Hello There!
Perkenalkan aku, Author Hana Indy. Kerap dipanggil Han.
Kali ini author hadir dengan salah satu cerita dengan genre yang tidak pernah author tulis sebelumnya. Author begitu bangga ketika author menyelesaikan karya ini nantinya. Seperti biasanya, author akan menyertakan visual karakter utama. Tentu saja digambar sendiri.
Sampul yang dibuat juga digambar sendiri. Semua karya orisinil dari author. Untuk filosofinya akan dijelaskan sepanjang cerita. Tetapi, Author berharap bisa menjelaskannya di papan pengumuman yang akan datang.
Jangan lupa berikan dukungan kalian ya. :)
Halo semuanya!
Author Hana sudah kembali.
Kali ini author hadir dengan membawa empat karakter utama yang akan bermain dalam Altar Darah! Yuk, simak!
Kita ada Kepala Detektif yang tentunya akan mengambil peran banyak. Begitu bijaksana dan tampan tentunya. Anggap saja begitu ya, Oh iya, semua karya ini asli milik author loh. Mohon untuk tidak menjiplaknya ya.
Ada si Clause Zegar selaku Wakil Detektif. Ada sebuah plot twist yang seru nih untuk karakter kita ini. Emang agak nyentrik yah, tapi dia begitu putih. Bayangkan saja seperti Suga BTS.
Selanjutnya kita ada sang Forensik. Tentu saja dia akan menjadi jembatan antara kasus dan titik temu. Siapakah seseorang itu?
Yang terakhir kita ada sang CEO tampan. Busyed, udah kaya, tampan, muda, pemberani. Siapa yang tidak mau. Author juga ingin.
Demikianlah perkenalan karakter kita. Selanjutnya masuk ke Bab 1 Gapura Hancur Berceloteh.
..."Terbukanya gerbang awal bermunculan. Pemeran telah menunduk hormat mempersembahkan opera topeng merah. Hingga pada suatu masa, tirai harus ditutup atau terpaksa ditutup." - Altar...
Bawa pesan ini ke persekutuanmu!
Mata penuh kabut, nafas tersengal, keringat menetes parah menuju tanah. Derap kaki menghantui pendengarannya. Teruslah maju! Walau sudah engkau tidak temui senja esok hari. Ada harapan selama nafas masih berembus.
Bawa pesan ini lari ke keluargamu!
Siapa yang akan menunggu dalam hangatnya rumah? Berlindung dibawah atap dalam keceriaan. Keset selamat datang sudah dia buang jauh tanpa sisa. Hanya sebatang kara setelah kehilangan asa. Ada batu dijalanmu, jangan tersandung!
Bawa pesan ini ke keluargamu!
Kontrak mana yang sudah Si Lelaki Mata Sebelah ini buat? Tanpa sengaja menginjak nisan takdirnya sendiri. Tuan sedang bergairah untuk mengejar. Langkah kaki Tuan lebih cepat dari yang lelaki kira. Awas engkau sudah terjatuh, lelaki!
Jangan lelah kakimu berlari!
Jika lelah jangan berhenti, tempat yang lelaki tuju adalah persinggahan terakhir. Lelah matanya terus memicing, Tuan dengan tudung merah mengejar kilat.
Tuan telah mempersembahkan kembang merah untuk Si Lelaki Mata Sebelah.
Sulur, rindang pohon liar, sayupnya bacaan doa, lumut sejati, juga angin dingin menjadi saksi.
...***...
Indah suaranya merdu mengiringi pagi menjelang siang. Petikan gitar pembawa keceriaan bagi anak yang memetik bunga ditaman liar. Ada keranjang ditangan kanan, juga rambut panjang dengan hiasan kembang. Sang ayah berdendang, sedang sang putri senang.
Konon katanya ada sebuah pembatas yang tidak boleh dilampaui. Sebuah benteng besi melindungi Kota.
Menganggu keceriaan, memudarkan dendangan, bayangan menutupi mentari meninggi. Raut wajah putri nampak tidak tenang.
"Sepertinya akan turun hujan. Ayo kembali!" Direntangkannya tangan menyambut putrinya berusia 10 tahun. Menggendong menuju kereta mesin dipinggir jalan. *Kereta mesin \= mobil.
Setelah gerimis melanda, cahaya mentari sedikit mengintip pada celah awan tipis. Kota kebak pedagang, menyapa asing manik kecil bergerak terus-menerus. Ibukotanya makmur dengan banyaknya sektor perdagangan dan pengobatan. Dimana langkah kecil menyusuri jalanan ada saja yang menarik matanya.
Sedikit sisa hujan masih kentara, jalanan yang basah, genangan air terciprat sembarangan, bau sampah disudut Kota, mungkin sudah biasa. Bagi jantung negara dipimpin oleh dua Klan, Kota Homura dikenal sebagai 'Kota Benteng Besi.'
Yang melampauinya akan mati.
Yang percaya dengan lagu kuno.
"Setelah mengantarkan kain, ayo kita kembali ke bukit itu!" seru sang anak ceria melihat bapaknya bertransaksi dengan pembeli. Rumah bordil megah sedang memesan kain khusus untuk para pelayan, juga 'bonus' bagi pelanggan yang 'membeli' lebih.
"Tentu saja untuk Putri Liliana."
Berjanji sang ayah bahwa matanya akan terbuka sepanjang perjalanan namun, siapa yang ingkar janji dengan tidur pada kursi empuk kereta bermesin? Enggan membangunkan, digendongnya putri kecilnya menuju ke atas bukit.
Mendaki sedikit jauh berbekal senyuman. Menyadari bahwa lelaki besar ini hanya memiliki satu permata, dia berjanji dalam diri akan selalu menjaga dan membawa putri kecilnya, Liliana.
Angin menerpa, mengusik tidur dalam lelap. Manik hitam terlihat. "Apakah kita sudah sampai?"
"Apakah mimpimu sangat menyenangkan? Ayah mendengar kamu bergurau."
Membuat gelak tawa diantara keduanya. "Ayah tidak pintar berbohong."
Betapa anak ini rindukan, sebuah bukit paling tinggi dalam sejarah Kota Homura. Dihiasi dengan cahaya lampu kota bagaikan bintang. Dipageri dengan perbukitan luar biasa asri. Diwarnai dengan banyaknya bunga dan berbagai tanaman obat. Disinilah mereka yang menyebutnya 'Surga Dunia.'
Liliana merentangkan 'sayapnya'. Menunjuk dengan jemari kecilnya menuju pusat kota. "Ayah tahu disana kita selalu bersenang-senang."
"Dua minggu lagi kita akan menikmati kari spesial buatan Bibi Sayur."
"Lili juga tidak sabar bertemu dengan kak Geta," celotehnya.
Bibir terus saja berucap hal yang sama bertahun mendatang. Gadis kecil yang senang memetik kembang ditaman liar kini bertubuh menjadi gadis belia. Begitu cantik parasnya, jenjang kakinya, idaman pada wanita dengan rambut berkepang dua masih kebak kembang.
Begitu terus roda berputar, setelah menyelesaikan pesanan kain. Liliana bersama sang ayah akan datang ke Bukit Bintang lalu menikmati pemandangan tiada bosan. "Ayah selalu menyukai bintang. Disana, kelipan lampu bagaikan bintang jatuh."
"Pantulan yang indah." Liliana girang. "Seperti yang Kak Geta inginkan."
Beberapa kali ketukan pintu menyapa. Berpakaian rapi menuju rumah dengan rumput depan meninggi. Sepatu berjinjit tinggi, menggenggam tas selempang biru sembari bergaun senada. Gadis muda yang bergairah. Kini hanya sendirian ke kota hanya berlapiskan kencan dalam festival.
Lama tidak mendengar sebuah jawaban, kedua alis bertaut. "Kak Geta!" keras suaranya memanggil, berpegang teguh di dalam sana akan menjawab.
"Liliana!"
Sapaan wanita tua membuat sang nama menoleh. "Nenek, apakah Kak Geta ada di dalam?"
Bergeraklah tubuh renta menghampiri Liliana. "Sudah lama aku tidak melihatnya."
Raut sedih mampir segera, Liliana hanya mengangguk kecil.
"Apakah kamu akan pergi ke festival?"
"Iya," jawab Liliana penuh senyuman, walau sudah tidak baik suasana hatinya.
"Apakah kamu mau melihat festival bersamaku?"
Sesaat memikirkan jawaban yang tepat. Dalam hati Liliana hendak menolak, lalu pulang dengan membawa suasana buruk, bercurhat dengan bantal dan kasur. "Baiklah," pada akhirnya jawaban yang Liliana sampaikan.
Kota Homura memiliki aktifitas 'rutinan'. Kota yang difondasikan oleh dua klan terhormat memiliki festival yang akan diadakan setiap bulan sekali saat menjelang malam purnama tiba. Sebagai penghargaan kepada empat simbol arah mata angin yang telah melindungi kota juga negara.
Barat : Harimau Putih
Selatan : Burung Vermilion
Utara : Kura-Kura HItam
Timur : Naga Biru
Wajar Kota Homura dikenal dengan pertahanan negara terkuat. Kebanyakan militer berasal dari Kota ini.
Seraut wajah selalu tersenyum kepada manusia yang berpapasan, ia hanya tertunduk tanpa melihat. Melangkah pelan menyeimbangkan langkah kaki dengan nenek.
"Apakah kamu sudah bosan dengan festival yang selalu diadakan setiap bulan ini?" Hembusan nafas lelah dari nenek membuat Liliana menoleh. "Selalu sama, tata letak makanan, minuman, pedagang kembang api. Apakah kamu tidak bosan?"
Liliana menggeleng. "Meski begitu, festival ini selalu ramai. Banyak orang yang datang entah dari luar kota atau dalam kota."
"Lihat wajahmu sangat murung."
"Ya nenek, Kak Geta berjanji akan bersama menuju festival bersama."
Tawa nenek renyah menggugah kesepian hampir melanda. "Nenek tahu. Geta sudah banyak bercerita mengenai dirimu. Nenek akan sangat bahagia jika kalian bersama."
Kembang api melanda awan sedikit mendung, bulan yang bersinar kini meredup, memancarkan puncak kesepian. "Apakah Anthony masih menyetor kain?"
Liliana sedikit teralih pandang dari kembang yang dia lihat. "Ya, ayah masih bekerja dengan Tuan Jack."
"Nenek sudah memesan banyak kain untuk dikirim ke kampung halaman nenek. Apakah kamu akan ikut?"
Kening saling mengkerut. "Kampung halaman nenek?"
Awan mendung menyingkir. Tepat jam 12 malam ketika sinar rembulan terpantul sempurna ditengah Altar. Semua orang akan berdoa, memberikan penghormatannya kepada cagak dewa.
"Ya, Kota Jariz."
"Nenek berasal dari kota yang sama dengan Kak Geta."
"Kami sangat akrab dulunya."
Senyum Liliana terbit. Mengingat ketika sebuah pesan yang pernah disampaikan oleh lelaki pujaan hati. Kapan hari lelaki itu sangat merindui kampung halamannya. Mengembara, lalu memerah susu kambing sewaktu kecil.
Berpulang sudah dengan sedikit larut, menyambut aroma segar dari balik pintu utama rumahnya. Berkelit dengan bunga matahari yang dia tanam bulan lalu. "Ayah masih merawatnya?"
"Hoho, putri ayah sudah pulang. Bagaimana dengan kencannya?"
Memaksakan sedikit senyuman. "Kak Geta tidak ada di rumahnya. Aku ditemani nenek."
"Dasar lelaki jaman sekarang, terbiasa menghilang. Jika bertemu dengannya ayah akan memukulnya nanti."
"Itu berlebihan."
Fajar menyingsing menyisakan rona merah. Sepenuhnya berbahagia duduk disamping sang ayah mengendarai kereta mesin. Udara baik begitu nikmat untuk jantung, berdebar perlahan menuju Gapura Kota Jariz yang Liliana nanti.
Malam sudah menyapa, bintang yang semula terang sedikit tertutup awan mendung. Seorang anak bertanya kepada bapaknya, 'mengapa negara yang mereka tapaki tidak memiliki musim seperti kebanyakan negara lainnya?'
Sedangkan musim kemarau selalu menyapa setiap hari, musim salju tidak pernah berkunjung, musim hujan apalagi hanya menyejukkan malam panas ketika awal bulan, angin yang semilir sedang, hawa panas tiada hinggap, wajar saja jika penduduk memiliki kulit putih.
Para putri dan putra tumbuh tinggi, sehat, ceria, seakan semua hal adalah anugerah yang diberikan oleh empat pilar. Negara ini sangat menyukai hal mistis atau cerita kuno, memuja pohon atau binatang sudah sering dilakukan. Mereka percaya binatang dengan empat pilar adalah hewan yang harus dilindungi. Harimau putih amat langka, walau begitu segala jenis harimau adalah peliharaan setiap penduduk. Wajar ditemui pada rumah-rumah.
Liliana terbangun setelah derap kaki banyak dia temui berlarian di halaman rumah yang dia singgahi. Rumah yang biasa Liliana kunjungi adalah milik penjual sayur. Bergerak tangan kecilnya mengambil lentera penerangan, melihat ayahnya sudah berada di depan pintu utama.
"Ada apa ayah?"
"Apa kalian juga mendengarnya?" Suara lembut Sang Bibi Sayur menyapa.
"Ya bibi, apakah ada pencurian?"
"Akhir-akhir ini banyak pencurian, biarkan kepolisian yang mencari kasusnya."
Liliana tergerak penasaran, mengintip pada gerbang bambu yang memiliki celah. Sejumlah kepolisian bergerak kesana-kemari menoleh lalu saling berbicara dan pergi. Seorang yang melihat membuat Liliana tertarik adalah dia yang memiliki helaian rambut abu-abu disamping wajahnya. Melihat ke arah mana Liliana mengintip.
Seketika menjauhkan tubuhnya berlari kepada ayahnya yang berada diambang pintu. Gerbang bambu terketuk sempurna.
"Selamat malam nona," sapa lelaki dengan memiliki suara unik sejenis vocal fry.
"I-iya," jawab Liliana.
Anthony melihat putrinya yang sedikit gugup, bertemu dengan orang asing tidak cukup banyak. "Apakah ada yang bisa saya bantu?"
"Perkenalkan saya, Clause Zegar. Wakil detektif." Sembari menunjukkan lencana kepolisiannya. "Saya mendengar jika Anda dan putri Anda datang dari Ibukota, benar?"
"Iya, kami hanya mengantarkan kain."
"Apakah Anda mendengar kasus belakangan ini di ibukota?"
Anthony nampak berpikir. "Apakah mengenai kehilangan?"
Liliana menyembul dari balik punggung ayahnya. "Apakah juga berita kehilangan Kak Geta?"
"Apa kamu mengetahui sesuatu, Nona?"
"Tidak." Pada akhirnya hanya menggeleng.
Clause berbalik setelah mengucapkan terima kasih. Menatap lelaki besar yang sudah berada di kudanya. "Sudah cukup kamu bermain kejar-kejaran, Clause?" Bersuara besar namun rendah.
Memicing mata diterpa sinar rembulan pada bayangan pohon yang sudah nampak menua. Kakinya penuh genangan air, mendecih sembari gigi taring nampak. "Lelaki rambut aneh itu terlalu lincah."
...***...
Pagi menampakkan kakinya, waktu menjelang pagi ketika subuh mulai reda. Hendak mengistirahatkan tubuh lelahnya, berganti jaga dengan rekannya, pintu kepolisian terketuk keras. Seorang lelaki tergopoh memasuki halaman utama.
Air wajahnya nampak tidak tenang, sedang terus berlari meringis. "Tuan Anthony, apakah ada yang bisa saya-"
"Ada pembunuhan!"
Seuap kopi hangat hampir tumpah. Nama dada bertengger bertuliskan Zion Connelius, Sang Pengurai Benang. "Bisa ceritakan lebih lanjut apa yang Anda tahu, Tuan Anthony?"
Seorang putri yang menangis didalam kereta mesin yang membawa dirinya. Berjalan keluar pintu sembari menunjukkan wajah sedihnya. "Apa yang terjadi, Nona?" Clause mendekati gadis itu.
"Bagaimana jika kekasih Anda pergi tanpa kabar lalu berpulang sebagi nama?"
Clause mengernyit. Melihat kerubungan manusia. Bagaikan makanan lezat segera disantap. Berghibah dan bergosip menyebarluaskan. Betapa kejinya pembunuhan yang sedang terjadi. Tuan Zion melerai kerumunan, dihadapkan oleh mayat pemuda berusia sektar 19 tahun.
Dengan tubuh kering kerontang.
...***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!