Di sebuah perumahan sederhana di Surabaya, hidup seorang gadis kecil bernama Lilyana Belvania. Usianya baru menginjak tujuh tahun, tetapi keceriannya selalu membuat lingkungan sekitarnya terasa lebih hidup. Setiap pagi, suara tawa Lily terdengar memenuhi halaman rumahnya, diikuti oleh langkah-langkah kecilnya yang berlari riang.
Sejak kecil, Lily sudah terbiasa bermain di luar rumah. Di sebelah rumahnya, tinggal sebuah keluarga yang memiliki seorang anak perempuan seumuran dengannya, Melisa Angelina. Persahabatan mereka terjalin dengan alami, seperti bunga yang mekar tanpa perlu dipaksa. Setiap pagi, Lily akan mengetuk pintu rumah Melisa, berharap bisa mengajak temannya itu bermain.
"Melisa, ayo keluar! Kita main ayunan di taman!" panggil Lily dengan suara ceria.
Tak butuh waktu lama bagi Melisa untuk muncul di depan pintu dengan senyum lebar. "Ayo! Tapi kali ini, kita juga bisa bermain petak umpet, ya?" Melisa tertawa kecil, menampakkan gigi-giginya yang belum sepenuhnya tumbuh sempurna.
Bersama-sama, mereka berlari ke taman kecil di kompleks perumahan, tempat favorit mereka. Di sana, ada ayunan yang sudah usang, tetapi bagi dua gadis kecil itu, ayunan tersebut adalah istana impian mereka. Mereka bisa menghabiskan waktu berjam-jam, berbagi cerita tentang impian masa depan, bintang di langit, dan permainan yang tak pernah membosankan.
Namun, ada satu hal yang selalu menarik perhatian Lily setiap kali ia datang ke rumah Melisa. Kakak laki-laki Melisa, Ezra Julian Lucian, sering kali terlihat duduk di teras, membaca buku atau mendengarkan musik. Ezra berusia sekitar lima tahun lebih tua dari mereka, tetapi bagi Lily, Ezra adalah sosok yang jauh lebih dewasa dan menarik. Meski belum sepenuhnya memahami perasaan itu, Lily merasakan ketertarikan pada cara Ezra berbicara, senyumannya yang jarang terlihat, dan sikapnya yang tenang.
Suatu kali, saat Lily sedang bermain di ruang tamu rumah Melisa, Ezra berjalan melewati mereka dengan santai. "Mel, aku mau pergi ke toko buku, mau titip apa-apa?" tanyanya dengan suara lembut.
Melisa menggelengkan kepala sambil tetap fokus pada boneka yang sedang dimainkan. Namun, Lily hanya bisa memandangi Ezra tanpa bicara, mencoba mengerti mengapa hatinya berdebar saat melihat sosok remaja itu. Ezra tersenyum tipis pada Lily sebelum akhirnya keluar dari rumah, membuat Lily tersipu malu tanpa alasan yang jelas.
Lily tak pernah berbicara tentang Ezra pada siapa pun, bahkan kepada Melisa. Bagi seorang anak berusia tujuh tahun, perasaan itu terasa asing dan tidak terjelaskan. Tapi setiap kali ia berada di dekat Ezra, ada perasaan hangat yang mengalir di hatinya. Mungkin, pikir Lily, ini hanya karena Ezra berbeda dari teman-teman laki-laki seusianya yang lebih suka bermain kasar dan berisik.
Hari-hari mereka berlalu dengan cepat. Persahabatan Lily dan Melisa semakin erat, begitu pula dengan kebiasaannya bertemu Ezra, meski hanya sekilas. Namun, kebahagiaan masa kecil Lily tiba-tiba terguncang oleh kabar tak terduga dari keluarga Melisa.
Suatu sore, saat Lily sedang duduk di ruang tamu bersama orang tuanya, bel pintu rumah mereka berbunyi. Ibu Melisa, Bu Rina, datang bertamu dengan ekspresi yang terlihat serius. Orang tua Lily segera mempersilakannya masuk, dan percakapan yang terjadi di ruang tamu sore itu membuat hati kecil Lily terguncang.
“Kami harus pindah,” kata Bu Rina dengan nada pelan. “Suami saya mendapatkan pekerjaan baru di luar pulau, jadi kami akan segera berangkat. Ini kesempatan yang baik bagi keluarga kami, tapi... kami akan sangat merindukan lingkungan ini, terutama Lily. Melisa pasti akan sangat kehilangan teman bermainnya."
Lily yang duduk di sudut ruangan mendengarkan setiap kata dengan seksama. Pindah? Melisa akan pindah? Pikiran itu menggetarkan hatinya. Ia tidak bisa membayangkan hari-hari tanpa Melisa, sahabatnya yang selalu ada setiap kali ia ingin bermain. Mata Lily mulai berkaca-kaca, tetapi ia menahan air mata agar tidak jatuh. Melisa adalah bagian dari dunianya, bagian dari kebahagiaan kecilnya. Bagaimana ia bisa bermain tanpa sahabat terdekatnya?
Orang tua Lily menatap anaknya dengan simpati. Mereka tahu betapa dekat hubungan Lily dan Melisa, dan berita ini tentu sangat sulit bagi seorang gadis kecil seperti Lily untuk diterima.
Setelah beberapa saat, Lily berdiri dan berjalan keluar, duduk di bawah pohon besar di halaman rumahnya. Angin sore yang berhembus seolah membawa perasaan sedih yang tak bisa ia ungkapkan. Melisa, sahabatnya, akan pergi. Dan tidak hanya Melisa, tetapi juga Ezra. Tanpa ia sadari, air mata akhirnya jatuh dari pipinya.
Beberapa hari kemudian, keluarga Melisa benar-benar pindah. Hari perpisahan itu terasa berat, terutama bagi Lily. Ia memeluk Melisa erat-erat, berharap waktu bisa berhenti sejenak agar mereka bisa terus bersama. Ezra pun sempat mengucapkan salam perpisahan dengan senyum tipisnya yang khas, membuat perasaan Lily semakin campur aduk.
Setelah keluarga Melisa pergi, rumah di sebelah Lily terasa kosong. Tidak ada lagi tawa riang Melisa, tidak ada lagi kesempatan untuk melihat Ezra. Hari-hari Lily terasa sepi, dan taman yang biasa mereka kunjungi kini hanya menyisakan kenangan masa kecil yang perlahan mulai memudar.
Namun, seiring waktu, Lily tumbuh dan mencoba menyesuaikan diri dengan kehidupannya yang baru, meskipun bayang-bayang Melisa dan Ezra masih melekat di hatinya. Waktu pun berlalu dengan cepat, dan tanpa ia sadari, Lily beranjak dewasa dengan segudang impian yang siap ia wujudkan.
12 Tahun Kemudian
Waktu berlalu dengan cepat. Lilyana Belvania, yang dulunya seorang gadis kecil penuh tawa, kini tumbuh menjadi seorang remaja dengan segudang mimpi. Salah satu mimpinya adalah melanjutkan pendidikan ke kota besar—Jakarta. Sejak kecil, Lily selalu terpesona oleh kehidupan di kota metropolitan yang tampak penuh peluang dan kebebasan. Baginya, Jakarta adalah simbol petualangan, tempat di mana ia bisa mengejar mimpi-mimpi besarnya dan meraih kesuksesan.
Saat duduk di bangku SMA, impian itu semakin menguat. Ketika banyak teman-temannya berbicara tentang rencana kuliah di kota-kota besar, Lily pun tak ingin ketinggalan. Jakarta adalah tujuannya. Setiap kali ia melihat brosur universitas ternama, hatinya bergetar. Ia ingin merasakan hiruk-pikuk Jakarta, menaklukkan tantangan yang ada di sana, dan menemukan jati dirinya di kota besar itu.
Namun, ada satu hal yang menghalangi langkahnya orang tuanya.
Lily tahu, meskipun mereka selalu mendukung setiap langkah yang ia ambil, ada kekhawatiran besar dalam hati kedua orang tuanya, terutama ketika ia mengutarakan niatnya untuk kuliah di Jakarta. Pak Andi, ayah Lily, adalah sosok yang protektif, selalu memastikan anak satu-satunya tumbuh dengan baik dan terlindungi. Bu Santi, ibunya, meski lebih lembut dan terbuka, juga tak bisa menyembunyikan rasa cemasnya tentang kehidupan anak perempuannya di kota sebesar Jakarta.
Suatu malam, ketika makan malam selesai, Lily memutuskan untuk berbicara. Setelah berbulan-bulan menyimpan keinginan itu dalam hati, ia merasa ini adalah waktu yang tepat.
“Bu, Pak, aku ingin bicara sesuatu,” ucap Lily dengan nada serius, meski hatinya berdebar.
Ayah dan ibunya menatapnya dengan rasa penasaran. “Ada apa, Nak?” tanya Pak Andi sambil menurunkan sendok dari tangannya.
Lily menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, “Aku ingin melanjutkan kuliah di Jakarta.”
Ruangan makan yang semula dipenuhi dengan obrolan ringan mendadak hening. Pak Andi dan Bu Santi saling bertukar pandang, seolah berusaha mencerna apa yang baru saja didengar. Mata Bu Santi melembut, tapi raut wajahnya jelas menunjukkan kekhawatiran.
“Kuliah di Jakarta?” ulang Pak Andi, mencoba memastikan.
Lily mengangguk pelan. “Iya, Pak. Aku sudah memikirkan ini sejak lama. Ada banyak universitas bagus di sana, dan aku ingin mengejar karierku di bidang Ilmu Komunikasi. Aku rasa, Jakarta adalah tempat terbaik untuk itu.”
Pak Andi menyandarkan tubuhnya ke kursi, ekspresinya masih terlihat serius. “Lily, Jakarta itu kota yang besar. Hidup di sana tidak mudah, terutama bagi kamu yang belum pernah tinggal jauh dari rumah. Kamu yakin bisa mandiri di sana?”
Lily sudah menduga pertanyaan itu akan muncul. Ia menatap ayahnya dengan tekad yang kuat. “Aku tahu, Pak. Tapi aku ingin belajar untuk mandiri. Ini adalah kesempatan besar buat aku berkembang dan belajar banyak hal baru. Aku percaya bisa melakukannya.”
Namun, Bu Santi segera angkat bicara. “Lily, kami tidak meragukan kemampuanmu. Tapi tinggal sendirian di kota sebesar Jakarta... itu bukan hal yang mudah. Kami hanya khawatir, Nak. Kamu satu-satunya anak kami, dan Jakarta itu...”
Suara Bu Santi perlahan memudar, tergantikan oleh nada cemas. “Di sana banyak godaan, banyak bahaya yang tidak kamu duga.”
Lily mencoba menenangkan dirinya, meskipun di dalam hati ia memahami kekhawatiran itu. “Aku paham, Bu. Tapi aku tidak akan sendirian. Aku bisa cari teman sekamar, atau tinggal di asrama. Banyak mahasiswa lain yang juga kuliah jauh dari rumah, dan aku yakin aku bisa beradaptasi. Ini adalah langkah penting buat masa depanku.”
Namun, Pak Andi tetap terlihat ragu. “Kami tahu kamu punya mimpi besar, Lily, tapi ayah tidak bisa membiarkanmu begitu saja pergi ke kota asing sendirian.”
Pembicaraan itu berakhir tanpa keputusan pasti. Meski Lily terus berusaha meyakinkan orang tuanya, kekhawatiran mereka tetap tidak berkurang. Setiap malam, Lily sering terdiam di kamar, memikirkan cara untuk meyakinkan mereka. Ia tahu bahwa jika tidak segera membuat keputusan, waktu untuk mendaftar universitas akan habis.
Suatu hari, saat Lily sedang duduk di ruang tamu, Pak Andi mendekatinya dengan ekspresi yang berbeda dari biasanya. Ada sesuatu yang lembut dalam tatapannya, seolah ia sudah memikirkan sesuatu yang mendalam.
“Lily,” panggil Pak Andi pelan.
Lily menoleh. “Iya, Pak?”
“Ayah dan Ibu sudah memikirkan soal keinginanmu kuliah di Jakarta,” kata Pak Andi sambil duduk di sebelahnya. “Kami tidak ingin menghancurkan mimpimu. Tapi kami juga tidak bisa tenang kalau kamu tinggal sendirian di sana.”
Lily merasakan harapan tumbuh di hatinya. “Jadi... apakah itu berarti...?”
Pak Andi mengangguk pelan. “Ya, kami mengizinkan kamu kuliah di Jakarta. Tapi ada satu syarat.”
Lily menatap ayahnya dengan penuh antusias. “Apa pun syaratnya, Pak, aku akan terima!”
Pak Andi tersenyum kecil. “Kami akan ikut pindah ke Jakarta bersamamu.”
Kata-kata itu mengejutkan Lily. Ia tidak pernah membayangkan orang tuanya rela pindah dari Surabaya hanya untuk menemaninya kuliah. “Pindah? Pak, Bu, ini terlalu besar. Aku bisa...”
Bu Santi yang baru saja datang dari dapur segera ikut dalam percakapan. “Kami sudah memikirkan ini dengan matang, Lily. Jika ini bisa membuatmu mengejar mimpimu tanpa kami harus terus khawatir, maka kami siap untuk pindah. Lagi pula, ayahmu bisa mencari pekerjaan di sana, dan kita bisa memulai hidup baru di Jakarta.”
Lily merasa terharu. Ia tidak menyangka orang tuanya akan mengambil keputusan sebesar itu demi dirinya. “Aku... terima kasih, Bu, Pak. Tapi aku tidak ingin merepotkan kalian. Ini mimpi aku, bukan kalian.”
Bu Santi menggeleng sambil tersenyum. “Nak, apa yang menjadi mimpimu adalah kebahagiaan kami. Jika ini yang terbaik untukmu, kami akan mendukungmu sepenuhnya.”
Setelah percakapan itu, keluarga Lily mulai merencanakan kepindahan mereka ke Jakarta. Meski awalnya terkejut dengan keputusan orang tuanya, Lily merasa sangat bersyukur. Dengan orang tuanya di sampingnya, ia merasa lebih yakin dan tenang untuk memulai perjalanan barunya di kota yang penuh tantangan.
Bulan demi bulan berlalu, dan persiapan pindah ke Jakarta pun semakin dekat. Lily tahu, ini adalah awal dari babak baru dalam hidupnya. Tapi ada satu hal yang tak pernah ia duga di kota baru ini, hidupnya akan kembali bertautan dengan masa lalunya, sebuah kenangan yang tak pernah benar-benar hilang dari hatinya.
***Acara Kelulusan ***
Acara kelulusan adalah momen yang selalu dinantikan oleh setiap siswa, termasuk Lilyana Belvania. Setelah tiga tahun melewati suka duka masa SMA, hari itu akhirnya tiba hari di mana ia dan teman-temannya merayakan pencapaian yang selama ini mereka perjuangkan. Di aula sekolah yang dihiasi dengan balon-balon warna-warni, para siswa berseragam putih abu-abu berkumpul, merayakan keberhasilan mereka dalam mengakhiri satu babak kehidupan dan bersiap memasuki dunia yang lebih luas.
Lily duduk di deretan kursi bersama teman-teman sekelasnya, mengenakan seragam yang sudah ditandatangani penuh coretan dan pesan perpisahan. Di wajahnya terpancar kebahagiaan bercampur dengan sedikit kesedihan. Momen kelulusan ini bukan hanya perpisahan dari sekolah, tetapi juga dari kota yang sudah menjadi rumahnya sejak kecil Surabaya. Dalam beberapa minggu, ia dan keluarganya akan pindah ke Jakarta, mengikuti mimpinya untuk melanjutkan kuliah di sana.
Suara tepuk tangan riuh memenuhi ruangan ketika kepala sekolah memanggil nama setiap siswa untuk menerima ijazah. Ketika nama Lily disebut, ia berdiri dengan bangga. Dengan langkah mantap, ia berjalan menuju panggung, menerima sertifikat kelulusannya dari kepala sekolah sambil tersenyum lebar. Saat itu, ia merasa semua perjuangan dan usaha selama ini akhirnya terbayar.
Setelah semua nama dipanggil, acara kelulusan berlanjut dengan berbagai pidato dari guru dan perwakilan siswa. Namun, pikiran Lily terus melayang pada kenyataan bahwa ia akan meninggalkan banyak hal di sini—teman-teman, kenangan masa SMA, dan terutama kota ini yang selama bertahun-tahun menjadi bagian dari hidupnya. Meski ada semangat baru menyambut kehidupan di Jakarta, perasaan untuk berpisah dari Surabaya tetap membebani hatinya.
Setelah upacara selesai, Lily keluar dari aula bersama teman-temannya. Mereka tertawa, berfoto bersama, dan saling bercanda, seolah ingin mengabadikan setiap momen terakhir bersama. Salah satu teman terdekatnya, Alya, merangkul bahunya erat.
"Lily, aku masih nggak percaya kamu bakal pindah ke Jakarta," ucap Alya dengan nada sedikit sedih. "Kita udah bertahun-tahun bareng, dan sekarang kamu beneran pergi."
Lily tersenyum tipis, meski hatinya ikut berat. "Aku juga nggak percaya, Alya. Rasanya aneh banget harus ninggalin semua di sini. Tapi ini mimpi aku, dan aku harus kejar itu."
Alya mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca. "Aku paham, Lil. Kamu pasti akan sukses di sana. Tapi kita semua bakal kangen banget sama kamu."
Lily memeluk Alya erat-erat, merasakan getaran emosi yang sama. "Aku juga akan kangen kalian semua. Tapi kita nggak benar-benar berpisah, kan? Sekarang ada internet, kita bisa video call kapan saja. Aku pasti sering cerita tentang kehidupan di Jakarta."
Setelah berpelukan dengan Alya, Lily menemui teman-teman lainnya. Satu per satu, ia berpamitan dengan senyum dan pelukan hangat. Meski mereka semua mencoba tertawa dan bersikap riang, ada rasa sedih yang tak bisa disembunyikan. Ini bukan hanya sekadar kelulusan dari sekolah, tetapi juga perpisahan dari sebuah kehidupan yang sudah sangat familiar.
Di sudut aula, Lily melihat Dita dan Siska, dua temannya yang selalu ada di sampingnya selama masa SMA. Mereka bertiga sering menghabiskan waktu bersama, belajar untuk ujian, atau sekadar nongkrong di kafe setelah pulang sekolah. Kini, saat-saat itu hanya akan menjadi kenangan.
"Lily," panggil Dita dengan suara pelan. "Kamu beneran pindah ya? Serius nih?"
Lily mengangguk sambil tersenyum tipis. "Iya, Dit. Aku nggak nyangka bakal secepat ini, tapi keluarga aku udah siap untuk pindah. Jakarta, di sini aku datang!"
Siska, yang biasanya cerewet, hanya bisa tersenyum sambil menahan air mata. "Kita bakal kangen suara cempreng kamu tiap pagi di kelas."
Tawa Lily pecah mendengar komentar itu. Ia merangkul kedua temannya sekaligus. "Aku juga bakal kangen kalian. Tapi ini bukan akhir dari persahabatan kita, kan? Kita pasti akan ketemu lagi suatu hari nanti."
Sisa hari itu dihabiskan dengan banyak tawa, tangisan, dan foto-foto kenangan. Lily berusaha menyerap setiap momen, mengingatkan dirinya bahwa meski ia akan meninggalkan Surabaya, tempat ini akan selalu menjadi bagian dari siapa dirinya. Dalam hati, ia berjanji akan kembali suatu hari, meski untuk sementara waktu, hidupnya akan dimulai di tempat yang baru.
Setelah semua teman-temannya mulai pulang satu per satu, Lily duduk di bangku taman sekolah yang sepi. Ia menatap gedung sekolah yang sudah menjadi bagian dari hidupnya selama tiga tahun terakhir. Tempat ini menyimpan banyak kenangan—pelajaran yang ia pelajari, guru-guru yang selalu membimbingnya, dan tentu saja, teman-teman yang telah menjadi keluarganya.
Di sela-sela lamunannya, ponsel Lily bergetar. Ia meraih ponselnya dan melihat pesan dari ibunya.
"Lily, sudah selesai? Kami sudah di depan gerbang sekolah. Mau jemput kamu pulang."
Lily tersenyum membaca pesan itu. Orang tuanya selalu ada untuk mendukungnya, dan sekarang mereka bahkan rela pindah ke Jakarta demi memastikan dirinya bisa meraih mimpinya dengan tenang.
Dengan langkah perlahan, Lily berjalan menuju gerbang sekolah. Di sana, ia melihat mobil keluarga yang sudah menunggunya. Ibunya, Bu Santi, duduk di kursi depan, melambaikan tangan dengan senyum lembut. Ayahnya, Pak Andi, berada di kursi pengemudi, menatapnya dengan bangga.
Lily masuk ke dalam mobil dan menghela napas panjang. "Sudah selesai, Bu, Pak. Rasanya aneh, tapi juga lega."
Bu Santi menoleh ke arah anaknya dengan senyum hangat. "Semua akan baik-baik saja, Nak. Ini hanya awal dari perjalanan barumu."
Pak Andi menepuk bahu Lily dari kursi depannya. "Ayah bangga padamu. Kamu sudah menyelesaikan sekolah dengan baik, dan sekarang kita akan memulai hidup baru di Jakarta."
Lily tersenyum dan mengangguk. "Iya, Pak. Aku juga nggak sabar untuk memulai semuanya di sana."
Mobil pun melaju perlahan meninggalkan gerbang sekolah, meninggalkan tempat yang penuh kenangan di belakang. Tapi bagi Lily, ini bukan perpisahan, melainkan awal dari babak baru yang penuh dengan tantangan dan kesempatan. Di dalam hatinya, meski perpisahan dengan teman-temannya terasa berat, ia tahu bahwa mereka akan selalu menjadi bagian dari hidupnya, dan mungkin suatu hari nanti, jalan mereka akan bersilangan kembali.
Dalam perjalanan menuju rumah, Lily tak bisa berhenti memikirkan masa depan yang menunggunya di Jakarta. Kota besar itu penuh dengan kemungkinan yang tak terduga, dan ia siap untuk menghadapi semuanya. Namun, ada satu hal yang ia tidak duga di kota itu, ia akan kembali dipertemukan dengan bagian dari masa lalunya yang selama ini hanya menjadi kenangan.
***
Hari kepindahan pun tiba. Sejak pagi, rumah Lily terasa lebih sepi dan sunyi dari biasanya. Hanya ada koper-koper yang tersusun rapi di depan pintu, menunggu untuk dibawa ke bandara. Barang-barang lain yang lebih besar—furnitur, peralatan rumah tangga, dan berbagai benda kenangan—akan dikirim menyusul dengan truk pengiriman yang akan tiba beberapa hari setelah mereka sampai di Jakarta.
Lily berdiri di depan pintu rumahnya di Surabaya, menatap setiap sudut yang pernah menjadi bagian dari kehidupannya. Ia menarik napas panjang, menyadari bahwa ini mungkin terakhir kalinya ia melihat tempat ini sebelum pindah ke kota yang sama sekali berbeda. Rumah yang penuh dengan kenangan masa kecilnya, di mana tawa, tangis, dan kebahagiaan pernah tercipta, kini akan ditinggalkan.
"Sudah siap, Lil?" tanya Pak Andi, ayahnya, yang sudah menunggu di dekat mobil.
Lily mengangguk pelan, lalu menghela napas. "Iya, Pak. Hanya merasa sedikit aneh. Rasanya masih belum siap ninggalin semua ini."
Bu Santi, yang juga sudah bersiap dengan tas jinjing di tangannya, tersenyum lembut. "Aku tahu perasaanmu, Nak. Tapi ini bukan perpisahan yang menyedihkan. Ini adalah langkah awal menuju masa depan yang baru, tempat di mana kamu akan mengejar mimpi-mimpimu."
Mendengar kata-kata ibunya, Lily merasa sedikit lebih tenang. Ia tersenyum tipis lalu melangkah ke mobil keluarga yang akan membawa mereka ke bandara.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!