NovelToon NovelToon

Malam Yang Merenggut

bab

Terdengar Musik yang terus di putar dengan kencang di sebuah bar hotel, disertai dengan banyaknya wanita cantik yang menikmati serta berjoget dengan riang. Malam yang penuh dengan kegembiraan, yang tak lain adalah sebuah pesta bujang seorang gadis yang akan segera menikah dengan pujaan hatinya. Ia bernama Dara Adrianna Fauza, gadis cantik dan manis, anak sulung seorang pengusaha sukses.

"Dar, gue ngak nyangka banget Lo bakalan nikah. Selamat ya bestie?" Ucap salah seorang gadis yang merupakan teman SMA dara.

"Iya. Makasih yah bestie. Gue doain semoga Lo cepet nyusul yah? Biar gantian, gue yang di undang." Ucap Dara sambil tersenyum.

Dara yang merasa haus pun segera mengambil sebuah jus untuk di minum, ia pun meminumnya.

Pesta terus berjalan dengan lancar, semua teman dara menikmati pesta dengan bahagia. Seketika dara yang sedang bersama dengan teman-temannya pun menjadi pusing. Mata menjadi sangat berat, pandangannya buram. Dara memilih untuk menjauh dari keramaian dan memilih duduk untuk rebahan. Saat hendak duduk, Dara yang tak bisa menahannya pun terjatuh tak sadarkan diri di sebuah sofa.

Tiba-tiba mata Dara terbuka sedikit, ia sedikit sadar dan melihat dirinya sudah berada di sebuah kamar. Dalam pandangannya yang buram, ia melihat seorang pria mendekat padanya dan meniduri dirinya di atas kasur. Pria itu terus memaksakan dirinya pada Dara. Ia terus menciumi dara terus menerus. Dara yang setengah sadar terus menerus merontak, berusaha melepaskan dekapan pria itu.

"Jangan, tolong jangan lakukan ini. Tolong lepasin aku."ucap dara yg kini air matanya sudah mengalir.

Pria itu tak menghiraukan Dara, ia terus beraksi dengan hawa nafsunya. Kini dara merasakan kesakitan karena dorongan kuat pria itu.

"Hentikan. Ahhk..."desis Dara.

Pria itu terus melakukan dorongan terus menerus hingga mencapai kenikmatan. Dara hanya pasra dengan apa yang terjadi. Ia tidak tau siapakah pria yang telah merenggut kehormatannya. Pria itu sejenak berhenti dan berbisik pada Dara.

"Kamu tenang saja, aku akan bertanggung jawab."ucap pria itu dan langsung melanjutkan aksinya lagi.

Selang beberapa menit berlalu kini pria itu sudah selesai dan membersihkan dirinya. Dara di tinggal terengah-engah. Namun tak kuat untuk membuka matanya lagi. Ia pun kembali tak sadarkan diri.

5 jam berlalu, jam kini menunjukkan pukul 06.00. Dara pun sadar dan terkejut mendapati dirinya tanpa busana dan hanya di selimuti di kamar hotel. Dara menangis sejadi jadinya karena kehormatannya kini sudah di renggut oleh seorang pria tidak dikenal. Ia bingung apa yang harus ia katakan pada keluarganya, terlebih pada calon suaminya. Padahal ia akan segera menikah dan membangun rumah tangga bersama pujaan hatinya. Tapi sangat di sayangkan, hal menjijikkan ini terjadi padanya.

"Ini ngak mungkin, ini ngak mungkin terjadi." Ucap Dara dengan tangisan.

"Siapa dia? Siapa yang tega lakuin ini sama aku? Siapa?"ucap Dara histeris dan terlihat sangat kacau.

Dara pun memilih membersihkan dirinya dan segera pulang.

Sesampainya di rumah, baru saja masuk, Dara di sambut dengan tamparan keras oleh ayahnya. Saking kerasnya sampai Dara tersungkur di lantai. Pipinya menjadi merah.

"Dasar anak kurang ajar. Tidak tau malu. Berani-beraninya kamu pulang ke sini setelah menghabiskan malam di hotel bersama laki-laki lain."ucap papanya Dara yang bernama Arman Abhimana Fauza, Seorang pengusaha sukses. Papanya terlihat sangat marah.

Dara terkejut karena papanya bisa tau apa yang terjadi.

"Sini kamu."ucap Arman menarik kasar Dara.

"Apa yang ada di dalam pikiran kamu? Sampai kamu melakukan hal menjijikkan seperti ini. Memalukan. Kamu ngak mikirin repotasi keluarga ini? Apalagi kamu itu akan segera menikah. Kamu ngak mikirin perasaan Aldo? Gimana perasaan Aldo sama keluarganya?"ucap Arman.

Dara hanya menunduk dan tak mampu menatap mata papanya. Hanya air mata yang terus mengalir membasahi pipinya. Mata Dara sampai bengkak karena menangis.

Arman langsung melempar beberapa foto pada Dara, foto dirinya bersama seorang pria di kamar hotel. Entah siapa yang memberikan foto-foto itu pada Arman. Apa ini sebuah siasat?...

"Pa, papa jangan marah gitu sama kak Dara. Kita dengerin dulu penjelasan kak Dara, mungkin aja kak Dara ngak tau apa-apa, dan mungkin aja kak Dara itu korban." Ucap gadis itu yang merupakan adik tiri Dara yang bernama Ayra Shirly Fauza.

Ayra yang hendak memeluk dara pun langsung di dorong oleh Dara.

"Kamu jangan pura-pura ngak tau Ra. Kamu jelas tau apa yang terjadi dan kenapa kejadian ini bisa terjadi?" Ucap Dara dengan wajah marah.

"Maksud kakak apa? Aku ngak ngerti?" Tanya Ayra.

"Tega banget kamu lakuin ini sama kakak kamu, tega kamu" ucap dara yang terus menangis sambil mendorong Ayra.

"Udah stop Dara. Kenapa kamu malah menuduh Ayra? Udah jelas-jelas kamu yang salah." Ucap Arman.

"Kok kakak ngomongnya kayak gitu? Aku ngak tau apa-apa kak. Oke mungkin maksud kakak, aku salah karena udah bikin pesta itu, yang akhirnya membuat hal ini terjadi. Tapi gimana aku bisa tau kak, kalau akan ada kejadian seperti ini? Aku cuman pengen bikin pesta itu untuk kakak, merayakan kebahagiaan, karena kakak akan menikah. Lagian dari semalam aku nyariin kakak, tapi aku sama sekali ngak tau kakak ada dimana. Semua teman-teman kakak juga ikut nyariin. Sampai akhirnya foto itu datang dan!" Ucap Ayra terhenti.

"Udah. Ayra, kamu jangan jelasin apa-apa sama dia. Udah salah malah menyalahkan orang lain. Sekarang kamu pergi dari sini"ucap Arman.

"Pa, tolong jangan usir aku pa. Semua ini bukan salah aku pa, aku ngak tau apa-apa. " Ucap Dara memohon.

"Keluar kamu dari rumah ini. Mulai sekarang kamu bukan siapa-siapa lagi. Kamu bukan lagi anak saya. Saya ngak rela punya anak kayak kamu. keluar" ucap Arman.

Dara pun di tarik keluar oleh satpam serta semua kopernya. Dara hanya pasra.

"Jangan ada yang menyebut nama wanita itu di rumah ini, karena wanita yang bernama Dara itu sudah mati. Ngerti?" Ucap Arman kepada Ayra serta para pelayannya.

"Akhirnya, semua rencana aku berhasil juga" batin Ayra dengan senyuman licik saat melihat Dara di usir.

Ternyata Ayra adalah dalang di balik kejadian yang menimpah Dara. Ia sengaja melakukannya agar pernikahan Dara batal. Ayra sangat iri sama Dara karena Dara akan menikah dengan anak pengusaha terbesar Indonesia. Ia tak ingin Dara mendapati hidup mewah, sedangkan dirinya tidak. Apalagi Ayra sudah naksir berat dengan calon suami Dara saat pertama kali mereka bertemu saat Dara mengenalkan pada keluarganya.

Bahkan ia semakin benci karena keluarga kedua belah pihak menyetujui hubungan mereka, hingga akhirnya akan menikah. Tapi sayang, kebencian Ayra mengubah segalanya.

Prov Dara...

Dara hanya menangis sepanjang perjalanan. Ia pun berhenti dan duduk di halte. Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di hadapannya.

"Dara?"ucap seorang gadis yang keluar dari mobil itu dan langsung menghampiri Dara. Ternyata dia adalah Aleta Rosalie Rawal, sahabat baik Dara.

"Aleta?"ucap Dara yang juga terkejut.

"Lo dari mana aja? Semalam gue sama yang lain nyariin Lo, Lo ngakpapa kan?" Ucap Aleta cemas.

"Iya, gue ngakpapa."ucap Dara singkat.

"Terus ini apa? Kenapa Lo bawa koper?" Tanya Aleta.

"Gue, gue diusir sama bokap?"ucap dara.

"Di usir? Kenapa?"tanya Aleta.

"Ceritanya panjang. Nanti gue jelasin."ucap Dara seraya menghapus air matanya.

"Ya udah. Kalau gitu Lo ikut kerumah gue dulu. Yuk"ucap Aleta.

Dara langsung mengiyakan dan ikut bersama Aleta. Sesampainya di rumah Aleta, dara langsung masuk dan di sambut oleh adik Aleta yang bernama Rani Zulfa Rawal.

"Halo kak."ucap Rani menyapa.

"Halo Ran. Maaf ya jadi ngerepotin?"ucap Dara sambil duduk di sofa.

"Ngak kok kak, sama sekali ngak ngerepotin. Kakak mau minum apa? Biar aku bikinin?" Tanya Rani.

"Ngak usah Ran."ucap Dara menolak.

"Kenapa ngak sih Dar? Lo itu kelihatan lemes banget. Biar gue siapin makan buat Lo."ucap Aleta dan langsung berjalan menuju dapur.

"Ngak usah Ta, gue ngak mau ngerepotin Lo."teriak Dara.

Selang beberapa menit, Aleta datang membawa makanan dan minuman untuk Dara.

"Nih, sekarang lo makan yang banyak biar Lo ada tenaga. Lo tuh lemes banget tau ngak. Muka Lo juga pucat."ucap Aleta.

"Ini semua ngak perlu Ta. Gue juga ngak laper, ngak nafsu makan pula."ucap Dara.

"Udah. Ngak usah banyak alasan. Makan "ucap Aleta memaksa.

Dara pun terpaksa nurut untuk makan.

Setelah selesai makan, Dara langsung mandi. Usai mandi Dara pun duduk di ruang keluarga bersama Aleta dan Rani.

"Ta, nyokap bokap Lo mana? Dari tadi gue ngak lihat"tanya Dara.

"Nyokap bokap udah berangkat tadi subuh keluar kota. Bokap gue lagi ada pertemuan penting sama kliennya, jadi nyokap juga ikut buat nemenin. Palingan cuman 3 hari doang, setelah itu balik"ucap Aleta.

"Oh gitu."ucap Dara.

"Sekarang gue mau nanya sama Lo. Lo kenapa sampai bisa di usir sama bokap Lo? Apa coba alasannya?"tanya Aleta.

Terlihat Dara tengah duduk di sofa bersebelahan dengan sahabatnya Aleta. Dara pun menceritakan segalanya kepada Aleta. Alhasil Aleta sangat marah.

"Jelas-jelas Ayra yang maksa Lo ke tempat itu, tapi kenapa Lo yang sepenuhnya disalahkan? Kejadian ini ngak akan pernah terjadi kalau Ayra ngak maksain buat bikin pesta itu. Kentara banget kalau bokap Lo itu pilih kasih." Ucap Aleta.

Dara diam sembari memeluk lututnya. Ia sedikitpun tak menanggapi apa yang dikatakan Aleta. Sebab ia sudah tahu bahwa sang ayah dari dulu lebih menyayangi Ayra dibandingkan dirinya. Bertahun-tahun hidup bersama, ada beberapa hal yang selalu terjadi di kediaman Fauza.

Jika Dara menginginkan sesuatu, Ayra pasti akan memintanya. Disaat itu, Arman pasti memaksa Dara untuk mengalah dan memberikan miliknya kepada Ayra. Jika Ayra melakukan kesalahan, Dara lah yang akan dihukum dengan alasan tidak memerhatikan dan menjaga adiknya.

Semua yang Dara miliki harus Ayra dapatkan dan semua yang Ayra miliki tidak boleh dimiliki oleh Dara. Hanya benda yang tidak Ayra inginkan yang bisa menjadi milik Dara. Karena hal-hal itu, Dara dan ayra memiliki penampilan dan sikap yang jauh berbeda. Dara sederhana dan pendiam, sedangkan Ayra glamor dan keras kepala. Kalau diumpamakan, Dara terlihat seperti anak pelayan dan Ayra adalah anak majikannya.

Anda mama masih hidup dan papa tidak menikah lagi. Apa perlakuan papasama aku akan berbeda? Pertanyaan seperti itulah yang sering kali melambung dibenak Dara.

Vina Regina Vandella, ibu kandung Dara dan istri pertama Arman, meninggal karena sakit keras saat Dara baru berusia 3 tahun. Walaupun samar, tapi Dara ingat bagaimana ibunya itu mewasiatkan dirinya untuk selalu menurut dan patuh kepada sang ayah. Itulah alasan Dara tak banyak menuntut kepada Arman. Namun saat ini, apa Dara bahkan tidak berhak menuntut keadilan? Ingin menyalahkan siapapun juga sama saja. Nasi sudah menjadi bubur. Kesucian Dara tidak akan bisa kembali, sang ayah juga sudah mengusirnya, bahkan calon suaminya sudah enggan bertemu dengannya.

Melihat kesedihan Dara yang mendalam, Aleta merasa sangat prihatin, dia memeluk Dara dan berkata.

"Ngak peduli apa yang terjadi, gue akan selalu ada buat Lo Dar" ucap Aleta dan membuat mata Dara sontak berair. Gadis itupun mulai menangis sejadi jadinya dalam pelukan teman baiknya itu. Ayah kandungnya saja enggan untuk mendengarkan penjelasannya, sedangkan sahabatnya yang sama sekali tak ada hubungan darah lebih bersimpati kepadanya. Walau bersyukur, tapi hal ini membuat Dara sungguh sakit hati. Kenapa ayahnya begitu kejam?

Beberapa jam berlalu dengan Dara menangis dalam pelukan sahabatnya itu. Hanya ketika tangisannya berhenti barulah Aleta berujar.

"Sekarang Lo istirahat aja, Lo pasti capek" ucap Aleta.

Dengan mata bengkak, Dara membalas.

"Makasih banyak yah Ta? Lo emang sahabat terbaik gue. Gue berutang banyak sama Lo" ucap Dara.

bab

"Lo itu udah gue anggap sebagai saudara gue sendiri, jadi jangan bersikap sungkan sama gue. Yang penting sekarang Lo ngak usah mikir apapun dan Lo bisa tinggal disini selama yang Lo mau. Oke?" Ucap Aleta.

Mendengar hal itu, Dara mengangguk dan tersenyum tipis.

Disisi lain, di kediaman Fauza, terlihat Ayra sedang menelpon seseorang.

📞"Halo Za, gimana? Rasanya tidur sama kakak gue? Gue yakin pasti Lo menikmati banget kan malam itu?" Tanya Ayra kepada temannya Reza yang ia suruh untuk meniduri Dara.

📞"Menikmati apanya. Gue aja di rumah sakit karena babak belur. Ini semua gara-gara Lo" ucap Reza marah.

Seketika Ayra bingung..

📞"Maksud Lo apa sih Za? Kok bisa sih Lo babak belur? Kan Lo yang semalam tidur sama kak Dara?" Tanya Ayra.

📞"Gue semalam ngak tidur sama Dara. Semalam itu udah sesuai rencana, semuanya berjalan mulus, tapi tiba-tiba aja ada yang mukulin gue habis-habisan. Jadinya gue harus berakhir di rumah sakit. Tuh orang make topeng, jadi gue ngak tau siapa orangnya" ucap Reza menjelaskan.

📞"Terus kalau bukan Lo siapa dong yang nidurin kak Dara?"tanya Ayra.

📞"Mana gue tau. Pokoknya gue ngak mau tau ya Ra, Lo harus tanggung jawab sama kondisi gue ini, karena yang gue alamin ini semua gara-gara Lo."ucap Reza.

📞"Ih apaan sih? Enak aja. Ini semua salah Lo sendiri, ngak bisa belain diri. Jadi cowok kok lemes banget. Di pukulin langsung babak belur" ucap Ayra.

📞"Oke kalau Lo ngak mau, gue akan ngasih tau semuanya sama bokap Lo maupun Dara kalau yang terjadi sama Dara itu ulah Lo" ucap Reza mengancam.

📞"Oke oke. Gue akan tanggung jawab. Tapi Awas aja yah Lo kalau sampai buka mulut. Lo bakalan berurusan sama gue." Ucap Ayra kesal dan langsung menutup telponnya.

"Hiss,Nyebelin banget sih Reza. Ngak becus banget kerjanya. Tapi sebenarnya siapa pria itu? Siapa yang udah tidur sama kak Dara? Tapi ngak ada masalah juga sih, siapapun pria itu, dia udah sangat membantu dalam rencana gue. Walaupun bukan Reza, rencana gue tetap berhasil. Sekarang Kak Dara udah di usir dan ngak lagi di akuin sama papa. Di tambah lagi pernikahannya batal. Yang terpenting sekarang gue harus bisa meyakinkan papa agar bisa menggantikan posisi kak Dara, yaitu menikah dengan kak Aldo dan menjadi nyonya Meyson." Ucap Ayra tersenyum bahagia.

Kini dua Minggu berlalu sejak Dara tinggal di kediaman Rawal. Walau masih ada dimana dirinya diam-diam menangis, tapi senyuman yang lama hilang itu perlahan kembali muncul di wajah Dara.

Dalam dua Minggu ini, Dara sempat mencoba menghubungi Aldo. Walaupun dia tahu hubungan mereka tak akan pernah lagi bisa seperti dulu, tapi Dara ingin menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi sekaligus meminta maaf karena telah menyakiti dan mengecewakannya. Sayangnya, sepertinya Aldo telah memblokir semua kontak Dara. Oleh karena itu, Dara pun menyerah dan memutuskan untuk melupakan semuanya. Tak ingin terus berdiam dan membuat Aleta beserta keluarganya khawatir, Dara pun bergumam.

"Aku ngak boleh gini terus. Aku harus melakukan sesuatu" ucap Dara.

Dengan langkah yang lebih ringan dari hari-hari sebelumnya, Dara keluar dari kamar dan mencari sahabatnya Aleta. Ketika hampir sampai di lantai satu, Dara melihat Aleta dan Rani adik Aleta sedang menonton TV sambil marah-marah.

"Gila. Mereka tega banget lakuin ini sama Dara" ucap Aleta emosi.

Kemarahan mendalam dari ruang tamu kediaman Rawal. Kening Dara berkerut, bertanya-tanya kenapa Aleta serta Rani marah-marah. Alhasil ia pun lanjut menuruni tangga dan mengarahkan pandangan ke arah TV yang sedang ditonton oleh Aleta dan Rani.

Seketika mata Dara terbelalak kala melihat berita yang ditampilkan di TV.

(TIDAK JADI MENIKAH DENGAN PUTRI PERTAMA KELUARGA FAUZA, ALDO MARTIN MEYSON BERAKHIR MENGUMUMKAN RENCANA PERNIKAHANNYA DENGAN PUTRI KEDUA KELUARGA FAUZA, YAITU AYRA SHIRLY FAUZA)

Tampak sosok Ayra bersanding dengan Aldo sembari menunjukkan cincin pertunangan mereka kearah kamera. Senyuman lebar menghiasi bibir keduanya. Dara tak dapat mendengar jelas ucapan reporter berita. Gendang telinganya berdengung untuk sesaat selagi kepala Dara mendadak seperti berputar-putar.

"Kenapa Aldo bertunangan dengan Ayra?" Batin Dara dengan wajah sedih.

Selagi semua pertanyaan itu melambung di benak Dara, dia mendengar Aleta marah-marah dengan emosi menggebu.

"Dasar rubah licik. Gue yakin dari dulu Ayra emang udah mengincar Aldo. Berarti, apa yang terjadi sama Dara pasti ada hubungannya sama Ayra? Aldo juga, apa dia ngak tau dampak pengumuman ini untuk Dara? Apa dia ngak mikirin perasaan Dara? Kalau aja gue ketemu sama mereka berdua, gue bakalan ngasih mereka pelajaran" ucap Aleta emosi.

Suara Aleta yang semakin lama semakin tinggi membuat Rani mendelik.

"Jangan teriak-teriak kak, jangan sampai kak Dara denger"ucap Rani.

Mendadak ucapan Rani terhenti saat matanya mendarat pada sosok Dara yang membeku ditangga.

"Kak Dara" teriak Rani membuat Aleta mengikuti arah pandang sang adik dan spontan mematikan TV. Kakak adik itu membeku ditempat hingga Dara berjalan mendekat. Aleta dan Rani langsung berdiri dan menghampiri Dara.

"Dar, Lo jangan peduliin dua orang hina itu, oke? Mereka ngak pantes dipikirin" ucap Aleta sembari memegang tangan Dara.

"Itu bener kak, mereka emang ngak pantes" ucap Rani juga.

Sepasang kakak adik itu tampak menghibur Dara dengan panik. Mereka khawatir jika Dara kembali terpuruk karena berita pertunangan Aldo dan Ayra. Namun itu diluar dugaan keduanya, Dara malah tersenyum.

"Bisa ngak cariin gue pekerjaan?" Tanya Dara.

Aleta dan Rani terkejut dengan apa yang mereka dengar. Dara tersenyum tak berdaya melihat kedua kakak beradik itu.

"Gue rasa, sudah waktunya gue melakukan sesuatu. Ngak mungkin gue terus menerus menyusahkan kalian. Jadi, gue mutusin untuk kerja" ucap Dara.

"Dar, Lo itu ngak pernah menyusahkan gue sama Rani. Jadi Lo ngak boleh ngomong kayak gitu. Oke?" Ucap Aleta.

"Kalian berdua itu orang baik dan gue berterima kasih atas hal itu. Tapi hidup itu terus berlanjut dan ngak mungkin selamanya gue bergantung sama kalian, gue ingin bangkit kembali dan berdiri sendiri. Gue ngak mau menyusahkan siapapun " ucap Dara.

"Tapi Dar!" Ucap Aleta terhenti karena dihentikan oleh Dara.

Wajah Dara terlihat cerah, seakan sama sekali tak peduli dengan berita yang baru saja dia dengar.

"Jadi? Bisakan bantuin gue nyari pekerjaan?" Tanya Dara sambil memandangi kedua adik kakak itu.

Aleta dan Rani pun saling menatap. Mereka seakan berkomunikasi tanpa suara sebelum akhirnya mencapai satu keputusan.

"Oke. Gue akan cariin Lo pekerjaan. Dan syukurlah gue punya kenalan yang membantu dalam hal ini" ucap Aleta.

Dara pun menghela nafas lega dan tersenyum serta berterima kasih pada Aleta.

*Beberapa hari kemudian*...

Kantor Presiden Direktur Pranaja Group.

"Pemesanan kamar hotel tidak diketahui, pemilik kalung juga tidak bisa ditemukan. Haruskah saya menilai ulang kinerja kamu Gilang? Ujar Brama Gajendra Pranaja, CEO Pranaja Group yang kesal menerima laporan asisten pribadinya terkait permintaannya lebih dari dua Minggu lalu.

Asisten pribadi pria itu memasang wajah tak berdaya.

"Tuan, pemilik kalung tersebut adalah wanita yang kabur dari rumah keluarganya 26 tahun yang lalu. Demikian, keberadaannya saat ini dimana, tidak ada yang tahu" ucap Gilang.

Pemilik kalung adalah wanita yang kabur 26 tahun yang lalu. Kalau dihitung, berarti umur wanita itu sudah hampir setengah abad. Hal tersebut tak selaras dengan sosok yang menghabiskan malam dengan Brama malam itu.

Samar-samar, sepasang mata yang indah yang menghipnotis membuat Brama menutup mata. Walau buyar, tapi Brama yakin sosok yang menghabiskan malam dengannya adalah seorang wanita muda. Oleh karena itu, kemungkinan terbesar adalah wanita yang bermalam bersamanya adalah putri dari wanita yang kabur itu.

Melihat ekspresi sang atasan, Gilang mencoba lagi untuk bertanya.

"Bagaiman tuan? Perlukah saya mengarahkan lebih banyak orang untuk menyelidiki lebih jauh tentang pemilik kalung itu?" Tanya Gilang.

"Sudah kabur 26 tahun lalu, apa lagi yang mau dicari? Semua jejak pasti sudah pudar dan sulit ditemukan" ucap Brama.

"Lupakan itu. Lebih baik kamu terus coba untuk mendapatkan informasi pemesan kamar 501. Kalau perlu, gunakan uang sebanyak yang diperlukan. Saya hanya menginginkan gadis itu. Mengerti?" Ucap Brama lagi.

"Saya mengerti tuan" balas Gilang.

TOK!TOK!

Suara pintu yang diketuk membuat Brama dan Gilang memutar kepala kearah pintu. Tampak salah satu karyawan Brama berdiri dan melapor.

"Tuan, calon sekretaris baru anda sudah datang. Haruskah saya biarkan menunggu atau?" Ucap karyawan itu.

"Persilakan masuk" ucap Brama.

Mendengar hal itu, sang karyawan menoleh ke belakang dan mempersilahkan sosok yang terhalang pintu kaca ruangan Brama untuk masuk. Saat sosok itu berjalan masuk, pandangan Brama langsung terpaku pada sepasang mata yang indah, yang ia rasa pernah melihatnya. Karena pada malam itu, Brama juga dalam keadaan setengah sadar karena sedikit mabuk. Hingga ia tidak begitu mengingat wajah Dara, wanita yang ia renggut kehormatannya. Ternyata wanita yang melamar sebagai sekretaris Brama adalah Dara.

Sama seperti Brama, Dara juga membeku ditempat saat melihat Brama, seakan Dara mengenalinya. Saat Dara menarik kursi di depan meja kerja Brama untuk sang sekretaris baru, Gilang bingung dengan ekspresi Dara.

"Nona Dara Vandella, anda baik-baik saja?" Tanya Gilang.

Dara memutuskan menggunakan nama keluarga ibunya setelah Arman mengusir dan tak mau mengakui dirinya sebagai anak. Di tempat nya, tubuh Dara bergetar dan ekspresinya yang tadi tenang sekejap berubah diselimuti ketakutan.

Dara terus memperhatikan wajah Brama dengan saksama. Dalam sekejap Dara langsung mengenali wajah itu. Dia adalah pria yang merenggut kehormatannya di malam itu. Entah apa yang terjadi, ingatan Dara tiba-tiba tajam dan mengenali wajah Brama. Namun anehnya Bramalah yang tidak mengingat bahkan tidak mengenali wajah Dara.

Sadar akan dirinya membuat Gilang bingung, Dara memaksakan sebuah senyuman.

"Y-ya, saya baik-baik saja. Maaf, saya agak gugup" ucap Dara sambil duduk di kursi yang ditunjukkan Gilang.

Kedua tangan Dara saling terpaut dan meremas. Dia tak bisa menatap kearah pria dihadapannya karena sangat dekat. Hingga sepasang mata Dara terhenti saat melihat benda yang tampak familiar. Dara mamicingkan mata untuk mengamati kalung yang berada didekat tangan Brama. Setelah dapat melihatnya dengan jelas, kedua bola matanya membulat lebar.

"Kalung itu?" Batin Dara menyipitkan matanya melihat benda yang familiar yang sedang dipegang oleh Brama.

Dara kehilangan kalungnya. Dia mulai ingat ketika beberapa Minggu yang lalu, ketika mandi dirinya sudah mencari kemana-mana, namun belum juga menemukannya. Ketika melihat kalung itu ada di tangan Brama, Dara ingin bertanya untuk memastikan apakah itu benar kalung miliknya. Tanpa kalung itu dan meskipun hanyalah sebuah benda tak bernyawa, hidup Dara serasa tak lengkap. Hanya kalung itu yang dapat mengingatkan Dara kepada mediang ibunya.

Kegelisahan Dara rupanya tertangkap oleh Brama. Brama melihat Dara dan kalung itu secara bergantian. Dia sengaja menggeser plan kalung itu dan mata Dara mengikuti pergerakannya. Brama mengangkat salah satu alis keheranan. Mengapa Dara tertarik kepada kalung itu?.

"Nona Dara Vandella. Kenapa anda sepertinya terkejut melihat ini?"tanya Brama menggantungkan kalung tersebut di antara jemarinya.

"Apa kamu mengenali kalung ini?" Tanya Brama lagi.

DEG!

Dara tak ingin Brama tau bahwa dirinya adalah wanita pemilik kalung tersebut. Melihat Brama yang tak mengenali dirinya dan juga membawa kalung miliknya, besar kemungkinan jika Brama sedang mencari dirinya. Meskipun Brama hanya ingin mengembalikan kalungnya, Dara tak ingin membahas tentang malam itu. Terlebih lagi, dengan pria itu sendiri.

bab

"Tidak. Itu kalung yang indah" ucap Dara.

Dara lega setelah Brama mengalihkan membicarakan aturan perusahaan dan pekerjaan yang akan Dara lakukan. Dara hanya mengangguk-angguk dengan pikiran kosong. Hingga dirinya tersentak tatkala Brama menyodorkan kontrak kerja padanya.

"Ingat baik-baik, jika kamu keluar sebelum waktunya, kamu harus membayar denda. Baca dan pahami sebelum menandatangani" ucap Brama menjelaskan.

Dara menelan ludah dengan susah payah. Dia tak pernah mengira jika calon atasannya adalah pria yang telah menghancurkan masa depannya. Akan tetapi, Dara juga tak bisa menyerah sekarang. Aleta sudah susah payah mencarikan Dara pekerjaan. Selain itu, Aleta juga membantu untuk mengubah nama belakang pada semua dokumen milik Dara dengan nama keluarga ibunya. Dara tak mau mengecewakan orang-orang yang banyak menolongnya.

Lagi pula, mencari pekerjaan juga tidaklah mudah. Dara tak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan padanya hanya karena pria dihadapannya. Yang paling penting, Dara perlu mengambil kalungnya kembali. Dara tak rela jika kalung peninggalan ibunya jatuh di tangan pria itu. Dengan coretan mantap, Dara membubuhkan tanda tangan dikertas kontak kerja itu.

"Terima kasih karena sudah menerima saya bekerja di perusahaan ini, Tuan Brama Pranaja." Ucap Dara sambil menunduk untuk menghindari menatap mata Brama.

"Kamu bisa mulai kerja sekarang" ucap Brama.

"Gilang, tunjukkan meja kerjanya" ucap Brama memerintah Gilang.

Dara terus mengamati kalungnya sekali lagi sebelum keluar dari ruangan itu membuat Brama curiga. Kalung tersebut memang indah, wanita mana pun pasti ingin memilikinya. Akan tetapi, reaksi Dara terlalu berlebihan untuk wanita yang hanya ingin memiliki perhiasan yang hanya ada dua di negaranya. Dan mata itu, Brama seperti pernah melihatnya. Rasanya begitu familiar dan menghangatkan dada tatkala menatap mata indah itu. Tapi dimana dia melihatnya?

***

Satu hari berlalu tanpa kendala. Brama tak meninggalkan ruangan kerjanya barang sekali. Bahkan makan siang pun diantar oleh Gilang ke dalam ruangannya. Dara menjadi semakin gelisah karena sejak tadi dia menunggu Brama pergi walau sebentar saja. Tentunya, Dara ingin sekali mengambil benda berharga miliknya kembali.

Setelah melihat kalung itu, pikiran Dara menjadi semakin gelisah. Dara sampai mengerjakan tugasnya dengan lambat karena sering melamun dan memikirkan kalung yang di pegang oleh Brama adalah miliknya atau bukan. Dara ingin memastikannya lagi, bahwa benda yang selama ini dia cari-cari ada di depan mata, tetapi Dara tak dapat walau hanya memegangnya saja.

Kesempatan yang di nantikan Dara pun akhirnya tiba. Pintu ruangan Brama terbuka, pria itu melangkah keluar meninggalkan ruangannya, melewati meja kerja Dara tanpa melihat kearahnya. Setelah memastikan Brama masuk ke dalam elevator, juga tak ada orang lain di sana, Dara bergegas masuk ke dalam ruang kerja Brama. Jantungnya berdetak sangat kencang tatkala kedua tangannya mulai membuka laci untuk mencari kalungnya. Telapak tangan Dara sangat gemetaran dan berkeringat karena mengobrak-abrik satu persatu laci meja kerja Brama. Hingga akhirnya, matanya menemukan benda mengkilat itu di laci bawah. Dara menutup mulut dengan telapak tangan dan hampir menangis haru kala melihat kalung tersebut. Ternyata benar kalung itu miliknya, mata kalung yang berbentuk bulan sabit.

"Ini kalung aku!"ucap Dara merasa senang.

Namun, Dara segera sadar jika dirinya harus keluar dari sana secepatnya. Saat Dara hendak berdiri untuk keluar, kepalanya tiba-tiba terasa pusing. Ketika Dara hendak melangkah, Brama telah berdiri dihadapannya dengan kedua tangan bersarang di sakit celana.

"Apa yang kamu lakukan?" Tanya Brama dengan nada dingin.

Dara bergegas menyembunyikan kalung yang ia pegang, wajahnya memucat dan keringat bercucuran akibat ketakutan yang begitu hebat.

"S-saya ...." Suara Dara tersekat dalam tenggorokan dan tak mampu melanjutkan ucapan.

Brama mengayunkan langkah lebar mendekati Dara. Tangannya menarik tangan kanan Dara yang memegangi kalung itu dengan kasar. Dara meringis kesakitan merasakan cengkraman Brama yang begitu kuat dipergelangan tangannya.

"Apa ini?" Tanya Brama sambil menatap lurus pada Dara.

Dara menggeleng-geleng cepat dan tak mampu menjawab. Jika Dara mengatakan bahwa dirinya pemilik kalung itu, apakah yang akan Brama lakukan padanya? Dara tak ingin Brama melecehkan dirinya seperti malam itu. Namun, jika Dara tak mengatakannya, dia takut akan kehilangan pekerjaan yang baru saja didapatkannya.

"Apa yang harus aku lakukan? Aku ngak mungkin kehilangan kalung ini lagi" batin Dara.

"Kamu mau mencuri kalung ini?" Bentak Brama.

Dara tersentak dan sontak meneteskan air mata. Bukan hanya karena rasa sakit di pergelangan tangannya, tetapi kata-kata Brama sangat menyakitkan hati. Mencuri? Bagaimana mungkin Dara mencuri benda miliknya sendiri?

"Apa kamu bekerja disini hanya untuk mencuri?" Tanya Brama dengan tatapan kesal.

"Nona Dara, saya akan melaporkan kamu ke polisi" tegas Brama seraya menarik Dara menuju pintu.

Dara hanya bisa menggeleng sambil menangis terisak.

"Tidak! Lepaskan saya" teriak Dara.

"Saya sama sekali ngak mencuri " ucap Dara lagi

Ucapan Dara membuat Brama menghentikan langkahnya.

"Ngak mencuri? Kalau ngak mencuri, apa kalung ini milik kamu?" Tanya Brama.

Pertanyaan Brama membuat Dara terdiam. Haruskah Dara mengatakan kebenarannya?

"Saya...!" Baru saja Dara ingin mengatakan sesuatu, pening yang sangat mendadak menyerang kepalanya.

"Ugh..." Dara pun terjatuh.

"Nona Dara!" Ucap Brama tampak kaget.

Namun, Dara tak mampu untuk bahkan membalas ucapan Brama. Pandangannya yang buram oleh air mata semakin menggelap. Kepalanya seperti tertusuk ribuan jarum. Hingga akhirnya kegelapan menyelimuti kesadarannya, bersamaan dengan tubuhnya yang lunglai.

"Nona Dara!" Ucap Brama terus membangunkan Dara.

Brama langsung menggendong Dara dan membaringkannya diatas sofa. Dia segera mengeluarkan ponsel dan menelpon seseorang.

"Panggil dokter ke ruangan saya sekarang!" Ucap Brama di telepon.

Setelah mematikan panggilan, Dara melirik kalung di tangan Dara dan berusaha mengambilnya kembali. Namun, kepalan tangan Dara masih menegang, seakan-akan tak Sudi melepaskan kalung itu.

"Kenapa dia sangat menginginkan kalung ini? Apa kalung ini punya dia?" Batin Brama yang kebingungan.

Beberapa saat kemudian, dokter perusahaan datang bersama Gilang. Dokter itu segera melakukan pemeriksaan lengkap terhadap Dara.

"Bagaiman dokter?" Tanya Brama saat melihat sang dokter merapikan peralatannya.

"Nona ini, sedang hamil, tuan" ucap sang dokter.

"Apa? Hamil?" Ucap Brama kaget.

Dua jam kemudian, Dara pun sadar.

"Gimana? Udah sadar?" Tanya Brama dengan nada dingin.

Pertanyaan itu membuat Dara tersentak dan langsung menoleh ke kanan, pada sosok Brama Brama yang terduduk di sofa selagi menatapnya tajam.

"Apa yang terjadi?"batin Dara dengan bingung seraya mencoba mengingat semuanya.

Dara ingat setelah dirinya mengantar Brama dan Gilang pergi, dia masuk ke ruangan pria itu. Kemudian, Dara pun lanjut mengambil kalungnya dari laci.

"Kalungnya?" Batin Dara dan langsung menunduk, menyadari kalung miliknya tidak lagi di tangannya.

"Mencari ini?" Tanya Brama.

Pertanyaan itu membuat Dara mengangkat pandangan ke arah Brama. Pria itu tengah menunjukkan kalung peninggalan ibu Dara di tangannya.

"Berapa banyak uang yang kamu inginkan sehingga kamu nekat mencuri kalung ini dari saya?"tanya Brama dengan pandangan dingin.

"Saya ngak mencuri " ucap Dara tegas.

Balasan Dara membuat Dara menaikkan alis kanannya.

"Ngak mencuri? Lalu, apa kalung ini punya kamu?" Tanya Brama.

Pertanyaan itu membuat Dara mengerutkan kening. Haruskah dia mengaku?

"Tidak"ucap Dara.

"Mirip. Itu hanya mirip dengan kalung saya yang hilang. Sebenarnya saya berniat mengembalikannya tadi sebelum tuan datang" ucap Dara.

"Ternyata kamu bukan hanya pencuri, tapi juga penipu ulung" ucap Brama.

Hinaan Brama membuat ekspresi Dara berubah keru.

"Apa?" Ucap Dara.

"Lupakan soal kalung. Tapi dalam biodata kamu, tertulis jika kamu belum berkeluarga. Kenapa kamu berbohong?"tanya Brama dengan mata memicing dan aura yang berubah dingin. Tuduhan Brama membuat Dara menatapnya kosong.

"Berkeluarga? Apa maksud tuan?" Tanya Dara.

Wajah kosong Dara membuat Brama kehilangan kesabaran, mengira gadis itu berpura-pura.

"Berhenti kamu berpura-pura. Untuk apa kamu menyembunyikan kenyataan kalau kamu sudah menikah?" Ucap Brama kesal.

"Apa? Menikah? Saya belum menikah" ucap Dara dengan lantang.

Brama menyodorkan sebuah surat ke hadapan Dara.

"Lalu apa ini? Dokter mengatakan jika kamu positif hamil dan kamu bilang kamu belum menikah. Apa kamu hamil begitu saja? Tiba-tiba ada bayi di dalam perut kamu?" Ucap Brama semakin marah.

"Apa? Ini ngak mungkin" ucap Dara seraya berdiri tak terima karena dituduh seperti itu. Keterkejutan Dara membuat Brama mendengus.

"Jadi kamu ngak tau kalau kamu hamil? Atau berpura-pura ngak tau agar tidak disalahkan karena telah memanipulasi data pribadi kamu?" Cibir Brama.

Pelipis Dara kembali berdenyut hebat. Dia merasa sangat pusing.

"Jadi aku bener-bener hamil? Di perut aku ada anak pria ini?" Batin Dara seraya menatap tajam ke arah Brama.

Selagi Dara masih terkejut dengan kenyataan baru yang dia dapatkan, Brama sedang menerka-nerka kebenaran dari pernyataan Dara. Di satu sisi, Brama tak dapat menemukan kebohongan dari gelagat Dara. Namun disisi lain, Brama juga teringat perbuatan Dara yang diam-diam hampir mencuri kalungnya.

"Gadis ini benar-benar masalah " batin Brama.

"Keluar! Saya tidak ingin memiliki karyawan yang mengancam reputasi dan perusahaan saya" ucap Brama tegas.

Wajah Dara memucat mendengar ucapan pria itu. Dia tak bisa kehilangan pekerjaannya. Bukan hanya karena tidak yakin bisa mendapatkan pekerjaan lain, tapi Dara khawatir Aleta dan Rani akan kecewa padanya jika dirinya dipecat setelah bekerja hanya beberapa hari. Selain itu, Dara menundukkan pandangan pada perutnya yang masih rata. Kalau dirinya tidak ada pekerjaan, bagaimana dengan bayi ini?

Melihat Dara diam saja di tempat, Brama mengernyitkan dahi.

"Apa kamu tidak mendengar ucapan saya? Apa kamu!" Ucap Brama terhenti karena di potong Dara.

"Tuan, saya mohon, tolong jangan pecat saya. Saya tidak pernah berniat untuk membohongi anda, tuan. Saya bahkan tidak tau jika saya sedang hamil"ucap Dara dengan berlinang air mata sambil memohon kepada Brama.

"Tidak tahu?apa maksud gadis ini tidak tahu?"batin Brama.

Dara mengepalkan tangannya, kepalanya tertunduk sembari memohon sambil berpikir keras. Apa dia harus mengaku kepada Brama tentang bayi yang ada di dalam kandungannya adalah anak Brama? Akan tetapi ia takut, bagaimana kalau pria itu memang sering melakukannya dengan banyak wanita dan Dara hanya salah satu diantara mereka? Apakah Brama akan peduli padanya? Atau jangan-jangan, pria itu malah akan meminta Dara menggugurkan kandungannya? Tapi, bayi itu tidak bersalah!

Dengan semua ketakutan dan pikiran buruknya, Dara pun hanya bisa berkata.

"S-saya! Diperkosa, tuan" ucap Dara.

Hening. Tidak ada yang bersuara. Dara mengangkat pandangan, lalu melihat wajah Brama tampak kebingungan.

"Diperkosa?"ujar Brama.

Dara tidak berbohong, dirinya memang tidak berdaya di kala Brama merudapaksa dirinya. Hanya saja, pria itu tak mengenalinya atau bahkan tidak peduli. Dengan air mata yang mengalir turun menuruni wajahnya, Dara pun mulai bercerita.

"Ya, saya di perkosa dan itulah yang membuat saya diusir oleh keluarga saya. Saya kini tinggal di kediaman teman saya, tapi tidak bisa untuk waktu yang lama. Itulah alasan saya berusaha mencuri kalung itu untuk mendapatkan uang agar bisa bertahan hidup" ucap Dara.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!