Namanya Adira, seorang wanita berusia 25 tahun, anak kedua dari lima bersaudara.
Ayahnya keturunan asli Padang, Indonesia. Sementara ibunya memiliki darah campuran Indonesia dan Pakistan, namun juga sama-sama bersuku kan Minang, memberikannya perpaduan kecantikan yang unik.
Adira, lebih banyak mewarisi ciri fisik dari ibunya, dengan kulit kuning langsat yang cerah, dan mata sendu yang membuat orang berpikir kalau dia mungkin sedang merenungkan sesuatu, dilindungi alis yang tebal dan teratur, seolah menyiratkan kekuatan dan keanggunan yang tersembunyi
Wajahnya manis, dengan hidung yang tidak mancung tapi juga tidak pesek, terlihat pas di wajahnya, seimbang dengan bibir tebal nya yang merah muda, tampak sensual alami.
Oh, juga ada tahi lalat kecil di kelopak bawah matanya yang kiri, menambah daya tarik sisi misteriusnya.
"Alhamdulillah, sampai juga di Tijuana, ughh.. pegel nya.."
gumam nya pada diri sendiri setelah kaki nya menyentuh tangga untuk turun dari pesawat, di Bandara Tijuana.
Badannya pegal - pegal karena duduk selama kurang lebih 25 jam penerbangan dari Bandung ke Tijuana, Meksiko.
Adira lantas mengambil handphone dari kantong celananya.
"Kabarin adik kesayang dulu deh, mumpung ingat, nanti di teror lagi kalau engga segera dikabarin." ujar Adira dalam hati.
"Dek, kakak udah sampai di Tijuana ya"
Begitu pesan WA nya kepada adik bungsu nya, dan langsung seketika di respon dengan balasan,
"Alhamdulillah kak kalo gitu, oke deh kakak have fun ya! Jangan lupa oleh-oleh nya lo! "
Senyum terukir di wajah Adira saat ia membaca balasan WA dari adiknya itu, dan hanya dibalas Adira dengan emoticon dua jempol.
Lahir dan tumbuh dalam keluarga yang cukup ramai, tak membuat Adira menjadi seorang ekstrovert, justru Adira malah selalu merasa nyaman dengan kesendirian, dirinya yang sangat menikmati momen-momen di mana dia bisa melarikan diri dari keramaian khas seorang introvert.
Baginya, berjalan sendirian bukan lah hal yang menakutkan dan membosankan seperti banyak orang kira.
Tapi, bagi Adira ini adalah bentuk pelarian dirinya, dari luka-luka yang banyak membekas dalam hatinya yang tak kunjung sembuh.
Kali ini, Adira, mencoba menyembuhkan luka-luka nya itu dengan pergi ke Tijuana, sebuah kota di Meksiko yang terkenal dengan keunikan budayanya.
Tijuana adalah kota perbatasan yang hidup, penuh dengan warna, musik, dan aroma makanan jalanan yang menggoda.
Adira pun kini berjalan menyusuri Avenida Revolucion, yang merupakan salah satu jalan paling terkenal di Tijuana, dan ia sangat terpesona oleh keragaman disana.
Di sepanjang jalan, mural-mural besar tampak menghiasi dinding bangunan tua disana, dengan suara tawa dan musik mariachi yang selalu terdengar seperti backsound nya kota itu.
"Waahh.. kotanya kok bisa hidup banget gini, orang-orang nya ramah-ramah lagi, disenyumin terus aku dari tadi, " Adira berbicara sendiri.
Pasar-pasar tradisional disana, menjual berbagai macam barang, dari kerajinan tangan lokal hingga kuliner khas Meksiko yang membuat lidah bergoyang.
"Hufff..Selesai juga beli oleh-oleh nya"
Adira menutup pintu hotel nya dan kembali keluar setelah membeli buah tangan terlebih dahulu. Itu Adira lakukan agar ia bisa dengan tenang menikmati tempat - tempat yang menjadi tujuan nya dengan tenang.
Tak terasa, hari pun sudah sore. Adira kini menuju ke Playas de Tijuana, pantai yang terletak di perbatasan Meksiko dan Amerika Serikat.
"Huaaa... bagus banget, mala lagi sepi lagi, beruntung banget deh kamu Adira"
Senyum Adira merekah melihat pantai yang indah dan sepi itu, ombak yang tenang dan angin sepoi-sepoi menemani langkahnya di atas pasir yang lembut. Di sini, Adira merasa benar-benar bebas.
......................
Di malam hari, Tijuana berubah menjadi kota yang dipenuhi cahaya dan kehidupan malam.
Musik dari klub-klub dan bar-bar lokal mengalir keluar ke jalanan, menciptakan suasana pesta yang penuh semangat.
Meski sendirian, Adira tidak pernah merasa kesepian disini, kebahagiaan selalu terasa di hatinya, ia sungguh menikmati setiap momen yang dia lewati di Tijuana.
Yang tanpa ia sadari, sebenar nya ia dalam bahaya. Sejak ia tiba di bandara tadi pagi, telah ada sepasang mata yang terus mengawasinya, milik seorang pria misterius, berpakaian rapi namun dengan tatapan yang penuh kewaspadaan.
Selalu berada di sekitar Adira, memperhatikan setiap gerak-gerik Adira, walau ia jadi ikut juga menjelajahi kota.
Pria itu memang tidak pernah terlalu dekat, namun selalu cukup dekat untuk memastikan bahwa Adira tak akan lolos dari pandangannya, menunggu saat yang tepat untuk menjalankan aksi nya tanpa cela.
Ya.. begitu lah Tijuana, dibalik keindahannya, memiliki sisi gelap yang tak banyak diketahui para wisatawan.
Para mafia dan geng kriminal menguasai beberapa bagian kota dan perdagangan manusia menjadi salah satu bisnis gelap yang berjalan dibawah permukaan.
Adira yang naif tidak menyadari bahwa kehadirannya di kota ini telah menarik perhatian orang-orang yang memiliki niat jahat, ia tak tahu bahwa seorang wanita muda yang berpergian sendirian adalah target yang sempurna.
Saat dia berjalan menyusuri salah satu gang kecil setelah keluar dari sebuah kafe, suasana mulai sepi.
"Ugh, kenapa tiba-tiba feeling gak enak nih? "
Adira membatin.
Angin malam yang dingin menyapu kulitnya, dan langkahnya mulai melambat.
"Balik ke hotel aja deh kayak nya-"
tetapi sebelum dia sempat berbalik, sebuah mobil hitam tanpa tanda menghampirinya dari belakang.
Dan dalam hitungan detik, semuanya berubah...
Tangan kuat tiba-tiba meraih tubuh Adira, menariknya dengan keras ke arah mobil yang kini berhenti tepat disampingnya.
"Hhmmmpptt!!! "
Adira berusaha berteriak, tapi mulutnya telah ditutupi oleh kain yang membuat suara nya teredam.
Seorang pria lain, dengan badan lebih besar menutupi kepalanya dengan kain hitam, memutus pandangan dari dunia luar.
Matanya membelalak dibalik kain hitam yang menutupi wajah nya, air mata mulai mengalir tanpa bisa ia kendalikan.
"Hhmmpphtt!! hmmpphhtt!! "
Adira meronta-ronta, berusaha melepaskan diri, namun kekuatan para penculik jauh diluar kemampuannya. Kedua tangannya segera diikat dengan tali kuat, membuatnya tak berdaya.
Mobil itu pun melaju kencang di jalanan kota, dan suara bising dari luar mobil terdengar semakin menjauh, menghilangkan harapan Adira untuk ditemukan oleh seseorang.
Ditengah keputusasaan, Adira sempat mencoba memberontak. Dia menggerakkan tubuhnya lagi, menendang sebisanya dalam ruang sempit dikursi belakang. Namun, perlawanan itu hanya berlangsung sekejap.
Pisau dilehernya ditekan lebih keras, dan dia mendengar suara berbisik dari pria yang mengawasinya
"Jangan bergerak, atau ini akan berakhir buruk."
Adira tak berani untuk bergerak lagi, hanya bisa menangis dalam diam, air matanya membasahi kain yang menutupi wajahnya.
Adira terjebak dalam ketakutan yang mencekam, dirinya yang hanya ingin berpergian untuk menyembuhkan luka lama malah menambah luka baru. Bahkan, ini berhasil menjadi goresan luka yang terburuk dalam hidupnya.
"Hikss.. Siapa orang - orang Ini .. sebenarnya aku mau dibawa kemana.." batin Adira.
Kini Adira hanya bisa menyerah dan pasrah, berharap nanti akan ada jalan agar dia bisa selamat dari para penjahat ini.
...
Di sepanjang perjalanan yang terasa sangat lama itu, Adira bisa merasakan kalau dia sudah berada sangat jauh dari kota Tijuana.
Indra pendengar nya, tak lagi menangkap suara keramaian kota atau gemuruh musik, bahkan juga tak lagi mendengar suara satu orang pun. Hanya ada suara halus dari mesin mobil itu yang melaju cepat.
Perlahan hidung Adira mendengus, menghirup aroma khas pepohonan.
"Ya Allah, ini aroma hutan... kalau pun ada kesempatan untuk aku bisa lari nanti, gimana cara nya bisa keluar dari hutan ini?" sesak Adira membatin.
Adira awalnya, hanya mengira akan dibawa ke sebuah gedung tua atau rumah kosong di pinggiran kota. Oleh karena itu, sedari tadi Adira mencoba untuk tetap tenang, bekerja sama dengan pikirannya yang terus menerus merancang skenario pelarian dirinya.
Tapi, semua nya gagal karena aroma pepohonan itu. Bagaimana mungkin bisa lolos dari hutan bukan? Bisa bertahan hidup sehari saja di hutan, rasanya sudah terlalu beruntung.
Hingga tiba saat mobil yang membawa Adira akhirnya berhenti.
Para penjahat itu dengan cepat menyeret tubuh kecil Adira keluar dari mobil, masih dengan tangan terikat dan kain yang menutupi wajahnya.
"Hhhmmppttt!!!!"
Adira mencoba menahan kakinya agar tak ikut terseret.
"Jalan kau!! Dasar bodoh!! Apa kau kira bisa melawan kami!! "
Bentak seorang pria disebelah kiri Adira, yang terasa sangat tinggi dan besar dengan suara nya yang serak khas seorang perokok berat.
Adira terus dipaksa berjalan, dia telah diapit oleh dua pria besar yang mengawalnya masuk ke dalam sebuah bangunan.
"Ya Allah tolong la hamba...cuma Engkau yang bisa menolong ... " tangis nya berdoa dalam hati.
Setiap langkah Adira kini terasa sangat berat. Tubuhnya begitu lemah karena rasa takut yang menguasai seluruh pikirannya.
Tidak ada tanda kehidupan lain di sekitar bangunan itu, hanya ada suara langkah kaki para penjahat yang menculiknya, menggema di udara malam yang sepi dan dingin itu.
"Kau tunggu disitu!!!"
Ucap pria yang membentak nya tadi sambil melempar badan Adira hanya dengan satu tangan, masuk ke dalam sebuah ruangan.
"Ugghh! Sakit..."
Adira merintih dalam hati merasakan sakit di seluruh badan nya karna tercampak ke atas lantai yang keras.
"Hhmmpphhtttt..." Mulut nya yang tertutup kain tak bisa mengeluarkan satu kata pun. Padahal dia ingin sekali mencoba memohon untuk di bebaskan.
Kain yang menutupi wajah Adira, akhirnya dibuka dengan kasar dan cahaya remang-remang dari lampu yang tergantung di langit-langit menyilaukan matanya sejenak.
"Wah wah cantik juga guys.. "
Ujar salah satu orang di ruangan itu menggunakan bahasa Meksiko.
"Mmmm...?? "
Adira mencari-cari si pemilik suara itu.Tapi pandangan nya masih buram.
"Sepertinya masih perawan juga ini? "
Pemilik suara tadi melanjutkan perkataannya yang di balas dengan suara tawa orang - orang yang berada diruangan tersebut.
Ketika itu, pandangan Adira mulai terbiasa, dia melihat ke sekelilingnya. Ruangan itu tampak besar, dengan lantai beton yang dingin dan dinding batu kusam yang tak terawat. Pun, memiliki bau lembab dan tembakau yang tajam memenuhi setiap sudut ruangan.
Sementara melihat orang-orang yang ada disini, dari pakaian dan nada suara nya, Adira mengerti bahwa mereka pastilah sekelompok mafia besar.
"Hhmmppttt... hhmmpptt..."
Adira terus berusaha mengeluarkan suara yang hanya teredam percuma. Mata nya sudah memerah dan bengkak akibat tangis yang terlalu lama.
"Uuhhhh.. Kau menangis? Kasihan.. "
kata seseorang di depan Adira yang berpakaian serba gelap dan tatapan tajam yang mengintimidasi.
Di ruangan itu terlalu banyak orang, sebagian dari mereka hanya berbicara satu sama lain, dengan bahasa Meksiko yang tak bisa Adira mengerti dan sebagian lainnya terus menatapi Adira layaknya serigala yang kelaparan memandangi mangsanya.
Adira mendongak dengan gemetar, melihat pria di depan nya yang terasa dingin dan penuh dengan aura yang mengancam.
"Hhmmppttt... hhmmpptt... " ucap Adira dengan mulutnya yang masih belum mereka buka. Matanya yang berair memohon belas kasihan kepada orang-orang di sekitarnya.
"Kau sedang memohon agar dibebaskan ya? "
Kali ini pria itu berkata dengan bahasa inggris, Adira paham itu.
Adira pun mengangguk pelan, air mata jatuh membasahi pipinya.
"Uuuhh sayang... tapi bagaimana dong.. semakin kau menangis, semakin aku suka.. "
Ucap pria itu, membuat bulu kuduk Adira merinding.
Kepala Adira lantas tertunduk, tubuh nya meringkuk, menyembunyikan tangisannya yang pecah. Adira kini merasa sendirian lebih dari sebelumnya. Air matanya terus mengalir, tetapi dia menahan suaranya, agar tak menunjukkan sisinya yang hancur ketakutan.
Namun, di tengah tangisan sunyi Adira, saat rasa putus asa semakin menikamnya, ruangan itu tiba-tiba terasa membeku, dan seolah semua suara mendadak hilang. Semua orang di ruangan itu berhenti berbicara dan berdiri tegap, tatapan mereka berubah menjadi serius.
Ada seorang pria masuk ke dalam ruangan, langkahnya berat namun tenang, memancarkan aura yang penuh kekuatan.
Adira yang merasakan perubahan suasana ini mengangkat wajah nya, dan melihat pria tersebut berjalan masuk melewati pintu.
"Siapa dia? Apa dia pemimpin disini.. ?"
ujar nya dalam hati.
Sosoknya tinggi dan berotot, dengan bahu yang lebar dan tubuh penuh tato. Wajahnya keras, dengan garis rahang tegas dan tatapan tajam seperti seorang pejuang suku asli Amerika.
Kulitnya kecokelatan, dengan rambut hitam yang panjang dan terurai sampai punggungnya, tampak kontras dengan bola matanya yang biru gelap.
"Kau... "
Lelaki itu tiba-tiba bersuara sambil berjalan mendekat ke Adira, mata mereka bertemu, dan waktu seolah berhenti.
Dia terus memandangi Adira, tapi pandangan itu bukan seperti pandangan pria-pria tadi. Ada sesuatu yang berbeda di balik sorot matanya yang dingin.
Ketika dia melihat wajah Adira, terutama tahi lalat kecil di bawah mata kirinya, ekspresinya yang tak terbaca, berubah.
Setelah hening yang mencekam itu, suaranya yang berat dan rendah terdengar.
"......"
Dia mengatakan sesuatu, dan pernyataan itu mengejutkan semua orang yang ada di ruangan. Mereka saling bertukar pandang dengan ekspresi bingung dan terkejut. Sementara Adira masih mencerna, loading nya lama,
"Haa? Apa tadi yang dibilangnya? " pikir nya dalam hati.
Matanya yang sendu kini menatap pria itu dengan campuran kebingungan dan ketakutan, sementara tubuhnya bergetar di atas lantai dingin.
Adira tiba-tiba tersadar,
"Wanita ini milikku,"
Itu yang pria tadi katakan.
Sebelum Adira kembali sadar sepenuhnya, ajudan si kepala mafia, yang berdiri persis di belakangnya, segera melangkah maju.
Dia bergerak dengan tenang namun sigap, menarik tubuh Adira yang lemas dari lantai. Tangan besarnya menopang Adira yang hampir tak bisa berdiri tegak karena ketakutan dan kelelahan.
"Ayo, berdirilah"
.
Kata si ajudan dengan suara tenang,
Adira hanya mengikut, pasrah.
"Apa maksud dia tadi? Kenapa dia mengklaim aku sebagai "miliknya"?"
Semua pertanyaan itu pun berputar-putar di benaknya tanpa jawaban. Ia terjebak dalam labirin pikiran yang penuh dengan ketidakpastian.
Dengan kepala yang masih terasa berat, Adira memandangi sosok pria yang kini berjalan di depannya. Bahu lebar yang membentang seakan menandakan kekuatan fisik nya, sementara punggungnya yang berotot menunjukkan bahwa tubuh itu ditempa dengan keras.
"Mau kemana lagi ini? Apa aku bakal selamat dari orang ini? Tubuh nya ngeri, dari otot - otot nya aja udah keliatan seseram apa dia." batin Adira.
Suara langkah kaki mereka di sepanjang jalan lorong yang panjang dan sempit itu terasa seperti irama yang memekakkan telinga.
Dinding lorong nya terbuat dari batu bata yang kini telah kusam, beberapa bagian terlihat retak, seolah menandakan tempat ini telah lama menjadi markas yang tersembunyi dari hiruk-pikuk dunia luar.
"Bangunan ini benar-benar besar, untuk keluar dari sini, sepertinya aku butuh orang dalam."
Adira melirik ke seseorang yang memapahnya, berharap menemukan secuil kebaikan di wajahnya, tapi yang terlihat hanyalah ekspresi datar tanpa emosi, seolah tugasnya hanyalah memastikan Adira tetap berjalan hingga sampai ke tujuan mereka.
"Orang ini kok dingin banget sih..padahal dari matanya keliatan orang baik-baik, tapi kayaknya dia setia sama bos nya, gak mungkin dia mau bantu aku keluar dari sini. "
Akhirnya, Adira dan rombongan kecil itu tiba di depan sebuah pintu besar berwarna cokelat tua berukiran khas Meksiko di permukaannya, pintu itu pun perlahan terbuka.
Adira terkejut melihat isi ruangan tersebut, vibes nya benar - benar berbanding terbalik dengan lorong - lorong dan ruangan tempat dia disekap tadi.
"Haaa? Kok ? Bagus?." teriak nya dalam hati.
Ruangan tersebut tampak mewah namun hangat, lantai nya dihiasi dengan karpet tebal.
Ada sofa kulit yang nyaman di salah satu sudut, dihiasi dengan bantal-bantal yang berwarna senada.
Di tengah ruangan, terdapat sebuah meja besar dari kayu mahoni, penuh dengan kertas dan dokumen. Dan disamping meja itu, ada jendela besar yang mendominasi salah satu dinding.
"Ini ruangan apa? Besar nya.. mau disebut ruang kerja tapi ada kasur, malahan lebih cocok disebut apartment sih ini, "
batin Adira merasakan campuran antara kagum dan bingung saat memandang ke sekeliling.
Si ajudan pun membawa Adira masuk,
dengan satu tatapan tajam dari pemimpinnya, ajudan itu langsung mengerti apa yang diinginkan.
Tanpa membuang waktu, dia menundukkan kepala dengan hormat, berbalik, dan berjalan keluar dari ruangan itu.
Pintu besar itu tertutup dengan pelan, meninggalkan suara yang terdengar berat di telinga Adira. Kini, Adira hanya tinggal berdua dengan kepala mafia di ruangan besar tersebut.
"Habis lah sudah.. "
Adira membatin, berdiri kaku, tubuhnya terasa semakin kecil di hadapan sosok yang begitu besar, baik secara fisik maupun kekuasaan.
Dengan gerakan lambat dan hati-hati, tangan besar pria itu terulur ke arah wajahnya.
"Hhhmmmpptt!!" teriak Adira sambil menutup matanya.
Namun, alih-alih menyakitinya, tangan itu dengan lembut mulai menyentuh ikatan kain yang membungkam mulutnya.
Jari-jarinya yang besar namun terampil menarik ikatan itu perlahan, seolah dia sangat berhati-hati agar tidak melukai Adira dan kain hitam itu pun terlepas,
"Haahh" Adira membuang napas panjang.
Kemudian dengan cekatan ia melepaskan ikatan tali di pergelangan tangan Adira.
Adira menatap pria itu dengan kebingungan, tak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi. Dia telah siap menghadapi yang terburuk, namun apa yang dia alami sekarang jauh dari perkiraannya.
Kepala mafia itu belum mengatakan sepatah kata pun, tapi tatapan biru gelapnya yang terus menatap Adira membuat jantungnya berdetak semakin kencang.
Fokus matanya tertuju pada tahi lalat kecil di bawah mata kiri Adira, seolah-olah detail itu memegang makna yang dalam baginya.
Setelah beberapa saat dalam keheningan, dia tiba-tiba berbicara, suaranya rendah namun tegas.
"Kamu bisa tinggal di sini. Anggap saja ini rumahmu," katanya tanpa sedikit pun perubahan emosi di wajahnya.
"Apa maksudnya dengan 'anggap saja ini rumahmu'?" Adira membisu, tak mengerti.
Setelah itu, tanpa sepatah kata pun, pria itu berjalan menuju sebuah pintu di sudut ruangan,lalu kembali membawa sebuah kaos berlengan panjang berwarna gelap di tangannya.
Langkahnya mantap, tetapi kali ini ada sesuatu yang lebih tenang dan terkontrol dalam gerakannya.
Lalu, dengan suara yang rendah namun penuh perintah, dia berbicara,
"Pakai ini."
Tangan besarnya mengulurkan kaos lengan panjang itu ke arah Adira.
"Kamar mandi ada di sana,"
ujarnya sambil menunjuk dengan dagunya ke arah ruangan yang sama dari mana ia membawa kaos tersebut.
Adira menatap kaos yang dipegang pria itu, lalu mengalihkan pandangannya ke arah pintu kamar mandi yang ditunjukkan. Napasnya tersengal sejenak, kebingungan dan ketakutan masih menguasainya, tapi dalam keadaan ini, Adira tahu dia tidak punya pilihan selain menurut.
Tangan Adira yang gemetar perlahan meraih kaos itu dari tangan pria tersebut dan dengan ragu Adira berjalan melangkah ke kamar mandi itu. Pria itu tetap berdiri, matanya mengikuti setiap langkah Adira.
Setelah sedikit cukup lama di dalam kamar mandi, Adira akhirnya melangkah keluar dengan mengenakan kaos lengan panjang yang jauh lebih besar dari tubuhnya yang kecil.
Tapi entah mengapa Adira merasakan kenyamanan, meskipun rasa cemas masih menggelayuti pikirannya.
Di depan Adira, pria itu terlihat duduk di meja makan yang besar di tengah ruangan, membelakangi Adira.
Pria itu pun menolehkan kepalanya, seolah menyadari kehadiran Adira. Lalu melihat Adira sejenak, menilai penampilannya yang kini lebih kasual dengan kaos yang menutupi tubuh hingga ke lututnya.
Tanpa bicara, pria itu menarik kursi di sebelahnya, memberikan isyarat bahwa dia ingin Adira bergabung bersamanya di meja makan. Gerakan itu, meskipun tampak sederhana, terasa seperti perintah yang halus namun tegas.
Di meja yang luas, telah terhidang berbagai hidangan mewah yang tersaji dengan rapi, penuh dengan makanan khas Meksiko. Para pelayan pria itu yang telah menyajikannya, ketika Adira tadi masih di dalam kamar mandi
Adira melangkah ragu menuju meja, merasa seperti seorang tamu di dunia yang asing.
Kini Adira tepat disamping pria itu, mata Adira melirik ke arah hidangan yang tampak menggugah selera, tetapi dia tidak bisa sepenuhnya menikmati pemandangan itu karena sangking tegangnya.
Pria itu memandangnya dengan tatapan yang lebih lembut, tetapi tetap tak terbaca.
" Duduklah"
Adira pun akhirnya duduk di kursi yang disediakan, jantungnya berdegup kencang.
Di dalam pikirannya, beragam pertanyaan berputar.
"Kenapa? Apa kau tak suka makanan Meksiko? " tanya pria tersebut.
"Oh, bukan begitu," jawab Adira kebingungan.
" Jadi? " pria itu lanjut bertanya, masih dengan tatapan yang lembut.
Adira tertunduk, tak berani menatap mata pria itu lebih lama lagi.
"Makanlah, kau pasti lapar"
lanjut pria itu berkata sambil meraih sendok, ia memulai untuk makan.
Dan makan malam itu pun berlangsung dalam keheningan yang menegangkan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!