NovelToon NovelToon

CEO Tampan Itu Teman Kecilku Yang Cupu

Harapan Zanya.

Zanya sedang meregangkan tangannya yang pegal karena mengetik laporan yang diminta oleh Andi, atasannya yang menjabat sebagai kepala divisi umum. Tiba-tiba Gina, senior Zanya datang sambil membawa setumpuk dokumen.

"Za, tolong ketik ulang, nanti sore gue ambil." titah Gina.

Zanya membelalakkan matanya yang kecil. "T-tapi Mbak, saya lagi ngerjain laporan yang diminta Pak Andi..." Ujar Zanya. Ia tidak berani menolak secara langsung titah Gina, karena biasanya seniornya itu akan mengomel, namun jika ia terima, maka pekerjaannya sendiri tidak akan selesai. Bukan sekali dua kali Gina melimpahkan pekerjaannya kepada Zanya, dan dia selalu mengklaim hasil kerja Zanya.

"Ah elu, Za! Gue minta tolong gini aja banyak alasannya." Ujar Gina dengan ketus. "Pokoknya gue nitip!" Lanjutnya sambil berlalu.

Zanya melengos melihat tumpukan dokumen itu. Ia mengerucutkan bibir mungilnya yang berwarna merah muda. Kemudian ia menghembuskan napas kuat-kuat. "Semangat, Zanya! semangat! Lu pasti bisa!" Ia menyemangati diri sendiri. Kemudian ia mengikat rambutnya yang berwarna cokelat sebahu,dan lanjut mengetik.

Zanya sudah 4 bulan bekerja di Great Corps, perusahaan yang bergerak di bidang periklanan, saat ini ia berstatus sebagai pegawai kontrak. Ia sangat berharap akan diangkat menjadi karyawan tetap di perusahaan ini. Zanya terkadang lelah dengan tekanan dari atasan dan seniornya, namun ia terus menyemangati dirinya sendiri agar terus bertahan.

***

"Eh, gue baru sekali ini loh liat muka Pak Marlon, ternyata ganteng bangeet...!"

"Sebenarnya gue udah beberapa kali liat, tapi dari jauh. Baru sekali ini gue liat dari jarak sedekat tadi. Gila sih, perfect banget!"

Zanya mengaduk kopinya, sambil mendengarkan dua pegawai wanita dari divisi lain mengobrol di pantry. Mereka sedang membicarakan Marlon, CEO di perusahaan ini. Zanya belum pernah bertemu atau melihat sang CEO, tapi hampir semua karyawan wanita di sini mengatakan bahwa CEO mereka itu tampan dan masih sangat muda.

Zanya menopangkan dagu, lalu menghela napas.

"Dia pasti anak orang kaya, dapat modal dari orangtuanya buat mendirikan perusahaan ini, ahh... Enaknya jadi anak orang kaya...!" Bisik Zanya.

Terkadang Zanya merasa hidup ini tidak adil, ada orang yang dengan mudahnya menjadi seorang CEO, hidup bergelimang harta dan dikelilingi orang-orang yang menghormati dan menyukainya. Sedangkan dirinya? Harus berjuang mati-matian demi mendapatkan gaji, agar bisa membayar hutang-hutang Ibunya, yang dilimpahkan padanya karena sang Ibu meninggal dunia.

Sejak semester 3, saat usia 20 tahun, Zanya ditinggal sang Ibu meninggal dunia. Sebelum meninggal, sang Ibu berpesan kepada Zanya untuk mencari Ayahnya. Namun, hingga kini, Zanya belum mencari Ayahnya, ia agak benci kepada Ayahnya yang meninggalkan dirinya sejak ia kecil, dan tak pernah memberi kabar, apalagi menjenguknya.

Selama kuliah, Zanya tinggal dengan neneknya, karena rumah sang Ibu dijual untuk melunasi hutang-hutang mereka. Dan saat ini, hutang ibu Zanya masih tersisa beberapa puluh juta lagi, sebab itulah Zanya berusaha sekuat tenaga agar terlepas dari hutang-hutang itu.

Zanya kembali ke mejanya, melanjutkan mengetik laporan yang Gina limpahkan kepadanya. Tadi saat makan siang ia sengaja makan bekalnya di meja kantor agar pekerjaannya cepat selesai sehingga bisa mengerjakan milik Gina. Terkadang ia merasa seperti pecundang, karena tidak berani melawan. Namun demi keberlanjutannya di perusahaan ini, ia terpaksa mengalah.

"Tunggu sampai jadi karyawan tetap, sabar...!" ujarnya sambil mengelus dada.

"Zanya! Laporan tadi udah selesai?" Andi bertanya sambil berjalan ke ruangannya.

Zanya langsung berdiri."Udah saya kirim lewat email, Pak." jawabnya.

"Good job!" Andi mengacungkan jempol dan masuk ke ruangannya.

Zanya melanjutkan mengetik. Tak lama, telepon di mejanya berdering. Zanya mengangkatnya, belum saja ia mengucapkan sepatah kata, sudah terdengar suara Andi. "Zanya, cek email, itu saya kirim laporan pembelian dari tahun 2022, tolong kamu rekap pembelian ATK perbulannya hingga bulan kemarin ya!"

"Siap, Pak!" jawab Zanya, lalu ia menutup telepon.

Zanya mempercepat ketikannya, agar segera selesai sehingga ia bisa mengerjakan perintah Andi.

***

Zanya berjalan gontai menuju parkiran motor di basement. Di parkiran, terlihat karyawan lain juga sibuk bersiap pulang dengan kendaraan masing-masing. Zanya segera menaiki motornya, lalu memakai helm dan jaket, kemudian menyalakan motornya dan pergi meninggalkan kantor menuju rumah neneknya.

Sampai di depan rumah neneknya, Zanya langsung masuk dari pintu samping, karena biasanya sang nenek mengunci pintu depan. Zanya masuk pelan-pelan, berniat memberi kejutan untuk neneknya. Terdengar suara neneknya berbicara di ruang makan.

"Rud, rumah Siwi aja udah terjual, karena kamu gak bisa melunasi hutang kamu di bank! Mama gak mau rumah ini bernasib sama dengan rumah kakakmu itu!"

Zanya memicingkan matanya dan menajamkan pendengarannya. Terdengar suara Rudi, pamannya.

"Ma, percaya deh, kali ini usahaku bakal berhasil...! Boleh ya, Ma! Aku kan gak minta, Ma, aku cuma pinjem sertifikat rumah Mama."

"Dulu kamu juga pinjam ke kakakmu, tapi kamu gak sanggup bayar, dan akhirnya rumah itu harus kita jual untuk melunasi hutang kamu. Kasian Zanya, seharusnya dia dapat warisan dari ibunya, tapi dia malah harus pontang panting bayar hutang atas nama ibunya, padahal itu kan sisa hutang kamu!" ujar neneknya dengan nada tinggi.

Zanya membelalakkan matanya, dadanya bergemuruh, ia sangat geram, namun ia masih diam di tempatnya, ia ingin mendengar lebih banyak pembicaraan nenek dan pamannya.

"Ma, Zanya itu dapat uang asuransi dari kematian Mbak Siwi, dia gak pontang panting kok. Justru uang asuransi itu kan harusnya dibagi sama kita juga, kita juga kan keluarga Mbak Siwi, tapi dia kan gak bagi ke kita."

Zanya mengepalkan tangannya, ia sudah tidak tahan lagi. Ibunya meninggal karena penyakit kanker ovarium, kebetulan dulu Ibunya mendaftar asuransi, sehingga ketika ibunya meninggal, Zanya menerima uang asuransi ibunya. Tapi, Zanya tidak pernah tega menyentuh uang itu, selama kuliah ia selalu bekerja paruh waktu untuk membayar biaya kuliah dan juga makannya sehari-hari.

Dulu Zanya memang tinggal bersama neneknya karena ia tidak sanggup membayar sewa kost, namun Zanya menanggung kebutuhan hariannya sendiri, karena ia tidak tahan dengan sindiran-sindiran yang ia dapat dari Desti, istri rudi. Setiap kali Zanya makan masakan neneknya, maka Desti akan menyindirnya dengan kata-kata yang tidak mengenakkan.

Maka dari itu, setelah ia selesai kuliah, Zanya pun segera keluar dari rumah itu, dan hidup sendiri. Setelah ia keluar dari rumah neneknya, paman dan bibinya itu juga keluar dari rumah itu. Namun karena Zanya sudah terlanjur nyaman hidup sendiri, ia tidak mau kembali ke rumah neneknya walau sang nenek memintanya, sesekali ia menjenguk neneknya seperti hari ini.

Dengan mantap Zanya melangkahkan kakinya, memasuki ruang makan neneknya.

"Jadi, hutang yang selama ini aku bayar, adalah hutang Om Rudi?!" Tanya Zanya begitu ia muncul di ruang makan.

Paman dan nenek Zanya terdiam sesaat, mereka saling pandang.

"Zanya, nenek bisa jelasin." Ujar sang nenek kikuk.

"Aku kecewa sama Nenek!" Zanya mengepalkan tangan, menahan emosinya.

"Om Rudi benar-benar gak punya malu, ya? Udah nyusahin hidup ibuku, nguras harta ibuku, sekarang bikin aku ikutan bayar sisa hutang ibuku, dan Om masih punya muka untuk mengungkit uang asuransi ibuku?!" Zanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menatap pamannya dengan ekspresi muak.

"Aku kan adiknya, aku berhak atas harta kakakku, dan Mama juga berhak atas harta anaknya! Apalagi semenjak ayah kamu pergi ninggalin kalian berdua, kami ini banyak jasa terhadap ibu kamu!" ujar Rudi tak tahu malu.

Mata Zanya berair, dadanya terasa sesak. "Keluarga macam apa ini? Yang ada di otak kalian hanya uang, uang dan uang!" suaranya parau karena menahan tangis.

"Nenek dengan teganya jual rumah ibuku, untuk melunasi hutang-hutang yang sebenarnya milik Om Rudi. Padahal nenek tau gimana perjuangan ibu untuk beli rumah itu." Tangis Zanya pun pecah karena ingat perjuangan ibunya.

Sang Nenek mendekat, mencoba meraih tangan Zanya, namun Zanya mundur, menghindar dan tetap menjaga jarak."Nenek bingung, Za... Kita gak punya uang untuk melunasi hutang itu, masa depan kamu masih panjang, kamu masih punya banyak kesempatan untuk bisa beli rumah, seperti ibu kamu dulu."

"Nek! Aku ini anak ibu, aku udah 20 tahun waktu ibu meninggal. Aku udah cukup dewasa untuk tau masalah ini, tapi Nenek menyembunyikannya dari aku, kenapa? Karena Nenek gak mau rumah Nenek dikorbankan untuk bayar hutang-hutang anak kesayangan Nenek ini!" Zanya sangat kesal dan juga sedih atas apa yang neneknya lakukan terhadap harta ibunya.

"Mulai sekarang, jangan anggap aku keluarga! Aku gak akan datang ke rumah ini lagi! Dan Om Rudi, aku bersumpah, Om akan merugi sebanyak kerugian ku dan kerugian ibuku!" Zanya segera pergi meninggalkan rumah neneknya.

Kantor Toxic

"Brakk!!" Motor Zanya tertabrak dari belakang, dan Zanya terjatuh.

Zanya bangkit dan menegakkan motornya lagi, kemudian ia melihat mobil yang menabraknya. Dengan kesal ia menghampiri mobil itu. Pintu mobil dibuka oleh pengemudi, yang ternyata seorang gadis cantik berambut pendek. Gadis itu melepas kacamata hitamnya dengan wajah kesal, sepertinya usianya lebih muda dari Zanya, mungkin sekitar 20 tahun.

"Kalau nyetir hati-hati dong!" ujar Zanya.

Gadis itu tidak mendengarkan ucapan Zanya, ia malah berjalan ke depan mobilnya, lalu menunduk untuk melihat kondisi mobilnya.

"Untung aja gak lecet parah, kalau lecet parah, gue tuntut ganti rugi!" Ujar gadis itu ketus.

Zanya membelalakkan mata, tak habis pikir dengan kelakuan pemilik mobil itu.

"Sorry...! Ini elu yang nabrak loh, kenapa gue yang harus ganti rugi? Mau mobil lu lecet parah atau penyok pun, gue gak akan mau ganti rugi! Silahkan panggil polisi, gue gak takut! Kita tinggal minta rekaman cctv untuk tau siapa yang harus ganti rugi." Zanya menunjuk kamera lalu lintas yang ada di dekat tempat kejadian.

Gadis itu menatap Zanya dengan sinis, kemudian memakai kacamata hitamnya lagi dan kembali menaiki mobil, dan langsung melaju, meninggalkan Zanya yang sedang sibuk menepuk-nepuk bajunya yang penuh debu karena terjatuh tadi.

Zanya menyalakan motornya, kemudian berkendara lagi menuju kantornya. Sesampainya di parkiran, Zanya mengganti jaketnya dengan Blazer yang masih terlipat rapi di bagasi motornya.

"Untung aja, selalu pake jaket, gak langsung pake blazer buat naik motor. Gak lucu banget kerja pake baju kotor." Gerutu Zanya sambil menyimpan jaket dan helmnya.

***

"Zanyaa...!" terdengar suara Risty, memanggilnya.

Zanya menoleh, melihat gadis itu berlari ke arahnya. Risty adalah teman kuliah Zanya, Risty lebih dulu bekerja di perusahaan ini. Zanya dapat informasi lowongan di sini pun dari Risty, jadi bisa dibilang ia bisa bekerja di sini berkat Risty.

"Eh, kenapa celana lu kotor?" tanya Risty.

"Gue jatoh tadi." Jawab Zanya singkat, ia tidak ingin menceritakan detailnya, karena ia pun masih kesal dengan kejadian tadi.

"Hati-hati makanya...! Untung gak ada luka." Omel Risty. "eh iya, Za. Gimana di GA? Masih betah?" tanyanya kemudian.

Zanya menghela napas. "Gitu deh, Ty... Gue betah-betahin aja, semoga cepat jadi karyawan tetap, kaya elu." Jawab Zanya.

Risty menepuk pundak Zanya. "Semangat, bestie! Nanti kalo ada lowongan di divisi gue, gue kabarin ya, supaya lu bisa ajuin ke HRD untuk pindah divisi..." ujarnya. Zanya sering berkeluh kesah kepada Risty tentang perlakuan senior dan atasannya. Risty pun sudah lama tahu tentang hal itu, karena sudah banyak karyawan dari divisi General Affair yang pindah ke divisi lain karena tidak betah.

"Makasih banyak, bestie...!" Jawab Zanya.

Mereka pun berjalan menuju lift, kemudian berpisah di lantai 3, karena disana lah kantor Zanya berada, sementara kantor Risty, divisi accounting, ada di lantai 4, satu lantai dengan divisi marketing.

Zanya duduk di kursinya sambil merapihkan meja, kemudian ia menyalakan komputernya, dan memeriksa email. Karyawan lain pun sudah di meja mereka masing-masing, beberapa dari mereka masih mengobrol, dan sisanya melakukan hal yang sama seperti Zanya.

Andi datang, berjalan melewati meja para staf, kemudian ia bertepuk tangan dengan keras. "Ayo! Kerja, kerja!" ujarnya setengah berteriak. Para staf yang masih mengobrol pun segera memulai aktifitas mereka.

"Zanya, ke ruangan saya!" Ujar Andi saat melewati meja Zanya.

Dengan terburu-buru, Zanya mengikuti Andi. Sampai di pintu ruangannya, Andi membuka pintu, lalu masuk dan langsung membanting pintu sebelum Zanya ikut masuk.

Zanya tersentak saat pintu terbanting hingga menutup rapat. Ia menepuk jidat, ia lupa bahwa Andi menegaskan untuk mengetuk pintu jika akan masuk ke ruangannya, tidak boleh mengekor seperti yang akan Zanya lakukan tadi. Zanya pun mengetuk pintu.

"Masuk!" teriak Andi.

Zanya membuka pintu pelan-pelan, kemudian masuk ke dalam ruangan.

"Ada apa, Pak?" tanya Zanya.

"Kamu ngajuin pindah divisi ke HRD?" tanya Andi penuh selidik.

Zanya terkejut, ia bahkan belum mendapat info lowongan dari divisi lain, apalagi mengajukan pindah divisi.

"E-enggak, Pak. Kenapa memangnya, Pak?" Tanya Zanya.

"Trus kenapa Bu Amel mau mindahin kamu?" Tanya Andi.

"Gak tau, Pak..." Zanya benar-benar bingung.

"Hmm.. Gini aja, nanti kalau dipanggil Bu Amel, kamu tolak aja ya! Supaya kamu tetap di sini. Tapi jangan bilang saya yang nyuruh nolak." Ujar Andi.

Zanya tertawa dalam hati, apa? Menolak pindah divisi, sedangkan ia sudah muak di sini. Untuk apa ia menolak tawaran yang mungkin akan memberikannya tempat kerja yang lebih nyaman.

"Liat nanti, Pak. Lagian saya dipanggil HRD juga belum tentu karena pindah divisi. Bisa jadi saya diangkat jadi karyawan tetap." Ujar Zanya. Setidaknya itulah harapan terbesarnya saat ini.

"Ya udah, intinya kalau nanti Bu Amel manggil kamu dan mau mindahin kamu, tolak aja!" ujar Andi.

"Kalau gitu, saya permisi, Pak." Pamit Zanya.

"Cek email kamu, saya udah kirim email dari kemarin sore untuk kamu kerjain hari ini." ujar Andi.

"iya, Pak. Itu udah mulai saya kerjain. Permisi, Pak." Zanya keluar setelah mendapat anggukan kepala dari Andi.

Zanya telah menyelesaikan pekerjaan yang Andi berikan padanya, masih pukul 09:45, masih ada waktu untuk minum kopi, sebelum ia mengerjakan tugas hariannya, mengecek status barang inventaris yang rusak, yang sedang diperbaiki, dan yang sudah di kembalikan ke masing-masing divisi.

"Za, mau kemana?" Cecil bertanya saat Zanya lewat di mejanya.

"Pantry." Tunjuk Zanya ke arah pantry.

Cecil melambai-lambai memanggilnya "Sini dulu, sebentar." panggilnya setengah berbisik. Zanya pun datang menghampiri.

"Za, Kamu waktu itu pernah urus perbandingan harga untuk purchasing kan? Kamu bisa gak bantuin aku untuk cari harga terbaik? Aku lagi dikejar deadline nih!" Ujar Cecil dengan senyum penuh harap.

"Sorry, Cecil. Aku juga lagi dikejar deadline, makanya aku mau ngopi dulu, biar gak sakit kepala." Jawab Zanya.

"Alaah... Bilang aja gak mau bantuin, pake alasan sakit kepala segala!" Ujar Cecil, wajahnya yang tadinya ramah langsung berubah sinis.

Zanya pergi meninggalkan Cecil dan wajah kesalnya. Zanya sudah paham karakter masing-masing karyawan disini, Gina si pemaksa, Cecil yang hanya baik saat ia butuh, Doni yang lain di depan lain di belakang, Dan masih banyak yang lainnya, intinya hampir semua karyawan senior disini toxic.

Selesai meminum kopinya, Zanya mencuci kembali cangkir dan menyimpannya. Biasanya ada OB yang mengerjakan itu, namun Zanya berpikir, jika ia masih bisa mengerjakan sendiri, mengapa harus menunggu orang lain.

Selesai memeriksa status barang inventaris, Zanya kembali mengecek email, disana ia melihat ada email dari Bu Amel HRD, yang meminta Zanya untuk menemuinya di kantor HRD.

Zanya melangkah dengan mantap menuju kantor HRD, walau sebenarnya dalam hati Zanya masih bertanya-tanya, mengapa ia dipanggil oleh Bu Amel? Apakah benar ia akan dipindahkan ke divisi lain? Atau diangkat menjadi karyawan tetap? Atau, kemungkinan terburuknya adalah mendapat surat peringatan, tapi Zanya merasa tidak melakukan kesalahan apapun.

Sampai di lantai 5, Zanya langsung menuju kantor HRD, dan langsung mengetuk pintu yang bertuliskan Amelia Soebandie.

"Masuk!" terdengar suara Bu Amel dari dalam ruangan.

Zanya membuka pintu, lalu masuk. Di dalam ruangan, ada seorang lelaki berusia 30an ke atas sedang berbicara dengan Bu Amel.

"Zanya Andrea?" Tanya Bu Amel.

"iya, Bu. Saya Zanya." Jawab Zanya masih berdiri.

Bu Amel membolak balik kertas di dalam map yang sedang dipegangnya. "Oke! Silahkan duduk, Zanya." ujar wanita berusia 40an itu.

Zanya pun duduk di kursi yang berada di samping lelaki tadi.

"Kenalkan, ini Pak Dwi, sekretaris Pak Marlon. CEO kita." ujar Bu Amel.

Dengan pikiran yang dipenuhi tanda tanya, Zanya pun bersalaman dengan Dwi.

"Begini Zanya, CEO kita sedang butuh dua asisten tambahan, satu laki-laki dan satu perempuan. Tapi, beliau ingin merekrut karyawan kontrak yang sudah bekerja di Great corps. Ada beberapa kandidat, dan kamu salah satunya. Beliau sudah melihat profil kamu, dan memilih kamu sebagai asistennya. Apakah kamu bersedia?" Tanya Dwi.

Hoki

"Maaf, Pak. Tapi, sebelum saya memutuskan bersedia atau tidaknya, boleh kan saya tau detail tentang status kepegawaian saya, gaji, dan lain-lainnya?" Tanya Zanya.

Zanya tidak bimbang ataupun ragu untuk menerima tawaran ini, namun tetap saja ia perlu tahu detailnya.

Dwi terkekeh."Oh iya, maaf...maaf... Saya terlalu terburu-buru bertanya kamu bersedia atau tidak. Untuk status kepegawaian, kamu akan dikontrak langsung oleh Pak Marlon, jadi kedepannya, kamu tidak akan ada hubungan dengan Great Corps lagi. Lengkapnya kamu bisa baca di kontrak ya." Ujarnya.

Bu Amel menyerahkan map berisi kontrak kerja kepada Zanya. Zanya menerimanya, dan mulai membaca.

Mata Zanya melebar saat melihat jumlah gaji yang ditawarkan. Rasanya ia ingin menjerit, saking senangnya. Dengan gaji sebanyak itu, tentu ia bisa melunasi hutang-hutang dengan lebih cepat. Bahkan 2 bulan gajinya saja bisa membayar lunas hutang itu, dan masih ada sisa untuknya.

"Zanya, Pak Dwi, silahkan dilanjut pembicaraannya, saya permisi keluar, ada beberapa urusan." Ujar Bu Amel.

"Oh iya, Bu Amel. Terimakasih banyak, Bu." ucap Dwi.

Selesai membaca kontraknya, Zanya pun menandatangani kontrak itu. Tidak apa-apa ia tidak menjadi karyawan tetap, asalkan ia mendapatkan gaji besar, dengan gaji besar itu, ia bisa menabung lebih banyak, sehingga keinginannya untuk buka usaha pun bisa terwujud, pikirnya.

"Zanya, kamu sudah baca kontraknya dengan teliti kan?" Tanya Dwi.

Zanya mengangguk. "Iya, Pak!" jawabnya mantap.

"Dengan menandatangani kontrak ini, artinya kamu sudah terputus dari Great Corps walau kamu masih bekerja disini. Sekaligus sudah berstatus sebagai asisten Pak Marlon, dengan semua kewajiban dan tanggung jawabnya." Ujar Dwi serius.

"Kamu baca kan, kamu harus menjaga rahasia pihak pertama, atau Pak Marlon?" tanyanya kemudian.

Zanya mengangguk. "Iya, Pak! salah satu kewajiban saya adalah menjaga privasi Pak Marlon." Jawab Zanya mantap.

"Oh iya, ada satu lagi. Nanti kalian, para asisten akan tinggal di wisma yang berdekatan dengan Pak Marlon, di lantai paling atas Great building." ujar Dwi. "Dan ini adalah rahasia, tidak ada pegawai Great Corps yang tahu tempat tinggal Pak Marlon selain saya, karena ditakutkan akan membahayakan Pak Marlon.

Zanya menganggukkan kepala.

"Nanti, sepulang kerja, kamu temui saya di lobi ya, saya akan tunjukkan wisma nya, supaya kalian bisa segera pindah, dan senin mulai bekerja di kantor CEO." ujar Dwi.

Ini adalah hari sabtu, artinya Zanya punya waktu sehari untuk pindah.

Zanya tidak keberatan sama sekali, karena sebenarnya ia tidak memiliki banyak barang.

***

Zanya bersenandung dalam hati sepanjang perjalanan dari kantor HRD ke kantor General Affair.

"Zanya! Ayo ke ruangan saya!" Andi langsung memanggil setibanya Zanya di mejanya.

"Gimana? Kamu beneran dipindah ke divisi lain?" Tanya Andi.

Zanya mengangguk."Iya, pak." Jawabnya.

"Jadi, kamu tolak atau terima?" Tanya Andi penasaran.

"Saya terima, Pak." jawab Zanya.

"Kok kamu terima?!" Suara Andi meninggi. "Kan saya udah bilang, kalau kamu mau dipindahin ke divisi lain, kamu tolak!" ujarnya setengah membentak.

"Maaf, Pak. Saya direkrut langsung oleh Pak Marlon untuk jadi asistennya. Saya terima, karena jelas lebih menguntungkan bagi saya kalau saya menerima tawaran itu." Jawab Zanya lugas.

Mata Andi terbelalak, mulutnya terbuka, ia seakan tak percaya, karyawan kontrak yang baru 4 bulan bekerja di sini, langsung direkrut menjadi asisten Marlon.

***

Pukul 14:00 Zanya segera turun ke lobi untuk bertemu Dwi, sekretaris Marlon. Sampai di lobi, Zanya duduk, kemudian mengeluarkan sebuah novel untuk ia baca sambil menunggu.

"Zanya, Radit, Ayo ikut saya!" Suara Dwi mengejutkan Zanya, Zanya pun mendongak dan melihat Dwi berdiri di dekat resepsionis. Ternyata Dwi sangat tinggi, tubuhnya tegap dan tampak berwibawa. Saat di ruang HRD tadi Zanya tidak begitu memperhatikannya.

Zanya berdiri dan berjalan menghampiri Dwi, Zanya melihat ada seorang pemuda yang juga berjalan ke arah yang sama. Pemuda itu sepertinya seumuran dengan Zanya, ah mungkin dia asisten yang satu lagi, pikir Zanya.

"Zanya, ini Raditya. Radit, ini Zanya. Kalian berdua akan menjadi partner." Dwi mengenalkan mereka berdua.

Zanya dan Radit pun bersalaman sambil saling melempar senyum. Zanya memperhatikan Radit sekilas, pemuda itu tidak terlalu tinggi seperti Dwi, namun tubuhnya terlihat sempurna, otot-otot tubuhnya tetap terlihat dibalik kemeja yang ia pakai.

"Ayo! kita langsung ke atas." ajak Dwi, lalu berjalan menuju lift ekslusif.

Zanya dan Radit pun mengikuti Dwi. Sampai di depan lift, Dwi mengeluarkan acces card dan menempelkannya pada acces control di samping pintu lift, dan lift pun terbuka. Dwi masuk, diikuti Zanya dan Radit. Setelah menekan tutup pintu, Dwi menekan angka 20 di lift.

Tak sengaja Zanya dan Radit saling tatap, ekspresi mereka berdua seolah berkata 'Oh, ternyata lift ekslusif memang beda' karena selama mereka bekerja, ada 3 lift yang biasa di pakai para pegawai, dan tidak ada akses ke lantai 20, hanya sampai lantai 17, bahkan mereka tidak tahu ada ada lantai lain diatas lantai 17.

Zanya mengedarkan pandangannya, lift ini terlihat sangat mewah dan artistik, sangat berbeda dengan lift yang biasa ia pakai. Selama ini Zanya hanya bertanya-tanya dalam hati, orang-orang seperti apa yang bisa menaiki lift ekslusif yang ada di kantornya. Zanya tidak pernah menyangka ia sendiri akan bisa mengakses lift ekslusif ini. Dalam hati Zanya ingin berteriak saking senangnya.

"Nanti kalian berdua akan mendapatkan kartu akses lift, dan juga kartu akses wisma." Ujar Dwi.

Sampai di lantai 20, Dwi melangkah keluar dari lift, Zanya dan Radit mengekor di belakangnya.

"Hari ini Pak Marlon sedang ke rumah orangtuanya, dan hari senin beliau akan berangkat kerja dari rumah orangtuanya. jadi kalian tidak bisa bertemu dengannya. Nanti senin kalian akan berkenalan langsung di kantor CEO." Ujar Dwi sambil berjalan.

Zanya dan Radit mengangguk-angguk.

"Wisma Pak Marlon ada disana." Dwi menunjuk ke sebuah pintu paling ujung.

"Ruangan ini bisa dibilang lobi wisma, kadang Pak Marlon menyambut tamu di sini, jika tamunya bukan orang dekat." Dwi menjelaskan.

"Radit, tunggu di sini sebentar, saya mau antar Zanya ke wisma nya dulu." Ujar Dwi, Radit mengangguk dan duduk di sofa.

Dwi membuka pintu dengan akses card khusus, kemudian masuk ke dalam ruangan.

"Ini ruangan kamu, dan ini akses card nya, kamu simpan sendiri." Ujar Dwi seraya menyerahkan kartu berwarna silver bertuliskan Great Building.

Zanya berkeliling, ruangan itu memiliki dapur dilengkapi perabotnya, di sebelahnya lagi ada sebuah sofa berukuran sedang, satu meja, dan ada tv yang di tempel di dinding. Zanya membuka pintu ke ruangan lain, yang ternyata adalah sebuah kamar. Zanya berdecak kagum melihat ranjang berukuran besar, dengan rak buku yang masih kosong, lemari baju yang besar dan dilengkapi kaca, dan sebuah kaca rias yang elegan.

"Pak, boleh gak saya ajak orang nginap di sini?" tanya Zanya.

Dwi tersenyum."Kamu mau ajak pacar kamu?" tanyanya.

"Bukan, Pak. Saya mau ajak teman saya sesekali, dan saya juga mau minta bantuannya untuk pindah kemari kalau boleh." Jawab Zanya malu-malu.

"Kalau untuk pindahan tentu saja boleh, tapi kalau untuk menginap, kamu bisa tanyakan bosmu nanti." Jawab Dwi sambil mengerlingkan matanya.

"Hmm... Pak, kalo boleh tahu, di lantai 17 sampai 19 itu apa ya?" Tanya Zanya penuh rasa ingin tahu.

Dwi terkekeh, "Nanti juga kamu tahu sendiri, dan itu adalah salah satu hal yang harus kamu rahasiakan." Ujarnya sambil tersenyum penuh arti.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!