Di sebuah kafe yang ramai dengan pelanggan, suara hiruk-pikuk bercampur dengan denting gelas dan piring. Sore sudah berganti malam, dan sinar jingga matahari yang terbenam tergantikan oleh lampu-lampu kota yang mulai menyala.
Di salah satu sudut kafe, sepasang kekasih duduk berhadapan. Di meja mereka, sepiring nasi goreng udang, segelas es jeruk, dan susu dingin sudah setengah habis. Namun, suasana ceria di sekitar mereka tidak bisa mengusir kegelisahan yang kini menggelayuti hati mereka.
“Kamu benar-benar mau ke Inggris?” tanya lelaki itu, suaranya sedikit bergetar. Namanya Kiandra Darmansyah, atau lebih akrab disapa Kian. Ia menggenggam tangan sang gadis, seolah berusaha menahan waktu agar tak terus bergerak maju.
Kian baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-19 sehari yang lalu. Usianya masih muda, tapi hatinya telah terpaut erat dengan Stella Cornelia. Bagi Kian, Stella adalah dunia. Ia penyayang, bucin, dan selalu berusaha membahagiakan orang-orang yang ia cintai—terutama kakek dan neneknya yang sangat mempengaruhi keputusannya. Di mata mereka, Kian selalu menjadi cucu yang penurut.
Stella menatapnya dengan lembut, meski di balik senyumnya tersimpan kesedihan yang mendalam. “Iya, Ian... Aku nggak bisa ngelawan apa kata orang tua aku. Mereka maunya aku kuliah di Inggris, kalau aku nggak nurut... aku bisa dicoret dari kartu keluarga,” jawab Stella dengan nada tenang, meskipun ia tahu kata-katanya menyakiti Kian.
Stella Cornelia, gadis cantik berusia 18 tahun, baru saja lulus SMA. Dia bukan hanya pintar dan pengertian, tetapi juga mandiri. Selama satu tahun mereka bersama, Stella telah menjadi sosok yang penting dalam hidup Kian, dan bagi Kian, ia tak bisa membayangkan hidup tanpanya.
Kian menggigit bibirnya, berusaha menyembunyikan rasa takut yang perlahan muncul. “Nanti kalau aku kangen gimana?” tanya Kian, suaranya terdengar lebih lirih dari biasanya. Wajahnya tampak cemberut, seolah tak rela melepaskan Stella ke dunia yang lebih luas dan jauh dari jangkauannya.
Stella tersenyum kecil, mencoba meredakan kecemasan Kian. “Kan kita bisa teleponan. Video call juga nggak masalah, kok. Dan aku pasti balik ke Indo waktu libur semester. Kita akan baik-baik aja,” kata Stella dengan optimis. Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu, LDR tidak akan mudah. Mereka mungkin akan terpisah ribuan mil, dan komunikasi virtual takkan pernah bisa menggantikan kehadiran nyata.
Kian terdiam, menatap mata Stella dalam-dalam, seolah mencari keyakinan yang lebih kuat dari sekadar kata-kata. Ia ingin percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja, tapi bayangan Stella yang akan jauh ke Inggris tak bisa ia hapus begitu saja.
Kian mengangguk pasrah, meski dalam hatinya ia masih menyimpan harapan agar Stella bisa satu kampus dengannya. Namun, apa daya? Kian tidak ingin Stella diasingkan oleh keluarganya hanya karena sebuah keputusan. Lebih baik mereka terpisah sementara daripada Stella kehilangan hubungan dengan kedua orang tuanya.
Setelah selesai makan, Kian mengantar Stella pulang. Saat mobil Mercy G-Class abu-abunya berhenti di depan rumah Stella, gadis itu segera membuka pintu dan bersiap keluar.
“Kamu nggak mau mampir dulu?” tawar Stella sambil menoleh, tersenyum kecil.
Kian menggeleng pelan, “Nggak deh, aku capek banget. Besok pagi ada kelas, jadi nggak boleh begadang,” jawabnya dengan suara lelah.
Stella mendengus kesal. “Giliran aku yang ngingetin jangan begadang, dicuekin. Sekarang ada kelas pagi, langsung nurut nggak mau begadang.”
Kian tersenyum, mencoba meredakan suasana. “Ya, lagian godaannya banyak, Stel. Kadang Dava ngajak main Dota, kadang abang Mer sama sepupu-sepupu ngajak main Valorant. Godaan game susah dilawan.”
Stella memutar mata. “Selalu aja ada alesan kamu,” gumamnya dengan wajah cemberut. “Yaudah, hati-hati di jalan, ya.”
Stella hendak keluar dari mobil, tapi Kian masih menggenggam tangannya erat, seolah belum siap melepaskannya. Stella tersenyum lembut, lalu meletakkan tangan di rahang tegas pacarnya, menatapnya dalam-dalam.
“Ian, are you okay?” tanya Stella pelan, nada khawatir mulai terdengar di suaranya.
Kian terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab dengan lirih, “I don't know.”
Stella memahami kegelisahan Kian. Ia tahu, setiap kali pacarnya bicara dengan nada seperti itu, pasti ada sesuatu yang mengganggunya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Stella memeluk Kian erat, mengusap lembut punggungnya untuk memberikan ketenangan. Kian membalas pelukan itu, seolah mencari kekuatan dalam kehangatan pelukan Stella.
“I love you, baby,” ucap Kian pelan, suaranya bergetar sedikit.
Stella tersenyum tipis, meskipun hatinya ikut terasa berat. “I know,” jawabnya. “Aku juga sayang sama kamu.”
Kian menghela napas panjang. Dengan perasaan yang mulai tenang, ia perlahan melepaskan pelukan Stella dan menatap wajah manis gadis di depannya. Ia ingin memastikan bahwa meski terpisah jarak dan waktu, perasaan ini akan tetap sama.
“Aku sayang sama kamu, Ian. Aku harap kamu setia dan sabar nunggu aku,” batin Stella, meskipun tidak berani mengatakannya langsung.
Kian, dengan lembut, mengecup kening Stella—mencoba menyalurkan seluruh kasih sayang dan perasaannya dalam satu ciuman yang lembut. Ia lalu tersenyum, senyum terbaik yang bisa ia berikan meskipun hatinya masih berat.
“Yaudah, kamu masuk dulu. Jangan lupa istirahat, ya,” ucap Kian sambil melepaskan Stella.
Gadis berdarah campuran Jepang-Sunda itu mengangguk pelan, lalu keluar dari mobil Kian. Sebelum menutup pintu, Stella melambaikan tangan dan memberikan senyuman terakhir sebelum ia masuk ke rumahnya. Kian tidak beranjak sampai ia memastikan bahwa Stella sudah masuk ke dalam rumah dengan selamat. Baru setelah itu, ia menancap gas, membawa mobilnya pergi.
......................
Setibanya di rumah, Kian merasa ada sesuatu yang aneh. Di halaman depan rumahnya, ada sebuah mobil asing yang tak pernah ia lihat sebelumnya, terparkir di antara mobil keluarganya. Mobil mewah itu memancarkan kesan elegan yang tak biasa. Penasaran, Kian segera mematikan mesin mobilnya dan keluar, lalu berjalan masuk ke dalam rumah.
Begitu melangkah masuk, ia disambut oleh pemandangan yang tak kalah anehnya. Di ruang tamu, seorang wanita paruh baya yang ia kenali sebagai neneknya sedang asyik mengobrol dengan seorang wanita muda mungkin berumuran 30an yang anggun dan berpenampilan elegan. Di samping mereka, duduk seorang wanita muda lainnya, tampak lebih muda dari wanita anggun tadi.
“Assalamualaikum Ian pulang,” Kian berusaha tidak peduli, ia berjalan menuju tangga ke kamarnya.
“Ah, Kian, kamu sudah pulang!” seru neneknya begitu melihatnya masuk. Senyuman lebar terpancar di wajahnya.
Wanita berumur 30an di samping neneknya ikut menoleh, memberikan senyuman sopan. Namun, tatapan wanita muda di sebelahnya, yang tampak hanya terpaut beberapa tahun diatas Kian, tertuju langsung kepadanya, dengan sorot mata yang sulit diartikan.
“Ayo sini, ada yang mau dikenalin sama kamu,” lanjut neneknya, tanpa memberinya waktu untuk mencerna situasi.
Kian terdiam, perasaannya semakin tidak enak. Siapa mereka? Dan kenapa ia merasa bahwa malam ini tidak akan berakhir seperti biasanya?
“Kenapa, Nek?” Kian bertanya. Ia lalu berbalik badan dan duduk di samping neneknya, Grace, dan duduk berseberangan dengan seorang wanita yang tampak berusia 30-an, berpenampilan anggun dengan aura elegan yang kental.
Grace Natalie Daryanto, nenek Kian, umurnya empat tahun dibawah Devin, suaminya. Grace merupakan sosok yang sangat berarti dalam hidupnya. Ia adalah wanita kuat yang pernah menjadi chef bintang lima, namun memutuskan untuk pensiun setelah 30 tahun mengabdikan diri di dunia kuliner.
Keputusan itu diambil agar ia bisa sepenuhnya fokus merawat Kian dan adiknya setelah orang tua mereka meninggal akibat kecelakaan empat tahun lalu. Bagi Kian, neneknya adalah segalanya—ibu sekaligus pelindung.
“Kenalin sayang, ini Tante Wendy, teman lama nenek,” ucap Grace dengan senyum yang lembut namun penuh makna.
Wanita yang diperkenalkan sebagai Tante Wendy tersenyum sopan, memperlihatkan senyum manis namun formal. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Kian merasa sedikit tidak nyaman—seperti ada hal besar yang sedang disimpan, menunggu untuk diledakkan.
“Senang bertemu denganmu, Kian,” ucap Wendy dengan suara lembut yang terlatih.
Kian hanya membalas dengan senyum tipis dan anggukan kecil, masih belum sepenuhnya memahami apa yang sedang terjadi. Namun, sebelum ia bisa bertanya lebih jauh, neneknya melanjutkan, “Dan ini…” Grace berhenti sejenak, menoleh pada wanita muda yang duduk di samping Wendy. Wanita muda itu tampak seumuran dengan Kian—kulitnya putih bersih, rambutnya hitam legam yang diikat sederhana, dan matanya memancarkan ketenangan, meski ada sedikit rasa gugup di dalamnya.
"Biarin Keira perkenalin dirinya, Nek," ucap Tante Wendy sambil tersenyum.
"Oh, yasudah, Keira, perkenalkan dirimu," titah Grace dengan nada lembut namun tegas.
Keira tersenyum, kemudian dengan suara lembut memperkenalkan diri. "Nama aku Keira Ganendra, anak dari Mama," ucapnya sambil melirik Tante Wendy dengan bangga. Senyumnya manis, hangat, dan ramah.
Keira Ganendra, seorang wanita muda yang baru saja menyelesaikan kuliahnya di Amerika Serikat, putri dari Wendy Belani, seorang desainer ternama, dan Norman Edwin Firdausi, CEO Keinan Group. Usianya baru 22 tahun, cantik, pintar, dan berkarisma.
Kian mengulurkan tangannya, mencoba bersikap ramah. "Gua Kiandra Darmansyah," balasnya sambil tersenyum tipis.
Keduanya saling bertatapan, seolah berbicara melalui mata, namun masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri.
"Yaelah, Ian, lama amat jabat tangan lo. Nyaman apa gimana?" sebuah suara berat memecah suasana canggung. Kian segera melepaskan tangannya dari Keira, salah tingkah.
"Lu ganggu aja, Vin," sahut seorang pria yang duduk di sebelahnya, dengan nada menggoda.
Kian menoleh dan mendapati pria paruh baya yang rambutnya memutih serta berjenggot, duduk di sana mengenakan kemeja rapi yang dilapisi blazer. Itu kakeknya, Devin, yang tampak santai sambil tersenyum usil.
Seketika itu, semua orang menoleh ke arah Devin dan Norman, ayah Keira, yang duduk di sebelahnya. Kedua pria itu tampak bersahabat, meski ada perbedaan usia di antara mereka.
Grace menatap tajam ke arah suaminya. "Ganggu aja kamu, Mas!" tegurnya, tapi dengan nada yang terlihat penuh kasih.
"Tuh, dengerin tuh. Seperti nggak pernah muda aja, kayak nggak pernah ngerasain yang namanya pendekatan," Norman menimpali dengan nada bercanda, membuat Devin tertawa.
Devin angkat bicara sambil menoleh ke arah Kian. "Hahaha, maafin gua ya, Ian, udah ganggu pendekatannya," godanya lagi.
Kian hanya bisa tersenyum canggung, kemudian meminta izin. "Mohon maaf semuanya, boleh nggak aku ke kamar sebentar?"
"Loh, kenapa, Ian?" tanya Devin heran.
"Capek, Kek. Badan udah lengket sama keringet," jawab Kian sambil melepas jaket denimnya, memperlihatkan kaus putihnya yang sudah basah karena keringat.
Devin mengangguk paham. "Yaudah, istirahat sana."
Sebelum Kian pergi, dia sempat menatap Keira lagi, dan gadis itu menundukkan kepala malu-malu. Kian tersenyum kecil, heran dengan perasaan yang tiba-tiba muncul dalam dirinya, sebelum akhirnya berbalik menuju tangga menuju kamarnya.
Di tengah percakapan mereka, terdengar suara manis yang datang dari sudut ruangan.
"Princess aku mana, Bund?" tanya Devin, matanya mencari-cari seseorang.
"Aku di sini, Kek!" seorang gadis kecil dengan pakaian serba pink berlari kecil ke arah Devin. Mulutnya penuh dengan cokelat yang berantakan di sekitar bibirnya.
Devin tertawa kecil, memeluk dan mengangkat cucu bungsunya itu. "Ya ampun, princess Kakek abis makan cokelat ya? Kok mulutnya sampai belepotan gitu," ucapnya sambil mengelap cokelat di wajah kecil Tasya.
"Kakek bawain cokelat enak sih, aku nggak bisa berhenti makannya," sahut Tasya dengan wajah polos.
"Haha, dasar Kakek. Bawa-bawa cokelat sih," Grace menyahut sambil tertawa kecil, membuat suasana semakin hangat.
Tasya turun dari pangkuan Devin, tapi tiba-tiba, tatapannya berubah dingin ketika melihat Keira. Grace yang sadar akan hal itu segera memberi isyarat pada Tasya untuk bersikap sopan.
"Sayang, kenalan dulu dong sama Kak Keira," ucap Grace lembut sambil menunjuk Keira.
Namun, Tasya hanya menatap Keira dengan tatapan sinis dan berkata singkat, "Nggak!" sebelum berbalik meninggalkan ruangan dengan langkah kecil yang cepat.
"Tasya..." lirih Grace, kecewa dengan sikap cucu bungsunya.
Tasya Darmansyah, adalah anak bungsu di keluarga Darmansyah, dan baru saja kelas 3 SD. Ia sangat cantik, imut, dan suka berbuat hal-hal yang bisa membuat orang disekitarnya tertawa. Namun, ia begitu posesif kepada Kian, abangnya.
Devin dan Grace saling berpandangan, tampak ada rasa tidak enak yang menyelimuti hati mereka. Keira yang melihat kejadian itu, tersenyum seolah mencoba memaklumi.
"Maaf ya, Keira. Tasya memang agak posesif sama abangnya," Grace meminta maaf sambil tersenyum canggung.
Keira hanya tersenyum manis, menunjukkan bahwa ia tidak mempermasalahkan hal itu. "Gak apa-apa, Tante. Aku mengerti kok."
Di saat yang sama, Kian yang ternyata masih memperhatikan dari lantai atas, tersenyum kecil. "Keira... Dia penyabar banget, dan... senyumnya manis," batin Kian sambil menatap gadis itu sebelum masuk ke kamarnya.
Sudah sebulan berlalu sejak Stella meninggalkan Kian. Dalam sebulan itu pula, hidup Kian berubah drastis. Ia seolah hanya menjalani hari-hari tanpa jiwa, seperti mayat hidup yang berjalan tanpa arah. Keheningan yang menemaninya menciptakan kekhawatiran mendalam bagi orang-orang di sekitarnya, terutama kakek, nenek, dan adik bungsunya, Tasya.
Hari ini pun tidak jauh berbeda. Kian duduk di tepi kolam besar di halaman belakang rumah, memandangi air tanpa fokus. Pikirannya melayang entah ke mana, sementara tubuhnya diterpa matahari yang begitu terik. Keringat membasahi wajahnya, tapi ia menghiraukannya. Kehilangan Stella telah mencuri semangat hidupnya.
Dari balik jendela, Grace mengamati cucunya yang tampak rapuh. Hatinya mencelos melihat Kian seperti itu. Dulu, Kian adalah sosok yang ceria, penuh tawa dan kehangatan. Namun kini, ia seperti bayangan dirinya sendiri. Grace menghela napas berat sebelum melirik ke arah suaminya, Devin, yang duduk di sebelahnya.
"Mas... Aku nggak tega lihat Kian kayak gini. Kerjaannya melamun terus," ucap Grace dengan suara pelan, tapi penuh kesedihan. Matanya tetap tertuju pada sosok cucu yang sangat ia sayangi itu.
Tasya yang duduk di sofa, sambil memeluk boneka kesayangannya, ikut angkat bicara. "Iya, Kek... Aku kangen sama Abang yang dulu. Yang baik, ramah, hangat. Sekarang dia dingin banget, kayak nggak peduli sama apa-apa lagi," ucapnya dengan nada lirih, matanya juga menatap ke arah Kian dengan raut khawatir.
Devin mengangguk pelan, menyadari bahwa sesuatu harus dilakukan. Perasaan galau dan patah hati Kian sudah mulai memengaruhi kesehariannya. Devin tahu, luka itu dalam, tapi ia tidak bisa membiarkan cucunya tenggelam dalam kesedihan terus-menerus.
"Mungkin Mas bisa coba ajak dia bicara. Tanya bagaimana keadaannya. Aku khawatir psikisnya terganggu lagi, seperti waktu kematian Gema dan kedua orang tuanya dulu," usul Grace, matanya penuh kekhawatiran yang mendalam.
Devin termenung sejenak, mengingat betapa hancurnya Kian saat kehilangan orang-orang yang ia cintai. Kesedihan yang menghantam Kian dulu hampir membuatnya terjebak dalam trauma yang dalam. Sekarang, kehilangan Stella tampaknya menggali kembali luka-luka lama itu.
"Yaudah, aku coba ajak dia ngobrol," ucap Devin sambil berdiri, lalu melangkah pelan menghampiri cucunya yang masih duduk diam di tepi kolam.
“Halo, Ian,” sapa Devin dengan nada lembut sembari duduk di samping Kian, menatap air kolam yang tenang.
“Eh, Kek,” balas Kian, lamunan yang tadinya menghanyutkannya seketika buyar. Namun, suaranya terdengar lesu, jauh dari semangat.
Devin menatap cucunya dengan penuh perhatian. "Kenapa dari kemaren lu cuma ngelamun aja? Cerita sama gua, Ian. Gak ada gunanya lu pendem sendiri," ucapnya, mencoba mencairkan suasana dengan pendekatan yang santai. Ia tahu, Kian bukan tipe orang yang mudah terbuka, tapi Devin selalu berusaha menjadi teman yang bisa Kian ajak bicara.
Kian terdiam, menundukkan kepalanya. Matanya tampak kosong, seolah sedang mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan.
"Ian, kalo ada masalah, jangan sungkan cerita sama kita. Kasian Nenek sama Tasya. Mereka khawatir liat lu kayak gini. Kita nggak mau lu terpuruk lagi, cukup sekali aja dulu lu didiagnosis depresi karena lu milih diam," ucap Devin, suaranya penuh kasih sayang tapi tegas. Ia mengingatkan Kian tentang masa lalu yang pahit, saat Kian sempat mengalami depresi karena memendam semua luka dan kesedihannya sendirian.
Kian menghela napas panjang, akhirnya ia berbicara. “Kek... aku boleh ke Inggris nggak?” tanyanya, suaranya pelan tapi sarat dengan keinginan yang kuat.
Devin menoleh, menatap Kian dengan alis sedikit terangkat. “Mau ngapain ke sana?” tanyanya, meskipun sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan ini.
“Mau mastiin sesuatu,” jawab Kian singkat, namun nada suaranya penuh ketegangan yang tertahan.
“Masalah Stella?” tanya Devin dengan nada yang lebih lembut. Ia sudah bisa menebak arah pikiran cucunya.
Kian mengangguk pelan. "Iya, Kek. Dua minggu pertama setelah dia pergi, kita masih sering ngobrol. Tapi begitu masuk minggu ketiga, dia mulai ngilang, gak ada kabar. Aku cuma mau pastiin sendiri..." Kian terdiam sejenak, menguatkan dirinya untuk melanjutkan. “Dan... kata Deren, Stella diem-diem tunangan sama orang lain. Awalnya aku gak percaya, tapi aku dikasih video pertunangan mereka,”
Devin mendengarkan dengan seksama, memahami beban yang dipikul oleh cucunya. Ia mengangguk perlahan, mencoba mencerna situasinya. Setelah beberapa saat, Devin mengeluarkan ponselnya dan dengan tenang menelepon seseorang.
“Halo, Anton? Tolong beliin tiket pesawat ke Inggris buat si Kian. Ya, secepatnya,” ucap Devin dengan nada serius di telepon.
Setelah menutup telepon, Devin menatap Kian dengan serius, tapi penuh kasih sayang. “Ian, inget satu hal! Mau itu beneran Stella udah tunangan atau nggak, lu jangan emosi dan apalagi sampai ngerusak hubungan mereka. Gimanapun juga, lu harus siap dengan segala kemungkinan,” nasihat Devin tegas, namun hangat.
Kian mengangguk perlahan, meskipun rasa tak menentu masih menggantung di dadanya. "Iya, Kek. Tenang aja, aku bakal tanam itu di kepala. Aku cuma mau pastiin semuanya sendiri," jawabnya, suaranya lebih tenang meski dalam hati masih ada riak kekhawatiran.
Devin tersenyum tipis, lalu merangkul Kian erat. “Nah, ini baru cucu Kakek! Pewaris Daryand Group harus punya kontrol emosi yang kuat. Gua kasih lu tiga hari buat ngurus urusan di sana. Inget, jangan lama-lama,” ucapnya sambil menepuk bahu Kian dengan penuh kebanggaan.
“Iya, tiga hari cukup kok,” sahut Kian mantap. Setelah percakapan singkat namun penuh makna itu, mereka berdua berjalan kembali ke dalam rumah, melewati teras yang mulai sejuk karena matahari perlahan bersembunyi di balik awan.
......................
Beralih ke Mansion Keluarga Firdausi...
Di sebuah kamar mewah di mansion keluarga Firdausi, Keira sedang sibuk memasukkan beberapa setel pakaian ke dalam koper besar. Wendy, ibunya, berdiri di sebelahnya, memperhatikan dengan cermat setiap pakaian yang dimasukkan. Raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran, meskipun dia berusaha untuk tidak memperlihatkannya terlalu jelas.
“Ingat ya, Kak. Jangan kebanyakan makan junk food di sana. Tetap harus rajin olahraga,” ucap Wendy sambil menatap anaknya dengan penuh perhatian. Suaranya sarat dengan peringatan yang sudah diulang berulang kali.
“Iya, Ma, aku tahu. Mama udah bilang itu berapa kali sih hari ini? Seribu? Dua ribu kali?” sahut Keira sambil tersenyum lelah, menutup kopernya setelah memastikan semuanya sudah masuk.
“Kamu itu, harus diingetin dulu baru nurut. Nanti kalau nggak diomelin dan diingetin, ada masalah, baru ngeluh,” balas Wendy dengan nada bercanda, meski tetap terkesan khawatir.
Keira tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. “Ma, aku udah gede. Udah bisa jaga diri sendiri,” katanya sembari memeluk ibunya sebentar, mencoba menenangkan kegelisahan yang tersirat di wajah Wendy.
“Justru karena kamu udah gede, kamu harus lebih perhatian sama kesehatanmu. Mama kan nggak bisa selalu ada di sampingmu buat ingetin. Apalagi di Inggris nanti, kamu bakal sibuk,” ucap Wendy, nada suaranya melembut. Ia sadar betul bahwa waktu-waktu bersama anaknya akan semakin jarang.
Keira menatap ibunya dengan senyum lembut. “Iya, Ma. Aku ngerti kok. Jangan khawatir, aku bakal baik-baik aja. Aku nggak akan lupa olahraga, apalagi kalau ingat Mama udah kasih peringatan ribuan kali ini,” balasnya dengan senyum bercampur haru.
Wendy terdiam sejenak, memandangi wajah putrinya dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. Hari ini, Keira harus berangkat ke Inggris untuk mengurus anak perusahaan Keinan Group di sana yang sedang tidak stabil selama beberapa hari.
“Yaudah, mama percaya sama kamu,” ucap Wendy pelan, sebenarnya ia tidak mau melepaskan anaknya itu. Namun, setelah dibujuk puluhan kali oleh suami dan Keira, Wendy akhirnya luluh.
Keira tersenyum, kemudian merapikan koper-kopernya. Meskipun ia siap dengan tantangan baru di Inggris, ada perasaan berat di hatinya saat meninggalkan rumah dan keluarganya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!