"Hueekk... hueekk..." Seorang wanita yang berusia 23 tahun tengah mengeluarkan isi perutnya di kamar mandi apartemen. Kamar yang dia sewa berdua bersama teman kerja. Janda muda yang bernama Sifa Kamila itu pagi ini bolak balik ke kamar mandi.
"Loe kenapa Sifa?" Tanya Marlina yang sudah rapi akan berangkat kerja. Dia menatap wajah sahabatnya nampak pucat dan tidak bersemangat.
"Nggak tahu Lin, kenapa seminggu ini aku selalu mual ya" Sifa duduk lemas bersandar di kursi, lalu minta tolong Marlina agar izin kepada atasan di kantor jika hari ini tidak masuk kerja.
"Nahlo, jangan-jangan loe hamil" seloroh Lina lalu tertawa ngakak.
"Ha-hamil?" Sifa terkejut mendengar ucapan Lina, lalu meluruskan duduknya sambil mengingat-ingat kapan terakhir ia menstruasi.
"Hihihi... percanda Sifa, kenapa loe kaget gitu? Lagi pula nggak mungkin juga kan kamu hamil?" Lina tahu jika Sifa bercerai sudah satu tahun yang lalu. Lagi pula yang Marlina tahu Sifa tidak mempunyai pacar.
"Sudahlah Sifa, jangan loe anggap kata-kata gue. Nanti gue sampaikan izin loe ke Ibu Anjani" pungkas Marlina sambil berlalu pergi meninggalkan Sifa yang hanya bengong.
Sifa sudah tidak mendengarkan lagi apa yang dikatakan Marlina, karena dia merenung memikirkan tentang kehamilan, khawatir yang dikatakan Marlina benar adanya.
Pagi itu, Sifa gulang guling di kasur dalam keresahan, karena dia rupanya sudah terlambat selama dua minggu.
"Aku harus membeli test pack" Sifa bangun dari tidurnya, ambil sweater yang di gantung di pintu kamar, untuk menutup tanktop yang biasa ia gunakan untuk tidur.
Sifa menuju apotek yang bersebrangan dengan apartemen, setelah mendapatkan yang dia cari kemudian kembali.
Sifa lempar sweater yang sudah dia buka ke tempat tidur, karena ingin cepat ke kamar mandi.
"Garis dua?" Sifa memandangi test pack yang menunjukkan dua garis berjauhan dan keduanya garis penanda.
"Aku hamil?" perasaan Sifa menjadi kacau. Menikah dengan suami yang terdahulu sudah dua tahun tidak juga hamil, tetapi mengapa ketika menjalin hubungan dengan pemilik perusahaan dimana dia bekerja baru berhubungan sekali saja lantas hamil.
Seharian itu Sifa bingung dan panik, ia terlahir dari keluarga agamis. Bagaimana jika abah dan emak di kampung halaman tahu bahwa putrinya sudah melanggar dosa?
Sifa ambil handphone mencari nama sang kekasih, kemudian mengetik pesan bahwa hari ini ingin bertemu. Muncul balasan emote love dengan jempol dari Felix, Sifa pun menutup handphone.
Sore harinya, Sifa menunggu di taman, tiba-tiba tangan kekar menutup matanya dari belakang. Karena banyak yang Sifa pikirkan hingga tidak menyadari bahwa pria itu yang dia tunggu-tunggu telah datang.
"Awas Mas" Sifa menyingkirkan tangan sang kekasih.
"Kok kamu tahu kalau aku yang datang" Felix duduk merapat di sebelah Sifa.
"Parfum kamu itu Mas" Sifa sudah hafal aroma parfum Felix, karena tidak banyak pria yang mampu membeli parfum yang harganya selangit itu.
"Hueekk..." Sifa pun berdiri menjauh ketika aroma parfum tersebut mengangkat isi perutnya.
"Kamu kenapa Sifa?" Felix sontak berdiri memijit tengkuk Sifa yang sedang membungkuk.
"Mas, aku hamil" ucap Sifa lirih, sembari mengusap mata dengan tissue karena basah setelah muntah, kemudian menatap Felix
"Hamil?" Felix sontak melempar tatapan tajam ke arah kekasih rahasianya itu. Suasana menjadi hening hanya terdengar derung mobil di jalan raya yang agak jauh dari taman tersebut.
"Kenapa kamu menatap aku seperti itu Mas?" Sifa menjauh dari Felix karena tatapan sang kekasih menakutkan.
"Kenapa bisa hamil Sifa? Aku melakukan hanya sekali," Felix seolah menolak benih dalam rahim Sifa.
"Memang kenapa kalau Mas Felix melakukan hanya sekali? Nyatanya aku ini hamil, Mas" Sifa sedih dan sakit hati mendengar ucapan Felix.
"Kamu kan janda Sifa, bisa saja kamu melakukan dengan orang lain di belakang aku?" Tuduh Felix.
"Mas?!" potong Sifa dengan nada membentak. Sifa menangis sesegukan, sungguh kejam fitnah yang dilontarkan oleh pria yang dia cintai.
"Tenang saja, aku pasti menikahi kamu" janji Felix lalu menunduk. Entah apa yang dipikirkan bos kantor dimana Sifa bekerja dan sudah beberapa bulan berhubungan secara sembunyi-sembunyi.
"Tapi awas, jangan sampai hubungan kita ini ada yang tahu, apalagi kehamilan kamu itu" ancam Felix.
Begitulah hubungan bos dan Office Girls ini terjalin dengan sembunyi-sembunyi. Bahkan Marlina teman Sifa siang dan malam itupun tidak tahu. Setiap kencan, Felix berjalan lebih dulu dan menunggu Sifa di apartemen milik pribadi Felix. Pertemuan yang hanya berdua itupun ada setan di antara mereka. Nyatanya Sifa yang terkenal rajin shalat itu imannya jebol, karena rayuan dan janji manis pria tampan yang bernama Felix.
"Sekarang aku tidak mau hubungan kita disembunyikan lagi Mas" Sifa jelas menolak karena ada janin di dalam perut. Mau tidak mau Felix harus memberi tahu kedua orangtuanya karena menyangkut cucu mereka.
"Tetapi tidak sekarang Sifa!" Bentak Felix, lagi-lagi mengejutkan Sifa karena baru tahu sifat asli kekasihnya.
"Lalu kapan Mas?! Nunggu sampai perut aku ini membesar? Iya?!" Tandas Sifa, baru sekali ini ia berani melawan. "Kalau sampai Mas Felix tidak segera bertanggung jawab, jangan salahkan jika aku mencari dimana kediaman orang tuamu" Lanjut Sifa gantian mengancam Felix.
"Jangan Sifa... please..." Felix memegang kedua pundak Sifa dengan nada memelas. "Kita akan menikah secepatnya tetapi di daerah kamu ya" Lagi-lagi Felix tidak ingin pernikahananya diketahui oleh orang tuanya dan juga semua orang yang mengenal.
"Baiklah" Sifa pun mengalah, mau menikah dimanapun yang penting Felix mau bertanggung jawab dengan bayi yang dia kandung.
"Kalau gitu, aku kembali ke kantor" Felix juga menyuruh Sifa pulang agar bersiap-siap. "Besok subuh kita berangkat" Felix menambahkan.
Sifa hanya mengangguk memandangi Felix yang sudah meninggalkan dirinya. Jika boleh manja, Sifa ingin diantar pulang oleh Felix, walaupun sebenarnya sikap Felix seperti ini sudah Sifa tahu sejak pertama kali kencan. Namun, entah mengapa saat ini perasaan Sifa berbeda, mungkin karena bayi di dalam perutnya yang manja.
Keesokan harinya saat subuh.
"Kamu kan lagi sakit Sif, kenapa mau pulang sih?" Marlina mencegah sahabatnya itu, padahal baru saja muntah-muntah.
"Nggak apa-apa Lin, doakan aku saja semoga sehat" Sifa mengatakan jika ada urusan penting yang tidak bisa ia tunda.
Sifa menarik koper meninggalkan apartemen. Tiba di pinggir jalan sebuah mobil sudah menunggu. Pintu bagasi terbuka secara otomatis, Sifa meletakkan koper di sana, lalu membuka pintu depan.
Mobil melaju kencang tidak ada pembicaraan di dalam mobil yang dikendarai oleh Felix sendiri. Sifa pun akhirnya tertidur daripada menahan rasa ingin muntah. Namun, sekuat apapun Sifa menahan tetap saja perutnya serasa dikocok.
"Berhenti Mas, aku mau muntah" ucap Sifa.
Mobil Felik seketika berhenti di tengah jembatan. Sifa turun dari mobil, lalu membungkuk di pinggir jembatan mengeluarkan isi perut, tetapi hanya air yang ia minum sebelum berangkat yang keluar, karena perutnya kosong.
"Aaagghhh..." Sifa menjerit ketika tubuhnya ada yang mendorong dari belakang. Tubuh Sifa pun jatuh ke dalam kali.
"Hahaha... aku menikahi kamu? Hahaha..." Seru Felix memandangi tubuh Sifa yang sudah hanyut dibawa derasnya air.
...~Bersambung~...
"Ada mayaaattt..." seru pria yang berada di atas kapal kecil, menunjuk wanita yang telungkup dibawa arus. Mengundang perhatian dua orang lainnya yang berada di atas kapal yang sama.
"Kamu bisa berenang?" Tanya pria muda kepada dua temannya.
"Tidak Vin, kamu kan yang jago berenang" jawab pria salah satu teman Alvin.
"Aku bisa sih Vin, tapi takut sama mayat" jujur teman yang lain.
Tidak mau banyak bicara, Alvin melompat ke sungai. Membalik tubuh wanita yang dalam keadaan telungkup itu, kemudian memasukkan ke dalam kapal yang sudah mendekat.
"Aaagghhh... seram amat" kata Baul, lalu membuang wajahnya ketika menatap si wanita yang wajahnya sudah rusak tidak berbentuk.
"Astagfirullah..." Elmer melakukan hal yang sama.
Saat kedua temannya ribut sendiri, Alvin menempelkan telapak tangan di dada si wanita. "Masih hangat" ucap Alvin, lalu menekan perut wanita hingga memuntahkan air.
"Jalan Pak" titah Alvin. Kapal pun terus berjalan hingga tiba di pelabuhan. Alvin dan kedua temannya mengantar si wanita ke salah satu rumah sakit.
Tiga hari kemudian, selama itu Alvin bolak balik menjenguk pasien yang sedang di rawat intensif di ruang ICU. Hari itu juga pasien wanita dinyatakan sadar dari koma, bahkan sudah dipindahkan ke ruang rawat.
Alvin sebagai penanggung jawab masuk ke ruang tersebut. "Hai..." sapa Alvin menatap si wanita tersenyum. Walaupun wajah wanita itu sudah rusak dan diperban sana sini, tetapi menurut dokter yang menanganinya, mata si wanita masih bisa melihat.
"Siapa kamu?" Lirih wanita yang tak lain adalah Sifa. Dia menarik tubuhnya ke pinggir tembok, rupanya trauma dengan yang namanya laki-laki.
"Keluar kamu" usir Sifa, menutup perut hingga dada dengan bantal. Dia pikir semua pria sama, hanya menjadikan dirinya budak nafsu, tetapi begitu kenyang lantas dibuang.
"Maaf, saya tidak bermaksud apa-apa kok, saya hanya ingin menjenguk kamu" Alvin mengatakan kedatangannya ke sini karena mendapat telepon dari dokter Edwar yang menangani Sifa.
"Jadi... kamu yang menolong saya?" Sifa mulai sedikit tenang. Tidak semua pria buruk, nyatanya abah pun pria yang baik, bahkan menikahi emak sudah hampir 30 tahun.
"Iya... Aku yang menemukan kamu terapung di laut" Alvin menuturkan.
Sifa meneteskan air mata, rupanya Tuhan masih memberi kesempatan padanya untuk membersihkan dosa yang sudah dia buat.
"Kamu jangan menangis, menurut dokter Edwar, kamu hebat" sambung pria bermata sipit itu, ia menceritakan jika Sifa menjadi perbincangan dokter di rumah sakit itu. Lantaran, Sifa mampu melewati masa kritis dengan cepat, padahal hampir semua dokter awalnya menyerah. Mengingat luka wajah Sifa yang sangat mengenaskan.
"Lalu anakku..." Sifa pun akhirnya bangun seketika ingat jabang bayi yang dia kandung. Lantas mengusap perutnya yang rata itu sambil menangis. Sifa ingat semua kejadian yang menimpa dirinya. Walaupun kejadian pahit telah ia alami, tetapi Sifa berharap bayi yang dia kandung tidak terjadi sesuatu.
"Maaf, menurut dokter Edwar bayi kamu tidak bisa diselamatkan" perlahan-lahan Alvin melanjutkan ceritanya.
"Tidaaakk..." Sifa pun akhirnya menjerit, kenapa jika bayi yang dia kandung tidak selamat, mengapa dirinya tidak mati juga.
"Yang sabar..." Sebisa mungkin Alvin menghibur Sifa yang sangat berduka lantaran kehilangan janin. "Sekarang katakan, dimana suami kamu?" Alvin bermaksud memberi kabar keluarga Sifa.
Sifa terkejut lalu menatap Alvin sebelum akhirnya menangis, mengingat nasib dirinya yang tragis. Sifa menggeleng tidak mungkin memberi tahu kedua orangtuanya dalam keadaan seperti ini.
"Loh, kok malah menangis lagi..." Alvin tidak bosan menenangkan Sifa.
"Saya sudah bercerai dengan suami saya. Saya masih punya orang tua, tetapi saya tidak ingin pulang sebelum luka-luka saya sembuh" dalam isaknya Sifa mengatakan kepada Alvin, akan mengganti kerugian biaya rumah sakit pria yang baru ia kenal itu, dan bersedia bekerja sebagai apapun jika sembuh nanti untuk membayar hutang.
"Jangan pikirkan itu, yang penting kamu sembuh dulu" pungkas Alvin lalu izin keluar.
Hanya seorang diri Sifa di dalam ruang inap, wajahnya yang hanya terlihat mata itu terasa nyeri, belum lagi tulang-tulangnya semua terasa mau patah. Namun, sakit hati yang ditorehkan Felix terasa lebih menghujam dadanya.
"Kamu tega Felix" batin Sifa. Ia menyesal, mengapa begitu mudahnya percaya dengan pria? Dia pikir Felix akan mengobati luka hatinya yang digoreskan Aksa mantan suami, tetapi justru Felix lebih kejam dari aksa.
Seminggu sudah, Sifa dirawat di rumah sakit dan akhirnya di perbolehkan pulang. Karena nyeri wajahnya sudah tidak begitu terasa. Namun, sebelum pulang, dokter Edwar membuka perban yang menutup wajah Sifa.
Sifa meraba wajahnya terasa kasar merasa curiga, setelah kepergian dokter Edwar Sifa ke toilet lebih dulu.
Ketika melewati kaca, Sifa berhenti menatap wajahnya sendiri. Betapa syok dan terkejut dia, wajah yang sebelumnya cantik jelita, kini menjadi buruk rupa. "Aaagghhh..." Sifa pun berteriak histeris lalu jatuh pingsan.
"Sifa..." Alvin mendengar itu berlari ke tempat itu, kemudian mengangkat Sifa yang tergeletak di lantai menggendong ke kamar.
Alvin lantas menekan tombol, tidak lama kemudian muncul doktor Edwar, padahal belum ada lima menit ia keluar dari kamar Sifa.
"Sifa pingsan Dok"
"Kenapa bisa sampai pingsan?" Edwar menatap Alvin curiga, karena sebelum dia pergi Sifa sudah lebih baik.
"Saya tidak tahu" Alvin yang merasa menjadi orang tertuduh pun mundur memberi ruang agar Edwar memeriksa Sifa.
"Uugghh..." Sifa pun akhirnya sadar dari pingsannya. Ketika membuka mata Edwar yang ia lihat. "Dokter, saya mau mati saja, percuma saya hidup" Sifa membayangkan betapa takut dan jijik jika orang melihat wajahnya.
"Sifa tenang dulu, tetapi apa masalahnya?" Edwar tidak mengerti.
"Wajah saya menjijikkan Dokter" Jawab Sifa putus harapan. Kedua tangannya mengepal kuat dendamnya kepada Felix semakin berkorbar.
"Kamu sedang dalam pengobatan Sifa, yang sabar" Edwar menghibur, meskipun kemungkinan pulih seperti dulu sangat tipis dan makan waktu yang cukup lama.
"Jika kamu mau, saya punya kenalan dokter operasi plastik" Edwar memberi solusi bahwa dokter kenalan itu tidak pernah gagal menjalankan operasi plastik.
Sifa menggeleng sambil terisak-isak, usul dokter sungguh tidak masuk akal. Akan mendapatkan uang darimana Sifa, untuk membayar operasi yang biayanya selangit.
"Sifa, benar kata Dokter Edwar, masalah biaya saya yang akan menanggung semuanya" Alvin sepertinya mengerti apa yang dipikirkan Sifa.
Sifa terkejut lalu menatap Alvin. Ia bingung, sebenarnya ingin menerima usulan Alvin, tetapi untuk biaya selama seminggu ini pun entah darimana Sifa akan mendapatkan uang. Siapa yang mau menerima kerja dalam keadaan wajah menyeramkan seperti sekarang.
"Sudahlah Sifa, jangan banyak berpikir" pungkas Alvin. Alvin pun mengajak Sifa tinggal di kediaman orang tuanya. Hanya ada bibi di rumah besar itu, karena orang tua Alvin berada di negara K dimana Alvin dilahirkan.
Selama sebulan Sifa berada di rumah Alvin. Sungguh beruntung bagi Sifa, karena bibi merawat dengan baik atas perintah Alvin. Seminggu dua kali, Sifa masih bolak balik kantrol ke rumah sakit. Setelah wajah Sifa dinyatakan sembuh, walaupun tetap buruk rupa, Alvin mengantar Sifa ke negara K, di mana ia akan menjalankan operasi.
...~Bersambung~...
Tiba di negara K, Alvin tidak mengajak Sifa ke kediaman orang tuanya lebih dulu, tetapi langsung ke klinik.
Di depan klinik, Sifa yang mengenakan syal sebagai penutup kepala dan pipi, berhenti di depan hingga tertinggal oleh Alvin.
"Sifa..." Alvin pun berhenti ketika menyadari tidak ada Sifa di belakang, lalu kembali berdiri di hadapan Sifa. "Ayo Sifa, kenapa kamu berhenti" lanjut Alvin.
"Al, dalam agama aku, operasi plastik dilarang" Sifa pun ragu-ragu.
"Kita ini seiman Sifa, tetapi kamu melakukan operasi bukan untuk merubah wajah kamu yang sudah Allah ciptakan. Tapi, kamu operasi untuk kesembuhan dan mengembalikan wajah kamu yang rusak" Alvin pun akhirnya ceramah panjang lebar.
"Baiklah" Sifa pun akhirnya melangkah tanpa ragu masuk ke dalam klinik. Tiba di depan salah satu ruangan, Alvin mengetuk pintu.
"Selamat pagi Dokter Jiwoo" ucap Alvin di ikuti Sifa di belakang.
"Sudah ada janji?" Tanya Jiwoo, memandangi putra pengusa di negaranya yang sudah terkenal itu.
"Saya mengantar sahabat saya Dok" Alvin menunjukkan surat rujukan yang diberikan dokter Edwar.
Jiwoo membaca surat tersebut kemudian manggut-manggut. Pemeriksaan medis terhadap Sifa pun segera Jiwoo lakukan.
Keesokan harinya, pelaksanaan operasi pun segera dilaksanakan.
15 hari kemudian.
"Terimakasih Al, aku siap bekerja apapun untuk menyicil hutang-hutang aku" ucap Sifa. Wajahnya kini telah kembali lagi bahkan lebih cantik. Jiwoo adalah dokter hebat tentu saja hasil operasi tersebut maksimal.
"Apa tidak sebaiknya kamu kembali ke Indonesia Sif?" Alvin tentu saja bisa memasukkan Sifa ke cabang kosmetik miliknya yang berada di Indonesia.
"Jangan sekarang Al, aku mohon" Sifa akan menyembuhkan trauma untuk sementara waktu.
"Baiklah, nanti aku tanya Papa ada lowongan kerja tidak di kantor" Alvin mengajak Sifa mengunjungi kediaman orang tuanya.
Rumah tidak terlalu besar tetapi desain unik dan rapi nampak di pinggir jalan. Alvin mengajak Sifa masuk ke rumah itu. Tiba di halaman, Sifa mengikuti Alvin menapaki anak tangga yang berkelok khas desain rumah ala negara K.
"Mama..." seru Alvin, kepada wanita yang duduk di sofa menyilang kaki. Si wanita segera berdiri ketika menatap putranya datang.
Sifa deg degan di belakang Alvin, nampak Alvin memeluk wanita paruh baya yang berkulit putih, wajah cantik seperti kebanyakan wanita yang berasal dari negara K.
"Kamu ini pulang dari Indonesia kok tidak langsung pulang sih, Vin" Protes mama Alvin setelah merenggangkan pelukan.
"Ada urusan penting Ma? Papa mana?" Alvin tidak mengatakan bahwa hampir 15 hari menemani Sifa.
"Papa kamu di kantor" Wanita itu pun baru menyadari bahwa Alvin tidak sendiri, ketika tatapan matanya tertuju kepada wanita cantik di belakang Alvin.
"Oh iya Ma, kenalkan. Ini Sifa teman aku dari Jakarta" Alvin menarik pelan tangan Sifa ke sebelahnya.
"Selamat Pagi Tante..." Sifa tersenyum lalu mengulurkan tangan.
"Selamat pagi, mari-mari duduk" titah wanita yang bernama Minji itu.
Sifa tersenyum lega, ternyata kehadirannya disambut ramah oleh mama Alvin. Sifa pun duduk berhadapan dengan Minji. Beberapa pertanyaan dilontarkan Minji tentu tentang hubungan Alvin dengan Sifa.
"Kami hanya bersahabat Ma" Alvin yang menjawab.
"Benar Tante" Sebenarnya Sifa ingin menceritakan bahwa Alvin telah menolong dirinya. Namun, ketika Alvin keberatan entah apa alasannya, Sifa lebih baik tidak melanjutkan.
"Sifa ini mau mencari kerja Ma, kira-kira di kantor Papa ada lowongan tidak?" Tanya Alvin ke pertanyaan inti.
"Mama tidak tahu, Vin" Minji memang tidak pernah terjun ke perusahaan kosmetik sang suami. "Lebih baik kamu temui Papa di kantor" saran Minji.
"Baik Ma"
Selama kurang lebih satu jam di tempat itu, Alvin mengajak Sifa ke perusahaan.
Ketika tiba di salah satu ruangan, banyak pajangan koleksi parfum merk ternama yang sudah tersebar di seluruh dunia. Sifa berhenti sejenak ketika tatapan matanya tertuju pada botol parfum sebesar jempol kaki orang dewasa itu, tetapi harganya selangit. Mengingatkan Sifa kepada pria yang tidak lebih dari seorang pria pembunuh berdarah dingin, yang tak lain adalah Felix. Pria yang hampir membunuhnya itu selalu menggunakan Parfum tersebut. Tiba-tiba saja wajah Sifa merah padam, semua hal yang ada kaitannya dengan Felix, rasanya ingin ia banting.
"Sifa... ada apa..." Alvin pun terkejut ketika menatap wajah Sifa yang tiba-tiba angker.
"Tidak Al" Sifa pun kembali berjalan, bersebelahan dengan Alvin.
"Sifa, aku boleh tahu sedikit tentang kamu?" Tanya Alvin ingin tahu apa yang terjadi dengan masa lalu Sifa, karena Alvin sering memergoki Sifa yang tiba-tiba mengumpat seorang diri, sering murung dan seperti yang baru saja ia lihat.
"Tentang aku?" Sifa menunjuk dadanya.
"Maksudnya, kenapa kamu dulu bercerai dengan suami kamu?"
"Lebih tepatnya orang ketiga penyebabnya Al" Sifa hanya mengatakan sepenggal kisah rumah tangganya dengan Aksa. Namun, Sifa akan menyembunyikan masalahnya dengan Felix sebelum dendamnya terbalas.
"Yang sabar Sif, itu artinya kamu belum berjodoh" Alvin memberi semangat.
"Kamu benar Al" Sifa mengangguk.
"Oh iya, perusahaan Papa kamu selain produksi parfum, apa lagi, Al?" Sifa mengalihkan.
"Ayo, aku tunjukkan" Alvin mengajak Sifa masuk ke dalam gudang.
Sifa lebih kaget lagi ketika tiba di gudang untuk menyimpan berbagai kosmetik. Lagi-lagi mengingatkan Sifa pada perusahaan di mana satu bulan yang lalu ia masih bekerja di sana. Namun, menyebabkan luka, bukan hanya luka tubuhnya yang baru saja sembuh. Tetapi luka hati yang tidak mudah bagi Sifa untuk mengobati. Trauma yang disebabkan oleh Felix membuat Sifa sebenarnya ragu untuk bekerja lagi di tempat itu. Tetapi tentu saja Sifa tidak akan banyak protes pada Alvin yang sudah menolongnya. Sifa hanya bisa minta perlindungan dari yang kuasa semoga Alvin menolongnya tanpa pamrih.
Setelah melihat-lihat, Sifa mengikuti Alvin ke salah satu ruangan. Pria berdasi nampak dari samping bahwa pria itu orang Indonesia.
"Itu Papa kamu Al?" Tanya Sifa pelan.
"Iya" Alvin menjawab pendek.
"Dari Indonesia ya?" Cecar Sifa.
Alvin menuturkan jika sang papa berasal dari Indonesia dan menikah dengan Minji asli negeri K.
"Selamat pagi Pa" ucap Alvin.
Papa Alvin pun mengangkat kepala, menampakkan rahang tegas selayaknya seorang pemimpin pada umumnya.
"Kamu Vin, duduk" titah pria yang irit bicara itu. Setelah berbasa-basi selayaknya papa dengan anak. Pria yang bernama Adhitama itu menanyakan cabang kosmetik yang dikelola Alvin di Indonesia.
"Lancar Pa" Jawab Alvin, kemudian mengatakan tujuan utama yaitu menanyakan lowongan kerja untuk Sifa.
"Ada, tetapi bagian produksi" jawab Adhitama. Adhitama pun akhirnya minta Alvin mengantar Sifa ke ruang hrd, melanjutkan wawancara tentunya.
Dengan pengalaman yang Sifa dapatkan dari perusahaan yang terdahulu, Sifa pun akhirnya diterima kerja.
Sifa yang sebenarnya belum mengetahui tentang kosmetik, tetapi ia bersemangat bekerja. Di tempatkan bagian produksi, tentu Sifa akan mendapatkan banyak ilmu. Beruntung bagi Sifa, ia yang belum tahu seluk beluk negara K, diizinkan tinggal di kediaman Minji.
"Mama malah senang kok" Minji yang memang menginginkan anak perempuan, tetapi tidak dikabulkan oleh Tuhan, Sifa ia anggap sebagai anak sendiri.
"Sifa, aku harus kembali ke Indonesia" kata Alvin pagi itu, ia sudah menarik koper akan ke bandara.
"Hati-hati Al, terimakasih untuk semuanya" Sifa mengantar Alvin ke bandara, sebelum akhirnya berangkat ke pabrik. Begitulah hari-hari Sifa lalui dengan senang bekerja sekaligus menimba Ilmu.
6 bulan kemudian.
Wanita cantik berambut pirang tiba di bandara Jakarta. Ia menuruni tangga pesawat kemudian melangkah dengan Anggun.
"Sifa ya?" Tanya seseorang di luar pagar.
...~Bersambung~...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!