NovelToon NovelToon

Luka Dan Cinta

Adira di Tijuana

Namanya Adira, seorang wanita berusia 25 tahun, anak kedua dari lima bersaudara. Ayahnya keturunan asli Indonesia, sementara ibunya memiliki darah campuran Indonesia dan Pakistan, memberikannya perpaduan kecantikan yang unik.

Adira mewarisi banyak ciri fisik dari ibunya, termasuk kulit yang cerah dengan sentuhan kehangatan eksotis. Wajahnya manis, penuh kelembutan dengan mata sendu yang sering kali membuat orang berpikir dia sedang merenung.

Mata sendunya dilindungi alis yang tebal dan teratur, seolah menyiratkan kekuatan dan keanggunan yang tersembunyi. Hidungnya tidak mancung, tapi terlihat pas di wajahnya, memberikan keseimbangan yang harmonis pada fitur wajahnya.

Bibirnya tebal, atas dan bawah memiliki ketebalan yang sama, memberikan kesan sensual alami. Ada tahi lalat kecil di kelopak bawah matanya yang kiri, menambah daya tarik misteriusnya.

Adira tumbuh dalam keluarga yang ramai, tetapi selalu merasa nyaman dengan kesendirian.

Meskipun memiliki empat saudara kandung, dia menikmati momen-momen di mana dia bisa melarikan diri dari keramaian.

Sejak kecil, Adira sudah menyukai kebebasan. Dia suka menjelajah tempat-tempat baru, berjalan-jalan sendirian, menemukan sudut-sudut tersembunyi yang tidak diketahui banyak orang.

Baginya, berjalan sendirian adalah saat di mana dia bisa benar-benar berkomunikasi dengan dirinya sendiri dan dunia di sekitarnya.

Ini bukan tentang kesendirian, tapi tentang kebebasan tanpa batas.

Keberaniannya menjelajah dunia semakin tumbuh ketika dia beranjak dewasa.

Liburan sendiri ke tempat-tempat yang jauh, bahkan ke luar negeri, menjadi hal yang biasa baginya. Adira tidak pernah ragu untuk pergi jauh, bahkan tanpa teman atau keluarga.

Sementara banyak orang merasa takut atau cemas bepergian sendiri, Adira melihatnya sebagai petualangan yang mendebarkan.

Setiap perjalanan adalah kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang baru, memahami budaya lain, dan lebih mengenal dirinya sendiri.

Kali ini, petualangan membawanya ke Tijuana, sebuah kota di Meksiko yang terkenal dengan keunikan budayanya. Tijuana adalah kota perbatasan yang hidup, penuh dengan warna, musik, dan aroma makanan jalanan yang menggoda.

Di sepanjang jalan, mural-mural besar menghiasi dinding bangunan tua, menampilkan seni jalanan yang penuh makna sosial dan sejarah lokal.

Suasana kota ini energik, dengan suara tawa dan musik mariachi yang selalu terdengar di latar belakang. Pasar-pasar tradisional menjual berbagai macam barang, dari kerajinan tangan lokal hingga kuliner khas yang membuat lidah bergoyang.

Adira terpesona oleh keragaman Tijuana. Kota ini adalah perpaduan sempurna antara budaya Meksiko yang otentik dengan sentuhan modernitas dari pengaruh Amerika Serikat yang hanya sepelemparan batu.

Di pusat kota, ia menemukan kafe-kafe kecil yang nyaman, di mana para seniman lokal berkumpul untuk berdiskusi atau menampilkan karya-karya mereka. Ada taman-taman indah yang tersembunyi di balik gedung-gedung tinggi, tempat Adira duduk sejenak, menikmati suasana sambil menyeruput secangkir kopi lokal.

Saat berjalan menyusuri Avenida Revolución, salah satu jalan paling terkenal di Tijuana, Adira merasakan getaran kota ini semakin kuat.

Jalanan dipenuhi dengan pedagang kaki lima yang menjual churros hangat yang dilapisi gula. Orang-orang di sekitarnya ramah, senyuman tulus selalu terlintas di wajah mereka saat mereka berinteraksi dengannya, bahkan dalam bahasa yang berbeda.

Sore hari, Adira menuju Playas de Tijuana, pantai yang terletak di perbatasan Meksiko dan Amerika Serikat. Ombak yang tenang dan angin sepoi-sepoi menemani langkahnya di atas pasir yang lembut. Di sini, dia merasa benar-benar bebas.

Pantai ini tidak hanya menawarkan pemandangan laut yang indah, tetapi juga pemandangan tembok perbatasan yang kontroversial, membuatnya berpikir tentang perbedaan dan batas-batas manusia yang terkadang tidak terlihat oleh alam.

Meski sendirian, Adira tidak pernah merasa kesepian. Setiap sudut kota Tijuana menjadi teman yang penuh cerita.

Baginya, perjalanan bukan hanya tentang tempat yang dikunjungi, tetapi tentang perasaan yang ia temukan dalam setiap langkah.

Tijuana dengan segala keunikannya mengajarkannya lebih banyak tentang kehidupan dan bagaimana budaya yang berbeda bisa hidup berdampingan dalam harmoni.

Di malam hari, Tijuana bertransformasi menjadi kota yang dipenuhi cahaya dan kehidupan malam.

Musik dari klub-klub dan bar-bar lokal mengalir keluar ke jalanan, menciptakan suasana pesta yang penuh semangat.

Adira tersenyum sendiri, menikmati momen ini. Bagi banyak orang, Tijuana mungkin hanya persinggahan sementara, tetapi bagi Adira, kota ini adalah bukti bahwa dunia selalu menawarkan kejutan bagi mereka yang berani menjelajahnya.

......................

Sejak adira tiba di Tijuana, tanpa ia sadari, ada sepasang mata yang terus mengawasinya.

Seorang pria misterius, berpakaian rapi namun dengan tatapan yang penuh kewaspadaan, selalu berada di latar belakang.

Dia memperhatikan setiap gerak-gerik Adira, mulai dari saat dia melangkah keluar dari bandara hingga menjelajahi kota.

Pria itu tidak pernah terlalu dekat, namun selalu cukup dekat untuk memastikan bahwa Adira tidak akan lolos dari pandangannya.

Dia tahu bahwa Adira sendirian, seorang turis yang mudah menjadi sasaran di kota yang penuh dengan intrik dan bahaya tersembunyi.

Tijuana, dibalik kehindahannya memiliki sisi gelap yang tak banyak diketahui para wisatawan. Para mafia dan geng kriminal menguasai beberapa bagian kota,dan perdagangan manusia menjadi salah satu bisnis gelap yang berjalan dibawah permukaan.

Adira yang naif tidak menyadari bahwa kehadirannya di kota ini telah menarik perhatian orang-orang yang memiliki niat buruk.

Mereka tahu bahwa seorang wanita muda yang berpergian sendirian adalah target yang sempurna. Pria yang mengawasi Adira adalah bagian dari jaringan tersebut, seorang eksekutor yang tahu bagaimana menjalankan rencananya dengan cepat tanpa cela.

Pada malam hari, ketika Adira sedang menikmati suasana di jalanan Tijuana yang dipenuhi lampu neon, dia tidak menyadari bahwa bahaya semakin mendekat.

Saat dia berjalan menyusuri salah satu gang kecil setelah keluar dari sebuah kafe, suasana mulai sepi. Angin malam yang dingin menyapu kulitnya, dan langkahnya mulai melambat. Dia berpikir untuk kembali ke penginapannya, tetapi sebelum dia sempat berbalik, sebuah mobil hitam tanpa tanda menghampirinya dari belakang.

Dalam hitungan detik, semuanya berubah. . .

Tangan kuat tiba-tiba meraih tubuh Adira, menariknya dengan keras ke arah mobil yang kini berhenti tepat disampingnya.

Dia berusaha berteriak, tapi mulutnya segera ditutupi oleh kain kasar yang membuat suara nya teredam.

Seorang pria lain, yang badannya lebih besar menutupi kepalanya dengan kain hitam, memutus pandangannya dari dunia luar.

Adira meronta-ronta, berusaha melepaskan diri, namun kekuatan para penculik jauh diluar kemampuannya. Kedua tangannya segera diikat dengan tali kuat, membuatnya tak berdaya.

Dengan brutal, Adira dilempar kedalam mobil. Tubuhnya terhuyung ke kursi belakang. Mulutnya disumpal kain sehingga jeritannya hanya berubah menjadi rintihan lemah.

Matanya membelalak di balik kain hitam dibalik kain hitam yang menutupi wajah nya, air mata mulai mengalir tanpa bisa ia kendalikan.

Ketakutan mulai mencekam hatinya, tetapi dia tahu bahwa dia harus tetap tenang jika ingin bertahan.

Tangan-tangannya yang terikat mencoba meraba-raba berharap menemukan sesuatu yang bisa digunakan untuk membebaskan diri, tapi tidak ada yang bisa dijangkau.

Mobil melaju kencang di jalan-jalan kota, dan suara bising dari luar semakin menjauh, menghilangkan harapan Adira untuk ditemukan oleh seseorang.

Didalam mobil, suasana sunyi dan mencekam. Salah satu pria disebelahnya menodongkan pisau dingin kelehernya , Ancaman itu jelas : satu gerakan yang salah, dan nyawanya mungkin berakhir malam itu juga.

Adira menahan napas, tubuhnya bergetar hebat, tetapi dia tahu bahwa tak ada pilihan selain tunduk pada mereka.

Ditengah keputusasaan, Adira sempat mencoba memberontak. Dia menggerakkan tubuhnya, menendang sebisanya dalam ruang sempit dikursi belakang. Namun, perlawanan itu hanya berlangsung sekejap.

Pisau dilehernya ditekan lebih keras, dan dia mendengar suara berbisik dari pria yang mengawasinya

"Jangan bergerak, atau ini akan berakhir buruk."

Dengan hati yang hancur, Adira menyerah. Usahanya untuk melarikan diri sia-sia, dan ancaman itu terlalu nyata untuk diabaikan.

Dia tak berani untuk menggerakkan otot lagi, hanya bisa menangis dalam diam, air matanya membasahi kain yang menutupi wajahnya.

Adira terjebak dalam ketakutan yang mencekam, malam yang seharusnya menjadi petualangan penuh kebebasan kini berubah menjadi mimpi buruk terburuk dalam hidupnya.

Dia dibawa pergi, tanpa tahu kemana tujuannya, dan tanpa tahu apakah dia akan selamat dari cengkeraman dari para penculik yang tak tahu belas kasihan.

Wanita itu milikku

Setelah perjalanan yang terasa begitu lama, mobil yang membawa Adira akhirnya berhenti di sebuah tempat yang terpencil.

Dia bisa merasakan perubahan suasana, tak ada lagi suara keramaian kota, tak ada gemuruh musik, hanya kesunyian yang mencekam.

Para penculiknya dengan cepat menyeretnya keluar dari mobil, masih dengan tangan terikat dan kain yang menutupi wajahnya. Udara dingin malam itu semakin mempertegas betapa jauh mereka telah pergi dari pusat Tijuana.

Bangunan di hadapannya, meskipun belum terlihat jelas oleh Adira yang masih tertutup kain, terasa besar dan kokoh.

Tidak seperti bangunan-bangunan cerah penuh mural di pusat kota Tijuana

Bangunan ini tampak seperti sisa peninggalan lama, dengan dinding batu kusam yang tak terawat, pintu besar dari besi, dan jendela-jendela yang tertutup rapat.

Tidak ada tanda kehidupan lain di sekitar, hanya suara langkah kaki para penculik yang menggema di udara malam.

Ini bukan lagi Tijuana yang dia kenal beberapa jam lalu-ini adalah dunia lain, sisi kelam dari kota itu yang jarang terlihat oleh turis.

Adira dipaksa berjalan, diapit oleh dua pria besar yang mengawalnya masuk ke dalam bangunan. Setiap langkahnya terasa berat, tubuhnya lemah karena rasa takut yang menguasai seluruh pikirannya.

......................

Saat mereka memasuki ruangan utama, suasana di dalam tidak kalah menakutkan. Bau lembab dan tembakau yang tajam memenuhi udara. Kain yang menutupi wajah Adira akhirnya dibuka dengan kasar, dan cahaya remang-remang dari lampu yang tergantung di langit-langit menyilaukan matanya sejenak.

Ketika pandangannya mulai terbiasa, dia melihat sekelilingnya. Ruangan itu besar, dengan lantai beton yang dingin dan dinding penuh coretan grafiti yang menyeramkan.

Ada beberapa orang Meksiko yang berkumpul di sudut ruangan, semua berpakaian serba gelap, dengan tatapan tajam yang mengintimidasi.

Mereka berbicara satu sama lain dalam bahasa Spanyol, kata-kata yang tidak bisa Adira pahami, tapi dari nada suaranya, dia tahu bahwa mereka bukanlah orang-orang yang bisa dianggap enteng.

Ini bukan lagi Tijuana yang dipenuhi dengan senyuman ramah dan pasar berwarna-warni.Di sini, kekerasan dan ancaman terasa begitu nyata.

Adira dipaksa berlutut, lalu dicampakkan ke atas lantai kasar. Tubuhnya terjatuh keras, namun dia terlalu ketakutan untuk merasakan sakit yang sesungguhnya.

Dia mendongak dengan gemetar, melihat sekeliling ruangan yang terasa dingin dan penuh dengan aura ancaman.

Di pojok lain, ada meja besar dengan beberapa pria yang duduk, merokok sambil mengamati Adira seperti barang dagangan. Mereka terlihat seperti bos-bos mafia, dengan wajah keras dan sikap angkuh.

Ruangan ini penuh dengan barang-barang yang berantakan-senjata, kotak-kotak kayu, dan tas-tas besar yang sepertinya berisi barang-barang ilegal. Tidak ada sedikitpun suasana hangat atau indah seperti yang dia rasakan saat berkeliling di pusat kota Tijuana.

Yang tersisa di tempat ini hanyalah bayang-bayang gelap yang menghantui setiap sudut, menandakan bahwa ini adalah dunia yang berbeda, dunia di mana kekerasan dan kekuasaan adalah hukum yang berlaku.

Adira merasa sendirian lebih dari sebelumnya. Air matanya kembali mengalir, tetapi dia menahan suaranya, takut menunjukkan kelemahannya.

Di depannya, orang-orang Meksiko itu tidak peduli dengan penderitaannya. Mereka berbicara dengan dingin, seolah-olah hidupnya hanyalah bagian dari transaksi.

Adira mulai sadar bahwa dirinya telah menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar.Dia telah masuk ke dalam jaringan perdagangan manusia yang mengerikan, dan tidak ada jalan keluar yang mudah dari sini.

Di tengah tangisan sunyi Adira, matanya yang berair memohon belas kasihan kepada orang-orang di sekitarnya. Setiap tatapan yang dia harapkan penuh empati malah dingin dan tak peduli. Tak seorang pun terlihat bersedia membebaskannya dari nasib mengerikan yang mungkin segera menimpanya.

Saat rasa putus asa semakin mencekam, ruangan tiba-tiba terasa membeku, dan seolah semua suara mendadak hilang. Semua orang di ruangan itu berhenti berbicara dan berdiri tegap, tatapan mereka berubah serius.

......................

Seorang pria masuk ke dalam ruangan, langkahnya berat namun tenang, memancarkan aura yang penuh kekuatan. Dia jelas bukan orang sembarangan.

Kepala mafia, pemimpin dari semua orang yang ada di tempat itu. Sosoknya tinggi dan berotot, dengan bahu yang lebar dan tubuh penuh tato, masing-masing seperti simbol kekuasaan yang menandai setiap pertempuran dan kemenangan.

Wajahnya keras, dengan garis rahang tegas dan tatapan tajam seperti seorang pejuang suku asli Amerika. Kulitnya kecokelatan, dengan rambut hitam yang panjang dan terurai sampai punggungnya, kontras dengan bola matanya yang biru gelap, seperti samudra dalam yang penuh rahasia.

Dia melangkah dengan tenang, tetapi setiap gerakannya membuat semua orang di ruangan itu terdiam dalam tunduk.

Adira yang melihat perubahan suasana ini mulai merasa semakin takut. Dia tahu orang ini bukan sembarangan. Dari cara orang-orang di sekitarnya tunduk, jelas kepala mafia ini sangat ditakuti.

Tubuh Adira bergetar saat pria itu mendekat, napasnya terhenti saat

mata mereka bertemu, dan waktu seolah berhenti.

Kepala mafia itu memandang Adira dengan intensitas yang membuat udara di ruangan itu semakin berat. Ada sesuatu yang berbeda di balik sorot matanya yang dingin.

Ketika dia melihat wajah Adira, terutama tahi lalat kecil di bawah mata kirinya, ekspresinya yang biasanya tak terbaca berubah.

Ada kerinduan yang mendalam, perasaan yang seolah telah lama terpendam, muncul kembali dengan keras, menghantam hatinya tanpa peringatan.

Dia menatap Adira seakan sedang mencari sesuatu yang hilang selama bertahun-tahun, sesuatu yang tak bisa ia temukan di tempat lain. Mata sendu Adira dan tahi lalat di wajahnya seolah memicu kenangan yang pernah terpendam jauh dalam dirinya.

Perasaan itu menghantui pikirannya, menggerogoti hatinya dengan intensitas yang tak bisa dia abaikan.

Dia mengepal tangannya yang tersembunyi di dalam saku celana, berusaha mengendalikan gelombang emosi yang tiba-tiba muncul. Namun, tatapannya pada Adira tidak beranjak, semakin dalam seolah ingin menelusuri setiap inci dari wajahnya yang lembut.

Setelah hening yang mencekam itu, suaranya yang berat dan rendah terdengar.

"Wanita ini milikku," katanya tegas, suaranya membawa otoritas yang tak bisa dibantah.

Pernyataan itu mengejutkan semua orang di ruangan. Para bawahannya saling bertukar pandang dengan ekspresi bingung dan terkejut.

Mereka belum pernah melihat pemimpin mereka bersikap seperti ini. Biasanya dia dingin, tak peduli, tidak pernah menunjukkan ketertarikan pada siapa pun, apalagi seorang tawanan.

Mereka tahu bahwa keputusan itu final, tidak bisa diganggu gugat, tapi mereka tetap tidak bisa menyembunyikan keterkejutan mereka.

Adira, yang sudah ketakutan sebelumnya, kini merasa ketakutannya semakin memuncak. Kata-kata kepala mafia itu bergema di pikirannya, membuat jantungnya berdegup kencang.

Dia tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Apa maksud pria itu mengatakan bahwa dia "miliknya"? Perasaan ketidakpastian dan teror merayap semakin dalam.

Matanya yang sendu menatap pria itu dengan campuran kebingungan dan ketakutan, sementara tubuhnya bergetar di atas lantai dingin.

Meski demikian, dia merasa ada sesuatu yang aneh dalam tatapan pria itu, seolah-olah dia lebih dari sekadar objek bagi kepala mafia tersebut, seolah dia adalah kunci dari sebuah kenangan yang telah lama hilang.

Ajudan kepercayaan kepala mafia, yang berdiri persis di belakangnya, segera melangkah maju saat perintah telah dikeluarkan.

Dia bergerak dengan tenang namun sigap, menarik tubuh Adira yang lemas dari lantai. Tangan besarnya menopang Adira yang hampir tak bisa berdiri tegak karena ketakutan dan kelelahan.

Tanpa sepatah kata pun, ajudan itu memapahnya, membuat langkah Adira yang lemah mengikuti kepala mafia yang sudah mulai berjalan keluar dari ruangan.

Dengan kepala yang masih terasa berat, Adira memandangi sosok pria yang kini berjalan di depannya. Dari sudut pandangnya, punggung kepala mafia itu terlihat begitu kuat dan dominan.

Bahu lebar yang membentang seakan menandakan kekuatan fisik yang luar biasa, sementara punggungnya yang berotot menunjukkan bahwa tubuh itu ditempa dengan keras.Mungkin dari latihan fisik yang rutin, seperti pull-up yang membuat otot-ototnya terbentuk sempurna.

Setiap gerakan pria itu mantap, langkah kakinya tegas namun tenang, menciptakan aura intimidasi yang tak terelakkan. Sayap punggungnya terlihat kokoh, berpadu dengan garis punggungnya yang lurus dan penuh percaya diri.

......................

Sepanjang perjalanan menuju ruangan kepala mafia, Adira terus terdiam dalam kesedihannya. Meski air mata sudah berhenti mengalir, hatinya masih dipenuhi dengan rasa takut dan kebingungan.

Suara langkah kaki di sepanjang lorong yang panjang dan sempit terasa seperti irama yang memekakkan telinga. Lampu-lampu redup menggantung di langit-langit, menerangi lorong dengan cahaya kekuningan yang membuat suasana semakin mencekam.

Dinding lorong itu terbuat dari batu bata yang kusam, beberapa bagian terlihat retak, seolah menandakan tempat ini telah lama menjadi markas yang tersembunyi dari hiruk-pikuk dunia luar.

Di setiap langkah, Adira merasa semakin kecil. Pikirannya terus berkecamuk, bertanya-tanya apa yang akan terjadi padanya. Hatinya menangis dalam diam. Ia terjebak dalam labirin pikiran yang penuh dengan ketidakpastian.

Apa maksud dari semua ini? Siapa sebenarnya pria yang mengklaimnya sebagai "miliknya"? Mengapa para bawahannya terlihat begitu tunduk pada sosok itu? Semua pertanyaan itu berputar-putar di benaknya tanpa jawaban.

Sesekali, Adira melirik ke ajudan yang memapahnya, berharap menemukan secuil kebaikan di wajahnya, tapi yang terlihat hanyalah ekspresi datar tanpa emosi, seolah tugasnya hanyalah memastikan Adira tetap berjalan tanpa perlawanan.

Setiap langkah terasa semakin menyesakkan, namun Adira tidak punya pilihan selain mengikuti pria di depannya, yang punggungnya kini semakin dekat saat mereka hampir tiba di ruangan yang dituju.

Ruangan yang hangat

Setelah berjalan menyusuri lorong panjang yang seolah tak berujung, akhirnya Adira dan rombongan kecil itu tiba di depan sebuah pintu besar berwarna cokelat tua  ukiran khas Meksiko di permukaannya.

Pintu itu perlahan terbuka, mengungkapkan ruangan luas di baliknya.

Ruangan tersebut memiliki gaya arsitektur yang sangat khas Meksiko, dengan sentuhan mewah namun hangat. Dindingnya terbuat dari batu bata berwarna terracotta, memberikan kesan rustic yang dipadukan dengan kemewahan furnitur kayu gelap yang dipoles halus.

Lantai ruangan itu dihiasi dengan karpet tebal berwarna merah dan emas, coraknya rumit dengan pola tradisional.

Di tengah ruangan, terdapat sebuah meja besar dari kayu mahoni, penuh dengan dokumen dan barang-barang mewah seperti asbak perak .

Namun, ruangan itu juga memiliki sentuhan lembut, dengan sofa kulit yang nyaman di salah satu sudut, dihiasi dengan bantal-bantal berwarna cerah yang kontras dengan nuansa gelap ruangan.

Lampu gantung dari besi tempa menggantung di langit-langit, memberikan cahaya hangat ke seluruh ruangan, menambah suasana yang tak hanya mewah, tetapi juga intim.

Salah satu fitur yang paling mencolok dari ruangan itu adalah jendela besar yang mendominasi salah satu dinding.

Jendela tersebut terbuka ke arah pemandangan malam yang gelap, memberikan pemandangan kota Tijuana dari kejauhan, namun di sini, di tempat yang begitu jauh dari keramaian, pemandangan itu terasa sunyi dan tenang.

Tirai tebal berwarna merah marun tersampir di sisi jendela, siap untuk ditarik kapan saja, memberikan privasi bagi siapa pun yang berada di ruangan itu.

Ruangan ini jelas bukan hanya sebuah ruang kerja, ukurannya yang besar dan perabotannya yang beragam membuatnya juga tampak seperti kamar pribadi.

Di salah satu sudut ruangan, terdapat tempat tidur besar dengan sprei sutra berwarna gelap, menambahkan elemen keintiman yang kontras dengan fungsi ruangan sebagai pusat kendali bisnis mafia.

Adira merasa campuran ketakutan dan keheranan saat memandang sekeliling. Tempat ini adalah dunia lain dari apa yang baru saja ia alami di jalanan Tijuana.

Setelah ajudan membawa Adira masuk, kepala mafia itu berdiri di tengah ruangan, membelakanginya.

Tanpa sepatah kata pun, dia hanya menatap ajudannya sekilas, dan itu sudah cukup untuk memberikan perintah.

Dengan satu tatapan tajam dari pemimpinnya, ajudan itu langsung mengerti apa yang diinginkan.

Tanpa membuang waktu, dia menundukkan kepala dengan hormat, berbalik, dan berjalan keluar dari ruangan dengan langkah yang tenang namun sigap.

Pintu besar itu tertutup dengan pelan, meninggalkan suara yang terdengar berat di telinga Adira.

Kini, Adira hanya tinggal berdua dengan kepala mafia di ruangan besar tersebut.

Rasa takut semakin membelit hatinya, tapi dia tahu bahwa tidak ada tempat untuk melarikan diri.

Tatapan dingin pria itu perlahan beralih ke arah Adira, dan suasana menjadi semakin sunyi, seolah seluruh dunia di luar ruangan ini menghilang.

Adira berdiri kaku, tubuhnya terasa semakin kecil di hadapan sosok yang begitu besar, baik secara fisik maupun kekuasaan.

Perlahan, iamulai melangkah mendekati Adira. Setiap langkahnya terdengar jelas di lantai kayu yang mewah, membuat jantung Adira berdegup semakin kencang.

Matanya yang sendu mengikuti setiap gerakan pria itu, tetapi tubuhnya terlalu lemah untuk bergerak.

Ketakutan menyelimuti dirinya, tapi di saat yang sama, ada rasa penasaran yang tak bisa ia abaikan.

Sosok besar di depannya tampak tak terbaca, penuh dengan aura kekuasaan yang membuat siapa pun gentar, namun tatapannya pada Adira terasa berbeda, seolah menyimpan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar niat jahat.

Kepala mafia itu berhenti tepat di depan Adira. Tubuhnya yang besar dan tegap semakin mendominasi ruang, bayangannya menyelimuti Adira yang masih gemetar.

Dengan gerakan lambat dan hati-hati, tangan besar pria itu terulur ke arah wajahnya.

Adira menahan napas, matanya membesar, tidak tahu apa yang akan dia lakukan. Namun, alih-alih menyakitinya, tangan itu dengan lembut mulai menyentuh ikatan kain yang membungkam mulutnya.

Jari-jarinya yang besar namun terampil menarik ikatan itu perlahan, seolah dia sangat berhati-hati agar tidak melukai Adira.

Kain hitam yang menutupi mulut Adira terlepas dengan mudah, membebaskan napas yang sudah terpendam begitu lama.

Adira menarik napas panjang, merasakan udara masuk ke paru-parunya dengan lebih lega, meski ketakutan masih mengguncang tubuhnya.

Kemudian meraih tangan Adira yang terikat di belakang punggungnya. Tangan besar dan kuat itu terasa hangat, bertentangan dengan penampilannya yang dingin dan menakutkan.

Jari-jarinya dengan cekatan melepaskan ikatan tali di pergelangan tangan Adira, satu demi satu simpul terurai.

Tali itu jatuh dengan bunyi lembut di lantai, membebaskan tangan Adira yang kini terasa lemah dan kesemutan setelah begitu lama terikat.

Adira menatap pria itu dengan kebingungan, tak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Dia telah siap menghadapi yang terburuk, namun apa yang dia alami sekarang jauh dari perkiraannya.

Meski masih dipenuhi rasa takut, ada kelegaan kecil di hatinya saat merasakan kebebasan dari ikatan yang selama ini membuatnya tak berdaya.

Namun, meskipun mulut dan tangannya sudah bebas, rasa ketakutan yang lebih besar masih menyelimuti dirinya—dia tahu, kebebasan ini hanyalah awal dari sesuatu yang lebih rumit.

Kepala mafia itu belum mengatakan sepatah kata pun, tapi tatapan biru gelapnya yang terus menatap Adira membuat jantungnya berdetak semakin kencang.

Fokus matanya tertuju pada tahi lalat kecil di bawah mata kiri Adira, seolah-olah detail itu memegang makna yang dalam baginya.

Setelah beberapa saat dalam keheningan, dia tiba-tiba berbicara, suaranya rendah namun tegas.

"Kamu bisa tinggal di sini. Anggap saja ini rumahmu," katanya tanpa sedikit pun perubahan emosi di wajahnya.

Kata-kata itu mengejutkan Adira. Otaknya yang masih berkecamuk dalam kebingungan dan ketakutan sulit memproses apa yang baru saja didengarnya.

Apa maksudnya dengan "anggap rumah sendiri"? Dia tidak paham.

Suasana di ruangan itu semakin aneh, kontras antara rasa takut yang mengikat hatinya dan pernyataan aneh dari pria ini yang tampak lebih lembut daripada yang dia bayangkan.

Setelah berkata demikian, kepala mafia itu berbalik tanpa menunggu jawaban dari Adira.

Langkahnya yang berat dan tegas membawa tubuh besar dan berototnya menuju meja kerja yang besar di sudut ruangan.

Bahunya yang lebar tampak semakin kokoh saat dia bergerak, otot-otot di punggungnya terlihat jelas melalui kemeja hitam yang dikenakannya, menunjukkan betapa terlatihnya tubuh itu.

......................

Tanpa ragu, dia duduk di kursi kayu besar di belakang meja, membelakangi Adira seolah seluruh dunia di luar tidak lagi penting.

Di meja itu, terdapat banyak dokumen, berkas-berkas tebal yang mungkin berisi transaksi gelap, catatan bisnis, atau hal-hal lain yang terkait dengan kekuasaannya. Dia mengambil salah satu berkas, mulai membolak-balik kertasnya dengan tenang, tanpa sedikit pun memperlihatkan perhatian lebih pada Adira.

Pria itu terbenam dalam pekerjaannya, seolah Adira hanya bagian kecil dari rutinitas hariannya, meskipun baru saja dia mengklaim bahwa Adira "miliknya."

Ruangan kembali sunyi, hanya terdengar suara lembaran kertas yang dibolak-balik dan sesekali suara pena yang menulis di atas dokumen.

Adira berdiri di tengah ruangan, tubuhnya masih terasa gemetar meski kini bebas dari ikatan. Dia masih berusaha memahami situasi ini, tetapi kepala mafia itu tampak tak peduli lagi dengan keberadaannya.

Meski mereka berada dalam ruangan yang sama, dia sudah seperti hantu yang tak terlihat bagi pria itu. Sementara pria itu sibuk dengan pekerjaannya, Adira hanya bisa berdiri terpaku, matanya yang sendu tak lepas dari sosok yang kini memegang kendali penuh atas nasibnya.

Beberapa saat berlalu dalam keheningan. Adira tetap berada di tempat yang sama sejak dia dibawa ke ruangan itu, kini duduk di lantai dengan memeluk lututnya.

Matanya yang sendu memandang kosong ke arah jendela besar, tetapi pikirannya kacau, masih sulit untuk menerima kenyataan bahwa ia berada di tempat ini, di bawah kendali seorang pria yang tidak dikenalnya.

Ketakutan dan kebingungan bercampur menjadi satu, membuat tubuhnya terasa semakin lemah.

Sementara itu.. kepala mafia tersebut akhirnya menyelesaikan pekerjaannya.

Dia menutup berkas terakhir di atas meja, merapikannya dengan gerakan yang tenang namun pasti. Setelah itu, tanpa sepatah kata pun, dia berdiri dan berjalan menuju sebuah pintu di sudut ruangan yang terhubung dengan kamar lain.

Dari tempatnya duduk, Adira hanya bisa melihat pintu itu terbuka sebentar sebelum pria itu menghilang ke dalam ruangan di baliknya.

Beberapa saat kemudian, kepala mafia kembali keluar, membawa sebuah kaos berlengan panjang berwarna gelap di tangannya.

Langkahnya mantap, tetapi kali ini ada sesuatu yang lebih tenang dan terkontrol dalam gerakannya.

Dia berjalan mendekati Adira yang masih meringkuk di lantai, terlihat begitu kecil dan rapuh di bawah tatapannya.

Sosok Adira yang memeluk lututnya, berusaha melindungi diri dari situasi yang tidak ia pahami, membuatnya tampak lebih tak berdaya.

Kepala mafia berhenti di depannya, kaos itu dipegangnya dengan satu tangan. Dia menatap Adira sejenak, mata biru gelapnya mencoba membaca perasaan gadis itu, meski ia tak menunjukkan banyak emosi di wajahnya.

Lalu, dengan suara yang rendah namun penuh perintah,

dia berbicara, "Pakai ini."

Tangan besarnya mengulurkan kaos lengan panjang itu ke arah Adira. Suaranya tidak keras, tetapi nada tegasnya membuat Adira mengerti bahwa itu bukan sekadar tawaran.

Pria itu kemudian menggerakkan kepalanya sedikit, memberi isyarat ke arah pintu di mana dia baru saja keluar.

"Kamar mandi ada di sana," ujarnya sambil menunjuk dengan dagunya ke arah ruangan yang sama dari mana ia membawa kaos tersebut.

Dia tidak memberikan penjelasan lebih lanjut, seolah perintah itu sudah cukup jelas.

Adira menatap kaos yang dipegang pria itu, lalu mengalihkan pandangannya ke arah pintu kamar mandi yang ditunjukkan.

Napasnya tersengal sejenak, kebingungan dan ketakutan masih menguasainya, tapi dalam keadaan ini, dia tahu dia tidak punya pilihan selain menurut.

Tangan Adira yang gemetar perlahan meraih kaos itu dari tangan kepala mafia. Sentuhan kain lembut di kulitnya memberikan sedikit kenyamanan di tengah kegelisahan yang menghimpitnya.

Pria itu tetap berdiri di sana, tidak bergerak, matanya mengikuti setiap gerakan Adira. Namun, dia tidak mengatakan apa-apa lagi, hanya memastikan bahwa perintahnya dipatuhi.

Setelah menerima kaos itu, Adira bangkit perlahan, tubuhnya terasa kaku. Dia berjalan ke arah kamar mandi dengan langkah ragu, sambil sesekali melirik kepala mafia yang kini tampak tenang namun tetap tak terbaca.

Setelah beberapa saat di dalam kamar mandi, Adira akhirnya selesai mengganti baju.

Dia melangkah keluar dengan mengenakan kaos lengan panjang yang jauh lebih besar daripada tubuhnya yang kecil.

Kaos itu menutupi sebagian besar tubuhnya, membuatnya tampak tenggelam dalam kain yang lembut namun berat.

Adira merasakan kenyamanan yang jarang ia rasakan dalam situasi menegangkan seperti ini, meskipun rasa cemas masih menggelayuti pikirannya.

Di depan, sosok kepala mafia terlihat duduk di meja makan yang besar di tengah ruangan, membelakangi Adira.

Dia telah bergeser dari posisi semula dan kini duduk santai di kursi yang tampak megah.

Saat Adira melangkah keluar, dia merasakan ketegangan di udara berkurang sedikit ketika kepala mafia itu menolehkan kepalanya, seolah menyadari kehadiran Adira.

Pria itu melihat Adira sejenak, menilai penampilannya yang kini lebih kasual dengan kaos yang menutupi hampir seluruh tubuhnya.

Tanpa berbicara, dia menarik kursi di sebelahnya, memberikan isyarat bahwa dia ingin Adira bergabung bersamanya di meja makan.

Gerakan itu, meskipun tampak sederhana, terasa seperti perintah yang halus namun tegas, menandakan bahwa ini adalah bagian dari rutinitasnya—makan malam bersama.

Di meja yang luas, berjejer berbagai hidangan mewah yang tersaji dengan rapi.

Ada beberapa piring yang penuh dengan makanan khas Meksiko, Namun, Adira tidak tahu kapan makanan-makanan itu disiapkan atau siapa yang menyajikannya. Semua ini terasa begitu tidak biasa dan jauh dari realitas yang biasa ia jalani.

Adira melangkah ragu menuju meja, merasa seperti seorang tamu di dunia yang asing. Setiap langkahnya membuat matanya melirik ke arah hidangan yang tampak menggugah selera, tetapi dia tidak bisa sepenuhnya menikmati pemandangan itu karena ketegangan yang mengikatnya.

Saat dia mendekat, kepala mafia itu memandangnya dengan tatapan yang lebih lembut, tetapi tetap tak terbaca.

Ketika Adira akhirnya duduk di kursi yang disediakan, jantungnya berdegup kencang.

Dia merasa seperti berada di antara dua dunia yang di satu sisi, dia terjebak dalam situasi yang mengerikan, dan di sisi lain, dia disajikan dengan makanan mewah dan perlakuan yang tidak dia duga sebelumnya.

Di dalam pikirannya, beragam pertanyaan berputar, tetapi dia tahu bahwa saat ini yang bisa dia lakukan adalah mengikuti alur yang ditentukan oleh pria di depannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!