NovelToon NovelToon

Menaklukan Hati Ceo

Bab 1: Pertemuan yang Menggugah

Pagi itu, Jakarta bersinar cerah. Suara klakson mobil dan deru sepeda motor memenuhi udara, menciptakan simfoni kota yang tidak pernah tidur. Di tengah hiruk-pikuk ini, seorang wanita melangkah dengan percaya diri, mengenakan setelan jas berwarna hitam yang menyanjung lekuk tubuhnya. Lieka Fahrom, CEO perusahaan teknologi terbesar di Indonesia, menjadi pusat perhatian di setiap ruangan yang dimasukinya. Keanggunan dan aura kekuasaannya membuat banyak orang terpesona, meskipun sikap galaknya sering membuat orang segan untuk mendekat.

Lieka sedang bersiap untuk menghadiri rapat penting dengan investor. Di dalam mobilnya, dia merapikan rambut panjangnya yang tergerai, memastikan penampilannya sempurna. Dia tahu betul bahwa setiap detail harus diperhatikan dalam dunia bisnis yang penuh persaingan ini. Namun, di balik penampilannya yang tegas, ada rasa cemas yang menggelayuti hatinya. Proyek yang sedang dijalankan bisa menentukan nasib perusahaannya.

Setelah menempuh perjalanan singkat, mobilnya berhenti di depan gedung pencakar langit tempat perusahaannya beroperasi. Lieka melangkah keluar dengan langkah mantap, disambut oleh para karyawan yang sudah mengenal reputasinya. Dia melambai singkat, lalu melanjutkan perjalanan menuju lift.

Sementara itu, Tanier Alfaruq, seorang karyawan muda yang tampan dan kocak, berdiri di sudut lobi, menanti giliran untuk menyampaikan laporan kepada Lieka. Dia adalah seorang mahasiswa yang bekerja paruh waktu di perusahaan, dengan tekad untuk membantu Tanier dalam segala hal yang diperlukan. Kegembiraan dan rasa gugupnya bercampur menjadi satu saat melihat Lieka mendekat.

"Selamat pagi, Tanier!" sapa Lieka dengan senyuman hangat. Suaranya tegas, namun ada kelembutan di baliknya yang membuat Tanier terpesona.

"Selamat pagi, Bu Lieka," jawab Tanier, berusaha menjaga ekspresi wajahnya tetap tenang. Dia tahu betapa sulitnya bisa mendapatkan perhatian Lieka, apalagi dengan sifatnya yang keras dan penuh percaya diri.

Setelah menyelesaikan rapat, Tanier merasa perlu untuk mengekspresikan perasaannya. Dia telah menyimpan perasaan ini selama berbulan-bulan, melihat bagaimana Lieka menghadapi berbagai tantangan di perusahaan. “Akhirnya, saat yang tepat,” pikirnya, berusaha meyakinkan diri.

Saat Lieka berjalan melewati meja kerjanya, Tanier memberanikan diri untuk memanggilnya. "Bu Lieka, apakah saya bisa berbicara dengan Anda sebentar?"

Lieka berhenti dan memutar tubuhnya, menatap Tanier dengan tatapan penasaran. “Tentu, Tanier. Apa yang ingin kamu bicarakan?”

“Ini tentang proyek yang akan datang. Saya ingin menawarkan beberapa ide untuk meningkatkan efisiensi,” jawabnya, suaranya bergetar sedikit karena nervous.

Lieka mengangguk, memberi sinyal agar Tanier mengikuti ke ruang kerjanya. “Baiklah, kita bisa membahasnya di sana.”

Di dalam ruang kerja yang megah, penuh dengan peralatan modern dan lukisan abstrak, Tanier memulai presentasinya. Namun, semakin dia menjelaskan, semakin dia tidak bisa mengabaikan pesona Lieka yang memukau. Rambutnya yang panjang tergerai, wajahnya yang cantik terbatasi oleh raut serius saat mendengarkan penjelasannya. Tanier merasakan aliran ketegangan yang tidak biasa di antara mereka.

Saat Tanier menyelesaikan presentasinya, Lieka terdiam sejenak, menimbang setiap kata yang diucapkan. “Ide-ide kamu sangat menarik, Tanier. Saya suka kreativitas yang kamu tunjukkan,” ujarnya dengan senyuman.

Tanier merasa hatinya berdegup kencang. “Terima kasih, Bu Lieka. Saya harap bisa berkontribusi lebih banyak untuk perusahaan ini.”

Lieka mendekat, jarak di antara mereka semakin dekat. Dia menyadari ketulusan di balik kata-kata Tanier, dan itu mengusik perasaannya yang tersembunyi. “Kamu punya potensi yang besar, Tanier. Jangan pernah meragukannya,” ujarnya, meninggalkan Tanier dalam keadaan terpesona.

Setelah pertemuan itu, Tanier meninggalkan ruangan dengan perasaan campur aduk—antara gembira dan cemas. Dia tahu bahwa perasaannya terhadap Lieka lebih dari sekadar kekaguman, tetapi bagaimana mungkin dia bisa menyatakannya?

Setelah Tanier keluar dari ruangan, Lieka duduk sejenak di kursinya, merenungkan percakapan mereka. Ada sesuatu yang berbeda dari Tanier, sesuatu yang jarang ia temui di antara karyawan lain—sebuah kejujuran yang tulus dan semangat yang menggebu. Meskipun Lieka dikenal sebagai CEO yang galak dan tegas, Tanier tidak terlihat gentar di hadapannya, bahkan berani mengutarakan ide-idenya dengan percaya diri. Itu sesuatu yang ia hargai.

Ponsel Lieka bergetar di meja kerjanya, membuyarkan lamunannya. Ia mengambilnya dan melihat nama yang muncul di layar: Sugi, mantan suaminya. Sebuah nama yang selalu membawa ingatan pahit tentang masa lalu mereka. Lieka menghela napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengangkat panggilan tersebut.

"Ada apa?" tanya Lieka dengan nada dingin.

“Aku hanya ingin tahu kabarmu,” jawab Sugi dengan nada yang terdengar tenang namun penuh maksud terselubung. “Sudah lama kita tidak bicara, Lieka.”

“Kita tidak ada urusan lagi, Sugi. Jika ini tentang anak-anak, kamu bisa hubungi pengacara,” balasnya cepat. Suaranya mengandung ketegasan yang tidak bisa dibantah.

Sugi tertawa kecil di ujung telepon. “Oh, tenang saja, ini bukan tentang anak-anak. Aku hanya ingin membicarakan... kita. Mungkin kita bisa memperbaiki semuanya.”

Lieka mengepalkan tangannya, menahan amarah. Sugi, seperti biasanya, selalu tahu bagaimana caranya menyentuh saraf terlemahnya. Namun, masa lalu mereka terlalu penuh dengan luka dan pengkhianatan untuk bisa diperbaiki begitu saja.

“Kita sudah selesai, Sugi. Jangan buang waktuku lagi,” katanya dengan nada dingin sebelum memutuskan panggilan tanpa menunggu jawaban dari mantan suaminya.

Setelah itu, Lieka menatap pemandangan kota Jakarta dari balik kaca besar ruangannya. Hatinya masih belum sepenuhnya pulih dari pernikahannya dengan Sugi, tetapi ia tidak akan membiarkan masa lalu itu menghancurkan masa depannya lagi. Ia menguatkan dirinya, menyingkirkan pikiran tentang Sugi dan kembali fokus pada pekerjaannya.

***

Di sisi lain gedung, Tanier masih memikirkan interaksinya dengan Lieka. Rasa gugup yang sempat ia rasakan kini berganti menjadi kebanggaan. Dia berhasil menyampaikan ide-idenya kepada salah satu wanita paling berpengaruh di Indonesia, dan Lieka menerimanya dengan baik. Namun, di balik kebanggaannya, ada perasaan lain yang terus mengganggu pikirannya—perasaan yang lebih dalam dari sekadar rasa hormat terhadap bosnya.

Saat Tanier memasuki ruang kerja timnya, dia disambut oleh Fadil, teman sekantornya yang juga menjadi tempatnya curhat di perusahaan.

“Gimana tadi? Katanya lo presentasi di depan Bu Lieka?” tanya Fadil sambil menyandarkan tubuhnya di meja, menunggu jawaban dengan antusias.

Tanier tersenyum tipis. “Gue berhasil, bro. Dia suka sama ide-ide gue.”

Fadil tertawa dan menepuk bahu Tanier. “Gila, lo emang jago. Dapet pujian dari Bu Lieka? Itu kayak dapet bonus tahunan, tau nggak.”

Tanier ikut tertawa, tapi senyumnya segera memudar ketika ingatan tentang tatapan Lieka menghantui pikirannya. Tatapan itu, meskipun singkat, terasa begitu intens. “Tapi... gue nggak tau kenapa, bro, ada yang beda dari dia hari ini.”

Fadil mengangkat alis, penasaran. “Maksud lo?”

Tanier menggelengkan kepala. “Gue nggak tau pasti. Cuma, ada sesuatu di balik tatapannya. Gue ngerasa kayak dia lagi mikirin sesuatu yang berat, tapi dia nggak mau nunjukin.”

“Yah, namanya juga CEO, bro. Lo kira jadi bos di perusahaan sebesar ini gampang? Pasti banyak tekanan,” kata Fadil, berusaha menenangkan. “Yang penting sekarang lo udah bikin kesan bagus. Siapa tau karir lo bakal cepet naik.”

Meski begitu, Tanier tak bisa menghilangkan perasaan aneh itu. Ada sesuatu tentang Lieka yang membuatnya ingin lebih dekat, ingin mengenalnya lebih jauh, bukan hanya sebagai bos. Tapi dia tahu batasnya. Lieka adalah wanita berkelas, sementara dia hanya seorang mahasiswa yang bekerja paruh waktu untuk mencari pengalaman. Tidak mungkin ada kesempatan untuk lebih dari sekadar hubungan profesional, bukan?

Namun, saat malam semakin larut dan pekerjaannya selesai, pikiran tentang Lieka masih memenuhi benaknya. Dia berbeda. Itu satu-satunya hal yang Tanier bisa yakini. Dan dia tahu, entah bagaimana, pertemuan itu baru awal dari sesuatu yang lebih besar di antara mereka.

***

Sementara itu, di kantornya, Lieka mencoba untuk fokus pada laporan-laporan yang menumpuk di mejanya, tapi pikirannya terus kembali kepada Tanier. Pemuda itu memiliki sesuatu yang berbeda—sesuatu yang membuatnya merasa lebih hidup, meskipun dia tidak ingin mengakuinya.

Malam itu, Lieka merasakan ketegangan yang tidak biasa di hatinya. Apa yang sebenarnya dia rasakan terhadap Tanier? Sebuah pertanyaan yang terus menghantui pikirannya ketika dia menatap keluar jendela, menyaksikan kota Jakarta yang tetap hidup di malam hari.

Pertemuan dengan Tanier telah menggugah sesuatu dalam dirinya—sebuah perasaan yang telah lama terkubur di bawah kesibukan dan luka masa lalunya. Dan meskipun dia mencoba mengabaikan perasaan itu, dia tahu bahwa hubungannya dengan Tanier tidak akan berhenti sampai di sini.

Bab 2: CEO yang Galak

Keesokan paginya, suasana di kantor sudah kembali seperti biasa, dengan hiruk-pikuk aktivitas para karyawan yang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Di lantai tertinggi gedung, ruang kerja Lieka Fahrom kembali dipenuhi dengan tumpukan dokumen dan jadwal rapat yang padat. Namun, di balik segala kesibukan itu, bayangan Tanier masih menghantui pikirannya. Apakah perasaannya hanya sekadar profesionalisme, atau lebih dari itu?

Lieka menggelengkan kepala, mencoba menepis pikiran itu. “Fokus, Lieka,” gumamnya pada diri sendiri. Dia tidak boleh terganggu oleh hal-hal semacam ini. Dia adalah seorang CEO, dan tidak ada ruang untuk kebingungan perasaan dalam dunia bisnis yang keras ini.

Pukul 9 pagi, rapat penting dengan para manajer dimulai. Lieka, dengan penampilannya yang selalu rapi dan profesional, memasuki ruang rapat dengan aura yang tegas dan berwibawa. Semua mata tertuju padanya, beberapa karyawan terlihat tegang, mengantisipasi setiap kata yang akan keluar dari mulut wanita yang dikenal galak dan tanpa kompromi ini.

“Baiklah, kita mulai,” kata Lieka dengan nada datar namun memerintah. “Saya tidak ingin membuang waktu lebih banyak, jadi langsung saja ke inti permasalahan.”

Manajer pemasaran berdiri dan mulai mempresentasikan hasil kampanye terbaru. Namun, hanya beberapa menit masuk ke presentasinya, wajah Lieka mulai mengeras. Tanpa ragu, dia mengangkat tangan, menghentikan presentasi di tengah jalan.

“Stop!” kata Lieka dengan nada tajam. Suara gesekan kertas terhenti, dan seluruh ruangan terdiam. “Apa ini? Angka yang kalian tunjukkan tidak sesuai dengan proyeksi yang kita buat. Apa yang sebenarnya terjadi?”

Manajer itu terlihat cemas, tangannya gemetar saat mencoba mencari jawaban. “Kami... kami mengalami beberapa kendala, Bu Lieka. Anggaran yang dialokasikan...”

Lieka menatapnya dengan tajam, memotong penjelasannya. “Saya tidak mau mendengar alasan! Jika kalian tidak bisa memenuhi target yang sudah kita sepakati, maka saya akan cari orang lain yang bisa. Ini bukan permainan, ini bisnis. Kalian semua dibayar mahal untuk memastikan hal-hal seperti ini tidak terjadi.”

Suasana dalam ruangan menjadi semakin tegang. Para manajer saling bertukar pandang, mencoba mencari jalan keluar dari situasi yang semakin memanas. Sementara itu, Tanier yang duduk di salah satu sudut ruangan, diam-diam memperhatikan. Dia tahu Lieka bisa galak, tapi baru kali ini dia melihatnya dalam kondisi seperti ini—begitu tajam, begitu tak kenal ampun.

Setelah mengakhiri rapat dengan teguran keras, Lieka meninggalkan ruangan dengan langkah cepat. Dia menuju ruang kerjanya tanpa bicara pada siapa pun. Para karyawan di sekitarnya hanya bisa menunduk, tidak berani menatap langsung ke arah bos mereka yang sedang marah.

Di dalam ruang kerjanya, Lieka menutup pintu dengan kasar dan duduk di kursinya. Amarahnya masih membara. Perusahaan ini adalah hidupnya. Dia telah bekerja keras untuk membangunnya dari nol, dan dia tidak akan membiarkan siapa pun merusaknya.

Namun, di tengah kemarahannya, bayangan Tanier kembali muncul dalam pikirannya. Kenapa pemuda itu begitu sulit untuk diabaikan? Dalam banyak hal, Tanier adalah kebalikan dari dirinya. Sementara dia tegas dan galak, Tanier justru sabar dan humoris. Mungkin itulah yang membuatnya tertarik, meskipun dia enggan mengakuinya.

Lieka menghela napas panjang. Dia tidak bisa membiarkan emosinya mengacaukan profesionalismenya. Tapi, semakin dia mencoba menjauhkan Tanier dari pikirannya, semakin kuat perasaan itu muncul.

***

Sementara itu, di ruang kerja tim, Tanier berbincang dengan Fadil dan beberapa rekan lainnya. Meskipun mereka bekerja keras, suasana di ruangan mereka jauh lebih santai dibandingkan dengan ruangan Lieka.

“Gila, tadi Bu Lieka ngamuk ya?” ujar Fadil sambil menatap Tanier. “Lo liat nggak? Mukanya bener-bener serem.”

Tanier hanya mengangguk pelan. “Iya, gue liat. Tapi gue bisa ngerti kenapa dia marah. Angka-angka itu memang nggak sesuai target.”

Fadil tertawa kecil. “Iya, tapi tetap aja, galaknya luar biasa, bro. Gue nggak kebayang gimana kalo gue yang jadi manajer itu.”

Tanier tersenyum tipis. Dia tahu Fadil benar, tapi ada sisi lain dari Lieka yang dia lihat. Di balik galaknya, ada seseorang yang sangat peduli pada perusahaannya, yang rela mengorbankan banyak hal untuk kesuksesan mereka. Dan entah bagaimana, Tanier merasa terdorong untuk mendekati Lieka, bukan hanya sebagai atasan, tapi juga sebagai seseorang yang ingin dia bantu dan dukung.

“Gue rasa Bu Lieka nggak sepenuhnya galak, bro,” kata Tanier tiba-tiba, membuat Fadil dan rekan-rekan lainnya menatapnya dengan bingung.

“Maksud lo?”

“Dia keras karena dia peduli. Gue rasa ada banyak tekanan di posisi dia, dan itu yang bikin dia kelihatan galak.”

Fadil terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Mungkin lo bener. Tapi tetep aja, gue nggak mau berada di posisi manajer tadi.”

Tanier tertawa kecil, namun di dalam hatinya, dia semakin yakin bahwa ada sesuatu di balik sikap keras Lieka. Dia tahu bahwa perasaan itu mulai tumbuh, meskipun dia belum siap untuk mengakuinya.

***

Hari itu berakhir dengan Lieka yang masih terjebak dalam pikirannya. Dia tahu bahwa banyak yang menggantungkan harapan mereka pada dirinya. Dan sebagai CEO, dia tidak bisa menunjukkan kelemahan. Namun, di balik topeng kekuatan itu, dia merasakan sesuatu yang mulai berubah—sesuatu yang membuatnya mempertanyakan keputusannya, terutama soal Tanier.

Ketika malam tiba, Lieka menatap ke luar jendela kantornya, merenungi semua hal yang telah terjadi hari itu. Dia merasakan kelelahan mental yang mendalam, tetapi di antara kebingungannya, satu hal tetap jelas: Tanier.

Ada sesuatu tentang pemuda itu yang terus menggugah hatinya, sesuatu yang mungkin bisa mengubah cara pandangnya terhadap cinta dan kehidupan. Namun, di balik itu semua, dia juga tahu bahwa mendekati Tanier berarti menghadapi berbagai tantangan—termasuk mantan suaminya yang masih mencoba masuk kembali dalam hidupnya, serta mantan pacar Tanier yang juga mengintai di bayang-bayang.

Lieka menghela napas panjang, menutup matanya sejenak. Mungkin, hanya waktu yang bisa memberi jawaban.

Keesokan harinya, Lieka tiba lebih awal dari biasanya. Dia ingin memastikan semuanya siap sebelum rapat penting dengan investor. Di dalam hati, dia bertekad untuk memfokuskan pikirannya pada pekerjaan dan meninggalkan segala kerumitan emosi yang mengganggu.

Setelah beberapa jam bekerja, pintu ruang kerjanya diketuk. Tanier masuk dengan senyum lebar di wajahnya, membawa secangkir kopi panas dan sepotong kue.

“Pagi, Bu Lieka! Saya bawa kopi dan kue kesukaan Anda. Mungkin ini bisa membantu mengusir stres sebelum rapat,” ujarnya sambil meletakkan kedua benda itu di meja kerja Lieka.

Lieka menatap Tanier, terkejut dan sedikit tersentuh dengan perhatian yang diberikan pemuda itu. “Terima kasih, Tanier. Tapi saya tidak punya waktu untuk makan, kita harus segera bersiap untuk rapat.”

“Justru itu, Bu. Anda perlu istirahat. Jangan biarkan diri Anda terlalu tegang. Semua ini penting, tapi kesehatan Anda juga sama pentingnya,” jawab Tanier sambil memaksa Lieka untuk duduk.

Lieka merasa sedikit tertegun oleh ketegasan Tanier. Dia mengamati wajahnya, ada kehangatan di balik tatapan penuh perhatian itu. “Kamu tahu, kamu seharusnya tidak memanggilku ‘Bu’ terus-menerus. Panggil saja saya Lieka. Kita bekerja bersama, kan?”

Tanier tersenyum, meskipun dia merasa tidak biasa. “Baiklah, Lieka. Tapi tetap saja, Anda harus makan.”

Mendengar kata “harus,” Lieka merasa tergerak. Mungkin Tanier benar. Di tengah tekanan dan tuntutan yang terus membebani, sedikit perhatian dari seseorang yang peduli bisa membuat perbedaan.

Dia akhirnya mengambil kue yang disajikan Tanier, mengigitnya perlahan. Rasa manisnya mengalir ke mulutnya, memberikan sedikit kelegaan. “Ini enak, terima kasih. Kamu sangat perhatian,” ucap Lieka, merasakan kehangatan di dadanya.

Tanier mengangguk. “Saya hanya melakukan apa yang bisa saya lakukan. Anda tahu, kadang-kadang orang yang ada di posisi seperti Anda butuh sedikit dukungan. Terutama dengan semua tekanan yang harus Anda hadapi.”

Lieka menghela napas. “Ya, tekanan di posisi ini kadang bisa sangat melelahkan. Tetapi saya tidak punya pilihan. Saya harus menjalankan perusahaan ini dengan baik, dan tidak ada ruang untuk kesalahan.”

“Tenang saja, kita semua ada di sini untuk membantu Anda,” Tanier berusaha memberi semangat. “Saya yakin kita akan berhasil.”

Ketika Lieka mengangkat tatapan matanya, dia melihat kepercayaan diri yang terpancar dari wajah Tanier. Ada sesuatu tentang pemuda ini yang membuatnya merasa lebih baik, meskipun dia tidak bisa sepenuhnya mengabaikan perasaan campur aduk yang muncul dalam hatinya.

***

Rapat dengan investor dimulai dan Lieka memimpin dengan percaya diri. Dia menyampaikan semua informasi yang diperlukan, menampilkan kekuatan perusahaannya dan rencana ke depan dengan jelas. Tanier berada di sampingnya, siap memberikan dukungan jika diperlukan. Di tengah rapat, satu pertanyaan muncul dari investor tentang pengelolaan perusahaan yang sedang dalam proses restrukturisasi.

“Bagaimana Anda menghadapi tantangan ini, mengingat mantan suami Anda masih terlibat dalam perusahaan?” tanya salah satu investor.

Lieka merasakan darahnya mendidih. Dia tahu pertanyaan itu akan datang. Dia sudah mempersiapkan jawabannya. “Kami telah membuat keputusan yang tegas untuk memisahkan diri dari pengaruh pribadi. Dalam bisnis, emosi tidak boleh menguasai. Saya hanya ingin memastikan perusahaan ini maju ke depan, terlepas dari siapa pun yang terlibat di dalamnya.”

Jawabannya membuat beberapa investor angkat bicara, tetapi Lieka tidak membiarkan diri terganggu. Dia melanjutkan presentasinya, menyoroti pencapaian perusahaan dan potensi untuk masa depan.

Tanier memperhatikan Lieka dengan penuh rasa hormat. Dia tahu betapa sulitnya bagi Lieka untuk tetap tenang dan fokus dalam situasi seperti ini. Dan dia merasa bangga bisa berada di sisinya.

***

Setelah rapat, Lieka merasa lega, meskipun lelah. Dia menghabiskan waktu menjawab email dan mengorganisir dokumen. Ketika Tanier memasuki ruang kerjanya, dia melihat Lieka sudah lelah, tetapi di wajahnya ada senyuman puas.

“Kita berhasil,” kata Lieka dengan lelah tetapi penuh semangat.

Tanier tersenyum, merasa bangga dengan pencapaian mereka. “Saya tahu Anda bisa melakukannya. Anda luar biasa, Lieka.”

Lieka merasa hangat di dalam hati. Dia tidak bisa menyangkal perasaan yang tumbuh di antara mereka. Namun, saat dia berusaha menyimpan perasaannya, suara ketukan di pintu mengalihkan perhatian mereka.

Pintu terbuka dan masuklah Sundari, mantan pacar Tanier. Dengan gaun yang ketat dan makeup glamor, dia masuk dengan senyuman yang tidak tulus. “Hei, Tanier! Aku sedang mencari kamu. Apa kamu sibuk?”

Lieka merasakan ketegangan meningkat. Sundari memiliki aura yang menonjolkan kepercayaan diri dan sensualitas. Dalam sekejap, suasana di ruang kerja berubah.

“Sundari, ini Lieka, CEO perusahaan,” Tanier memperkenalkan dengan hati-hati.

Sundari berbalik dengan senyuman mengejek. “Ah, tentu. Sang CEO galak. Senang sekali bisa bertemu denganmu. Tanier sering berbicara tentang kamu.”

Lieka tidak menyukai nada dalam suara Sundari. “Terima kasih,” jawab Lieka dengan nada dingin, berusaha menjaga profesionalisme.

“Bisakah kita bicara sebentar, Tanier? Ada beberapa hal yang perlu aku diskusikan,” kata Sundari, dengan mata yang penuh tantangan.

Tanier melihat Lieka sejenak, kemudian mengangguk. “Tentu, saya akan keluar sebentar.” Dia keluar mengikuti Sundari, meninggalkan Lieka sendirian di ruang kerjanya.

Bab 3: Antara Cinta dan Karier

Setelah Tanier keluar untuk berbicara dengan Sundari, Lieka merasakan ketegangan di dalam dirinya. Dia tidak bisa menahan rasa ingin tahunya tentang apa yang mereka diskusikan. Dia tahu bahwa Tanier adalah orang yang setia dan tidak akan tergoda oleh mantan pacarnya, tetapi perasaan cemburu dan khawatir mengganggu pikirannya.

Beberapa saat kemudian, Tanier kembali ke ruang kerja dengan ekspresi tenang, tetapi Lieka dapat melihat jejak ketidaknyamanan di wajahnya.

“Maaf jika saya membuatmu menunggu, Lieka. Sundari hanya ingin menjelaskan beberapa hal tentang masa lalu kami,” kata Tanier sambil duduk di kursi di depan meja kerja Lieka.

“Tidak apa-apa. Saya paham jika ada yang perlu diselesaikan,” jawab Lieka, berusaha terlihat tenang meskipun hatinya bergejolak.

Tanier mengangguk, tetapi Lieka bisa melihat pikirannya melayang. “Dia masih sangat terikat dengan masa lalu,” tambah Tanier. “Tapi saya sudah menjelaskan bahwa hubungan kami sudah berakhir dan saya tidak ingin terlibat lagi.”

Lieka merasakan kelegaan mendengar kata-kata Tanier. “Bagus, kamu sudah melakukan yang benar. Kita perlu fokus pada pekerjaan kita, terutama dengan tantangan yang ada di depan.”

Tanier tersenyum, tetapi ada keheningan yang aneh di antara mereka. “Ya, kamu benar. Kita harus bekerja sama untuk membuat perusahaan ini lebih baik.”

Keduanya kembali ke pekerjaan mereka, tetapi perasaan di antara mereka tidak bisa diabaikan. Tanier memperhatikan Lieka yang terlihat semakin serius. Dia tahu bahwa tanggung jawab sebagai CEO sangat besar, tetapi ada keinginan yang semakin kuat dalam dirinya untuk mendekatinya.

***

Selama beberapa minggu ke depan, kerja keras dan ketegangan semakin meningkat. Lieka terjebak antara ambisinya untuk membawa perusahaan ke puncak dan perasaannya yang semakin dalam terhadap Tanier. Dia mulai merasakan ketertarikan yang sulit dijelaskan, tetapi pada saat yang sama, dia tidak ingin mengabaikan kariernya yang sudah dibangun dengan susah payah.

Suatu malam, setelah jam kerja yang panjang, Lieka dan Tanier tinggal di kantor untuk menyelesaikan presentasi untuk investor baru. Lampu di ruang rapat bersinar terang, menciptakan suasana yang intim.

“Lieka, kamu tahu bahwa saya selalu menghargai kerja kerasmu,” kata Tanier sambil menyusun dokumen. “Saya benar-benar terkesan dengan dedikasi dan semangatmu.”

Lieka tersenyum, merasa dihargai. “Terima kasih, Tanier. Tanpa tim yang solid, saya tidak akan bisa mencapai ini. Kamu juga berperan besar dalam semua ini.”

Dia memperhatikan Tanier yang tersenyum, dan hatinya berdebar. Untuk sesaat, semuanya terasa sempurna. Namun, suara ketukan pintu yang tiba-tiba mengalihkan perhatian mereka.

“Sundari lagi,” gumam Lieka. Ketika pintu terbuka, Sundari kembali masuk dengan senyuman menawan yang tampak sangat tidak tulus.

“Maaf mengganggu, Tanier. Saya baru saja berbicara dengan beberapa klien dan ingin memastikan semua orang di sini tahu tentang acara besok malam,” kata Sundari, memandang Lieka dengan mata penuh tantangan.

Lieka menggeram dalam hati. Sundari selalu tahu kapan waktu yang tepat untuk menggoda dan merusak suasana. “Kami sedang sibuk, Sundari. Kami memiliki banyak pekerjaan yang harus diselesaikan,” jawab Lieka dengan tegas.

“Oh, tentu. Tapi Anda tahu, Tanier, kadang-kadang penting untuk bersosialisasi dan membangun hubungan di luar kantor,” ujar Sundari, seolah-olah ingin menyoroti bahwa pertemuan di luar dapat memperkuat hubungan bisnis.

Tanier terlihat tidak nyaman. “Kami akan mempertimbangkan itu, Sundari. Tapi kami memang memiliki presentasi yang perlu diselesaikan.”

Sundari mengangkat bahu, berpura-pura tidak peduli. “Tentu saja, saya tidak ingin mengganggu. Saya hanya ingin mengingatkan bahwa ada acara penting dan mungkin itu akan memberikan peluang baru bagi perusahaan kita.”

Setelah Sundari pergi, Tanier menghela napas. “Dia benar tentang acara itu. Kita memang perlu berpartisipasi, tetapi…,” dia terdiam sejenak.

“Tapi apa?” tanya Lieka, merasa cemas.

“Dia membuatku merasa tidak nyaman. Kita tahu hubungan kami sudah berakhir, tetapi dia terus berusaha menciptakan ketegangan. Saya tidak ingin itu mengganggu kita,” jawab Tanier, menatap Lieka.

Lieka merasakan getaran di dalam dirinya. “Kami tidak bisa membiarkan dia mengganggu kerja kita. Kita harus lebih fokus pada tujuan kita. Perusahaan ini lebih penting daripada hubungan pribadi.”

Tanier mengangguk, tetapi di dalam hatinya, dia merasa terjebak antara dua pilihan—menjaga hubungan profesional dan mengejar perasaan yang tumbuh dalam hatinya terhadap Lieka.

“Lieka, saya ingin jujur tentang perasaan saya. Setiap kali kita bekerja bersama, saya merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar rekan kerja,” ungkap Tanier, mengumpulkan keberanian.

Lieka tertegun, merasakan denyut jantungnya meningkat. “Tanier, kita sedang dalam situasi yang rumit. Kita harus berhati-hati,” jawabnya, tetapi hatinya bergetar mendengar pengakuan itu.

“Saya tahu, tetapi saya tidak bisa menahan perasaan ini. Saya ingin berjuang untuk kita, untuk apa yang mungkin terjadi di antara kita,” kata Tanier dengan tegas.

Lieka memandang Tanier, dan dalam tatapannya, dia merasakan ketulusan. Di satu sisi, dia ingin membalas perasaan Tanier, tetapi di sisi lain, tanggung jawab sebagai CEO dan masalah yang mengintai di sekitar mereka menghalanginya.

“Saya juga merasakan hal yang sama, Tanier. Tetapi kita harus fokus pada karier kita terlebih dahulu. Kita tidak bisa membiarkan perasaan ini mengganggu apa yang telah kita bangun,” ungkap Lieka, mencoba menyeimbangkan antara cinta dan karier.

Mereka berdua saling memandang, dan meskipun ada keputusan yang harus diambil, satu hal menjadi jelas—hubungan ini lebih dari sekadar bisnis, dan keduanya merasakan tarik menarik yang tak bisa diabaikan.

***

Malam itu, setelah mereka menyelesaikan presentasi, Tanier menawarkan untuk mengantarkan Lieka pulang. Dalam perjalanan, suasana di dalam mobil terasa hangat dan nyaman. Mereka berbicara tentang berbagai hal, tetapi ada ketegangan yang tetap menggantung di antara mereka.

Saat sampai di depan apartemen Lieka, Tanier memutar tubuhnya, menatap Lieka dengan tatapan serius. “Lieka, apapun yang terjadi ke depan, saya ingin kamu tahu bahwa saya akan selalu ada di sini untuk mendukungmu. Entah sebagai rekan kerja atau lebih dari itu.”

Lieka tersenyum, merasakan kehangatan yang menyentuh hatinya. “Terima kasih, Tanier. Saya sangat menghargai itu. Kita akan menemukan jalan kita, saya yakin.”

Ketika Tanier melangkah keluar dari mobil, Lieka merasa bingung dan senang sekaligus. Dia tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, tetapi perasaan yang tumbuh di antara mereka semakin kuat. Saat dia melangkah ke dalam apartemennya, dia tahu bahwa keputusan sulit akan datang di depan—antara cinta dan karier.

Lieka menghempaskan dirinya ke sofa empuk di apartemennya, merenungkan percakapan dengan Tanier. Perasaannya yang campur aduk semakin membingungkannya. Satu sisi, dia ingin mengikuti kata hatinya, tetapi di sisi lain, dia tidak ingin mengabaikan tanggung jawabnya sebagai CEO dan dampak yang mungkin ditimbulkan oleh hubungan ini terhadap kariernya.

Malam itu, setelah berusaha tidur dengan tenang, Lieka terbangun dari mimpi yang tidak jelas. Dia teringat betapa Tanier selalu ada untuknya, bagaimana dia selalu berusaha menghiburnya saat stres dan mendorongnya untuk mencapai tujuan. Rasa sayang dan ketertarikan yang tumbuh di antara mereka hanya memperumit keadaan.

Keesokan harinya, di kantor, suasana terasa berbeda. Lieka berusaha untuk tetap fokus pada pekerjaan, tetapi wajah Tanier terus muncul dalam pikirannya. Ketika dia memasuki ruang rapat untuk pertemuan dengan investor, dia merasakan ketegangan di udara.

“Selamat pagi, semuanya,” sapa Lieka, mencoba menyembunyikan kekhawatirannya di balik senyuman percaya diri. “Hari ini, kita akan membahas proyeksi keuangan dan rencana pengembangan perusahaan ke depan.”

Tanier duduk di sampingnya, memberikan senyum dukungan. Dia merasa lebih nyaman dengan kehadiran Tanier, tetapi juga tahu bahwa ada batasan yang harus dijaga. Ketika pertemuan dimulai, Sundari kembali muncul, kali ini dengan penampilan yang lebih glamor dan percaya diri.

“Terima kasih telah mengundang saya untuk bergabung, Lieka,” ucap Sundari sambil melirik Tanier. “Saya yakin kita semua ingin melihat perusahaan ini berhasil.”

Lieka menahan napas. Dia merasa kehadiran Sundari di sana adalah ancaman yang nyata. “Tentu, Sundari. Kami semua di sini untuk mencapai tujuan yang sama,” jawab Lieka dengan nada tegas.

Selama pertemuan berlangsung, Sundari tampak berusaha mencuri perhatian Tanier, berbicara dengan nada manja dan menggoda. Lieka merasa jengkel, tetapi dia berusaha untuk tetap tenang dan fokus pada presentasinya.

Setelah beberapa jam yang menegangkan, pertemuan akhirnya berakhir. Tanier mengangguk kepadanya, seolah memberi semangat. “Kamu melakukannya dengan baik, Lieka. Meskipun ada beberapa gangguan, kamu tetap fokus pada tujuan,” puji Tanier.

“Terima kasih, Tanier. Kita perlu menghadapi tantangan ini bersama-sama,” jawab Lieka, merasa lebih baik dengan dukungan Tanier.

Begitu mereka kembali ke ruang kerja, Tanier berbisik, “Mungkin kita perlu merencanakan sesuatu untuk melepaskan stres. Apa kamu mau pergi makan malam?”

Lieka tersenyum, merasa antusias. “Itu ide bagus. Kita bisa pergi ke restoran baru di dekat sini.”

Malam itu, mereka pergi ke restoran yang penuh nuansa intim. Suasana yang tenang dan makanan yang lezat membuat Lieka merasa santai. Dia mengabaikan semua kekhawatiran yang mengganggu pikirannya.

“Saya sangat senang bisa menghabiskan waktu denganmu,” ungkap Tanier, mengaduk minumannya. “Terkadang, saya merasa seperti kita memiliki ikatan yang lebih dalam dari sekadar rekan kerja.”

Lieka menatap Tanier dengan serius. “Saya juga merasakannya, Tanier. Tapi kita harus hati-hati. Saya tidak ingin hubungan ini mempengaruhi pekerjaan kita atau perusahaan,” katanya dengan nada lembut.

Tanier mengangguk, memahami kekhawatiran Lieka. “Saya mengerti. Mari kita jalani ini perlahan. Yang terpenting adalah kita saling mendukung satu sama lain.”

Mereka melanjutkan makan malam, berbicara tentang berbagai hal, dari hobi hingga impian mereka di masa depan. Waktu terasa berlalu begitu cepat. Saat dessert disajikan, Tanier memandang Lieka dengan tatapan penuh arti.

“Lieka, ada sesuatu yang ingin saya katakan,” ucap Tanier, memegang tangan Lieka di atas meja. “Saya sudah cukup lama menunggu untuk bisa mengungkapkan perasaan ini. Saya… saya suka kamu. Lebih dari sekadar rekan kerja.”

Lieka terdiam sejenak, hatinya berdegup kencang. Dia tahu momen ini akan datang, tetapi saat itu membuatnya terkejut. “Tanier, aku… aku juga merasakan hal yang sama. Tapi kita harus bijak. Kita tidak bisa membiarkan perasaan ini mengganggu pekerjaan kita,” jawab Lieka, berusaha tetap rasional.

Tanier tersenyum, meskipun ada sedikit kesedihan di matanya. “Saya menghargai itu. Mari kita jaga hubungan ini tetap profesional. Namun, saya ingin kamu tahu bahwa saya siap untuk berjuang demi kamu jika ada kesempatan.”

Lieka merasa terharu dengan ketulusan Tanier. “Terima kasih, Tanier. Itu sangat berarti bagiku. Mari kita fokus pada pekerjaan kita, dan kita lihat ke mana ini akan membawa kita.”

Setelah makan malam, mereka berjalan pulang bersama. Dalam perjalanan, Tanier tidak bisa menahan diri untuk tidak memegang tangan Lieka. Momen sederhana itu membuat mereka merasa lebih dekat.

Setibanya di apartemennya, Lieka merasa bingung namun bahagia. Dia tahu bahwa perasaan di antara mereka semakin dalam, tetapi dia juga menyadari bahwa ada tantangan yang harus dihadapi.

Sebelum Tanier pergi, mereka saling bertukar tatapan yang penuh arti. “Sampai jumpa besok, Lieka. Ingat, saya selalu ada di sini untukmu,” kata Tanier dengan senyuman yang menenangkan.

“Terima kasih, Tanier. Sampai jumpa,” jawab Lieka, menutup pintu setelah Tanier pergi.

Dia merasakan ketegangan yang mendalam, seolah-olah ada magnet yang menariknya ke arah Tanier. Namun, di saat yang sama, dia tidak bisa mengabaikan tantangan yang akan datang, termasuk kehadiran mantan suaminya dan Sundari yang terus mengintai.

Di dalam hati Lieka, perasaannya terhadap Tanier semakin kuat, tetapi dia tahu bahwa jalan ke depan akan penuh dengan rintangan. Dia harus bersiap untuk menghadapi semua itu, demi cinta dan kariernya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!