Mira Elvana selalu merasa ada yang berbeda dalam dirinya. Hidupnya di dunia manusia, meski tampak normal dari luar, menyimpan banyak ketidakjelasan. Sejak kecil, dia sering terbangun di tengah malam dengan mimpi aneh—nyala api yang membara dan suara gemuruh sayap yang tak terlihat. Mimpi itu selalu berakhir dengan kilatan perak yang menyilaukan dan desah napas yang tertahan. Namun, dia tidak pernah tahu apa arti dari semua itu, hingga malam ini.
Malam itu, hujan turun dengan deras, membasahi jalanan kota yang sepi. Mira tengah berlari pulang dari toko buku, buku-buku berbalut kulit yang ia sukai tertindih di bawah lengannya. Angin dingin menyerang kulitnya, membuatnya menggigil. Namun, ada sesuatu yang lebih dingin dari cuaca malam itu—perasaan di dalam dirinya. Seolah sesuatu sedang mengintai, mendekat, dan siap menyergap.
Saat Mira melewati lorong yang biasa dia lintasi, kegelapan menyergap lebih pekat dari biasanya. Di sudut matanya, ia melihat bayangan bergerak cepat. "Siapa di sana?" suaranya terhenti, tidak begitu yakin apakah dia berbicara pada seseorang atau sekadar berusaha menenangkan diri.
Langkah-langkah kaki berderak pelan di atas genangan air, mendekat semakin cepat. Mira berbalik, tapi sosok itu sudah ada di hadapannya. Seorang pria tinggi dengan mata hitam pekat dan senyum dingin berdiri di depannya, berpakaian serba hitam dengan jubah yang melambai di balik tubuhnya. Dia tampak tidak sepenuhnya manusia.
"Saatnya pulang, Putri," katanya, suaranya serak dan menggetarkan. "Pulang ke tempat yang seharusnya."
Mira tertegun. "Pulang? Aku tidak tahu siapa kau!" Dia mencoba berlari, tetapi pria itu bergerak dengan kecepatan luar biasa, mencegah langkahnya. Seketika, kilatan cahaya perak melintas di mata pria itu, dan Mira merasakan kekuatan aneh merambat di kulitnya.
Tanpa peringatan, tubuh Mira dikelilingi oleh api—api yang keluar dari dalam dirinya. Dia tidak tahu dari mana datangnya kekuatan itu, tapi dalam sepersekian detik, dia bisa merasakan nyala api menyatu dengan darahnya, memanas dan mengalir seperti energi liar yang tak terkendali.
Pria itu tertawa sinis. "Jadi, kekuatan Phoenix-mu sudah bangkit? Ini lebih mudah dari yang aku kira."
Mira panik, tangannya mulai terbakar oleh api yang tak ia sadari. Dia menjerit, mencoba memadamkannya, tetapi semakin dia melawan, api semakin membesar. Dan dalam kekacauan itu, sebuah bayangan lain muncul—sosok lain yang jauh lebih gelap dan berbahaya.
"Biarkan dia!" Sebuah suara tegas terdengar dari kejauhan.
Seseorang melompat dari atap bangunan dan mendarat dengan tenang di antara Mira dan pria berjubah hitam. Evano, seorang pria dengan mata tajam dan aura yang menggetarkan, menatap sang vampir dengan tatapan mematikan. "Kau tak akan membawanya pergi," kata Evano dengan dingin, menarik pedang perak dari sarungnya. Cahaya bulan memantul di bilah pedang itu, menciptakan kilauan yang mematikan.
Pria berjubah hitam mendesis marah. "Dia milik kami!"
Evano tersenyum sinis. "Belum waktunya. Dan kau bukan orang yang tepat untuk membawanya."
Tanpa membuang waktu, Evano menyerang, dan pertempuran sengit pun dimulai di tengah hujan deras. Mira hanya bisa menyaksikan dalam kebingungan dan ketakutan. Siapa pria ini? Dan mengapa dia menyelamatkannya? Dalam keremangan malam, Mira mulai menyadari satu hal—hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
Dan ini baru permulaan.
Mira, yang masih diliputi kebingungan dan ketakutan, hanya bisa bertanya-tanya: siapa pria ini, dan apa yang sebenarnya terjadi padanya?
Di tengah kekacauan itu, satu hal jelas—hidup Mira tidak akan pernah sama lagi.
Malam itu membawa perubahan besar dalam hidup Mira, namun pikirannya masih dipenuhi kebingungan. Setelah vampir misterius pergi dan api yang mengelilingi tubuhnya mereda, dia merasa lemah. Evano menatapnya dalam diam, seolah menilai sesuatu yang tak bisa dia pahami.
"Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa kau?" Mira akhirnya bertanya, suaranya gemetar. Evano tetap tenang, namun matanya yang tajam tak meninggalkan wajahnya.
"Bukan tempatnya untukku menjelaskan segalanya di sini. Kau harus ikut denganku."
Mira mundur selangkah. "Ikut denganmu? Aku bahkan tidak tahu siapa kau!"
Evano mendesah pelan. "Kalau kau tidak ikut, vampir-vampir itu akan kembali. Mereka tak akan berhenti sebelum mendapatkanmu. Ini belum selesai."
Mira tahu ada kebenaran dalam ucapannya, tapi ketakutan dan kebingungan dalam dirinya terlalu besar. "Kenapa mereka mencariku? Apa yang mereka inginkan dariku?"
Evano mengangkat pedangnya, memandang bilah perak yang masih memantulkan cahaya samar dari bulan. "Mereka mencari darahmu, Mira. Kau bukan manusia biasa. Ada sesuatu dalam darahmu yang sangat berharga—sebuah kekuatan yang bahkan kau sendiri belum sadari."
Kata-katanya bergaung di kepala Mira. Darahnya? Apa yang dia maksud? Dia memegang lengannya yang berdenyut, mengingat bagaimana api muncul begitu saja saat dia terancam.
"Kekuatan Phoenix dalam darahmu telah lama tersembunyi, tapi sekarang mereka bisa merasakannya. Dan bukan hanya vampir yang mencarimu," lanjut Evano. "Ada lebih banyak bahaya yang mengintai. Dunia yang kau kenal akan berubah."
Mira merasakan beban berat kata-katanya. Dunia yang dia kenal? Semua terasa begitu asing. Dia menginginkan penjelasan lebih, tetapi takut akan kebenaran yang mungkin dia dengar. Di bawah hujan yang mulai mereda, dia mengambil keputusan. "Baik. Aku akan ikut."
Evano mengangguk dan berbalik, memimpin jalan menuju sudut kota yang gelap. Langkah-langkah mereka berirama dengan tetesan air dari atap yang mulai berhenti. Tapi saat Mira mengikuti Evano, dia merasa bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar—sebuah misteri yang lebih dalam dari yang bisa dia bayangkan.
Setibanya di sebuah gudang tua di ujung kota, Evano membuka pintu besar dengan suara berderit yang menambah nuansa misterius. Di dalam, ruangan itu kosong, hanya diterangi cahaya lilin yang redup. "Tempat ini sementara aman," katanya, berjalan ke salah satu sudut ruangan.
Mira memandang sekeliling. "Apa ini markasmu?"
"Bukan, hanya tempat persembunyian sementara," jawab Evano. "Markas? Tidak ada markas bagi orang seperti kita." Kata-katanya meninggalkan teka-teki lain dalam pikiran Mira, tapi sebelum dia bisa bertanya lebih lanjut, Evano menyiapkan sesuatu di meja kayu tua.
"Duduklah," perintahnya sambil menunjuk kursi kayu di sudut ruangan. Mira mengikuti dengan enggan, merasakan kecanggungan antara rasa takut dan kepercayaan yang belum sepenuhnya tumbuh.
Evano menatapnya dalam-dalam sebelum berbicara. "Kau harus tahu satu hal, Mira. Kekuatan Phoenix dalam dirimu adalah warisan yang tak ternilai. Tapi darahmu… tidak hanya membawa Phoenix." Dia berhenti sejenak, menimbang kata-katanya. "Darah vampir juga mengalir dalam dirimu."
Mira terperangah, mulutnya terbuka sedikit namun tak ada kata yang keluar. "Apa? Itu tidak mungkin…"
"Tapi itu kebenarannya," potong Evano. "Kau adalah keturunan dari dua dunia yang sangat bertentangan. Dunia vampir yang hidup dalam bayangan, dan dunia Phoenix yang lahir dari api. Kedua dunia itu, sekarang, mencarimu. Kau adalah kunci bagi banyak hal yang bahkan kau tak bisa bayangkan."
Mira menelan ludah, merasakan kejanggalan di seluruh tubuhnya. Darah vampir? Bagaimana mungkin? Pertanyaan berputar-putar dalam kepalanya, tetapi satu pertanyaan mendominasi: "Siapa orangtuaku sebenarnya?"
Evano menggeleng pelan. "Itu adalah misteri yang harus kau pecahkan sendiri. Tapi aku bisa memastikan satu hal—mereka mencarimu."
Mira berdiri mematung, kata-kata Evano masih terngiang di kepalanya. Phoenix dan vampir. Dua dunia yang tidak pernah ia bayangkan ada di dalam dirinya. Tapi sekarang, rahasia yang disembunyikan sejak lama mulai terungkap, dan Mira tidak tahu harus merasa apa—takut, marah, atau bingung.
"Kenapa sekarang?" Mira bertanya, suaranya nyaris tak terdengar. "Kenapa kau memberitahuku sekarang, Evano?"
Evano tidak langsung menjawab. Dia hanya berdiri di sana, memandangi kegelapan di luar jendela. Mata birunya berkilat, seperti ada sesuatu yang dia lihat namun tidak dia ungkapkan.
"Karena waktunya sudah tiba," akhirnya Evano berbicara, suaranya dalam dan penuh misteri. "Sesuatu sedang bergerak, Mira. Sesuatu yang lebih besar dari kita. Kau perlu tahu sebelum semuanya terlambat."
"Apa yang akan terjadi?" Mira merasa jantungnya berdegup kencang. "Siapa yang mencariku?"
Evano memutar pedangnya, menciptakan suara gesekan logam yang tajam di udara. "Bukan hanya satu pihak. Mereka sudah mengincarmu sejak lama. Dua faksi yang saling bertentangan, tapi tujuannya sama—mereka ingin memanfaatkanmu atau menghancurkanmu."
Mira merasa dingin menjalar di punggungnya. "Kenapa aku?"
Evano menatapnya, kali ini dengan tatapan yang lebih tajam, penuh dengan rahasia yang enggan diungkapkan. "Karena kau adalah kunci. Satu-satunya yang bisa mengendalikan kekuatan dua dunia. Dan itu membuatmu berbahaya."
Sebelum Mira bisa menanggapi, suara dari luar tiba-tiba terdengar. Langkah kaki—cepat dan teratur, semakin mendekat. Evano menoleh dengan cepat ke arah jendela, matanya berubah serius.
"Kita tidak punya banyak waktu," katanya tegas. "Mereka sudah dekat."
"Siapa yang dekat?" tanya Mira, mulai panik. "Siapa yang mencariku?"
"Mereka yang menginginkan darahmu, kekuatanmu." Evano bergerak cepat menuju pintu, menariknya terbuka sedikit untuk mengintip keluar. "Kau harus ikut denganku. Sekarang."
"Ke mana kita pergi?" Mira bertanya, tapi Evano hanya menatapnya dengan ekspresi dingin.
"Jangan banyak bertanya. Kau akan mengerti nanti. Untuk sekarang, kau hanya perlu bertahan hidup."
Mira tak punya pilihan selain mengikuti Evano keluar dari rumah itu. Malam begitu gelap, dan hutan di sekitar mereka dipenuhi bayangan yang bergerak. Pohon-pohon tampak melengkung dengan cara yang aneh, seperti mencoba menyembunyikan sesuatu.
"Jangan menoleh ke belakang," Evano memperingatkan. "Mereka bisa memanggilmu dengan cara yang tidak kau sadari. Pikiranmu sendiri bisa menjadi musuhmu."
"Siapa mereka?" Mira berbisik, takut menoleh. Dia bisa merasakan sesuatu—seperti bisikan halus di telinganya, suara yang memanggil namanya dengan lembut.
"Mira..." suara itu terdengar pelan, hampir tidak terdengar, tapi cukup untuk membuat bulu kuduk Mira berdiri.
Mira mempercepat langkahnya, namun bisikan itu tidak berhenti. "Siapa yang memanggilku?"
"Jangan dengarkan mereka," desis Evano, suaranya penuh kewaspadaan. "Itu hanya ilusi, permainan pikiran. Mereka mencoba memecah fokusmu."
Mira ingin menolak, ingin berbalik dan melihat siapa yang ada di belakangnya, tapi rasa takut yang lebih besar membuatnya terus maju. Setiap langkah terasa semakin berat, seolah tanah di bawah kakinya menariknya turun, memaksa untuk berhenti.
Tiba-tiba, api biru menyala di kejauhan, menyala tanpa sumber yang jelas, menggantung di udara seperti tanda bahaya. Evano berhenti sejenak, menatap api itu dengan mata penuh kehati-hatian.
"Apa itu?" Mira bertanya, napasnya terengah-engah.
Evano menghela napas. "Itu adalah peringatan. Mereka tahu kita di sini. Kita sudah terlambat."
"Terlambat untuk apa?" Mira semakin bingung, jantungnya berdegup kencang. "Siapa mereka? Apa yang mereka inginkan?"
Evano menggenggam erat pedangnya, seolah siap menghadapi apa pun yang akan muncul. "Mereka yang memanggil api itu adalah faksi Phoenix. Mereka bukan sekutumu. Mereka tidak menginginkanmu hidup."
"Apa? Phoenix juga ingin aku mati?" Mira terkejut.
"Tidak semua Phoenix berpihak pada keluargamu. Ada yang percaya bahwa darah campuran sepertimu berbahaya, dan mereka akan melakukan apa saja untuk menghentikanmu sebelum kekuatanmu tumbuh lebih kuat."
Bayangan mulai bergerak lebih cepat di sekeliling mereka, dan Mira bisa merasakan suasana semakin mencekam. Sesuatu atau seseorang mengintai mereka dari kegelapan, tapi belum memperlihatkan dirinya.
"Kita dikepung," bisik Mira, nadanya putus asa. "Apa yang harus kita lakukan?"
Evano melihat ke sekeliling, matanya terus bergerak, mencari celah untuk melarikan diri. "Kita harus menemukan jalan keluar sebelum mereka tiba. Mereka akan datang dalam jumlah besar."
Mira merasa panik, tapi Evano meletakkan tangannya di bahu Mira, memaksanya tetap tenang. "Dengarkan aku. Kau harus percaya padaku sekarang. Jika mereka sampai menangkapmu, tidak ada jalan kembali."
"Bagaimana kau tahu semua ini?" Mira bertanya, curiga, tapi Evano tidak menjawab. Dia hanya menatapnya, matanya penuh dengan rasa bersalah yang tak terungkap.
"Kau harus pergi," kata Evano akhirnya. "Aku akan menahan mereka selama mungkin. Pergilah ke timur, di sana ada tempat perlindungan."
"Kau mau melawan mereka sendirian?" Mira terperangah. "Tidak! Kau tidak bisa—"
"Tidak ada waktu untuk perdebatan," potong Evano, suaranya lebih keras. "Ini satu-satunya cara. Kau harus mempercayai aku!"
Mira menggigit bibirnya, masih bimbang, tapi kemudian dia melihat cahaya lain menyala di kejauhan—api biru kedua, lebih besar dari yang pertama. Mereka benar-benar terdesak.
Evano mengangkat pedangnya, bersiap menghadapi apa yang datang. "Pergilah, Mira. Dan jangan berhenti, apa pun yang terjadi."
Mira mengangguk, akhirnya menyerah pada naluri untuk bertahan hidup. Dia berlari sekuat tenaga ke arah yang Evano tunjukkan, meninggalkan Evano di belakangnya, siap menghadapi musuh yang tidak terlihat.
Bisikan-bisikan itu semakin kuat saat Mira berlari. "Mira... Mira..." Suara-suara itu terus memanggilnya, mencoba memecah fokusnya, membuatnya ingin berhenti.
Namun, dengan seluruh kekuatannya, Mira terus berlari, berharap bahwa ada jawaban di depan, meski hanya bayangan dari teka-teki yang lebih besar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!