NovelToon NovelToon

Memori Pena

Pena (Semi Prolog)

...Kabur,...

...Penuh akan dirimu, hatiku remuk,...

...Kecewa, hingga akhirnya kau lenyap begitu saja,...

...Permainan petak umpet ini tak ada hentinya,...

...Kau tak pernah ketemu...

...Akankah ada seseorang yang bisa aku tanyakan jalan menujumu ?...

...••★••...

Goresan Pena terakhir ini

Kini tinggalah kenangan

Yang pernah kita ukir bersama

Sekarang kau tak tahu di mana

Tak ada secarik balasan untuk ku

Akankah titik ini titik terakhir

Yang mengakhiri kisah kita?

Kisah kau dan aku

...*****...

Garis lurus terasa pedas

String kata terasa kurang ajar

Pilihan istilah terkonsentrasi terasa lengket nan menjijikan

Runtutan ekspresi seram terasa kejam

Baris puisi manis terasa sinis

Puisi tenang sinis terasa sakit menyayat hati

Saya tidak bisa selalu menulis kata-kata indah

Saya tidak bisa selalu berjalan dengan anggun

Saya tidak bisa selalu baik untuk disanjung

Saya tidak bisa selalu menjadi pawang emosi

Saya ingin meluapkan semuanya

Rasa marah

Rasa sedih

Rasa takut

Melalui kata-kata penuh makna

Yang kau bisa camkan artinya

Meski pun terkadang berbeda rasanya

...••★••...

Gadis itu bertahan di atas kakinya yang kurus dengan ketar-ketir, tangannya erat di pagar pendek pembatas rooftop apartemen. Tengah malam begini, aku hampir berpikir, apa dia sudah mati? Kenapa gentayangan tak tahu waktu? Mana masih gadis pula. Pamali kata ibuku keluyuran tengah malam seperti ini.

Lalu kusadari dia masih hidup. Bayangannya ikut bergerak ketika tubuhnya berbalik menghadapku. Helaian rambut panjangnya berkibar-kibar seirama dengan dres putihnya. Harap tenang dan jangan cemas! Dresnya pendek dengan bunga-bunga di sekitar pinggangnya. Giginya gemeletuk barangkali dia menggigil kedinginan. Air matanya mengalir sampai ke bibir merah darahnya. Hemm ... sepertinya dia sudah siap dikuburkan pagi ini.

Aku menghampirinya perlahan, tetapi dengan langkah yang dihentak-hentakkan supaya kesadarannya bangkit. "Hey, apa butuh tukang rekam? Aku dengan sukarela akan merekam pertunjukanmu itu!" ujar diriku dengan senyum lima jari.

"Aku tidak membutuhkan itu, siapa kau?" ujarnya, astaga dia pemarah sekali.

"Mungkin aku wakil malaikat mautmu? Hihihihi. Aku jadi teringat sesuatu, kau tahu dulu ada bocah yang baru lulus SMA tepat di posisimu itu, persis sekali dengan pose seperti itu," ujarku.

"Mau apa dia? Apa kau kenal, Kak?" tanyanya, aku rasa dia akan tertarik dengan hal ini.

"Tentu aku kenal. Dia mau loncat dari atap ini. Gila sekali dia! Bocah bau kencur seperti dia hancur gara-gara cinta monyet yang sangat konyol." Sungguh aku juga tak yakin mengapa aku sampai memikirkan itu semua, konyol sekali. Untung aku masih cinta dunia, ogah mati muda, dan takut aku akan ditagih rentenir tanah pekuburan itu. Aku masih ingin hidup lebih lama menikmati semua aset berharga milik orang tuaku, sekaligus menebus dosa-dosa yang telah kuperbuat; Aku sadar, sih! Makin lama aku hidup makin banyak dosa yang kuperbuat, benar-benar beban orang tua dunia akhirat.

Oh, Tuhan, mengapa Kau ciptakan aku sangat unik macam ini, aku ingin membahagiakan orang tuaku, tapi aku selalu menyusahkan mereka.

"Apa dia sudah mangkat?"

"Belum. Waktu itu niatnya batal, karena rasa lapar dan kedinginan mungkin."

Jari-jari gadis itu mencengkram pagar dengan kuat, seperti balita yang mainanya direbut paksa. Aku heran kenapa berpegangan sebegitu kencangnya, padahal dia sudah berdandan cantik seperti sudah siap dimasukan ke liang lahat.

Aku menghela napas. Udara makin dingin, terbukti kini tanganku gatal-gatal karena alergi dinginku kambuh. Kutengok jam biru yang setia menggenggam erat tanganku, sudah jam 12 ternyata. Terdengar suara-suara seperti biasa ada yang menangis kemudian tertawa.

"Jadi nggak?"

Si gadis itu termenung, matanya kini sudah seperti mata kuntilanak di pohon depan. Sudah cantik dengan make up ala-ala jenazah itu ternyata dia jorok juga, dia menghapus ingusnya menggunakan dres yang basah akan keringat dingin, air mata plus ingusnya.

"Aku baru lulus SMP," ucap gadis itu tiba-tiba, sambil memandangi jalan raya di bawahnya, "Aku putus dengan pacarku, kami sudah pacaran selama 3 tahun. Aku sangat mencintainya, dia sangat baik. Aku ingin menyusulnya ke surga. Selepas kami putus dia mengalami kecelakaan yang merenggut nyawanya-kami putus karena ibunya tak menyukaiku hiks hiks, kenapa dia yang pergi duluan?"

"Karena sudah takdir, kamu punya keluarga?" tanyaku.

Si gadis itu makin terisak. "Papahku menikah lagi, Mamahku sudah meninggal 2 tahun yang lalu."

"Lalu Mamah tirimu, bagaimana?"

"Dia baik, tapi sangat cerewet mengaturku seenak jidatnya!" ujar gadis itu, sambil mendengus sebal

"Itu sudah biasa, maklumlah ibu-ibu hihihi"

"Ahh kakak ini, kenapa tertawa seperti itu buat aku takut saja"

"Ah.." kataku paham,"mungkin, itu juga yang dipikirkan anak itu."

"Siapa?"

"Bocah SMA yang tadi kubilang pernah mau bunuh diri juga sepertimu." Aku memberi tahu. " Dulu, ada seorang anak perempuan yang hendak melompat dari sini sambil membawa pena, tapi batal karena penanya terjatuh duluan."

"Apa hubungannya?"

"Tidak ada. Tapi mungkin saja dia sadar gedung ini sangat tinggi makanya penanya itu patah saat terjatuh dari sini, saat itu dia turun lagi untuk mengambil penanya, sungguh anak yang konyol. Setidaknya dia tidak jadi bunuh diri karena hal sesepele itu."

Aku bisa melihat pikiran gadis itu mulai goyah. "Ka-kak ... berniat memberi harapan padaku? Makanya mengajak ku mengobrol tentang ini?"

"Semacam itu, tetapi semua itu kembali kepadamu lagi!"

Kami kemudian dijerat keheningan selama beberapa menit. Lama-lama, aku semakin kedinginan. Para arwah di sekitar tampak mulai bosan, salah satunya kuntilanak di pohon depan yang kini sudah tak tertawa lagi entah dia pergi kemana. Sebagian besar arwah-arwah itu mencibir kepengecutan si gadis. Beberapa arwah juga memasang raut heran sekaligus jijik lantaran gadis itu berulang-kali menyebut nama Tuhannya-ironi dari posisinya yang menantang maut dan pola pikirnya yang berubah-ubah, sebentar-sebentar mengucap doa, sebentar-sebentar bermonolog bahwa dirinya tak takut untuk mati sekarang juga.

"Sudahlah, jika tak butuh bantuanku untuk merekam jejak terakhirmu, aku pergi saja!" Sudah tiga langkah aku menuju pintu, tiba-tiba dia memanggilku "Apa? Mau aku rekam sekarang?" gadis itu mengeleng pelan. "Tolong bantu aku naik, aku tak mau mati sekaranng!"

Kutarik gadis itu sampai tepat ke dalam pagar pembatas. Kakinya langsung ambruk ke lantai. Kerongkongannya mengeluarkan suara tangis yang amat nelangsa, napasnya tersendat-sendat, sekujur tubuhnya tampak gemetar. Kuselonjorkan kakiku lalu memasukannya ke ruas-ruas pagar, lalu duduk menghadap jalan raya di bawah sana. Kukeluarkan botol minyak kayu putih dari dalam kantong jaketku. Si gadis memelototi tanganku yang sudah ruam cukup parah.

"Kak, kakak alergi dingin?" ujar gadis itu.

Iya, gara-gara kamu ini!" ujarku cengengesan.

"Kakak mengapa keluar malam-malam begini?"

"Aku tidak bisa tidur. Hey, aku tak pernah melihatmu sebelumnya? kau baru pindahan?"

"Aku tidak tinggal di apartemen ini kak, aku kemari untuk mengunjungi apartemen mantan pacarku itu-sekaligus bunuh diri aslinya." Wah ternyata gadis ini benar-benar memantapkan hati untuk melakukan tindakan itu.

"Ooo, siapa namamu?"

"Aku Fidelya, kakak bisa memanggilku Lia. Kakak sendiri?" Aku menerima uluran tangannya. "Vika. Omong-omong disini semakin dingin, kau tak pulang? pasti orang tuamu sedang cemas saat ini."

"Kalau aku pulang sekarang mereka pasti memarahiku, lebih baik pulang pagi saja."

"Kedua hal itu tidak ada bedanya,mereka sama-sama memarahi mu nantinya. Begini, lebih baik sekarang kita ke apartemenku, soal kau mau pulang pagi dan menginap di kamarku tak masalah."

"Wahh, terima kasih Kak!"

******

Kami berdua sudah tiba di apartemenku, aku mempersilahkannya duduk. Sementara itu kubuatkan secangkir coklat hangat untuknya.

"Diminum!" ujarku sambil memberikan cangkir itu, "Makasih, Kak apa kakak bisa bercerita tentang anak SMA itu?"

"Yakin kau mau mendengarkannya? Cerita ini akan sangat panjang kau tahu?" ungkapku

"Iya aku mau, aku janji tidak akan tertidur di tengah cerita kakak!" Lia, mengangkat satu tangannya selayaknya orang bersumpah.

"Sebentar, cerita mulai dari mana, Yah? Bingung aku, hehehe," ujarku sambil menggaruk tengkuk. "Dari mana saja, Kak!" ucap Lia, di tengah-tengah menengguk coklat hangatnya.

"Mungkin di jadikan dongeng lebih menyenangkan, jangan tidur loh!"

"Iya kak, tadi kan aku sudah janji!"

"Oke, aku mulai."

•••••

Hiiii🤗

Makasih sudah mau baca, syukur-syukur bantu razia typo dan kawan-kawannya

Luv You All💙🌻

^^^🐞Kepiksenja^^^

Prolog

Malam itu hujan mengguyur bumi dengan derasnya. Membuat orang-orang yang jatuh cinta hanyut dalam syahdunya perasaan, orang-orang yang sedang menunggu terasa ditemani dengan melodi yang merdu, ada pula orang-orang yang semakin sakit setelah menerima luka. Salah satunya adalah seorang gadis yang tengah beringsut memeluk kakinya. Kepala gadis itu tertunduk, air mata terus merembes dari kedua pelupuknya. Hidungnya memerah, gumaman-gumaman tak jelas keluar dari bibir mungilnya. Perlahan kedua tangannya bergerak menutupi telinga, berusaha keras untuk tidak mendengar apa yang dikatakan orang-orang di luar kamarnya.

Kamar yang biasanya terang kini taram temaram. Sama seperti hatinya, yang kehilangan cahaya petunjuk arah. Mengapa harus dia yang terluka? Berapa banyak duka yang harus dia emban? Apa tak cukup dia berduka, mengalah untuk segalanya?

Dia ingin pergi, menyusul kakeknya menuju alam lain. Berulang kali mencoba untuk mengakhiri hidup, tapi selalu gagal. Seakan-akan Sang Pencipta ingin menunjukan bahwa belum saatnya dia pulang, padahal dia sudah sangat lelah akan semua hal.

Hatinya mencelos ketika mendengar perdebatan di balik pintu kamarnya. Semua orang saling berteriak, memperdebatkan dirinya yang membawa sial, bahkan kedua orang tuanya lebih memilih pergi meninggalkannya keluar negeri. Mereka hanya pulang di acara-acara tertentu, mereka bohong tentang rasa sayang mereka kepada gadis itu.

"Kenapa harus dimasukkan ke panti asuhan? Ibu masih mampu mengurus Vika. Dia cucu ibu, dia juga anak mbakmu!" terdengar suara berat seorang wanita paruh baya. Kalimat terakhirnya menekankan bahwa mereka satu aliran darah.

"Ibu mau mati seperti besan ibu?! Dia pembawa sial, Bu. Kalo Ibu mengurusnya, Ibu bisa ikut sakit lalu meninggal. Bahkan orang tuannya saja tak mau mengurusnya, karena takut itu terjadi kepada mereka. Hendra juga nggak mau itu terjadi kepada Ibu." Itu adalah suara pria yang menentang seorang nenek untuk mengurus cucunya. Padahal cucu itu sudah tidak punya siapa-siap lagi. Dia lebih menyarankan untuk sang cucu diberikan kepada panti asuhan saja. 

"Tutup mulut kamu, Hendra! Vika juga keponakan kamu. Anaknya Indah!" Suara wanita paruh baya itu meninggi. Kemudian terdengar helaan nafas lelah. Mungkin karena perdebatan kecil itu cukup menguras tenaganya. Apalagi di usianya yang sudah senja. "Ibu tidak memerlukan izin kamu untuk merawat cucu ibu sendiri. Kamu suka atau tidak, Ibu akan tetap merawat Vika."

"Baiklah jika itu sudah menjadi keputusan mutlak Ibu. Saya menyerah membuat ibu sadar. Silahkan rawat anak pembawa sial itu, Hendra tidak akan melarang. Tapi satu hal yang perlu Ibu ingat, Hendra tidak akan sudi menganggapnya sebagai keponakan Hendra." Terdengar suara derap langkah yang kian menjauh. Dari dalam kamar juga gadis itu bisa mendengar neneknya berulang kali memanggil nama anaknya. Tapi tak ia gubris,  sang anak tetap menjauh sampai terdengar bantingan pintu.

Sedangkan gadis itu sibuk berkutat dengan segala emosinya, seharusnya dirinya tidak ada di dunia ini. Eyangnya pernah berkata bahwa seharusnya dia sudah mati, dari nama yang ia emban di kelahiran sebelumnya saja sudah menjadi patokan agar dirinya tetap tenang di sisi Sang Pencipta. Dulu namanya "Khusnul Khotimah", ia dinamai seperti itu karena sudah terlanjur mati saat belum diberi nama—ironi sekali dengan sekarang, kini namanya "Vika Syafara", kemenangan yang istimewa tapi mengapa dirinya selalu kalah? Seperti sudah kewajibannya untuk mengalah, kepada adiknya, teman-temannya, waktu, cinta, dan segalanya.

Suara derit pintu yang dibuka lantas membuatnya menengadah. Lampu kamarnya kemudian menyala membuat matanya sedikit mengerjap untuk menyesuaikan dengan cahaya lampu. Dia bisa melihat wanita paruh baya yang berjalan ke arahnya sambil tersenyum hangat, wanita paruh baya itu eyangnya.

"Kamu dengar semuanya, Sayang?" tanya sang eyang sambil duduk di ujung kasur. Matanya memancarkan rasa bersalah yang begitu besar ketika kepala gadis itu mengangguk. Kemudian diusapnya rambut gadis itu dengan sayang. "Jangan dengar om kamu, dia cuma kaget kalau tahu kakek kamu sudah meninggal." Gadis itu tersenyum kecut. Mau sekeras apapun eyangnya menghibur, kenyatannya tetap mengatakan bahwa kehadirannya tidak di terima di keluarga kedua orang tuanya.

Jauh di dalam lubuk hatinya, wanita setengah baya itu menyalahkan diri sendiri. Seandainya saat itu ia tak memberi tahu apa yang fisinya perlihatkan, kepada orang lain, mungkin semuanya tidak akan berakhir seperti ini. Mungkin dia masih bisa melihat cucu perempuannya itu tersenyum bahagia, bukan murung seperti ini, menjadi peribadi yang tertutup, dingin. Semua itu karena pandangan orang lain yang menilainya sebagai anak pembawa sial.

"Kamu mau 'kan tinggal sama Eyang?"

Seketika gadis itu menelan ludahnya susah payah. Dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi sekarang, dan mungkin hanya eyangnya yang mau menerimanya. Tidak ada siapa-siapa lagi, bahkan kedua orang tuanya juga lebih memilih pergi jauh-jauh darinya. Omnya juga terlihat sangat membencinya. Tapi itulah yang jadi bahan pertimbangannya. Dia sangat yakin, jika dia tinggal bersama eyangnya, maka hubungan ibu dan anak akan rusak. Tapi di sisi lain juga, dia tidak bisa hidup sendirian.

"Jagan pikirin Om Hendra. Eyang yakin, sebentar lagi juga Om Hendra bakalan nerima kamu. Dia hanya butuh sedikit waktu." Wanita paruh baya itu merapihkan surai cucunya. Tak bisa ia tampik, dia bisa melihat sosok putri kesayangannya di wajah cucunya itu. "Sekarang kamu siapkan barang-barang apa saja yang mau dibawa ke rumah Eyang."

...***...

Gadis yang saat ini tengah terpana melihat rumah di depannya ialah Vika, Vika Syafara. Seorang remaja 16 tahun yang harus menjadi sebatang kara karena kedua orang tuanya pergi keluar negeri setahun yang lalu, mereka bahkan putus kontak selama ini. Sebelumnya, dia diasuh oleh kakeknya seorang diri, kini kakeknya telah meninggal. Seperti perkataan omnya kemarin, dia merasa menjadi pembawa sial bagi semua orang yang di dekatnya. Bahkan dia nyaris membunuh adiknya, setahun yang lalu mereka kecelakaan karena Vika tak bisa menghindari pengendara mobil, saat berboncengan sepeda motor dengan adiknya yang kala itu masih kelas 6 SD. Dan kemarin sore dia harus merelakan kakeknya pergi. Meninggal karena sakit-sakitan. Orang-orang berkata seharusnya Vika yang merawat kakeknya, tapi malah pria usia senja itu yang merawatnya mati-matian.

Sebenarnya dia setengah hati untuk ikut tinggal bersama eyangnya, dia takut akan membawa sial kepada eyangnya. Tapi mau bagaimana lagi, kedua orang tuanya juga menelantarkannya, dia hanya sebatang kara. Tidak mungkin dia mencukupi kebutuhannya sendiri, sementara dia masih bersekolah. Walau orang tuanya rutin mengirimkan uang kepadanya 3 bulan sekali, itu tidaklah cukup untuk membayar SPP sekolahnya. Vika hanya bisa berdoa, agar kali ini Sang Pencipta berbaik hati. Dia tidak mau sendiri lagi seperti kemarin, hanya eyangnya yang saat ini bisa menjadi haluannya.

"Kenapa bengong begitu? Ayo, masuk!" Bu Sinta, Eyang Vika, menarik lengannya menuju pintu masuk. Dengan sedikit gelagapan, Vika melangkahkan kakinya.

Vika hanya pernah berkunjung kemari sekali, itu pun saat dia masih duduk di bangku kelas 4 SD. Selama ini dia juga jarang berkomunikasi dengan eyangnya. Vika benar-benar kagum dengan rumah di hadapannya, rumah ini benar-benar megah, halaman depan pun dihiasi dengan berbagai macam bunga. Taman halaman depan seperti dua kali lipat luas rumah orang tuanya. Desain rumah itu seperti menggunakan gaya klasik Amerika, antik tapi elegan. Tidak salah Vika memiliki nenek sekaya itu? Ia bahkan tak pernah bermimpi tinggal di rumah ini sebelumnya.

Vika sangat yakin, seluruh funiture yang ada di rumah ini pasti harganya tinggi. Setelah melewati ruang tamu yang membuatnya terkagum-kagum, Vika dibuat sakit hati ketika melihat satu sisi tembok ruang keluarga yang memajang foto keluarga berukuran besar. Meski terlihat lebih muda, tapi Vika yakin wanita yang duduk bersama seorang pria dan diapit oleh dua anak remaja itu pasti neneknya. Beliau tampak terlihat begitu bahagia di foto itu. Vika juga melihat tangan Om Hendra merangkul bahunya.

"Kamu mau kamar yang mana? Di lantai atas masih ada kamar kosong, samping kamar eyang."

Vika dibuat terkejut dengan suara eyangnya. Tanpa sadar kepalanya melirik lantai atas. Rumah yang sangat megah, dia merasa tidak pantas untuk tinggal sana. Tapi kemudian matanya melirik pintu kamar yang ada di belakang sofa. "Aku pilih kamar ini aja eyang," Vika menunjuk kamar itu.

Eyang Sinta tersenyum. Dia tahu pasti cucunya masih merasa asing dengannya, sangat wajar, mereka baru bertemu kembali setelah 6 tahun lamanya. Ingin sekali dia memarahi Bu Indah, karena sudah bertahun-tahun ini dia di luar negeri seperti lupa akan jalan pulang. "Eyang harap, kamu bisa cepat beradaptasi dengan lingkungan baru. Kalau kamu butuh apa-apa, kamu bisa mita tolong ke Bu Jumi, asisten rumah tangga di sini, kalau eyang nggak ada."

Vika hanya menganguk sambil tersenyum kaku. Setelah melihat eyang berjalan ke lantai atas, barulah ia memasuki kamar barunya. Seperti yang sudah ia bayangkan, kamarnya benar-benar mewah. Pintu kamar tiba-tiba diketuk. Saat membukannya Eyang Sinta tersenyum sambil menyodorkan stopmap biru kepadanya. "Ini formulir pendaftaran ke sekolah baru kamu. Sekolahnya deket dari sini kok. Tapi kalau kamu butuh sopir untuk antar jemput, eyang akan—"

"Nggak perlu, Eyang" potong Vika dengan cepat, dia tahu akan kemana arah pembicaraan mereka berlangsung, "sudah terlalu banyak yang eyang kasih ke aku. Aku bisa kok naik motor kakek, atau angkutan umum."

Pandangan Eyang Sinta tiba-tiba melembut, membuat Vika dilanda cemas, ia takut salah bicara dan membuat Eyangnya tersinggung. Sungguh dia sangat segan menerima pemberian dari eyangnya, baginya ini sudah lebih dari cukup. "Kamu sangat mirip dengan Indah."

Hati Vika mencelos begitu saja ketika mendengar nama ibunya. Rindu yang menggunung selama setahun ini tiba-tiba longsor tak terkendali. Matanya sudah memanas pertanda akan menangis detik itu juga, tapi Vika berusaha menahannya sekeras mungkin. Dia tak mau menangis di depan Eyang Sinta, karena hal itu juga akan membuat beliau sedih. Vika berusaha menampilkan senyum terbaiknya. "Makasih, Eyang. Aku akan rajin belajar dan bikin eyang bangga. Kalau begitu Vika masuk dulu," pamitnya yang diangguki oleh Eyang Sinta.

Begitu selesai mengunci pintu, Vika tersungkur di pinggir tempat tidurnya dan menangis sejadi-jadinya. Tanpa ia ketahui, Eyang Sinta juga melakukan hal yang sama di balik pintu itu.

**

*

Awal yang memilukan hiks ಥ⁠‿⁠ಥ.... Semoga kalian suka ya sama ceritanya...

Pandangan Pertama

Pagi ini Vika akan pergi ke sekolah barunya, begitu selesai bersiap-siap ia segara bergabung di meja makan. Suasana canggung masih menyelimuti interaksi antara Vika dan Eyang Sinta. Karena ini adalah kali pertama mereka makan berdua. "Eyang, nanti Vika berangkat naik ojek online." Entah mengapa rasanya Vika ingin memberi tahu apa yang akan dia tumpangi untuk menuju ke sekolah barunya.

"Padahal Eyang baru aja mau suruh Pak Aryo buat anter kamu, tapi malah kamu mau naik ojek online. Yaudah kamu hati-hati aja ya, langsung pulang kalau sekolahnya sudah selesai."Ujar Eyang Sinta

Vika hanya menanggapi dengan senyuman serta anggukkan, ia masih belum nyaman saja karena ini kali pertama mereka bertemu setelah 6 tahun. Sudah lebih dari cukup Vika rasa, semua yang eyang berikan kepadanya. Vika berjanji akan menebus semua ini, ia akan rajin belajar supaya bisa membanggakan eyang.

Vika memandang takjub akan sekolah barunya. Sekolah ini sangat megah, pasti eyang harus membayar SPP yang tinggi untuk menyekolahkannya di sini. Dari luar saja sudah terlihat betapa tak pantasnya Vika bersekolah di sini. Vika itu kurang pintar, nilai ujian pas KKM saja dia sudah bersyukur. Bagaimana dia bisa menyesuaikan diri di sekolah baru ini?

"Semangat Vik, kamu pasti bisa!" Vika memberikan semangat pada dirinya sendiri, jika bukan dirinya siapa lagi?

10 IPA 3, itu kelas yang akan ia tempati saat ini. Mungkin di sekolah yang sebelumnya ia bisa bertahan di kelas IPA, tapi entah kalau sekarang. Sepanjang jalan banyak yang menatapnya, atau mungkin lebih ke tas bermerek yang di gendongnya, Semalam Eyang Sinta memberikan tas itu, juga yang lainnya seperti seragam yang ia kenakan saat ini, sebetulnya dia juga di berikan sepatu baru oleh eyang, tapi sayang bila di pakai sekarang karena sepatu lama Vika masih bagus. Dia diantar oleh Bu Pertiwi selaku guru BP di SMA Nusa Bakti. Vika tidak banyak bicara, dia lebih sering menunduk ketika semua orang yang di laluinya menatapnya. Sudah begitu sejak dulu karena Vika menjadi korban bully di sekolah lamanya.

"Vika silahkan duduk di pojok depan, tidak apa-apa kan?" tanya Bu Pertiwi ketika sampai di kelas baru Vika. Tentu saja semua seisi kelas melihat kedepan, tepat dimana Vika berdiri. "Yang lain sudah isi, tinggal itu saja yang masih kosong."

"Tidak apa-apa, Bu." Jawab Vika dengan singkat, setelah Bu Pertiwi mempersilahkan dan keluar dari kelas itu Vika segera menempati bangkunya. Bu Pertiwi juga sempat memberi tahu kepada murid yang lain untuk mau berteman dengan Vika. Semuanya menjawab dengan kompak, siap menjalankan amanat dari beliau.

Hal itu sama sekali bukan sesuatu yang diharapkan oleh Vika. Dia sudah terbiasa sendiri dan duduk di belakang. Tak ada yang mau berteman dengannya karena rumor dia membawa sial, katanya dia aneh, dan berotak dangkal. Semua itu tak bisa Vika tepis, karena memang begitu adanya.

"Pindahan dari mana?" tanya dua orang siswi yang menyambut kedatangan Vika. Mereka duduk di samping dan belakang bangku Vika.

Cantik, itulah kesan pertama yang Vika lihat dari kedua siswi tersebut. Apalagi kalau sedang tersenyum seperti sekarang. "Aku dari Jawa Tengah," jawabnya singkat. Vika tak pintar berinteraksi dengan orang lain, karena dia tidak biasa.

"Kenalin, nama gue Anandita. Teman-teman yang lain biasa panggil gue Dita dan sahabat gue ini namanya Nalita, panggil aja lita," siswi tersebut mengulurkan tangan, langsung saja Vika menyambut uluran tangannya begitu pun dengan siswi satunya lagi.

...***...

Jam istirahat, semua siswa langsung berbondong-bondong menuju kantin untuk mengisi perut mereka begitu pula dengan Vika, karena dia harus fokus kepada pelajaran selanjutnya. Beberapa hari berkabung atas meninggalnya kakek membuat Vika kurang berkonsentrasi ditambah ia tak belajar sama sekali. Nanti Vika harus belajar maraton agar tidak kebingungan jika guru sedang menerangkan pelajaran, bukan belajar juga sih, lebih tepatnya membuat catatan kecil dan membaca beberapa buku.

"Ke kantin bareng, Yuk!"

Pergerakan Vika ketika menarik resleting tas untuk mengambil uang pun terhenti, ketika Dita mengajaknya ke kantin bersama-sama. Sejenak Vika kebingungan, tolong sadarkan Vika dari mimpi yang indah ini jika ia tak sengaja tertidur di kelas. Vika hanya bisa memandang Dita dengan penuh tanya. Dan ketika gadis itu mengangguk, Vika tahu bahwa dia sedang tak bermimpi. Sesederhana itu tapi cukup membuat Vika senang, selama ini dia bahkan tak pernah diajak ke kantin oleh teman-teman di sekolah lamanya. Vika langsung mengikuti Dita dan Lita menuju ke kantin, tak lupa dia membawa uang saku dari eyangnya itu.

Rupanya buka cuma bangunan sekolah saja yang megah. Tapi kantin yang terletak di pojok belakang sekolah juga sama megahnya tidak seperti kantin di sekolahnya yang dulu. Setiap warung pedagang disekat dengan tembok, warung-warung itu juga memiliki garis antre, yang berarti semua harus mengantre tidak boleh mendahului sama sekali. Meja dan kursi makan ditata rapi menyebar ke seluruh penjuru kantin.

"Kalian mau beli apa?" tanya Dita, berhasil membuat kesadaran Vika kembali.

"Gue mau beli bakso. Kalian mau juga?" Ujar Lita

"Boleh," jawab Vika sambil mengekori Lita. "Eh. Gue titip sekalian!" Seru Dita. "Siap Bos." sahut Lita.

Sementara Dita mencari meja kosong, Vika dan Lita mengantre di pedagang bakso. Sama sekali tidak ada antrean yang pendek di semua warung, semua murid berjajar panjang menunggu giliran. Perbedaan yang paling mencolok dengan sekolah Vika yang dulu adalah di sini tidak ada satu pun siswa yang berteriak meminta orang terdepan untuk cepat menyingkir. Mereka mengantre dalam diam atau pun bercengkrama dengan teman yang lain. Ada juga yang sibuk dengan ponselnya, ada juga yang lebih memilih melamun seperti Vika. Sebetulnya tidak bisa dikatakan melamun juga, karena pandangan Vika terfokus pada meja dimana para cowok yang terlihat sangat akrab sekali, mereka tertawa bersama karena satu pria yang mempunyai humor tinggi menurut Vika.

Pria itu seketika berhenti tertawa, ia balik menatap Vika tajam. Sepertinya dia sadar sedari tadi Vika memandangnya. "Ngeliatin apa Vik?" Lita berbalik. Ia mengikuti arah pandang Vika. "Jangan balik ngeliatin dia Vik, bisa bahaya loh!" lanjutnya sambil memalingkan pandangan.

"Kenapa?"

Lita menggelengkan pelan kepalanya. Dia menarik lengan Vika untuk maju selangkah, kerena antrean sudah bergilir. "Itu namanya Kak Faiq salah satu most wanted di sekolah ini. Orangnya sih keliatan humoris, tapi katanya juga kejam, bahkan katanya dia pernah ngerisak kakak kelas cewek. Bukan cuma Kak Faiq aja yang kejam, tapi teman-temannya juga. Pokoknya dia dan teman-temannya bisa bikin lo dalam bahaya."

Kepala Vika mengangguk, pertanda dia mengerti dengan ucapan Lita. Lagian, dia bertukar pandangan barusan karena tak sengaja. Vika tidak pernah tertarik untuk memikirkan soal percintaan, apa lagi dengan pria yang terkenal kejam seperti.... Siapa tadi namanya?? Vika lupa. Yang menjadi prioritasnya sekarang hanyalah nilai nya, dia harus membuat Eyang Sinta bangga dengannya.

"Kecap dan sambalnya ada di meja ya, Mbak," ucap tukang bakso sambil memberikan pesanan kepada Lita dan vika. Kedua gadis itu mengangguk serempak dan segera mencari keberadaan Dita. Celaka, meja mereka bersebrangan dengan meja Faiq.

Setibanya di meja, Vika langsung mencari sambal untuk baksonya. Dia sangat yakin, setiap meja memiliki sambal. Tapi mengapa di mejanya tak ada?

"Cari sambal Vik?" tanya Dita. "Iya, dimana yah?" ujar Vika. "Itu di meja sebelah." ujar Dita. Akhirnya Vika mengetahui dimana sambal meja mereka. Ada di meja Faiq dan teman-temannya. Daripada harus berurusan dengan mereka, lebih baik Vika makan bakso bening saja.

"Yakin nggak mau pake sambal, Vik? Lo juga Dit?" tanya Lita. "Lo kan paling nggak bisa makan bakso tanpa sambal."

"Nggak usah, daripada gue harus berurusan sama Kak Faiq and the gank, mending bakso gue pake kecap aja."

Mendengar percakapan kedua temannya, Vika berinisiatif untuk mengambilkan sambal itu. Tapi sebenarnya dia juga takut, ia tak mau kehidupannya di ganggu oleh para perisak seperti di sekolah lamanya. Lagi pula tak ada gunanya bersikap sok pahlawan untuk mengambil sambal itu toh Lita sendiri yang berkata untuk menjauhi Faiq.

Baru setengah porsi bakso yang Vika habiskan, dia bingung ketika Dita dan siswi lainnya memperhatikan seragam bagian belakangnya. "Kenapa Dit?"

"Seragam lo kena kecap, Vik," jawab Dita ragu. Sontak saja Vika menoleh ke belakang. Benar saja rok bagian bawahnya terkena kecap. Matanya menoleh ke tiga orang pria yang duduk di belakangnya. Masing-masing pria itu memasang wajah datar seakan tak tahu apa-apa, tapi Vika tahu pasti Faiq pelakunya atau salah satu dari mereka bertiga. Sudah terbiasa menjadi korban bullying, membuat Vika lebih peka terhadap keadaan, sangat mudah bagi Vika mengetahui siapa yang menjahilinya. Dia berdiri kemudian berlalu begitu saja, menuju arah toilet. Di saat teman-temannya tegang, justru Vika merasa biasa-biasa saja. Bukanya ingin menantang kakak kelas itu, dia hanya biasa diperlakukan seperti ini di sekolah lamanya.

Vika sangat yakin bahwa tak mempunyai salah apapun kepada kakak kelas itu, ini hari pertama Vika masuk ke SMA Nusa Bakti, ini kali pertama mereka berjumpa, Vika tak melakukan kesalahan yang bisa membuat Faiq dan teman-temannya kesal. Tapi terkadang tak perlu membuat kesalahan apapun untuk di-bully. Mungkin mereka sudah mengincar Vika sedari tadi untuk bahan percobaan mereka, dari wajahnya yang lugu saja bisa dipastikan bahwa Vika adalah santapan lezat untuk mereka permainkan, bisa dipastikan Vika tidak akan melakukan perlawanan apapun.

Begitu selesai membersihkan rok bagian belakangnya di toilet, Vika berniat untuk masuk ke kelas saja, selera makannya sudah lenyap. Karena terus menunduk ketika berjalan Vika jadi tak sengaja menabrak seseorang di depan pintu toilet. Tapi tunggu dulu, kenapa seorang siswi memakai celana panjang dan bukannya rok pendek?

Perlahan, Vika mengangkat kepala. Astaga, ternyata itu bukan seorang siswi, melainkan salah satu kakak kelas yang menjahilinya tadi. Ah, Vika lupa namanya, tapi yang jelas saat ini mereka sedang bertukar pandang. Sangat lama, seakan waktu terhenti saat itu juga. Keduanya tak memperdulikan orang lain di sekitar toilet perempuan yang menjadikannya pusat perhatian. Mereka sama-sama tenggelam dalam netra satu sama lain.

...*...

...*...

...*...

...TBC...

...Thanks for Reading 💙🌻...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!