NovelToon NovelToon

Arjuna Untuk Nasya

Ketakutan Nasya

Suatu pagi di sebuah halte bus.

Disana terlihat ada banyak orang yang sedang menunggu kedatangan bus tujuan mereka masing-masing. Diantara kerumunan orang yang sedang menunggu kedatangan bus, ada salah satu gadis dengan penampilan yang cukup mencolok hingga menarik perhatian banyak laki-laki yang ada.

Gadis itu menunggu sambil mendengarkan musik dengan earphone ditelinganya. Tubuhnya tinggi semampai dengan kulit yang putih bersih. Rambut hitamnya terurai panjang dengan sedikit curly dibagian ujung. Wajahnya imut dan kecil, bulu matanya terlihat lentik dengan sorot mata yang tajam, hidungnya kecil dan mancung dengan bibir kecil berwarna pink. Gadis itu terlihat seperti sebuah barbie hidup. Namanya Nasya Widuri Aurelia .

"Sya! Nasya!"

Dari kejauhan terdengar seseorang memanggil namanya sambil melambaikan tangan. Namun karena Nasya sedang menggunakan earphone, jadi dia sama sekali tidak mendengar panggilan rekannya.

"Hei!"

Nasya sangat terkejut hingga terperanjat karena pundaknya tiba-tiba ditepuk seseorang. Dia pun menoleh sambil melepaskan salah satu earphonenya untuk melihat orang yang menepuk pundaknya.

"Oh, Lia,"

Ujar Nasya dengan sedikit senyum saat dia melihat orang yang menepuk pundaknya.

"Aku sudah berteriak memanggilmu dari tadi, tapi kamu gak nengok sedikitpun!" ujar Lia yang merupakan teman satu kantor Nasya.

"Benarkah? Maaf tadi aku tidak mendengarmu." Nasya meminta maaf sambil mengangkat earphonenya memberitahu Lia.

"Hmn ... Pantas saja." Lia menanggapi sambil memalingkan wajahnya menunggu bus yang sama dengan Nasya.

"Eh itu busnya sudah datang!" Lia memberitahu sambil menunjuk bus yang mulai mengarah ke halte tempat mereka menunggu.

Saat busnya berhenti dan semua orang mulai berebut untuk bisa naik, Nasya terdiam sambil memperhatikan para pria yang mulai naik lebih dulu. Terlihat ada rasa khawatir dari raut wajahnya.

"Sya, ayo naik! Kenapa diam saja?" tanya Lia yang sudah berdiri di pintu masuk bus.

"I-iya." Nasya akhirnya naik setelah hampir semua orang sudah naik ke dalam bis.

"Kamu tahu tidak tadi di depan sana aku melihat seorang pria tampan sedang mengendarai mobil mewah edisi terbatas.. Penampilannya benar-benar membuat mataku tidak ingin berpaling darinya. "

"Oh ya?"

"Iya. Dia tuh Bla bla bla..." Lia terus bicara pada Nasya dengan penuh semangat, namun Nasya hanya menanggapi dengan senyum tipis sambil menatapnya saja.

Setelah menempuh perjalanan cukup panjang, akhirnya mereka tiba dihalte yang jadi tujuan mereka. Semua orang berdesakan untuk turun duluan, namun Nasya tetap berada dibelakang dan membiarkan orang lain turun lebih dulu, termasuk Lia. Teman kerjanya itu sudah menunggu didepan bus sementara Nasya baru saja turun.

"Kenapa kamu selalu menunggu yang terakhir sih? Padahal tadi kamu itu berada tepat dibelakang aku loh."

Lia menggerutu pada Nasya karena dia tidak turun bersamanya.

"Tidak papa. Hanya takut jatuh kalau ikut berdesakan."

Nasya menanggapi sambil menunjukkan senyum tipisnya.

"Ya sudahlah. Ayo jalan!".

Kedua gadis itu berjalan menyusuri trotoar menuju kantor tempat mereka bekerja yang letaknya tidak terlalu jauh dari halte bisa tempat mereka berhenti.

Setelah berjalan kaki beberapa meter, Lia dan Nasya pun tiba dikantor mereka. Gedung kantornya sangat besar dan terdiri dari beberapa lantai.

Mereka perlu menaiki lift atau tangga darurat untuk bisa sampai di ruang kerja mereka. Mereka juga harus berdesakan untuk naik lift karena pekerja lain juga tiba diwaktu yang sama. Setelah keluar dari lift, Lia dan Nasya mengeluarkan ID mereka untuk melakukan absensi.

Tit

Para karyawan bergantian menempelkan ID mereka disebuah alat yang terletak di depan ruang kerja mereka. Setelah melakukan absensi, barulah mereka masuk dan berjalan menuju meja kerja masing-masing untuk mempersiapkan pekerjaan mereka.

"Sya, kamu sudah dengar belum? Katanya kita akan kedatangan manajer baru loh. Ku dengar dia itu baru pindah ke kota ini."

Lia yang kebetulan duduk di sebelah Nasya bertanya sambil merapikan barangnya.

"Aku gak tahu. Bagaimana kamu selalu mendengar sesuatu yang bahkan tidak diketahui semua orang?"

Nasya menggelengkan kepala dan bertanya pada Lia dengan nada heran. Dia gadis yang cukup pendiam, jadi gak banyak hal yang bisa dia bicarakan. Nasya cenderung menanggapi dan mendengarkan orang lain bicara tanpa memulai percakapan lebih dulu.

"Aku gak sengaja mendengar percakapan orang lain tadi. Makanya aku tanya padamu. Kira-kira … manajer kita itu orang yang seperti apa ya?"

Lia bicara sambil memikirkan seperti apa manajer barunya nanti.

"Entahlah. Aku juga gak tahu." Nasya menanggapi sambil mengangkat kedua bahunya secara bersamaan.

Tepat pukul 08.00 pagi. Semua orang mulai disibukkan dengan pekerjaan mereka masing-masing. Begitu pun dengan Nasya. Dia menyalakan komputer miliknya dan mulai memainkan jari jemarinya yang lentik diatas keyboard komputer. Nasya terlihat sangat serius dengan pekerjaannya. Tiba-tiba datang seorang pria yang menghampiri meja kerjanya.

"Pagi Sya,"

Nasya mengangkat kepala untuk melihat wajah orang yang berdiri di dekat mejanya itu.

"Pagi Lex." Dia menanggapi sapaannya sambil tersenyum ramah.

"Nanti kita makan siang sama-sama ya! Ada restoran yang baru buka di dekat hotel sekitar sini." ujar pria bernama Alex yang mengajak Nasya makan siang bersama.

"Aku makan dikantin aja." Nasya menolak ajakannya dengan sopan.

"Ayolah. Aku dapat voucher pembukaannya, jadi sayang banget kalau tidak digunakan." Alex kembali meyakinkan Nasya untuk pergi dengannya.

"Waah, ada diskonan nih. Aku ikut ya?".

Lia yang sejak tadi memperhatikan Nasya dan Alex pun mulai angkat bicara dan bergabung dengan percakapan mereka.

"Ikut-ikut saja! Kenapa kamu selalu menggangguku?".

Alex menanggapi Lia dengan nada bicara yang sinis.

"Memangnya kenapa kalau aku ikut? Gak papa kan Sya?".

Lia bertanya pada Nasya yang dibalas dengan anggukan kepala disertai senyum olehnya.

"Gak papa kan Lex kalau kita makan bertiga?".

Nasya pun bertanya pada Alex agar membiarkan Lia ikut bersama mereka.

"Ya sudahlah. Terserah kamu aja."

Alex pun menanggapi dengan pasrah meskipun sebenarnya dia hanya ingin makan berdua dengan Nasya.

"Asik. Makasih Nasya. Udah sana kembali ke meja kerjamu!"

Lia terlihat senang mendengar ucapan Nasya, lalu dia mengusir Alex agar kembali ke meja kerjanya.

"Diih. Bukannya terima kasih karena aku sudah mau ngajak kamu makan siang sama aku dan Nasya, malah sekarang ngusir!"

Alex mencibir Lia yang memintanya kembali ke meja kerjanya.

"Biarin aja. Yang ngasih izin aku ikut itukan Nasya bukan kamu."

Lia pun menanggapi cibiran Alex dengan sikap yang sama. Nasya hanya tersenyum melihat kedua rekannya yang terlihat memiliki hubungan yang dekat itu.

...****************...

Sementara ditempat lain. Seorang pemuda baru saja tiba disebuah hotel mewah dan sedang bicara dengan salah seorang pengurus hotel.

"Ini dokumen mengenai data tamu yang menginap dihotel kita selama beberapa waktu terakhir. Anda bisa melihatnya terlebih dahulu. Nanti saya akan membawa anda berkeliling untuk melihat kondisi hotel saat ini."

"Hmn, baiklah."

Seorang pria sedang memberikan penjelasan pada atasan barunya. Dia adalah orang yang selama ini mengawasi hotel sebelum pemimpin barunya tiba, namanya Yudi.

Atasannya menerima dokumen yang diberikan Yudi tanpa mengatakan apapun. Dia membacanya dengan seksama tanpa mengeluarkan suara. Sikapnya yang serius dengan raut wajah yang dingin tanpa senyum sedikitpun membuat Yudi diam dan merasa sedikit tidak nyaman. Auranya yang dingin membuatnya terlihat lebih berwibawa dan penuh karisma. Dia adalah Arjuna Danendra, direktur baru yang dipercaya sang kakek untuk mengelola salah satu hotel terkemuka milik keluarganya dikota ini. Padahal dia sendiri memiliki perusahaan yang terbilang cukup besar di luar negeri yang dibangun dengan hasil kerja kerasnya sendiri.

"Aneh. Kenapa gak ada perkembangan di hotel ini? Dan anggaran yang dikeluarkan untuk renovasi juga terbilang besar." gumam Juna sambil mempelajari datanya

"Tolong kumpulkan pemimpin dari bagian masing-masing. Minta mereka juga untuk menyiapkan data yang akurat mengenai pekerjaan mereka selama ini. Aku ingin mendengar penjelasan langsung dari mereka, sekaligus mengenal mereka secara langsung." ujar Juna dengan sikap yang tegas dan penuh wibawa.

"Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi." ujar Yudi dengan sikap yang sopan.

"Hmn."

Juna menanggapi Yudi dengan sikap yang dingin, lalu dia berjalan ke dekat jendela.

"Haah ... Kantor baru ditempat yang dikelilingi ular berbisa. Apa yang akan terjadi padaku kedepannya? Apa aku akan jadi mangsa untuk mereka? Ini akan sangat melelahkan." gumam Juna sambil menghela napas panjang dan menatap keluar jendela.

Kambuhnya Penyakit Nasya

Seperti yang direncanakan sebelumnya. Yudi membawa Juna berkeliling hotel untuk melihat secara langsung bagaimana kondisi hotel saat ini. Mereka berjalan menuju salah satu kamar yang kosong terlebih dahulu untuk melihat keadaannya.

"Apa interior dan fasilitas setiap kamarnya sama?" tanya Juna sambil melihat-lihat seisi kamar.

"Kita memiliki 4 jenis kamar. Ada standar room, deluxe room, suite room dan presidential suite room. Semua fasilitas sama sesuai jenisnya masing-masing." Yudi menjelaskan pada Juna mengenai kamar yang mereka miliki.

"Aku ingin melihat setiap jenisnya."

"Baik Pak." Yudi menanggapi kemudian mereka keluar kamar untuk melihat masing-masing jenisnya.

"Tadi kita sudah melihat kamar yang standar dengan fasilitas terbatas. Sekarang kita berada di jenis kamar deluxe yang sedkit diatas kamar jenis standar." Yudi menjelaskan sedikit perbedaan kamar yang dilihat sekarang dengan yang tadi mereka lihat.

Juna tidak berkomentar apapun dan hanya melihat-lihat seisi kamar hotel dengan raut wajah datar tanpa ekspresi. Dia sangat teliti saat memeriksa setiap sudut kamar. Terkadang alisnya tampak berkerut saat menemukan sesuatu.

"Ayo ke kamar berikutnya!" Tanpa menunggu tanggapan dari Yudi, Juna langsung berjalan keluar dari kamar itu. Mereka pun menuju kamar lain. Kali ini mereka berada dikamar suite room. Juna kembali memeriksa sekelilingnya dengan seksama.

"Apa kamu tahu standar hotel yang bagus itu seperti apa?" Juna bertanya Yudi tanpa menoleh kearahnya. Dia tetap berkeliling memeriksa setiap sudut kamar.

"Menurut kami ini sudah sesuai dengan kriteria hotel yang bagus. Hotel kita termasuk kelas bintang 5 dan selalu menjadi incaran wisatawan yang datang ke kota ini." Yudi menjelaskan pada Juna mengenai pendapatnya.

"Hotel yang bagus itu tidak hanya tentang barang-barang yang mahal saja. Desain interior dan fasilitas yang nyaman juga bisa menjadi salah satu kunci untuk menarik minat pengunjung. Contohnya ini, ini kamar suite room. Orang membayar lebih mahal daripada kamar standar room, tapi apa yang akan membuat mereka kembali kemari? Sofa yang dipasang dekat tempat tidur? Atau ini? Seprei yang terlihat seperti bekas digunakan orang lain padahal kamar ini kosong? Apa tidak ada pelatihan karyawan?" Juna bertanya pada Yudi dengan sikapnya yang tegas. Dia ingin menegaskan kalau fasilitas dan desain interior yang dimiliki hotel ini benar-benar berantakan.

Yudi memperhatikan dengan seksama penjelasan dari Juna dan memikirkan pendapat dari atasan barunya itu.

"Begini saja. Panggil kemari desain interior secepatnya. Aku ingin merenovasi setiap kamar dengan suasana baru." Juna menatap Yudi saat dia bicara. Sorot matanya terlihat sangat tajam hingga membuat Yudi tidak bisa berkata apapun.

"Baik, Pak. Akan saya panggil secepatnya." Yudi menanggapi dengan sikap yang tegas. Mereka pun melanjutkan rencana mereka dengan mengumpulkan beberapa staf dari beberapa bagian untuk dilakukan evaluasi sekaligus perkenalan.

"Dan satu lagi. Setelah makan siang nanti, kumpulkan perwakilan staf dari beberapa bagian dan juga menu makanan yang disajikan dihotel ini." Tegas Juna pada Yudi sebelum dia berlalu pergi untuk kembali keruangannya.

"Pantas saja pak Wilandra mempercayakan hotel ini pada pak Juna, ternyata dia orang yang tegas. Semoga saja pak Juna bisa membawa hotel ini kembali pada kejayaannya." gumam Yudi sambil menatap punggung Juna sebelum dia juga berjalan mengikutinya dari belakang.

...****************...

Jam makan siang, kantor Nasya.

"Sya, ayo pergi! Katanya mau makan bersama?" Alex menghampiri meja kerja Nasya untuk mengajaknya makan siang bersama.

"Tunggu sebentar ya. Lia sedang mmeberikan laporannya dulu." Nasya menanggapi dengan sikap tenang dan sopan.

"Kita tinggalkan saja dia dan pergi makan berdua." Alex berusaha membujuk Nasya agar mereka bisa makan siang berdua saja tanpa Lia.

"Kita sudah janji akan makan siang dengan Lia. Dia pasti akan kecewa kalau kita meninggalkannya." Nasya berusaha meyakinkan Alex agar tetap pergi bersama Lia.

"Alah... Dia tidak akan marah. Kalaupun dia marah, paling hanya ngomel sebentar. Jadi ayo kita pergi sekarang saja!" Alex meraih sebelah tangan Nasya agar dia bisa menariknya pergi. Seketika wajah Nasya berubah pucat dan panik, napasnya menjadi sesak dengan keringat yang mulai bercucuran.

"Sya, Nasya? Kamu kenapa? Apa kamu sakit?" Alex terlihat khawatir dan bingung dengan apa yang terjadii pada Nasya secara tiba-tiba.

Nasya tidak memberikan tanggapan. Dia masih berusaha mengatur napasnya sambil memegangi dadanya dengan tangan satunya lagi.

"Sya? Nasya?" panggil Alex lagi yang masih tidak mendapatkan tanggapan dari Nasya.

Tak lama Lia keluar dari ruangan bosnya dengan membawa sebuah dokumen ditangannya. Matanya membelalak dengan dahi berkerut.

"Nasya? Kenapa dia seperti itu?" gumam Lia yang melihat Nasya seperti saat dihalte bis. Dia pun bergegas menghampiri Nasya dan Alex.

"Nasya? Lex, apa yang terjadi pada Nasya?" tanya Lia yang terlihat penasaran.

"Aku juga tidak tahu. Tiba-tiba saja dia seperti ini." Alex menjawab dengan menggelengkan dan mengangkat kedua bahunya secara bersamaan.

"O-bat" jawab Nasya dengan suara yang lemah.

Samar-samar Lia mendengar ucapan Nasya. Diapun lebih mendekatkan diri pada Nasya untuk mendengar lebih jelas apa yang dikatakannya.

"To-long O-bat-ku" jawab Nasya lagi sambil menunjuk kearah tasnya.

Lia dengan cepat membuka tas Nasya dan mencari obat yang dia maksud. Setelah mencari akhirnya Lia menemukan sebotol kecil obat dalam tas Nasya.

"Ini?" tanya Lia untuk memastikan.

Nasya mengangguk perlahan dan meminta Lia untuk mengambilkan obat itu. Lia pun mengerti dan mengeluarkan satu butir obat dari botol lalu mengambilkan Nasya air putih yang memang tersedia diatas mejanya. Nasya meminum obat itu dan perlahan mengatur napasnya.

"Sini. Duduk dulu." ujar Lia membantu Nasya duduk. Alex masih berdiri disana dengan wajah panik setelah melihat kondisi Nasya.

"Apa kamu sudah merasa lebih baik?" tanya Alex pada Nasya dengan nada bicara yang lembut.

"Jangan dekat-dekat. Biarkan nasya tenang dulu!" Lia menarik tangan Alex agar sedikit menjauh dari Nasya.

"Aku kan cuma khawatir. Apa salahnya?" Alex sedikit tidak terima dengan perlakuan Lia padanya.

"Iya, aku tahu. Tapi jika kamu terlalu dekat, maka akan sulit bagi Nasya untuk mendapatkan oksigen." Lia sedikit memberikan alasan pada Alex agar menjauh dari Nasya.

"Aku sudah tidak papa. Terima kasih." Nasya kini sudah mulai tenang dan napasnya kembali teratur. Dia bicara sambil sedikit menunjukkan senyumannya.

"Kamu yakin?" tanya Lia memastikan. Nasya hanya menganggukkannya memberikan tanggapan.

"Apa kita jadi makan siang diluar?" Alex kembali bertanya untuk memastikan rencana mereka.

"Kamu ini! Kamu tidak lihat kondisi nasya sekarang ini?" Lia bicara sambil melayangkan pukulan pada tangan Alex.

"Adu! Sakit. Aku kan hanya bertanya saja." Alex menanggapi sambil mengusap tangannya yang dipukul Lia barusan.

"Kalian bisa pergi berdua saja." ujar Nasya menengahi Lia dan Alex.

"Tidak mau! Aku menyiapkan voucher ini agar bisa makan siang denganmu. Kenapa jadinya harus sama dia?" ujar Alex yang tidak ingin rencana awalnya gagal.

"Tapi kan kondisi Nasya sedang tidak baik. Bagiamana bisa kamu tetap ingin makan siang diluar dengannya?!" Lia meninggikan suaranya pada Alex karena kesal.

"Sekarang Nasya sudah lebih baik. Lagipula restorannya dekat sini!" Alex pun bersikeras untuk pergi bersama Nasya.

"Kamu ini..."

"Sudah-sudah jangan bertengkar. Baiklah kita makan diluar."Nasya setuju melanjutkan rencana mereka.

"Apa kamu yakin?" tanya Lia khawatir.

"Iya. Aku sudah tidak papa. Ayo pergi sekarang sebelum waktu makan siang kita habis!"

Lia pun menggandeng tangan Nasya untuk membantunya berjalan.

"Biar aku bantu." ujar Alex yang hendak meraih kembali tangan Nasya.

"Tidak perlu. Biar Lia saja yang membantuku." Dengan cepat Nasya menarik tangannya agar tidak lagi disentuh oleh Alex. Mereka pun berjalan keluar ruangan dengan raut wajah Alex yang sedikit kecewa karena tidak bisa menggandeng tangan Nasya.

Pertemuan Pertama

"Sya, apa kamu yakin kalau kamu tidak papa?" Lia bertanya pada Nasya untuk memastikan keadaanya.

"Aku sudah tidak papa. Tidak perlu khawatir." Nasya menanggapi dengan senyum tipis dibibirnya.

Sejak tadi Alex terus menatap wajah Nasya. Dia ingin bertanya tentang apa yang terjadi padanya, namun ada rasa ragu yang menahannya.

"Lex, kenapa kamu menatap Nasya seperti itu?" tanya Lia yang memperhatikan Alex.

"Tidak, itu … Sya, sebenarnya kamu sakit apa? Obat apa yang kamu minum tadi?" Alex tidak bisa lagi menahan rasa ingin tahunya. Dia bertanya pada Nasya dengan ragu-ragu.

"Bukan apa-apa. Itu hanya obat penenang biasa saja." Nasya menjawab pertanyaan Alex dengan sikap yang santai.

"Kamu yakin kalau kamu tidak sakit serius?"

Dahi Nasya berkerut saat dia mendengar pertanyaan dari Alex.

"Tidak. Aku tidak memiliki penyakit serius apapun." Jawab Nasya disertai gelengan kepala perlahan.

"Oh begitu." Alex menjawab dengan senyum paksa dibibirnya.

"Dia tidak memiliki penyakit apapun? Lalu kenapa dia tadi seperti itu? Jika aku memiliki istri seperti itu ... Apa yang akan terjadi pada anakku nanti. Aku tidak ingin punya istri canti tapi malah menyusahkan nantinya." pikir Alex setelah mendapat jawaban dari Nasya.

"Apa ini restoran yang kamu maksud?" tanya Lia setelah mereka tiba disebuah restoran yang didepannya dipenuhi karangan bunga dengan ucapan selamat.

"Ya, benar. Ini restorannya. Ayo kita masuk ke dalam!"

Pembicaraan mereka terhenti setelah mereka tiba direstoran untuk makan siang.

"Selamat datang. Maaf kursi kami sedang penuh. Apa tidak papa untuk bergabung dengan pengunjung lain? Atau kalian mau menunggu hingga ada meja yang kosong?"

Salah seorang karyawan restoran menyambut Alex, Lia dan Nasya saat mereka masuk. Dia juga bertanya dengan sopan mengenai tempat duduk yang ada.

Alex, Lia dan Nasya pun menoleh ke setiap sudut restoran dan melihat kalau memang semua meja yang ada disana sudah terisi penuh.

"Bagaimana? Apa mau makan disini atau kita bawa ke kantor saja?" tanya Lia pada Nasya dan Alex.

"Aku terserah kalian saja." Nasya mengangkat kedua bahunya serempak dan menyerahkan keputusan pada Lia dan Alex.

"Kalau begitu kita makan disini saja. Aku sudah sangat lapar." Setelah melihat Nasya dan Alex yang tidak bisa mengambil keputusan, akhirnya Lia yang memutuskan.

"Kalau begitu silahkan ikut saya. Disana ada kursi yang cukup untuk kalian bertiga."

Karyawan restoran itu pun membawa Alex, Lia dan Nasya ke tempat duduk yang cukup untuk mereka bertiga.

"Permisi, Pak. Bisakah ketiga orang ini bergabung dengan anda disini? Meja lain sudah terisi semua. Hanya ini meja tersisa yang cukup untuk mereka." Karyawan restoran bertanya pada salah satu pengunjung agar mengizinkan Alex, Lia dan Nasya untuk bergabung.

Tamu itu berhenti makan dan meletakkan sendok yang sedang dipegangnya. Dia mengangkat kepalanya dan menatap wajah karyawan restoran dengan sorot mata yang tajam. Tatapannya terasa sangat menusuk hingga bulu kuduk karyawan restoran terasa merinding dan tangannya sedikit gemetar karena takut.

"Kenapa kami harus berbagi? Kami juga tamu disini?". Pemuda itu menanggapi dengan sikap yang dingin.

"Ma-maaf Pak. Jika anda tidak mengizinkannya, maka saya akan membawa mereka ke tempat duduk yang lain. Permisi" karyawan restoran itu tergagap saat bicara karena dia merasa takut. Diapun berbalik untuk bicara pada Alex, Lia dan Nasya.

Nasya terlihat sedikit kesal karena pria itu.

"Permisi, apa restoran ini milikmu? Atau kursi ini milikmu secara pribadi? Kenapa kami tidak bisa duduk dan makan disini? Kurasa kamu tidak membayar secara khusus untuk duduk disini?" ujar Nasya dengan sikap yang sinis dan kesal.

Pemuda itu kini menatap Nasya. Dia adalah Juna dan Yudi yang sedang makan siang sebelum menghadiri rapat berikutnya.

"Bagaimana kalau aku bilang ini termasuk salah satu restoran milikku?" ujar Juna menanggapi Nasya.

"Maka seharusnya kamu memberikan pelayanan terbaik karena kami akan makan direstoran milikmu. Kamu harus meninggalkan kesan yang baik pada pengunjung agar kami mau kembali makan disini kan?" Nasya tidak ingin kalah dan menanggapi Juna dengan sikap yang tegas.

"Sya, udah Sya. Malu dilihat semua orang." Lia berusaha menenangkan Nasya karena kini semua orang yang ada direstoran menatap ke arah mereka.

"Tidak. Kalau kita tidak makan sekarang, maka kita bisa kembali bekerja tanpa makan. Dan hanya meja ini yang punya tiga kursi kosong." ujar Nasya bersikeras.

"Maaf, Pak. Kita biarkan saja mereka bergabung disini. Bukankah bagus jika makan bersama banyak orang?" Yudi berusaha menenangkan Juna agar keributan ini tidak berkepanjangan.

Juna langsung menoleh pada Yudi dengan tatapannya yang sinis.

"Aku tidak suka makan dengan banyak orang!" Tegasnya singkat. Yudi tidak bisa berkata apa-apa lagi pada Juna dan kembali diam.

Dari kejauhan seorang pekerja lain melambaikan pada rekannya dan memberitahu jika ada meja yang baru saja ditinggalkan pengunjung restoran.

"Permisi, Pak, Bu, tolong hentikan. Disana kebetulan sudah ada meja kosong, jadi anda bertiga bisa duduk disana." Karyawan restoran melerai Nasya dan Juna dengan memberitahu kalau ada meja yang sudah tersedia.

"Oh baiklah. Permisi kalau begitu." Nasya yang kesal bersikap sinis saat dia berbalik meninggalkan Juna dan berjalan menuju meja yang dimaksud diikuti Lia dan Alex dibelakang.

"Sya, kenapa kamu bersikap kasar pada pria itu? Ini pertama kalinya aku melihatmu bersikap begitu." Lia sedikit berbisik saat dia bertanya pada Nasya.

"Tidak papa. Aku hanya kesal dengan sikapnya yang sombong itu." Nasya masih terlihat kesal saat membahas Juna.

"Tapi … Apa kamu tidak lihat kalau dia sangat tampan? Daripada bertengkar dengannya, kenapa kamu tidak mendekatinya saja?" ujar Lia sambil menyenggol tangannya Nasya.

"Tampan? Dia? Apa kamu rabun? Mana ada pria sombong itu terlihat tampan?" Nasya menanggapi dengan nada mencibir dan juga bibir mengerucut.

"Kamu yang rabun. Standarmu terlalu tinggi jika pria tadi tidak kamu anggap tampan." ujar Lia yang terlihat kesal pada Nasya. Dia sesekali masih menoleh kebelakang untuk melihat Juna.

"Bukankah yang dikatakan Nasya itu benar? Aku jauh lebih tampan jika dibandingkan dengan pria tadi. Memang sih pria tadi itu memiliki wajah yang cukup sempurna. Tapi jika dibandingkan denganku … Kurasa itu bukan apa-apa."

Alex langsung menyela pembicaraan Lia dan Nasya dengan pendapatnya.

"Kamu lebih tampan darinya? Sepertinya kamu pakai cermin retak saat berkaca. Lebih baik kamu beli cermin yang lebih bagus jika ingin membandingkan penampilanmu dengan orang lain." Lia menanggapi Alex dengan nada mencibir.

"Apa maksudmu? Kamu saja yang punya selera jauh lebih rendah dibandingkan Nasya." Alex tidak terima dengan ucapan Lia dan menanggapi cibirannya.

Nasya memperhatikan interaksi Alex dan Lia. "Sepertinya kalian berdua ini sangat cocok satu sama lain." ujar Nasya yang membuat Alex dan Lia terdiam dan langsung menoleh padanya.

"Omong kosong!" ujar Alex dan Lia secara bersamaan. Nasya hanya tersenyum melihat respon keduanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!