Bab 1.Awal Mula.
Benua Langit Biru adalah salah satu dari lima benua terbesar di Alam Rendah, terkenal dengan langit biru cerah yang membentang luas tanpa batas. Benua ini dipenuhi oleh pegunungan megah, lembah-lembah subur, dan sekte-sekte kultivasi yang memiliki sejarah panjang. Di tengah keindahan alamnya, Benua Langit Biru adalah pusat persaingan yang ketat antara sekte-sekte besar yang saling berlomba untuk menguasai sumber daya dan teknik kuno. Setiap wilayah memiliki kekuatan politik, budaya, dan tradisi yang unik, menjadikannya pusat kebangkitan para kultivator muda.
Di Benua Langit Biru, para kultivator mengandalkan Qi Alam, yang dipengaruhi oleh energi spiritual yang melimpah di pegunungan dan lembah-lembah nya. Beberapa sekte besar memusatkan kekuatan mereka di tempat-tempat ini, menggunakan lokasi mereka sebagai sumber daya untuk melatih para murid dalam teknik-teknik yang mendalam dan sulit.
DI BENUA LANGIT BIRU ADA EMPAT KERAJAAN BESAR YAITU.
1. Kerajaan Naga Emas (Timur)
2. Kerajaan Harimau Putih (Barat)
3. Kerajaan Burung Vermillion (Selatan)
4. Kerajaan Kura-Kura Hijau (Utara)
Mari fokus pada Kerajaan Naga Emas di wilayah Timur.
DI KERAJAAN NAGA EMAS ADA SEKTE PALING DI SEGANI DI ANTARANYA
1. Sekte Langit Emas.
2. Sekte Pedang Surgawi.
3. Sekte Matahari Abadi.
4. Sekte Api Naga.
5. Sekte Angin Badai.
Ada juga, 5 keluarga besar di Kerajaan Naga Emas yaitu keluarga Feng, Ning, Ren, Gan, dan Huo.
Sinar mentari bersinar cerah, cahayanya yang lembut menerobos rerimbunan daun daun hijau dari banyaknya pepohonan yang berjejer.
Angin semilir menimbulkan perasaan nyaman yang mendamaikan hati. Burung burung berkicau riang, bertengger di dahan dahan kayu kering yang nampak sudah lapuk. Pagi itu kediaman keluarga cabang dari Klan Feng sangat ramai. Karena hari ini ada sebuah acara besar yang di tunggu tunggu oleh seluruh anggota keluarga. Mereka datang berbondong-bondong ke lapangan luas yang ada di tengah tengah kediaman untuk ikut meramaikan acara ini.
Acara ini tidak lain adalah ucapara kedewasaan. Bagi mereka semua yang sudah mencapai usia 10 tahun. Bisa mengikuti acara ini dan menguji jiwa beladiri apa yang akan mereka bangkitkan.
Di tengah lapangan ada sebuah batu prasasti kuno yang bisa membantu para anggota keluarga membangkitkan jiwa beladiri mereka. Mereka hanya perlu menyentuhnya dan mengalirkan energi Qi. Maka prasasti kuno akan menyala terang dan jiwa beda diri akan bangkit.
Bicara mengenai jiwa beladiri itu di bagi menjadi tiga kategori untuk tingkat kualitasnya. Yaitu rendah menengah dan tinggi.
Untuk kualitas tingkat rendah maka akan mengeluarkan 1-3 bintang. Untuk kualitas tingkat menengah akan mengeluarkan 4-6 bintang. Untuk kualitas tinggi akan mengeluarkan 7-9 bintang.
Waktu terus berjalan hingga kini tiba saatnya bagi 5 anak paling jenius di keluarga Feng untuk menguji bakat mereka. Feng Tian. Sepupu Feng Yan maju ke depan dengan percaya diri. Kemudian dia mengulurkan tangannya dan menyentuh prasasti kuno.
Perlu di ketahui mereka yang di uji hanyalah mereka yang sudah mencapai tingkat penguatan fisik level 9.
WUSH!
Prasasti Kuno pun bergetar dan mengeluarkan cahaya putih yang sangat terang.
WUSH! ROAR!
Tidak lama berselang seekor Harimau Putih dengan tinggi 2 meter mengaum di atas kepalanya. Bersamaan dengan itu 6 bintang muncul di sekitar harimau putih itu.
Seketika suasana langung riuh di sertai dengan tatapan kagum dan takjub dari semua orang. Feng Tian telah membangkitkan jiwa beladiri Harimau Putih kualitas menengah dengan 6 bintang. Ada fluktuasi elemen angin yang keluar dari tubuh Harimau itu. Tidak berselang lama bintang bintang itu menyatu ke dalam tubuh Harimau Putih dan..
WUSH! BOM!
Jiwa Harimau Putih masuk ke dalam tubuh Feng Tian dan saat itu juga kultivasinya langsung menerobos 6 tingkatan. Menjadikannya tahap pengumpulan Qi level 6.
Sekali lagi keributan terjadi di lapangan kediaman keluarga cabang Klan Feng. Bagi generasi muda maupun tua menyaksikan hal menakjubkan seperti ini dengan mata kepala sendiri adalah sebuah anugrah.
Lalu setelah Feng Tian, kali ini giliran Feng Zhen. Dia maju dengan santai.
mengulurkan tangannya dan menyentuh prasasti kuno.
WUSH!
Prasasti Kuno pun bergetar dan mengeluarkan cahaya putih yang sangat terang.
WUSH! ROAR!
Seekor Kera raksasa berwarna hitam muncul di atas kepalanya dan bersamaan dengan itu 7 bintang pun muncul di sekeliling Kera raksasa. Ada elemen tanah yang keluar dari dalam tubuhnya.
Saat Feng Tian menarik tangannya bintang bintang itu menyatu ke dalam tubuh Kera raksasa dan..
WUSH! BOM!
Saat itu juga kultivasi Feng Zhen langsung menembus ke tingkat 7 dari tahap pengumpulan Qi.
Kemudian berikutnya giliran Fang Xiao Lan. Seorang gadis cantik yang paling mempesona di keluarga cabang. Dia maju ke depan dengan tatapan tenang tapi penuh tekad dimatanya.
Dengan anggun dia mengulurkan tangannya dan menyentuh prasasti kuno.
WUSH!
Prasasti Kuno pun bergetar dan mengeluarkan cahaya putih yang sangat terang.
WUSH! KIAK!
Seekor burung Phoenix berwarna biru dengan elemen es yang sangat kuat merembes keluar dari dalam tubuhnya. Tidak lama kemudian 9 bintang muncul di sekitar burung Phoenix Es itu.
Sama seperti sebelumnya. 9 bintang mulai masuk ke dalam tubuh jiwa beladiri Phoenix Es miliknya dan..
WUSH! BOM!
Tingkat kultivasi Feng Xiao Lan langsung melonjak ke tingkat 9 pengumpulan Qi.
Seketika suasana langsung menjadi hening sejenak.
Tidak lama kemudian terdengar suara teriakan yang membahana penuh dengan pujian dari kerumunan.
"Sungguh luar biasa! Nona Feng Xiao Lan sungguh menerobos ke tingkat 9 pengumpulan Qi setelah jiwa bela dirinya bangkit. Dia benar-benar jenius langka yang lahir dalam 1000 tahun sekali." Ucapnya dengan tatapan memuja.
"Ya kamu benar, dia adalah jenius 1000 tahun sekali." Jawab yang lain menimpali.
Semua orang di kerumunan juga mengangguk menyetujui.
Sementara itu di sebuah bangunan khusus yang sengaja di bangun untuk para petinggi kediaman keluarga cabang. Feng Ma sangat bangga kepada putrinya. Bakatnya benar benar luar biasa.
Bahkan saat ini baik semua petinggi keluarga juga menangguk dengan puas dan penuh penghargaan. Feng Ma tahu masa depan Feng Xiao Lan akan cerah kedepannya.
Ini berkaitan dengan sumber daya yang akan putrinya dapatkan dari klan. Yaitu 100 batu roh kelas rendah perbulan. Itu sudah sangat bagus.
Kembali ke cerita.
Detik berikutnya Feng Chen. Sama seperti para saudaranya. Saat dia menyentuh batu prasasti kuno seekor Elang Api muncul di atas kepalnya. Elemen api yang membakar menyebarkan hawa panas di area sekitar dan tidak berselang lama muncul 7 bintang di sekitar Elang api itu.
bintang mulai masuk ke dalam tubuh jiwa beladiri Elang Api miliknya dan..
WUSH! BOM!
Saat itu juga tingkat kultivasi Feng Chen langung menerobos ke tingkat pengumpulan Qi level 7.
Dan yang terakhir kali ini adalah Feng Yan.
Satu minggu kemudian.
Feng Yan duduk bersila di dalam ruangan meditasi, bayangan temaram yang ditangkap cahaya bulan menciptakan suasana yang tenang. Namun, di dalam hatinya, sebuah kegelisahan terus membara. Saat ia teringat momen upacara kedewasaan tujuh hari yang lalu, rasa pahit dan malu kembali menyerang.
Dia ingat saat semua orang berkumpul dengan antusias, menunggu momen bersejarah saat jiwa bela diri mereka dibangkitkan. Ketika Feng Yan mengeluarkan Manik Hijau yang melayang di atas kepalanya, suasana hening sejenak. Namun, bisikan dan tawa mulai merambat di antara kerumunan.
“Manik Hijau? Itu tidak ada artinya!” Ejek salah satu saudaranya, suaranya penuh nada meremehkan. Yang lain pun segera bergabung, mengejek dan menilai betapa tidak bergunanya jiwa bela diri yang dia bangkitkan. Apalagi manik hijau itu tidak mengeluarkan 1 bintang pun. Ejekan demi ejekan menjadi semakin riuh.
Feng Yan merasa terpuruk di antara sorakan dan tawa mereka. Semua harapannya untuk menjadi kultivator hebat tampak hancur dalam sekejap.
Jiwa Bela Diri yang seharusnya menjadi kebanggaan justru dianggap rendah dan tidak berguna. “Kenapa ini harus terjadi padaku?” Desahnya dalam hati, perasaan malu menyergapnya.
Kembali ke dalam ruangan meditasi, rasa frustrasi kembali menggelayuti. Dia berusaha berkultivasi, menarik energi Qi dari alam sekitar, tetapi setiap kali dia mencoba, semua yang dia rasakan adalah ketidakberdayaan. Manik Hijau itu, yang melayang di atas kepalanya, seolah menyerap semua energi yang seharusnya mengalir ke dalam dantiannya.
“Seharusnya aku bisa lebih dari ini!” Keluhnya, menatap Manik Hijau dengan penuh harapan dan sekaligus kebingungan. Setiap malam, Feng Yan duduk dalam keheningan, berusaha keras untuk berkultivasi, tetapi hasilnya selalu sama yaitu kegagalan.
Di tengah keputusasaannya, Manik Hijau tiba-tiba bergetar dengan lembut, mengeluarkan getaran halus yang menyentuh jiwa Feng Yan. Dia merasakan kehadiran yang lembut dan menenangkan. “Kau tidak sendirian,” bisikan itu seolah menyatu dengan aliran pikirannya.
Seakan merasakan panggilan itu, Feng Yan memejamkan matanya, mencoba untuk menenangkan pikirannya. Dia mulai membayangkan energi Qi mengalir dalam lingkaran, mengelilingi Manik Hijau dan dirinya, berusaha menemukan cara untuk bersatu dengan jiwa bela diri itu. Dalam benaknya, dia merasakan energi mulai bergerak, meskipun perlahan.
Tiba-tiba, dalam keheningan malam, sebuah aliran hangat menjalar di dalam tubuhnya, seperti cahaya yang menyelimuti hatinya. Dia merasakan energi Qi mulai mengalir ke dalam dantiannya, menyatu dengan Manik Hijau, bukan lagi diserap tetapi dipadukan. Meskipun begitu tidak ada yang istimewa dia tidak menunjukkan tanda tanda terobosan sedikit pun.
Feng Yan membuka matanya, terkejut oleh sensasi yang baru. Kekuatan mengalir dalam dirinya, lebih kuat dari sebelumnya. Dengan semangat baru, dia bertekad untuk terus berlatih, menerima Manik Hijau sebagai bagian dari dirinya.
“Jika ini adalah tantanganku, maka aku tidak akan menyerah!” Serunya dengan tegas.
Dia menyadari bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi dia telah menemukan cahaya di ujung terowongan gelap. Manik Hijau bukanlah simbol kelemahan, melainkan bagian dari perjalanan yang akan membawanya menuju keajaiban dan penemuan.
Setiap langkah yang diambil adalah langkah menuju takdir yang lebih besar, dan dia akan terus berjuang untuk membuktikan kemampuannya kepada dunia, tidak peduli seberapa kecil Manik Hijau yang dia miliki.
Dia akan menjadikan hinaan semua orang sebagai motivasinya untuk maju.
Dalam hati dia berkata
"Ini bukanlah akhir, tapi ini awal dari segalanya." Ucapnya dengan tatapan membara penuh tekad.
Waktu terus berjalan bulan demi bulan terlewati hingga tak terasa 2 tahun telah berlalu begitu saja.
Ada sebuah fakta aneh yang telah terjadi khususnya di kalangan keluarga Feng.
Di antara semua sepupunya, Feng Xiao Lan adalah satu-satunya yang paling dekat dengan Feng Yan. Mereka sering bermain bersama dan saling mendukung dalam setiap tantangan. Feng Xiao Lan, dengan hati yang baik dan pemahaman yang mendalam, selalu berusaha untuk menghibur Feng Yan saat dia merasa tertekan karena stagnasi dalam kultivasinya.
Dia percaya bahwa Feng Yan memiliki potensi yang besar dan bahwa suatu saat dia akan menemukan jalannya. Dukungan dan persahabatan Feng Xiao Lan memberikan sedikit harapan bagi Feng Yan di saat-saat sulitnya.
Namun, seiring waktu ketika sepupu-sepupu lainnya mulai menunjukkan bakat yang luar biasa dan bisa masih tidak ada perkembangan yang berarti, hubungan mereka mulai terpengaruh. Feng Xiao Lan merasa tertekan dengan ekspektasi dari keluarga, sementara Feng Yan merasa semakin terasing. Meskipun demikian, dia tetap berusaha menjaga hubungan mereka, meskipun tidak bisa menghindari perubahan yang terjadi di antara mereka.
Sejak upacara kedewasaan dua tahun lalu, Feng Yan merasakan tekanan yang semakin berat. Sementara sepupu-sepupunya Feng Tian, Feng Zhen, Feng Xiao Lan, dan Feng Chen semua menunjukkan bakat luar biasa, Feng Yan merasa tidak berharga.
Di tengah konflik ini, Feng Han sebagai kepala keluarga, berjuang dengan harapan dan tuntutan untuk menjaga reputasi keluarga Feng. Meskipun dia mencintai Feng Yan, tekanan untuk memiliki anak yang kuat dan berprestasi membuatnya merasa tidak berdaya. Dia juga menyimpan rahasia tentang asal usul ibu Feng Yan, Liu Ying, yang menambah beban emosional dalam hubungan mereka.
Feng Yan kecil semakin merasa kesepian dan terabaikan. Feng Yan bahkan sering mendengar ejekan dari para pelayan dan melihat tatapan merendahkan dari sepupunya. Setiap hari, dia merasakan kesepian yang semakin mendalam, seolah-olah semua harapan keluarga terletak pada pundak sepupunya. Dia merasa diabaikan dan tidak dibutuhkan, dan ketidakpuasannya terhadap keadaan semakin menggerogoti jiwanya.
Meskipun Feng Xiao Lan berusaha untuk mendukungnya, dia pun terjebak dalam ekspektasi keluarga, membuat kedekatan mereka semakin sulit dipertahankan. Dengan berat hati, Feng Xiao Lan melihat bagaimana sepupu-sepupunya yang lain semakin menjauh dari Feng Yan.
Dalam keadaan terpuruk, Feng Yan membuat keputusan berani untuk meninggalkan kediaman keluarga Feng. Dia percaya bahwa satu-satunya cara untuk membuktikan kemampuannya adalah dengan mencari kekuatan di luar sana. Sebelum pergi, dia menulis surat untuk ayahnya, menjelaskan alasan kepergiannya dan meminta Feng Han untuk tidak khawatir serta menjaga kesehatan.
Feng Yan berangkat menuju Hutan Senyap, sebuah tempat yang sangat ditakuti di Kerajaan Naga Emas. Hutan ini terkenal dengan makhluk-makhluk berbahaya dan banyak petualang yang hilang di dalamnya. Namun, dia yakin bahwa di sana, dia akan menemukan cara untuk menjadi lebih kuat dan mungkin menemukan potensi terpendam dalam dirinya.
-------------
Catatan:
Feng Han, patriark keluarga cabang Klan Feng:
Berada di yaitu tahap Kekosongan level 9. Feng Han memiliki empat saudara:
1. Feng Kun - tahap Kekosongan level 6, ayah dari Fang Zhen.
2. Feng Heng - tahap Kekosongan level 7, ayah dari Fang Tian.
3. Feng Ma - tahap Kekosongan level 5, ayah dari Fang Xiao Lan.
4. Feng Guo - tahap Kekosongan level 4, ayah dari Fang Chen.
Bab 2. Di Ambang Kematian.
Feng Yan masih terlalu muda untuk benar-benar memahami dunia sekelilingnya, dan pikirannya yang belum matang seringkali membuatnya berpikir pendek. Saat ia melangkah ke dalam Hutan Senyap, ketakutan merayap di benaknya, namun rasa sakit karena pengabaian ayahnya jauh lebih kuat. Di usianya yang masih kecil, dia telah membentuk keyakinan bahwa ayahnya tidak lagi mengharapkannya. Baginya, ayahnya yang seorang prajurit besar dari Kerajaan Naga Emas melihatnya sebagai beban, seseorang yang tak pernah cukup baik untuk diakui.
Hutan Senyap, yang terkenal dengan makhluk-makhluk buas dan legenda tentang petualang yang hilang, adalah tempat terakhir yang dipilih siapa pun dengan pikiran waras. Namun Feng Yan, dengan pemikiran polos dan hati yang penuh luka, menganggap bahwa dia tidak lagi punya tempat di rumah. "Mungkin lebih baik aku tidak kembali," gumamnya dalam hati, keyakinan itu menggerogoti hatinya yang rapuh.
Kabut tebal menghalangi pandangannya, pepohonan tinggi yang menjulang seperti sosok-sosok besar yang siap menelannya. Hawa dingin merayap hingga ke tulang, tetapi lebih dingin lagi adalah rasa diabaikan yang menekan dadanya. Tangannya yang kecil gemetar saat mencengkeram gagang pedang yang tampak terlalu besar untuk tubuhnya. Pedang itu milik ayahnya, dan meski terlalu berat untuk diayunkan dengan benar, Feng Yan membawanya sebagai simbol beban yang dia rasakan.
Dia berhenti sejenak, menelan ludah, berusaha menahan air mata yang mulai membasahi sudut matanya. "Ayah tak peduli," pikirnya dengan hati yang tertutup amarah dan kebingungan.
"Mungkin aku memang tak pernah diinginkan."
Dalam pikiran pendeknya, ia tak bisa melihat betapa rumitnya cinta dan pengharapan orang tua, apalagi memahami alasan di balik sikap dingin ayahnya.
Feng Yan melangkah lebih jauh, berusaha menekan rasa takut yang mulai menguasainya. Di dalam hatinya, masih ada secercah harapan. Bukan harapan untuk mendapatkan kasih sayang keluarganya kembali, melainkan harapan untuk membuktikan dirinya, meski hanya pada dirinya sendiri.
"Jika aku bisa menjadi kuat... jika aku bisa bertahan di sini, mereka pasti akan menyadari bahwa aku bukan hanya anak kecil tak berguna."
Namun, di balik keberaniannya, tersimpan kenyataan bahwa dia hanyalah seorang bocah yang takut, bingung, dan tersesat dalam emosinya sendiri. Setiap langkahnya di hutan itu adalah cerminan dari langkah-langkah kecil menuju kedewasaan, meski dalam bayang-bayang rasa sakit yang masih tak bisa ia pahami sepenuhnya.
Saat malam mulai menyelimuti Hutan Senyap, Feng Yan merasa semakin terisolasi. Suara hewan-hewan malam bergema di kejauhan, seolah mengingatkannya pada risiko yang ia ambil. Namun, dia terus melangkah, meski hatinya penuh keraguan dan rasa takut.
Dia tak bisa kembali,setidaknya itulah yang dia yakini. Ayahnya, menurut pandangannya yang sederhana, sudah tidak lagi mengharapkannya. Dan di hutan ini, mungkin dia akan menemukan sesuatu yang bisa mengubah nasibnya atau mengakhirinya.
Feng Yan melangkah semakin dalam ke Hutan Senyap, tetapi keraguan mulai menyusup ke dalam dirinya. Setiap suara dari dedaunan yang tertiup angin membuatnya gemetar. Rasa takut merayap di dadanya, dan kegelapan hutan yang pekat semakin menekan hatinya yang rapuh.
Ia merasa kecil, tak berdaya, dan di ambang menyerah. “Apa aku bisa melewati ini?” Tanyanya pada dirinya sendiri, air mata hampir jatuh.
Namun, saat keraguan itu mencapai puncaknya, entah kenapa, sebuah getaran halus muncul dari dalam dirinya. dari jauh, dari lautan jiwanya. Feng Yan berhenti di tempat, terkejut oleh sensasi aneh itu.
Di dalam kedalaman jiwanya, manik hijau yang telah lama ia abaikan mulai bergetar, memancarkan kehangatan yang lembut. Getaran itu pelan tapi jelas, seolah menenangkan kekacauan yang berputar-putar dalam pikirannya. Seakan ada suara yang berkata, "Kamu tidak sendirian."
Rasa hangat itu membungkus dirinya, membasahi luka-luka emosinya yang terbuka, menenangkan rasa takut yang telah lama menguasai hatinya. Feng Yan menghela napas panjang, merasakan ketenangan yang aneh, seolah seseorang atau sesuatu menuntunnya melalui kegelapan ini.
Meski dia masih bocah, dan masih merasa takut, getaran dari manik hijau itu membuatnya yakin bahwa di dalam dirinya ada kekuatan yang belum dia sadari sepenuhnya.
"Siapa... atau apa kau?" Pikirnya, menyadari keberadaan misterius dari manik tersebut, namun perasaan ragu yang tadi begitu kuat mulai memudar. Meski kecil, manik hijau itu seperti memberi isyarat bahwa dia bisa melanjutkan perjalanannya, bahwa dia tidak sepenuhnya tersesat atau ditinggalkan. Sebuah kekuatan halus tetapi penuh harapan yang perlahan-lahan meneguhkan hatinya.
Dengan nafas yang lebih tenang, Feng Yan menguatkan kembali tekadnya. "Aku tidak sendirian," bisiknya. Meski ia belum sepenuhnya memahami apa arti getaran itu, dia merasa lebih yakin dari sebelumnya.
Kini langkahnya lebih mantap, meskipun ia masih bocah yang mencari jati diri di tengah kegelapan Hutan Senyap, ia tahu bahwa sesuatu di dalam dirinya—sebuah kekuatan tersembunyi, akan membantunya menemukan jalannya.
Dengan manik hijau itu bergetar pelan di lautan jiwanya, Feng Yan terus maju, tekadnya semakin teguh. Hutan ini bukan hanya tempat mengerikan yang penuh dengan bahaya, tetapi juga medan ujian yang akan menyingkap potensi yang selama ini tertidur dalam dirinya.
Suasana Hutan Senyap semakin mencekam. Seiring berjalannya waktu, kabut mulai menebal, dan udara di sekitar terasa semakin dingin. Langit yang mulai gelap memperkuat kesunyian yang menyesakkan.
Feng Yan, bocah kecil yang baru berada di tingkat pembangunan fisik level 9, merasa kegelapan semakin menutupinya, seolah-olah hutan ini sedang menelannya perlahan. Setiap langkahnya terasa berat, meskipun manik hijau dalam jiwanya masih bergetar dengan lembut, seolah berusaha menenangkan hatinya yang dipenuhi keraguan.
Sudah satu jam berlalu sejak ia melangkah masuk ke hutan, tapi area di sekitarnya begitu sunyi hingga terasa janggal. Bahkan suara jangkrik, yang biasanya menandakan kehidupan malam, tak terdengar. Hening.
Terlalu hening, sampai-sampai setiap helaan napasnya terdengar jelas di telinganya sendiri. Feng Yan menggigit bibirnya, berusaha menenangkan diri. Ada rasa gelisah yang perlahan-lahan menggerogoti pikirannya, seolah ada sesuatu yang salah di tempat ini.
Namun, Feng Yan yang masih kecil dan belum berpengalaman, tidak menyadari bahwa setiap bagian dari Hutan Senyap dijaga oleh makhluk buas yang sangat kuat. Baginya, tempat ini hanyalah sebuah medan ujian untuk menemukan kekuatan yang ia cari, tapi dia belum tahu bahwa makhluk-makhluk tersebut dapat menghancurkannya dengan mudah, terutama dengan tingkat kekuatannya yang sekarang.
Langkah Feng Yan semakin pelan, naluri alaminya mulai menyadari bahaya meski pikirannya belum sepenuhnya memahami ancaman yang mengintai. Dia tak tahu bahwa setiap pohon, setiap sudut dari hutan ini diawasi oleh mata-mata liar, milik monster-monster yang bersembunyi di balik kegelapan. Dan yang paling mengerikan, mereka diam-diam merasakan keberadaan bocah kecil ini, menunggu saat yang tepat untuk menyergap.
Dengan hati yang berat dan ketakutan yang makin tumbuh, Feng Yan terus melangkah, meskipun setiap serat di tubuhnya menjerit untuk berbalik. Namun, tekad untuk membuktikan dirinya, untuk menjadi lebih kuat, menahannya di jalur yang ia pilih. Dia belum tahu bahwa langkah selanjutnya bisa membawa pertemuan dengan sesuatu yang jauh lebih berbahaya daripada yang pernah dia bayangkan.
Sementara itu, di Kediaman keluarga Feng.
Malam terasa hening. Feng Han, ayah Feng Yan, duduk di ruang kerjanya, dikelilingi tumpukan dokumen dan tugas-tugas yang belum selesai. Tapi, pikirannya terus melayang pada putranya.
Selama ini, ia terjebak dalam perannya sebagai Kepala keluarga, merasa terbebani oleh tanggung jawab yang begitu besar, hingga tanpa disadari, ia telah mengabaikan Feng Yan. Ada rasa bersalah yang tumbuh di dalam hatinya, semakin kuat setiap kali ia mengingat bagaimana ia telah dingin dan berjarak terhadap putranya.
Akhirnya, Feng Han tidak bisa lagi menahan perasaannya. Dengan sebuah helaan napas panjang, ia menyingkirkan dokumen-dokumen yang ada di mejanya.
"Apa yang selama ini aku lakukan?" gumamnya pelan. Dia berdiri dan melangkah keluar dari ruang kerjanya, meninggalkan tumpukan tugas yang seharusnya ia selesaikan.
Kali ini, ada sesuatu yang lebih penting. Dia merasa dorongan kuat untuk menemui Feng Yan, untuk mengungkapkan perasaan yang selama ini tertahan. Feng Han tahu bahwa anaknya pasti kesepian. Dan kini, dia ingin memperbaiki kesalahan itu.
Dia ingin mengatakan kepada Feng Yan betapa dia sangat menyayanginya, meskipun sering kali tidak mampu mengungkapkannya dengan kata-kata. Dia ingin Feng Yan tahu bahwa meski posisinya sebagai Kepala keluarga sering kali membuatnya tampak tegas dan dingin, di dalam hatinya, Feng Yan adalah anak yang paling membanggakan.
Saat dia mendekati kamar putranya, suasana terasa lebih sunyi dari biasanya. Jam menunjukkan pukul 03.00 pagi. Waktu yang tidak biasa bagi Feng Han untuk berkeliling, apalagi ke kamar Feng Yan. Namun, malam ini ada sesuatu yang mendorongnya.
Kamar Feng Yan begitu sunyi, seolah tiada kehidupan di dalamnya. Feng Han mengira bahwa mungkin putranya masih tidur lelap. Sejenak, ia berpikir untuk kembali ke ruang kerjanya. Namun, entah kenapa, perasaan kuat menggerakkan hatinya untuk melihat wajah putranya sebelum kembali bekerja.
Dia mendekati pintu kamar dan terkejut mendapati bahwa pintu itu tidak terkunci. Feng Han mengernyit. Sejauh yang ia tahu, Feng Yan selalu mengunci kamarnya saat tidur, seperti kebiasaan anak-anak lainnya di keluarga besar. Rasa penasaran dan khawatir mulai menggerayangi pikirannya, tapi ia tidak berpikir terlalu jauh. Mungkin putranya hanya lupa.
Dia membuka pintu perlahan, dan matanya segera mencari sosok kecil yang seharusnya berbaring di tempat tidur. Namun, yang ia lihat hanya tempat tidur yang kosong. Feng Yan tidak ada di sana.
Ruangan tampak rapi, tetapi sunyi. Perasaan tak nyaman semakin membebani dada Feng Han. Dia berjalan mendekati meja kecil yang berada di dekat tempat tidur putranya, dan di sana, dia menemukan sesuatu yang membuat hatinya bergetar. Sepucuk surat tergeletak di atas meja.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Feng Han mengambil surat itu, jantungnya berdetak lebih cepat. Ada perasaan tak enak yang tiba-tiba menyelimutinya. Ia membuka surat itu dan mulai membaca dengan cermat. Mata Feng Han melebar seiring kata-kata dalam surat itu terungkap. Feng Yan, putranya yang masih kecil, telah pergi.
Feng Han tertegun, dan dunia seakan berhenti sejenak. Putranya, yang selama ini ia abaikan, telah meninggalkan rumah tanpa ada seorang pun yang menyadari. Kebenaran itu menghantam dirinya dengan keras. Penyesalan dan kekhawatiran berputar di dalam pikirannya.
“Bagaimana mungkin aku tak menyadarinya?” Tanyanya dalam hati, rasa bersalah semakin menghujam jiwanya.
Tanpa pikir panjang, Feng Han segera keluar dari kamar, memanggil beberapa penjaga untuk mencari Feng Yan. Tapi di dalam hatinya, ia tahu, putranya sudah melangkah jauh.
Kembali ke Hutan senyap.
Di dalam Hutan Senyap suasana tegang menyelimuti Feng Yan. Dalam keadaan penuh ketegangan hawa panas menyergapnya dan bulu kuduknya meremang. Dia merasa tenang sejenak berkat manik hijau di dalam lautan jiwanya. Namun ketenangannya hancur saat dia menyadari ada bahaya yang mendekat.
Di balik kabut tebal empat sosok besar muncul. Dan mereka adalah Serigala api dengan kulit merah menyala dan api kecil yang melilit tubuh mereka.
Air liur panas menetes dari rahang mereka. Menandakan bahwa mereka adalah predator ganas yang tidak akan segan segan menyerang. Keempat monster ini adalah tingkat 2 level 3 jauh lebih kuat dari dirinya yang berada di tingkat pembangunan fisik level 9.
Tatapan Feng Yan berubah serius. Dia pun mengumpat
"Sialan! Apa apaan ini? Belum belum aku sudah menghadapi 4 monster tingkat 2. Benar benar sial!" Gerutunya dengan ekspresi wajah yang berubah ubah.
Rasa takut semakin menyelimuti hatinya, saat dia merasakan getaran tanah menjadi semakin kuat. Menandakan ke empat monster itu mulai mendekat dangan sangat cepat.
Dia bahkan sampai menggigit bibirnya untuk menghilangkan rasa panik. Namun manik hijau di dalam dirinya bergetar memberikan perasaan familiar yang membuatnya tenang.
Fikirannya sedikit lebih jernih. Ya, hanya sedikit dan itu cukup untuk menyadarkannya bahwa dia harus berjuang jika ingin hidup. Untuk sesaat tekadnya bangkit dan semangat yang ada di dalam dirinya melonjak.
Tiba tiba salah satu Serigala melompat ke arah Feng Yan dengan kecepatan yang mengejutkan. Dia terpaksa berlari berusaha menghindar. Bahkan cakar tajam Serigala itu hampir merobek wajahnya.
Feng Yan berkelit, tapi serangan berikutnya membuatnya jatuh, rasa sakit yang tajam segera menjalar ke seluruh tubuhnya. Saat itu juga dia sadar jika nyawanya terancam. Dalam situasi ini hanya ada satu pemikiran di dalam benaknya
"Apakah aku akan mati? Hahaha! Sungguh miris." Ucapnya dengan getir.
Dia bahkan belum membuktikan apapun kepada ayahnya dan semua orang yang merendahkannya, dan kini nyawanya justru berada dalam bahaya.
Dengan sekuat tenaga dia berusaha bangkit. Namun Serigala lainnya mendekat dan menatapnya dengan lapar. Dalam sekejap Feng Yan terjepit di antara dua Serigala. Merasakan hawa panas ekstrim yang menyebar dan menyelimuti dirinya. Dia meraung melampiaskan semua rasa frustasi yang selama ini di pendamnya.
"Aku tidak akan menyerah!" Suaranya menggelegar dan menggema di tengah hutan yang sunyi.
Dia memutuskan untuk melawan dengan segala cara. Sungguh ironis, ini masih dua monster dan dua monster lainnya belum bergerak.
Saat ini Feng Yan terjebak di antara dua monster dan wajahnya sudah sangat pucat. Campuran antara takut dan nekat. Jantungnya berdebar kencang. Feng Yang mengumpulkan keberaniannya yang tersisa. Tapi serangan berikutnya membuatnya terjatuh lagi.
Hidungnya mencium bau darah saat salah satu Serigala menggigit lengannya. Rasa sakit yang mengerikan hampir membuatnya kehilangan kesadaran.
"Ini bukan akhir!" Gumamnya berusaha melawan dengan tenaganya yang nyaris tak tersisa. Namun itu tidak terlalu berguna. Perbedaan kekuatan membuat Feng Yan merasa sangat frustasi.
Dia merasakan kesadarannya hampir memudar. Tapi dengan keras kepala dia menggeretakkan giginya dan terus bertahan.
"Aku pasti akan bertahan." Sebuah cahaya samar memancar dari dalam dirinya. Melawan kegelapan yang perlahan menenggelamkannya.
Di ambang kematian Feng Yan terhuyung mempertaruhkan segalanya. Di saat saat terakhirnya harapan dan keputusasaan bertemu menciptakan kekuatan yang tak terduga.
Dia berjuang sekuat tenaga, ingin membuktikan jika dirinya bukanlah mangsa yang mudah. Namun apa daya. Tubuhnya sudah benar benar lelah dan perlahan kesadarannya pun mulai menghilang. Tapi sebelum dia benar benar kehilangan kesadaran dia mengatakan sesuatu.
"Hei manik hijau, aku tidak tahu sebenarnya dirimu itu jiwa beladiri macam apa, tapi buatlah dirimu berguna setidaknya satu kali ini saja." Ucapnya. Setelah itu dia benar benar pingsan dan matanya mulai tertutup rapat.
Di dalam jiwanya. Manik hijau mulai bergetar. Seolah menanggapi keinginan Feng Yang, manik hijau itu meletus dengan cahaya hijau keemasan yang sangat terang.
BOM!
Seketika gelombang kejut yang luar biasa dahsyat menyebar ke segala arah. Para monster Serigala yang tadinya sudah siap memangsa Feng Yan pun terpental sejauh 10 meter. Begitu juga dengan dua Serigala lainnya yang belum bertindak.
Merasakan kekuatan asing yang sangat mengerikan, keempat monster itu gemetar ketakutan. Meraka ingin berlari tapi hak yang mengejutkan terjadi.
Cahaya hijau keemasan yang keluar dari tubuh Feng Yan mengunci empat monster itu. Detik berikutnya hal yang mengejutkan terjadi.
Sinar hijau keemasan itu mulai membungkus tubuh empat monster Serigala dan detik berikutnya darah dan daging dan organ mereka di serap dan di murnikan menjadi energi Qi yang perlahan masuk ke salam tubuh Feng Yan. Menyisakan empat kerangka yang terbungkus oleh kulit merah.
Hal ajaib pun terjadi...
Bab 3. Melanjutkan Perjalanan.
Setelah keempat monster serigala terjatuh dan berubah menjadi kerangka yang terbalut kulit merah tipis, pagi mulai menjelang di hutan sunyi. Feng Yan perlahan membuka matanya, merasakan kehangatan matahari menyapa wajahnya. Dia terkejut mendapati semua luka yang menghantuinya telah sembuh total. Kulitnya kembali utuh, dan rasa sakit yang pernah menyiksanya kini lenyap.
Dengan rasa bingung, Feng Yan bangkit dan memandang sekeliling. Dia tidak sepenuhnya ingat apa yang terjadi sebelum dia pingsan, tetapi satu hal yang pasti: dia masih hidup. Rasa syukur mengalir dalam dirinya, menyadari bahwa dia telah selamat dari pertarungan yang hampir merenggut nyawanya.
Di dalam lautan jiwanya, manik hijau kini kembali tenang, seolah mengingatkan bahwa dia memiliki kekuatan baru di dalam dirinya. Menatap kerangka-kerangka monster yang tergeletak, Feng Yan merasa lega. Mereka adalah ancaman yang hampir mengakhiri hidupnya, dan kini hanya sisa-sisa dari kekuatan yang pernah menakutkan.
Dia menggelengkan kepala, mencoba mengingat apa yang terjadi. Dengan suara pelan, dia mulai berbicara pada dirinya sendiri, “Apa yang sebenarnya terjadi? Aku ingat bertarung, tapi kemudian… semuanya gelap.”
Dia menarik napas dalam-dalam, merasakan kehangatan matahari di wajahnya. “Tapi aku masih hidup. Ini adalah kesempatan kedua. Aku tidak bisa menyia-nyiakannya.”
Feng Yan menatap manik hijau di dalam lautan jiwanya, merasakan energi yang tenang. “Terima kasih. Entah bagaimana kamu menyelamatkanku. Aku tidak tahu apa yang akan datang, tapi aku bersyukur untuk setiap detik yang diberikan.”
Dengan tekad yang baru, dia menatap kerangka-kerangka monster itu dan berkata, “Kau akan membantuku dalam perjalanan ini.” Dia mulai memungut kulit-kulit monster tersebut, merobeknya dengan hati-hati. Kulit merah yang kuat itu akan dijadikannya mantel, pelindung dalam perjalanan yang penuh bahaya.
“Mungkin aku belum sepenuhnya memahami kekuatan ini, tapi aku akan belajar. Tidak ada yang bisa menghentikan ku lagi.”
Dalam sekejap mata tiga hari berlalu begitu saja. Feng Yan terus berjalan dengan kewaspadaan yang tinggi. Belajar dari pengalaman sebelumnya. Matanya selalu menatap sekeliling dengan waspada. Untungnya tidak ada satu monster pun yang mendekat.
Keheningan yang mencekam di Hutan Senyap benar benar sesuai dengan rumornya. Tiga hari kembali berlalu dengan cepat, namun Feng Yan tidak merasakan sedikit pun kelegaan. Sebaliknya, keheningan yang melingkupi dirinya justru membuatnya semakin waspada.
Ia tahu, dari pengalaman sebelumnya, bahwa keheningan yang sempurna sering kali menandakan bahaya tersembunyi.
Hutan Senyap, sesuai dengan namanya, benar-benar sunyi. Tidak ada angin yang berbisik, tidak ada suara satupun hewan, seolah-olah seluruh hutan menahan napas dalam kekosongan misterius.
Satu-satunya yang terdengar adalah suara langkahnya yang teredam oleh tanah lembut dan dedaunan kering yang sesekali ber gemerisik di bawah kakinya.
Pepohonan menjulang tinggi, cabang-cabangnya saling menjalin, menciptakan kanopi yang menghalangi sinar matahari untuk menyentuh tanah. Hawa dingin merayap melalui udara, membelai kulit Feng Yan dengan dingin yang menembus hingga tulang.
Bayangan gelap menari-nari di antara cabang-cabang, seakan-akan ada mata yang mengawasinya dari kejauhan. Feng Yan bergerak dengan langkah hati-hati, matanya tak pernah berhenti mengawasi sekeliling.
Pengalaman sebelumnya mengajarkannya bahwa tempat yang terlalu tenang sering kali menyembunyikan sesuatu yang berbahaya. Monster atau sesuatu yang lebih buruk bisa muncul kapan saja, terutama di tempat seasing ini.
Selama tiga hari, tidak ada tanda-tanda kehidupan, tidak ada makhluk yang melintas, dan itulah yang semakin membuatnya cemas. Setiap langkahnya terasa seperti sebuah taruhan dengan nasib, seolah ada kekuatan tak kasatmata yang menanti kesalahannya.
Kelelahan mulai merayapi tubuh dan pikirannya, namun Feng Yan tahu bahwa satu detik kelengahan bisa membahayakan nyawanya. Setiap suara sekecil apapun ditangkap oleh telinganya, tetapi hanya keheningan yang menjawabnya.
"Hutan ini terlalu tenang," Gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Ingatannya kembali ke pertempuran sebelumnya, di mana keheningan serupa melingkupi mereka sebelum segerombolan monster muncul dari balik bayang, menyerang tanpa peringatan.
Kecerobohan saat itu hampir merenggut nyawanya, dan kini, kenangan itu terus menghantuinya, menjaga kewaspadaannya tetap tinggi.
Feng Yan berhenti sejenak di sebuah celah di antara dua pohon besar, mencari tempat yang dianggapnya cukup aman. Dia mengambil pisau kecil dari sarung di pinggangnya, mengukir tanda di batang pohon sebagai penanda perjalanannya—sebuah kebiasaan yang selalu dilakukannya agar ia bisa melacak jejak dan menyadari perubahan di sekitarnya. Setelah itu, dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang tegang.
Namun, keheningan itu tiba-tiba pecah. Dari kejauhan, terdengar suara gemerisik yang berbeda dari suara alami hutan. Mata Feng Yan menyipit, tubuhnya secara otomatis memasuki mode siaga penuh.
Tangannya dengan cepat meraih pedangnya yang berat, bersiap untuk apa pun yang mungkin muncul dari kegelapan. Suara itu berhenti sejenak, lalu hilang, seolah lenyap bersama angin.
"Tidak mungkin hanya angin," pikirnya, tubuhnya tegang. Dia tahu ini bisa menjadi taktik musuh, keheningan diikuti oleh gerakan yang hampir tak terdeteksi.
Terkadang, makhluk-makhluk di hutan ini menunggu korbannya untuk lengah, lalu menyerang dengan kecepatan yang mematikan. Feng Yan tahu bahwa ia harus tetap waspada, meski kelelahan mulai menggerogoti kekuatannya.
Lapar dan haus semakin memperburuk keadaan. Perutnya terasa kosong, dan tenggorokannya kering, namun ia menyingkirkan rasa itu. "Lapar dan haus... itu tidak penting. Aku harus bertahan," gumamnya dengan nada penuh tekad.
Feng Yan selalu percaya bahwa rasa sakit fisik bisa diabaikan, namun luka yang tak terlihat. Rasa diremehkan dan diabaikan oleh orang-orang yang seharusnya mendukungnya.
Itulah yang membakar semangatnya untuk bertahan hidup. Rasa sakit emosional itu jauh lebih menyakitkan daripada sekadar rasa lapar.
Tiba-tiba, telinganya menangkap suara samar. Bukan gemerisik yang aneh seperti sebelumnya, melainkan gemericik air, jauh di kejauhan. Jantungnya berdegup lebih cepat.
"Apakah itu... air?" Gumamnya, harapan muncul seketika. Suara air yang mengalir deras, seperti air terjun. Dia segera bergerak ke arah suara tersebut, meski kelelahan hampir melumpuhkan tubuhnya. Semakin dekat dia melangkah, semakin jelas suara itu terdengar deru air jatuh yang membahana.
"Air terjun!" Pikirnya, rasa lega mulai menggantikan cemasnya.
Setelah beberapa menit berjalan, Feng Yan akhirnya tiba di sebuah celah di antara pepohonan yang lebat, dan di sana dia melihatnya
Sebuah air terjun kecil yang mengalir deras dari tebing batu, menciptakan kolam jernih di bawahnya. Air itu berkilauan di bawah cahaya yang menerobos kanopi, seperti permata yang memantulkan sinar.
“Akhirnya… air!” Serunya dalam hati, senyumnya merekah untuk pertama kalinya dalam beberapa hari. Tanpa ragu-ragu, dia berlari ke tepi kolam, membiarkan tubuhnya jatuh di tanah.
Tangannya langsung meraup air jernih itu, meminumnya dengan rakus. Setiap tegukan membawa sensasi dingin dan segar, seolah-olah kehidupan sedang mengalir kembali ke dalam tubuhnya.
Setelah puas meminum, Feng Yan duduk di tepi kolam, membiarkan angin sejuk menyapu tubuhnya yang lelah. Rasa syukur menyelimuti hatinya, dan untuk sesaat, dia tertawa kecil.
"Aku berhasil menemukannya… ini seperti keajaiban." Ucapnya pelan. Alam, meski penuh dengan bahaya, tampaknya masih memberi sedikit kelonggaran untuknya. Perjalanan yang berat ini mengajarkannya banyak hal, tetapi pada akhirnya, dia tahu bahwa selama dia bertahan, selalu ada harapan di ujung jalan.
"Terima kasih." Bisiknya pada air terjun itu, seolah alam memberikan jawabannya. Tekadnya untuk terus maju semakin kuat, karena di dalam dirinya, ia tahu bahwa ia tidak bisa berhenti sekarang.
Bahaya mungkin masih mengintai di balik keheningan hutan, tetapi Feng Yan siap untuk menghadapi apa pun yang datang.
Sementara itu Di Kediaman keluarga Cabang Klan Feng.
Di dalam aula besar keluarga Feng, suasana mencekam, seolah-olah setiap inci udara berat mengikat semua yang hadir dalam kecemasan. Feng Han, kepala keluarga Feng yang biasanya penuh wibawa, duduk di kursinya dengan pandangan kosong. Wajahnya tampak tegar, namun tak mampu menyembunyikan kegelisahan yang menggulung di dalam dadanya.
Pagi itu, berita tentang hilangnya Feng Yan menyebar cepat di seluruh keluarga. Bukan sekadar hilangnya seorang anggota keluarga, melainkan seorang anak yang, meskipun tidak memiliki kejeniusannya seperti saudara-saudaranya, tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari keluarga Feng. Kehilangan ini menciptakan ketidakpastian yang mengganggu rencana dan ambisi masa depan keluarga.
Di sekeliling meja besar di tengah aula, saudara-saudara Feng Han—Feng Kun, Feng Heng, Feng Ma, dan Feng Guo—berdiri dalam kecemasan. Tak satu pun dari mereka mampu menyembunyikan kekhawatiran yang tergurat di wajah mereka. Biasanya penuh percaya diri dan wibawa, kali ini mereka terdiam, seolah-olah kata-kata telah kehilangan maknanya di tengah rasa khawatir yang menyelimuti mereka.
Feng Kun, yang biasanya tegas dan berani, hanya bisa berdiri dengan kening berkerut, memikirkan apa yang mungkin terjadi pada Feng Yan. Meski dia tahu bahwa Feng Yan tidak pernah menjadi yang paling berbakat, tidak pernah mencapai prestasi gemilang seperti saudara-saudaranya, namun dia adalah anggota keluarga Feng. Dia adalah darah daging mereka.
Feng Heng, yang terkenal cermat dan analitis, berdiri dengan tangan terlipat, memandangi lantai dengan sorot mata yang penuh pikiran. Bagaimana mungkin Feng Yan yang selalu sederhana dan pendiam bisa menghilang tanpa jejak? Berbagai skenario muncul di benaknya, tetapi tidak ada yang menawarkan penjelasan yang menenangkan.
Feng Ma, biasanya yang paling ceria di antara mereka, tampak murung. Dia menggigit bibirnya, mencoba menahan perasaan takut yang menjalar dalam dirinya. Feng Yan mungkin tidak pernah sehebat mereka dalam hal kecerdasan atau kemampuan bela diri, tetapi dia selalu memiliki semangat yang kuat. Kehilangannya, meskipun tidak mempengaruhi kekuatan keluarga secara langsung, tetap terasa menghantam hati mereka semua.
Feng Guo, yang selalu berbicara dengan semangat dan kemarahan, kali ini hanya terdiam, menggertakkan rahangnya. Dia tahu Feng Yan sering diremehkan karena tidak secerdas mereka, tetapi tidak pernah terpikirkan bahwa Feng Yan akan menghadapi sesuatu seperti ini.
Rasa frustrasi dan kekhawatiran bercampur aduk dalam pikirannya, membayangkan kemungkinan terburuk.
Suasana hening dan tegang di dalam aula mendadak terpecah ketika Feng Han, dengan wajah serius, memecah keheningan. Dia mengeluarkan sebuah surat dari saku jubahnya dan mengangkatnya di hadapan saudara-saudaranya.
"Ini adalah surat dari Yan'er," Ucapnya dengan suara bergetar.
Semua mata terfokus pada surat yang dipegang Feng Han. Dia membuka perlahan kertas itu, menghirup napas dalam-dalam sebelum mulai membaca isi surat yang kini menjadi satu-satunya petunjuk tentang keberadaan putranya.
Surat Feng Yan:
Ayah, Paman, dan semua saudara-saudaraku,
Aku tahu bahwa selama ini aku tidak pernah menjadi yang terbaik di antara kalian. Aku bukan yang paling berbakat, bukan yang paling pintar, dan aku tidak pernah mencapai prestasi gemilang seperti saudara-saudaraku yang lain. Aku selalu menjadi yang terbelakang, yang dianggap lemah.
Aku minta maaf karena kelemahanku selama ini telah membuat keluarga merasa kecewa. Tapi aku tidak bisa terus-menerus hidup dalam bayang-bayang ketidakmampuanku. Keputusan untuk pergi adalah jalanku untuk memperbaiki diri, untuk menemukan kekuatan yang selama ini tidak bisa aku temukan di sini.
Meskipun aku tidak sehebat saudara-saudaraku, aku tetap bertekad untuk menjadi lebih kuat. Aku tidak ingin menjadi beban bagi kalian, apalagi bagi keluarga Feng. Suatu hari nanti, jika aku masih hidup dan berhasil, aku berjanji akan kembali sebagai seseorang yang layak untuk dihormati. Sebagai seseorang yang mampu membanggakan kalian.
Maafkan aku untuk segala kekecewaan yang aku buat, dan tolong doakan agar aku berhasil menemukan jalan yang benar.
Feng Yan
Saat Feng Han selesai membaca surat itu, suasana aula kembali diliputi keheningan yang mencekam. Meskipun Feng Yan tidak pernah dianggap sebagai penerus utama keluarga Feng, surat ini memperlihatkan keinginannya untuk membuktikan bahwa dirinya juga mampu menjadi sesuatu yang lebih. Di dalam surat itu terdapat keberanian, harapan, dan rasa putus asa yang selama ini mungkin tak pernah mereka lihat dari dirinya.
Kini, keluarga Feng hanya bisa berharap bahwa di mana pun Feng Yan berada, dia akan menemukan kekuatan yang dia cari, dan suatu hari akan kembali sebagai seseorang yang layak dihormati.
Sementara itu, Feng Tian, Feng Zhen, dan Feng Chen berdiri dalam keheningan yang penuh penyesalan setelah mendengar isi surat dari Feng Yan. Meskipun mereka selama ini sering mengejek dan meremehkan Feng Yan, itu semua hanyalah naluri anak-anak yang belum dewasa dan berpikiran pendek.
Mereka tidak pernah bermaksud menyakiti perasaan saudaranya, semua itu dianggap sebagai candaan belaka. Namun kini, perasaan bersalah menyelimuti hati mereka ketika menyadari betapa seriusnya keadaan.
Feng Tian menundukkan kepala, merasa sangat bersalah.
"Seharusnya aku lebih mendukung saudara Yan. Selama ini aku menganggap dia lemah, padahal mungkin dia hanya butuh waktu untuk menemukan jati dirinya.” Suaranya penuh penyesalan, seolah-olah ia ingin mengubah semua yang telah terjadi.
Feng Zhen menggelengkan kepala, mencoba menahan air mata.
"Aku selalu berpikir kami bisa terus bersenang-senang tanpa memikirkan perasaannya. Sekarang aku menyesal telah mengabaikannya." Perasaan hampa menyelip di hatinya saat ia teringat akan semua saat-saat yang mereka lewati bersama.
Feng Chen, yang biasanya ceria dan energik, kini tampak lesu.
Kita seharusnya lebih peka terhadap perasaannya. Sekarang, semua yang kita lakukan terasa sia-sia,” Ujarnya, suaranya pelan dan penuh kesedihan.
Dia menyadari bahwa kehadiran Feng Yan sangat berharga dan merasa kehilangan yang mendalam. Feng Yan adalah sosok yang selalu bersemangat sabar dan tidak pernah marah.
Di sisi lain, Feng Xiao Lan merasa lebih cemas dan khawatir dibandingkan ketiga saudaranya. Tubuhnya gemetar dan hatinya terasa sakit melihat saudaranya pergi meninggalkan rumah.
Pikiran-pikiran gelisah menghantuinya.
"Bagaimana saudara Yan bisa bertahan? Di mana dia tidur dan makan? Bagaimana jika ada orang jahat yang mengganggu dan menindasnya? Aku harus menjadi lebih kuat dan mencari saudara Yan." Gumamnya dengan penuh tekad.
Sejak saat itu, Feng Xiao Lan berubah. Dia berlatih dengan sangat keras, dan sifatnya yang dulunya ceria kini menjadi lebih dingin. Hanya kepada Feng Tian, Feng Zhen, dan Feng Chen, ia tetap bersikap biasa, meskipun para saudaranya menyadari perubahan yang terjadi pada dirinya.
Mereka maklum akan perubahan itu, terutama karena betapa dekatnya dia dengan Feng Yan. Terutama jika ada yang membicarakan hal buruk tentang Feng Yan, Feng Xiao Lan tidak segan-segan menunjukkan kemarahannya.
Dengan kekuatan es yang dimilikinya, ia bisa membekukan lawan bicaranya seolah-olah ingin mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang boleh meremehkan saudaranya. Kekuatan dan tekad yang baru lahir dalam dirinya menjadi cerminan cinta dan rasa sayangnya yang mendalam kepada Feng Yan.
Kembali ke Hutan Senyap.
Hutan Senyap adalah tempat yang mencekam, dipenuhi bayang-bayang dan bisikan angin yang seolah menyimpan rahasia kelam. Pepohonan tinggi menjulang dengan cabang-cabang melengkung seperti tangan raksasa, seakan ingin merenggut siapa pun yang melintas.
Cahaya matahari hanya dapat menembus ke dalam hutan dengan sulit, menciptakan suasana gelap dan misterius. Suara binatang buas kadang terdengar jauh, menambah kesan angker yang mengelilingi Feng Yan.
Namun, di tengah suasana yang menakutkan itu, Feng Yan merasa hatinya berdebar-debar penuh kegembiraan ketika akhirnya menemukan air terjun yang megah. Suara gemuruh air terjun yang jatuh menyentuh batuan di bawahnya adalah melodi yang sangat dinantikan setelah perjalanan panjang dan melelahkan.
Melupakan semua rasa takut yang menyelimuti hutan, dia mendekati kolam yang jernih dan mengisi telapak tangannya dengan air dingin. Tanpa ragu, dia meminumnya sebanyak-banyaknya, merasakan kesegaran yang menjalar ke seluruh tubuhnya.
Kesejukan air itu seolah menghapus semua rasa takut dan kelelahan yang menyelimutinya. Dia berteriak dengan gembira.
“Ini luar biasa!” Lagi lagi kata itu terucap dari bibirnya. Tidak memperhatikan suasana sekeliling yang mencekam, Feng Yan melepas pakaiannya dan melompat ke dalam sungai yang bening.
Air dingin menyambutnya, membelai kulitnya dan menghilangkan semua beban yang mengikatnya. Dia berenang dengan ceria, seolah-olah tidak ada yang bisa menghentikannya.
Setelah beberapa waktu bermain-main di dalam air, Feng Yan merasa perlu untuk mencuci kulit monster serigala yang berhasil dia buru sebelumnya. Dengan tekad, dia merendam kulit itu dalam air, menggosoknya dengan hati-hati sambil merasakan ketegangan dan ketakutan hutan yang mulai pudar.
Setelah selesai membersihkan kulit tersebut, ide untuk bereksperimen muncul di pikirannya. Dia ingin merajut kulit monster serigala itu menjadi mantel pelindung yang kuat.
Feng Yan duduk di tepi sungai, mengumpulkan energi Qi yang ada di sekitarnya. Dia mulai membentuk benang energi dari Qi, berusaha merajutnya perlahan-lahan ke dalam kulit monster. Namun, karena kekuatan Qi-nya masih lemah, dia berkali-kali mengalami kelelahan.
Energi Qi yang dia kumpulkan memudar dengan cepat, meninggalkan Feng Yan kehabisan tenaga. Dia berjuang memadatkan energi Qi dari alam sekitar, tetapi tubuh dan tingkat kultivasinya masih lemah sehingga kontrolnya saat memanipulasi energi juga sangat buruk.
Setelah beberapa kali istirahat, Feng Yan terus berusaha, mengatur napas dan memfokuskan pikirannya. Dia merajut benang energi dengan sabar, meski rasa lelah mulai menguasainya. Waktu berlalu, dan selama lima jam, dia terus berjuang, berkali-kali terjatuh dalam keletihan namun bangkit kembali dengan semangat yang tidak padam.
Akhirnya, setelah perjuangan yang panjang dan melelahkan, Feng Yan merasakan keberhasilan. Mantel dari kulit monster serigala itu benar-benar selesai dibuat. Dia memandang hasil kerjanya dengan penuh rasa bangga dan kepuasan.
Mantel merah itu berkilau di bawah cahaya sinar matahari. Bahkan ada semacam energi panas dari elemen api yang masih tersisa, Mantel itu kuat dan siap melindunginya dari segala ancaman di Hutan Senyap.
Dengan semangat baru dan rasa syukur, Feng Yan bersiap untuk melanjutkan petualangannya. Dia tahu bahwa meskipun Hutan Senyap mungkin menyimpan kegelapan.
Kehadiran air terjun yang menakjubkan ini dan mantel yang telah dibuatnya memberinya kekuatan dan ketenangan. Dengan keberanian dan semangat, dia siap menghadapi tantangan yang menantinya di luar sana.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!