakukan itu,?"

"Kenapa ayah ragu, mereka akan sulit membangun fokus jika dalam kondisi kebingungan seperti ini. Ini kesempatan bagus untuk kita!!"

"Ia benar, namun kita tidak bisa melakukan itu dengan mudah Raksa!" Birawa seketika bangun, matanya memandang kosong keluar jendela. Bibir yang tadi ia tarik melengkung membuat sebuah senyum, kini seketika hilang begitu saja. Ia mencengkram kuat ujung meja di dekatnya.

"Maksud ayah?" Benak Raksa kembali di penuhi kebingungan, padahal dia yakin sang ayah akan bersemangat atas rencana yang ia biacarakan tadi. Lama Birawa diam matanya masih memandang keluar, nafasnya kembali tak beraturan.

"Ayah, apa yang ayah pikirkan lagi?

"Menurut mu apa keluarga Jagad Suseno sudah mengetahui keberadaan anak itu?" Tiba-tiba saja ayahnya kembali membahas masalah tadi.

"Apaaa?"

"Jagad Suseno dari dulu tak pernah memihak pada ayah raksa!" Birawa baskoro memegang dadanya, bola matanya tertarik ke atas.

Brukkkk,

"Ayahhhhh"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!