...Anak Laki-laki yang Penuh Ketakutan...
Anak lelaki itu terbangun dari mimpi buruknya. Kejadian yang tak mengenakan sepanjang hari yang dialaminya muncul dalam mimpinya dan terus mengganggu anak lelaki itu. Dia ketakutan untuk tidur.
Suatu hari, dia pergi mengunjungi penyihir dan memohon kepadanya.
“Penyihir, tolong aku! Aku tidak mau diganggu lagi olehnya, agar aku tidak mimpi buruk lagi. Sebagai gantinya, aku akan menuruti apa pun keinginanmu”
Hari demi hari berlalu, sang penyihir mengabulkan permintaannya. Tapi meskipun begitu, dia tetap tidak bahagia sedikit pun.
Suatu malam, bulan darah memenuhi langit, dan penyihir muncul kembali dihadapannya untuk menagih janji anak lelaki itu. Dengan penuh kebencian, dia berteriak kepada penyihir.
“Semua kejadian burukku lenyap, tapi kenapa… Kenapa aku tidak bahagia ?”
Sesuai dengan perjanjian, penyihir memgambil jiwa anak itu, dan berkata…
“Ini bukan tentang orang yang mengganggumu, tapi tentang dirimu sendiri. Jika ada seseorang yang mengganggumu seharusnya kau belajar untuk menjadi kuat, dan menyesuaikan diri. Orang seperti itulah yang bisa mendapatkan kebahagiaan.”
Jangan lupakan semua itu. Maju dan hadapi! Jika tak dihadapi, kau hanya selalu menjadi anak kecil yang penuh ketakutan.
Suasana panti asuhan Harapan Ibu penuh dengan ketegangan saat Jiva Arunika membacakan dongeng karangannya sendiri dengan penuh penjiwaan di depan teman-temannya.
Ia sudah memiliki bakat menulis sekaligus mendongeng sejak usia 5 tahun, dan kini di usianya yang menginjak 12 tahun Jiva sudah memiliki belasan cerita dongeng yang ia rutin bacakan untuk teman-teman satu pantinya.
Tapi Jiva tidak tampil sendiri, teman sebayanya yang bernama Gita Rinjani selalu mengiringi cerita dongeng Jiva, melalui permainan pianonya menambah kesan hidup pada dongeng Jiva.
Larut dalam cerita dongeng yang di bawakan oleh Jiva, membuat mereka tak menyadari jika Ibu pemilik panti bersama dengan dua orang tamunya memperhatikan penampilan mereka berdua dari depan pintu.
Ketiganya turut memberikan tepuk tangan saat Jiva selesai mendongeng, gadis itu sepintas menoleh ke arah pintu sebelum Bu Pertiwi dan tamunya berbalik.
"Jadi bagaimana? Apakah Bu Kirana dan Pak Aksara sudah menentukan pilihan?" tanya Pertiwi ketika mereka berjalan kembali menuju ruang kerjanya.
Kirana dan Aksara menatap satu sama lain, kemudian mereka tersenyum. "Kami memilih anak yang bermain piano," jawab Kirana dengan penuh keyakinan di sertai dengan sorot matanya yang berbinar-binar. "Permainan pianonya sungguh luar biasa, aku sampai tersentuh."
Pertiwi mengangguk dan tersenyum. "Gita memang anak yang berbakat di bidang musik, dia juga memiliki hati yang sangat lembut." Tak perlu menunggu lama, Pertiwi langsung meminta salah satu pengurus panti untuk memanggil Gita. "Bu Kirana dan Pak Aksara harus mengenal Gita terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan akhir."
Keduanya mengangguk setuju, tak lama berselang Gita datang. "Sini, Nak!" Pertiwi melambaikan tangannya, meminta Gita mendekat dan menyapa calon orang tua angkatnya.
"Assalamualaikum, Om, Tante.." sapa Gita seraya menyalami keduanya dengan sopan.
Kirana semakin terkesan dengan kesopanan Gita, terlebih setelah mereka mengobrol dengannya, Kirana langsung bisa menilai bahwa Gita gadis yang cerdas dan lembut, persis seperti yang Pertiwi katakan.
"Nak, sepertinya kamu sudah tahu maksud kedatangan Tante dan Om kemari. Kami ingin mengadopsimu, apakah mau tinggal di Jakarta menjadi anak angkat kami?" Kirana begitu yakin Gita akan langsung menyetujuinya, sebab sepanjang obrolan mereka Gita pun menunjukan ketertarikannya.
Tapi tenyata Gita malah terdiam, matanya memandang ke arah pintu. Ia melihat sahabatnya, Jiva tengah menatapnya dengan tatapan sedih dari balik pintu, ia menerawang jauh ke beberapa tahun lalu, di mana mereka berdua pernah berjanji untuk selalu bersama-sama.
"Tante, apakah Tante mau mengadopsi dua anak sekaligus?" tanya Gita menatap Kirana penuh harap.
Perlahan Kirana menggelengkan kepalanya. "Maafkan Tante, Sayang. Sebetulnya Tante ini sudah memiliki seorang anak perempuan, saat ini kondisinya sedang terbaring lemah di rumah sakit karena kanker yang menggerogoti tubuhnya," ucap Kirana sedih.
"Sudah lama dia menginginkan seorang adik perempuan, tapi sayangnya kami tidak mungkin memberikan seorang adik karena Tante sendiri sudah tidak bisa hamil lagi. Untuk itulah kami datang kemari untuk mengadopsimu," terangnya.
"Maaf kami tidak bisa mengadopsi dua anak sekaligus karena khawatir kami tidak bisa mengurus kalian secara maksimal," sambung Aksara. "Dengan keadaannya yang seperti ini, calon kakakmu sangat membutuhkan banyak perhatian kami."
Gita mengangguk mengerti, tapi ia juga tidak bisa melanggar janjinya dengan Jiva. Ia di titipkan ke panti ini di hari yang sama, dan akan keluar pun bersama. Jiva adalah sahabat dan keluarganya. "Kalau begitu maaf Tante, aku tidak bisa."
Gita beranjak dari tempat duduknya, dengan sopan ia berpamitan pada Ibu Pertiwi, Kirana, dan juga Aksara. Ia berjalan gontai menuju kamarnya, hatinya begitu sedih. Sebagai anak yatim piatu, sudah lama sekali Gita mendambakan sosok orang tua yang menyayanginya, keluarga yang utuh tapi ia tidak bisa meninggalkan Jiva di panti.
"Kau tidak perlu sedih, aku tidak akan meninggalkamu," Gita merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur bertingkatnya, ia tidur di bawah sementara Jiva berada di atas.
"Benarkah?" tanya Jiva seolah tak percaya, ia sampai melongok ke bawah untuk memastikannya.
Gita berdeham, membenarkan ucapannya sembari menutup tubuhnya dengan selimut. "Sudahlah jangan membahas itu lagi, aku lelah sekali hari ini. Tolong matikan lampunya!" Ia berusaha memejamkan matanya, berharap tidurnya kali ini bisa melupakan angannya memiliki keluarga yang utuh.
"Baiklah, akan aku matikan sekalian mau ke toilet." Gita turun dari ranjangnya, oa mematikan lampu dan keluar dari kamarnya.
Alih-alih ke kamar mandi Gita justru berlari ke ruang kerja Bu Pertiwi, ia melihat ruangan sudah kosong, kemudian ia berlari ke teras depan. "Tunggu!" ia melambaikan tangan pada Kirana dan Aksara yang hendak masuk mobil.
Keduanya menghentikan langkah sembari menoleh, begitu pula dengan Bu Pertiwi. "Ada apa Jiva? Kau belum tidur?"
Jiva terengah-engah ketika tiba di hadapan mereka, ia mencoba mengatur napas. "Aku sama sekali tidak keberatan jika Om dan Tante mau mengadopsiku," ucapnya.
Sontak saja Bu Pertiwi sangat terkejut dengan ucapan Jiva, sementara Kirana dan Aksara saling menatap satu sama lain, kemudian Aksara menganggukan kepalanya. "Kau yakin mau menjadi anggota keluarga kami?" tanya Kirana.
"Ya. Aku mau, Tante," jawab Jiva girang. "Aku mau ikut Om dan Tante ke Jakarta menjadi bagian dari keluarga kalian, aku janji akan jadi anak penurut dan membanggakan untuk kalian."
***
Haiii....
Hari ini aku meluncurkan karya terbaruku lagi, yang berjudul Sang Pendongeng. Semoga kalian suka dengan karya-karyaku. Terima kasih sudah membaca, sehat selalu 🙏❤
Sudah hampir satu jam setelah makan malam, Gita menekuni pianonya. Ia memainkan beberapa lagu sedih yang menggambarkan suasana hatinya yang kini tengah kesepian pasca perginya Jiva dari panti.
Indahnya permainan musik Gita, terdengar hingga ke ruang kerja Pertiwi, dan membuatnya terusik hingga ia pun menghampiri Gita di ruang serba guna.
"Gita, apa kau menyesali keputusanmu?" tanya Pertiwi hati-hati, ia duduk di sebelah Gita mengelus lembut punggung bocah itu.
Gita menghentikan jemarinya seraya menggeleng lemah. Apa yang sudah menjadi keputusannya tidak bolah di sesalinya, prinsip yang ia pegang teguh. Ia justru senang telah berhasil menepati janjinya, dan melihat Jiva bahagia.
"Kalau begitu kenapa kamu bersedih?"
"Aku rindu dengan Jiva, Bu."
Sejak kecil ia dan Jiva terbiasa bersama-sama, baik itu di sekolah maupun di panti. Dimana ada Jiva, disitu pula dirinya berada. Kepergian Jiva membuat hatinya hampa dan kosong, meskipun anak-anak panti yang lainnya sering menghiburnya, tapi hanya Jiva teman satu angkatannya.
Pertiwi merogoh handphone dalam sakunya. "Kau mau menelponnya?"
Senyum sumringah langsung terpancar dari wajah cantik Gita. "Mau, Bu," ucapnya sembari mengangguk senang. Dengan tidak sabar ia menunggu Pertiwi yang tengah menghubungi ibu angkat Jiva, jemarinya mengetuk-ngetuk papan pianonya, sampai Pertiwi memberikan handphonenya padanya.
"Ini Jivanya." Pertiwi turut senang melihat anak asuhnya kembali tersenyum.
Tanpa ragu Gita langsung menerimanya dan bicara pada pada Jiva. "Hai Jiva..." sapanya dengan riang, tapi suasana di seberang sana terdengar hening, Gita hanya mendengar suara hembusan napas pelan. "Jiva, apa kau di sana?"
"Ya aku disini."
Suara Jiva terdengar berbeda dari biasanya, hal ini membuat Gita khawatir dan langsung menanyakan kabarnya. "Kau baik-baik saja Ji? Aku sangat merindukanmu, kapan kau main ke panti? Aku sudah menunggumu."
"Ya, aku baik-baik saja. Bahkan lebih dari kata baik," Kali ini Jiva terdengar lebih tegas dari yang tadi. "Karena kau meneleponku, ada hal yang perlu kau ketahui."
Jantung Gita berdegup dengan kencang, ia tak pernah mendengar Jiva seserius ini.
"Tinggal di panti itu adalah kenangan terburuk dalam hidupku. Orang tuaku telah membuangku dan aku harus tinggal bersama anak-anak yang sama tidak berdayanya seperti aku saat itu. Tapi sekarang hidupku sangat sempurna, aku memiliki orang tua dan kakak perempuan yang menyayangiku, aku bersekolah di sekolah yang bagus, di antar dengan mobil mewah, tinggal di rumah mewah, dan apa yang aku inginkan orang tuaku memberikannya."
Gita terdiam mendengarkan semuanya, ia tak percaya jika Jiva menganggap panti yang membesarkannya ternyata baginya tempat yang buruk.
"Aku ingin melupakan semua hal yang menyakitkan itu termasuk dirimu, jadi tolong jangan hubungiku lagi. Pikirkan saja masa depanmu sendiri, masa depanku di sini sudah sangat cermelang." Jiva mematikan sambungan teleponnya, ia menghela napas beratnya untuk sesaat sebelum ia kembali masuk ke ruang rawat inap kakak angkatnya.
"Sudah teleponnya?" tanya Kinara saat putrinya mengembalikan handphonenya.
"Sudah Mom."
"Kok teleponnya di luar sih Dek? Kakak kan mau kenal sama temanmu," sambung Nada.
Jiva mendekat ke tempat tidur kakaknya, ia kembali pada posisinya sebelum Gita meneleponnya. "Tadi dia hanya menyapa saja kok, Kak. Waktu aku mau ngenalin ke Kakak, dia bilang sedang buru-buru," dustanya. Ia menatap layar laptop di pangkuan Nada. "Jadi ini yang namanya blogspot, Kak?"
Nada mengangguk. "Kau bisa menaruh semua cerita dongengmu di sini, agar tidak hilang dan seluruh orang bisa membacanya. Kakak yakin suatu saat nanti kau akan jadi pendongeng yang sangat terkenal," ia mendukung penuh bakat yang di miliki oleh Jiva, sehingga ia membantu adiknya membuatkan media untuk Jiva berkarya.
"Terima kasih, Kak. Aku suka sekali dengan designnya, cantik sekali."
"Seperti adikku tersayang." Nada memeluk Jiva dengan tulus, tak perlu waktu lama baginya untuk menganggap Jiva seperti adik kandungnya sendiri, ia begitu meyayangi Jiva.
Aksara dan Kirana tersenyum senang melihat kedekatan kedua putrinya, kehadiran Jiva di tengah keluarga mereka membuat putri semata wayangnya kembali bersemangat di tengah keterpurukannya melawan penyakitnya.
***
Sementara itu, di ruang serba guna panti asuhan Harapan Ibu, Gita masih terdiam memikirkan perkataan yang di lontarkan Jiva padanya, ia tak menyangka Jiva memutuskan tali persahabatan mereka.
"Gita, apa ada masalah?" ia memperhatikan perubahan raut wajah Jiva setelah menelpon Jiva.
Tak ingin membuat Pertiwi khawatir, Gita memaksakan seulas senyuman. "Tidak ada, Bu," ia menggelengkan kepalanya. "Aku hanya sedikit terkejut karena Jiva nanti akan mengundangku ke pesta ulang tahunnya. Pestanya pasti akan meriah, aku sudah membayangkan akan banyak balon di pestanya."
Pertiwi tersenyum lega, ia hampir saja berpikir jika Jiva melupakan Gita.
"Bu, boleh aku keluar sebentar untuk mencari inspirasi kado spesial apa yang akan aku berikan pada Jiva?"
Pertiwi mengangguk. "Boleh, Nak. Tapi jangan jauh-jauh dan jangan lama-lama ya, sebentar lagi waktunya kamu istirahat, besok juga kan masih harus sekolah."
"Siap, Bu. Cuma di depan aja kok."
Gita berjalan menyusuri trotoar, air matanya mengalir deras membasahi wajah cantiknya. Ia tidak bisa menumpahkan rasa sedihnya di panti karena tak ingin adik-adiknya melihat dan khawatir.
Memory-memory kebersamaannya dengan Jiva kembali teringat, rasanya baru kemarin Jiva berjanji padanya akan rutin mengunjunginya di panti, Jiva juga meyakinkan Gita bahwa persahabatan mereka tidak akan pernah terputus. Janji itu yang Jiva ucapkan kala dirinya mengatakan bahwa ia lah yang akan mejadi anak adopsi Aksara dan Kirana.
Langkah Gita terhenti saat melihat dua orang gadis yang usianya di atasnya tengah berbagi ice cream, ia seperti melihat dirinya bersama Jiva. Dulu ia berharap bisa tumbuh besar dan meraih cita-citanya bersama Jiva, tapi setelah kejadian tadi, ia harus bertumbuh sendiri.
Di tengah kesedihannya, tiba-tiba saja ada seorang anak laki-laki SMA yang mengulurkan satu cup ice cream pada Gita. "Kau pasti sedih karena ice creamnya habis kan? Ini kau ambil saja punyaku, belum aku makan kok." ia meraih tangan Gita dan menaruh ice cream tersebut.
"Tapi aku bukan..."
Belum sempat Gita menjelaskannya, anak SMA itu bergegas pergi menuju bis yang tengah terparkir di pinggir jalan, rupanya ia salah satu rombongan pelajar SMA Jakarta yang tengah study tour ke Bandung.
Hal ini terlihat dari tulisan pada bagian depan bis tersebut, pria itu tersenyum dan sedikit melambaikan tangannya saat bis itu melewati Gita, dan sebagai ucapan terima kasihnya Gita pun tersenyum.
"Terima kasih, Kai," gumam Gita, ia tahu nama pria itu dari seorang guru yang berteriak memanggil pria itu sesaat sebelum berlari masuk ke bis.
***
Hai teman-teman...
Mohon maaf dalam dua minggu ini aku tidak bisa up, di karenakan secara bergantian aku dan anakku sedang kurang fit. Terima kasih atas kesetiaannya, terus membaca karya-karyaku. Semoga kalian suka dan terhibur dengan cerita ini.
Salam sayang
Irma ❤
"Apa kau butuh bantuan Ayah untuk mencicipi masakanmu?"
Dari ruang kerjanya, Baskara Bhalendra berjalan menuju dapur mendekati putra semata wayangnya Kai Gentala Bhalendra. Sejak dua jam lalu ketika Baskara hendak masuk keruang kerjanya, ia melihat Kai tengah sibuk di dapur, dan hingg kini putranya itu masih berada di sana.
Ia penasaran apa yang di buat si jago masak di rumahnya kali ini. "Kau membuat dessert?" tanya Baskara heran, sepengetahuannya Kai lebih sering memasak main course makanan Jepang.
Kai mengangguk sembari menyelesaikan platingnya. "Fried ice cream, ala Kai," seperti biasa ia meminta ayahnya untuk mencicipi makanan buatannya.
Meski Baskara menatap heran pada es krim goreng buatan putranya namun tanpa ragu ia langsung melahapnya. "Wow..." komentarnya. Rasa es krim vanila yang dibalut dengan remah cookies menyatu dengan sempurna di mulutnya, di tambah aroma kayu manis yang membuat Baskara tak bisa berhenti menikmati dessert buatan Kai.
"Apa es krimnya kau buat sendiri juga? Ayah tidak pernah memakan es krim selembut ini, manisnya pas sekali."
Kai mengangguk sembari tersenyum sumringah. "Ayah yakin es krim itu benar-benar enak?"
"Ya, kau lihat ini!" Baskara menunjukan piringnya yang sudah kosong. "Kau tahu Ayah tidak begitu suka es krim vanila, tapi untuk yang ini Ayah langsung bisa menghabiskannya sekejap."
"Aku harap suatu hari nanti, dia bisa memakan es krim buatanku sebanyak yang dia mau agar tidak menangis lagi karena kehabisan," gumam Kai.
"Ooh.. Rupanya kau membuat es krim ini untuk seorang gadis. Siapa dia?" tanya Baskara penasaran.
Kai tersenyum malu-malu sembari menggelengkan kepalanya. "Ada lah, Yah."
"Sebentar lagi usiamu 17 tahun, Ayah sudah membolehkanmu berpacaran. Jadi, Ceritalah pada Ayah!" Baskara terus mendesak Kai bercerita tentang gadis yang sudah membuat putranya yang pemalu ini jatuh hati.
"Sepertinya dia orang Bandung, aku sendiri tidak kenal dengannya."
"Kalau kau tidak mengenalnya, bagaimana kau menyukainya? Apa kau menemukannya di aplikasi pencarian jodoh?" Seketika Baskara memegang keningnya. "Kai, kau masih terlalu kecil untuk menggunakan aplikasi itu. Bagaimana kalau dia menipumu?"
"Tidak-tidak, bukan seperti itu." Kai langsung meluruskan kesalahpahaman ayahnya, ia menceritakan pertemuannya dengan gadis yang menangis di depan gerobak es krim, saat ia sedang study tour bebrapa waktu lalu. "Pak Tito sudah bertiak memanggilku, jadi aku tidak sempat kenalan dengannya."
"Kau ini payah sekali, harusnya kau sempatkan sebentar untuk berkenalan dan meminta alamatnya."
"Aku tidak tahu bagaimana memulainya?"
Baskara tertawa melihat keluguan putra semata wayangnya. "Ayah yakin rumah dia tidak jauh dari situ, kapan-kapan kalau ada waktu senggang kita ke Bandung untuk mencarinya."
"Benarkah?"
Baskara mengangguk, ia berjanji mengagendakan waktu untuk putranya mencari gadis itu. Di tengah obrolan hangatnya bersama putra semata wayangnya, istrinya pulang dan menghampiri mereka di dapur.
"Hai, kau sudah pulang?" sapa Baskara, ia langsung menuangkan segelas air putih dan memberikannya ketika istinya duduk. "Kelihatannya kau lelah sekali, apa yang terjadi di kantor?"
Mutiara Emersyn tak menyambut sapaan hangat suaminya, ia juga mengabaikan air putih pemberian Baskara. Wanita itu duduk di meja makan dengan tangan melipat didadanya dan membuang wajahnya.
Hal ini membuat Baskara salah tingkah karena tak ingin Kai melihat hubungan dirinya dan ibunya yang memang sedang tidak baik-baik saja. "Kau tahu, Tiara? Kai baru saja membuat es krim goreng. Apa kau mau mencicipinya juga?" ia masih berusaha mencairkan suasana.
Tapi sayangnya itu justru malah membuat Mutiara marah dan menggebrak meja. "Sudah berapa kali Mama katakan padamu, Kai. Jangan sentuh peralatan masak! Tempatmu bukan di dapur, kau harus banyak belajar agar tidak seperti ayahmu yang bodoh ini," tunjuknya pada Baskara.
Seketika Baskara langsung bereaksi. "Apa-apaan kau ini, Tiara?"
Tatapan Mutiara semakin terlihat menantang. "Kau keluar dari pekerjaanmu, dan terus bermimpi menjadi pengusaha sukses dengan program-program bodohmu itu yang sampe sekarang belum sama sekali menghasilkan. Tabungan kita sudah habis, kau mau menjual apa lagi agar kita bisa tetap hidup? Kau mau aku menggunakan uangku untuk memenuhi kebutuhan kita? kau sungguh pria yang tak tahu malu."
"Aku tidak butuh uangmu," sanggah Baskara.
Meskipun saat ini program yang ia buat belum bisa menghasilkan, namun ia berusaha keras tetap memenuhi kebutuhan keluarganya dari tabungan yang ia miliki, tanpa meminta sepeserpun dari penghasilan istrinya.
"Besok aku akan bertemu dengan calon investor, aku yakin kali ini pasti berhasil. Bersabarlah!" ucap Baskara dengan penuh keyakinan sembari menatap Kai.
"Sudah ratusan kali kau bicara seperti itu, aku tidak ingin menunggu sampai kita jatuh miskin." Mutiara merogoh tasnya dan mengambil selembar amplop coklat, kemudian memberikannya pada Baskara. "Sampai bertemu di pengadilan."
Baskara mengerutkan keningnya. "Surat apa ini?" tanyanya memastikan meski ia sudah melihat logo pengadilan agama tertera di amplop tersebut, ia segera membuka dan membacanya.
"Tiara, kita bisa bicarakan ini semua baik-baik." Tatapan Baskara beralih ke Kai, seolah ia memastikan tidak akan perpisahan di keluarga kecilnya.
"Keputusanku sudah bulat, Baskara. Malam ini juga, aku dan Kai akan keluar dari rumah ini," Mutiara menatap putra semata wayangnya. "Ayo Kai, kemasi barang-barangmu."
Kai terdiam untuk beberapa saat, bocah enam belas tahun itu menatap kedua orang tuanya secara bergantian. "Aku ingin tinggal bersama Ayah."
Wajah Mutiara memerah, matanya melotot mendengar Kai tidak mau ikutnya. "Mau jadi apa kau ikut dengan Ayahmu? Lihat dirimu, Kai!" ia menunjuk ke arah apron yang di kenakan Kai sembari menggeleng-gelengkan kepala.
Napak jelas jika Mutiara tak menyukai cita-cita Kai yang ingin memiliki restoran dan menjadi juru masaknya. "Tidak ada yang salah menjadi seorang chef."
Mutiara beranjak dari tempatnya, ia memutar dan menghampiri putranya. "Kau akan menjadi sampah seperti Ayahmu, kalau kau tetap di sini." Ia menarik paksa Kai agar ikut dengan dirinya.
"Tidak. Aku tidak ingin ikut dengan Mama." Kai meronta berusaha melepaskan cengkraman ibunya. Dengan dua kali hentakan, Kai berhasil melepaskan diri. "Hanya karena saat ini kami belum berhasil, bukan berarti kami gagal dan menjadi sampah. Kami hanya perlu waktu untuk terus mencoba, dan aku yakin kami pasti bisa!" ia berlari masuk ke kamarnya meninggalkan orang tuanya di dapur.
Dengan jelas Kai mendengar pertengkaran hebat kedua orang tuanya, lebih tepatnya amarah Mutiara yang semakin membara, ia menuduh Baskara telah mempengaruhi Kai sehingga tidak lagi patuh kepadanya.
Kai mencoba menutup kedua telinganya, ia berharap ini semua segera berakhir. Kalau pun memang orang tuanya harus berpisah, ia tidak ingin berpisah dengan ayahnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!