“Waktunya pulang, matahari sudah mulai pergi dari bumi”. Terderngar lirih suara dari pemuda penggembala kambing yang sedang menggiring ratusan kambing disebuah perbukitan yang sangat hijau
“Sudah mau pulangkah? Anak muda? Bukankah masih terlalu sore?”. Suara terdengar tersenda-sendat dari seorang kakek tua yang berjalan tertatih-tatih dengan memegang tongkatnya.
“Sepertinya anak ini anak yang spesial, wajahnya yang begitu gagah bagaikan seorang pangeran mahkota, tapi sayangnya dia hanya anak petani saja”. Gumam kakek tersebut sambil berlalu.
“Saatnya pergi ke Perguruan untuk mengintip anak-anak yang sedang belajar disana, kali ini pelajaran apa lagi ya yang akan diajarkan diperguruan Pedang Langit?”. Gumam pemuda yang baru saja memasukkan kambing-kambingnya kedalam sebuah kandang besar.
Terlihat pemandangan begitu indah disana, Sungai yang mengalir deras dengan warna air yang sangat jernih, burung-burung berterbangan diangkasa, semilir angin saat itu membuat suasana semakin membuat sang pemuda yang selalu dipanggil Satriya.
“Kenapa ayahku selalu mengingatkan untuk menjaga kalung liontin ini ya? Apakah kalung ini akan menjadi penolongku dimasa depan nanti? Ataukah akan menjagaku dari marabahaya? Atau ada rahasia apa dari kalung ini? Ooo, mungkin kalung ini akan memberiku kekuatan nantinya”. Satriya yang masih berumur lima belas tahun dan masih belum tahu kejamnya dunia ini.
“Ayah, aku pergi bermain dulu ya”. Teriaknya sambil berlalu keluar dari rumahnya yang terlihat kecil seperti gubuk.
“Jangan terlalu jauh bermainnya, hari sudah mulai sore, sebelum matahari terbenam, kamu harus sudah dirumah lagi Satriya”. Suara mendayu terdengar oleh telinga Satriya dari seorang ibu yang mengasihinya dan selalu mamanjakannya.
“Anak, ini, semoga aku bisa menjaganya hingga waktunya tiba nanti, akan ku bawa kembali kau kepada orang tuamu”. Gumam seorang ayah yang bernama Gundara, sepertinya sedang memikirkan masa depan seseorang.
“Wah, sangat luar biasa sekali mereka, benar-benar ilmu pedang yang sangat membuatku terpukau!”. Gumam Satriya sembari melihat para murid dari perguruan Pedang Langit yang sedang memperagakan ilmu pedang bersama-sama.
“Andai saja aku bisa ikut belajar di perguruan ini, mungkin aku bisa menguasai teknik-teknik beladiri ini bersama mereka?”. Gumamnya kembali.
“Hey, kamu!”. Terdengar suara yang mengagetkan Satriya yang sedang mengintip murid-murid itu dan langsung membalikkan badannya, dan bibirnya langsung nyosor kepipi Gadis cantik didepannya dan
“Plok!!”. Suara tamparan menghampiri pipi Satriya yang saat itu sedang bingung, takut, khawatir dan tak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya
“Kamu!, berani-beraninya kamu menciumku seenak jidatmu!”. Bentak perempuan cantik yang memakai baju putri berwarna putih dan bernama Permata Dewi.
“Ma, maaf nona cantik, aku tak sengaja men, menciummu, lagian kenapa juga mengagetkanku!”. Kata Satriya dengan sedikit meninggikan suaranya sambil menggaruk kepalanya seakan tak berdosa sama sekali.
“Apa yang sedang kau lakukan disini, mengintip teman-temanku ya!?, ayo ngaku!, atau aku bawa saja kau kedepan Guruku untuk diadili”. Bentak Permata Dewi
“Ja, jangan Nona, aku kesini hanya untuk melihat latihan para murid-murid perguruan ini saja, aku ingin ikut belajar, tapi sayang, aku anak orang yang tak mampu, dan tak mungkin bisa ikut belajar seni beladiri perguruan yang sangat terkenal ini”. Jawab Satriya Panjang lebar.
“Bodo amat, ayuk ikut aku!”. Kata Permata sambil menarik lengan Satriya dan langsung berlari kedalam perguruan itu.
“Siapa bocah itu? Berani sekali menggandeng tangan tuan puteri Permata?”. Kata seorang murid kepada temannya yang berada disampingnya
“Tak tahu, memang benar-benar kurang ajar, nanti setelah latihan kita cari saja dia, kita beri dia peringatan”.
“Guru, Guru, Aku membawa seorang pemuda yang sepertinya dia selalu mengintip dari luar perguruan setiap sore hari”. Kata Permata dihadapan gurunya yang bernama Ki Gede Lakmana
“Siapa namamu anak muda?”.
“A, aku Satriya paman guru”.
“Benarkah kamu selalu mengintip anak-anak yang sedang belajar diluar itu? Apa kamu sedang memperhatikan seseorang? Atau kamu sedang menyukai salah satu muridku? Atau apa yang kau harapkan selalu mengintip murid-muridku berlatih?”.
“Huh, nanyanya satu-satu kek!, bikin pusying kepala berbie aja!”. Gumam Satriya
“Begini paman guru, rumahku dibawah bukit itu, aku anak dari petani biasa yang tak mungkin bisa menjadi murid dari perguruan terkenal ini, aku ingin sekali berlatih ilmu pedang, tapi apa daya orang kismin seperti kami ini, mana mungkin bisa diterima diperguruan ini?”. Jawab Satriya
“Hahahahaha, anak muda, apakah kau fikir perguruanku ini miskin? Sampai membutuhkan biaya darimu? Hahahaha, baiklah mulai besok kamu boleh ikut belajar disini!”. Bentak ki Gede Lakmana.
“Benarkah paman guru? Paman guru tidak berbohongkan? Paman guru seriuskan? Paman guru”.
“Pletak!”. Kepala Satriya ditampol oleh ki Gede Lakmana
“Kau ini, Cepatlah keluar sebelum aku berubah pikiran nanti, besok kau datanglah kemari sebelum matahari terbenam!”. Bentak ki gede sambil mengusir Satriya yang keluar dengan kegirangan dan langsung menggandeng tangan Permata sambil berlari dengan sangat bahagia
“Hey bocah!, lepaskan tanganmu!”. Teriak Permata tapi tak dihiraukannya saking bahagianya itu, tak terasa Satriya menggandeng tangan Permata sampai kedepan rumahnya, yang membuat ayah ibunya mengeluarkan kedua bola matanya kaget melihat sebuah fenomena langka yang belum pernah mereka alami sebelumnya.
“Satriyaaaaaaaaaaa, siapa yang kamu gandeng ituuuu”. Teriak ibunya yang bernama Lanjar Sari
“Hah, siapa memangnya?”. Tanya Satriya yang masih belum sadar kalau tangannya sedang menggandeng perempuan yang sedang Ngos-ngosan setelah berlarian cukup jauh bersamanya.
“Walaaaaaaaaaaaaaa, kenapa nona mengikutiku?”. Tanya Satriya
Dan “Pletak, Pletak,Plok” kepala dan pipi Satriya menjadi bahan pelampiasan Permata karena capek mengikuti langkah Satriya yang sangat cepat barusan.
“Kau, kau ini! Gheeeeh!”. Terlihat Permata semakin geram melihat wajah Satriya yang seakan tak merasa berdosa sama sekali.
“Sudah, sudah, ini minum dulu nona, ini air paling jernih yang sudah kita masak, air ini langsung kami alirkan dari sumber air dari bukit sebelah itu”. Kata ibu Satriya sambil menyodorkan segelas air yang sangat jernih kepada Permata yang terlihat benar-benar hampir pingsan kehabisan tenaga.
Tanpa basa-basi, permata langsung meminum air itu.
“Aaaagh, segar sekali rasanya, boleh nambah lagikah bu?”. Tanya Permata yang minta nambah
“Boleh, boleh nona, silahkan habiskan saja air ini semua”. Kata ibunya Satriya yang terlihat mulai akrab dengan Permata.
Hari terlihat mulai petang, Permata masih saja berada dirumah Satriya yang sangat kecil dengan dua kamar saja.
“Satriya, siapa gadis cantik ini?”. Tanya ayahnya yang sedang duduk bersamanya akan menyantap makan malam mereka.
“Eh iya, siapa namamu nona?”.
“Apaaaaaaaaaaaaaaaaaa, kau masih belum tahu namanya dan berani membawanya kerumah ini, cilakaaaa cilaka!”. Kata ayahnya Satriya sambil memegang gelas kayu yang akan langsung dilempar kekepala Satriya
“Ampun ayah, aku tadi bertemu dengannya dan tak sengaja mencium pipinya juga!”. Kata Satrinya dengan sangat jujurnya.
“Haduuuuh, bocah sialaaaan, masalah apa lagi yang akan kau berikan kepada kami kali iniiii?”. Teriak Ayah satriya yang langsung melemparkan gelas kayu itu kearah kepala Satriya yang langsung dihindarinya.
“Bocah!,
“Ampun ayah, ampuuun, tapi benarkan nona? Aku tak sengaja menciummu?”. Tanya Satriya dengan muka yang sangat lugu dan benar-benar tidak ada kesalahan yang Nampak dari wajahnya itu.
“Bocah ini benar-benar membuat kepalaku terasa mau pecah!”. Gumam ayah Satriya
“Sudahlah suamiku, namanya juga anak-anak, mereka belum tahu apapun mengenai kehidupan ini”. Kata Ibunya Satriya menenangkan.
“Bagaimana kalu ternyata gadis ini adalah anak dari orang penting di kerajaan ini? Ataukah dia seorang puteri raja? Baju yang dipakainya sepertinya baju seorang puteri?”. Berbagai pertanyaan mendadak muncul dikepala ayahnya Satriya.
“Nona, apakah kau akan menginap disini malam ini? Bagaimana kalau keluargamu mencarimu?”. Tanya Ibunya Satriya yang sangat sopan dari tadi
“Aku tak tahu bu, kalaupun aku harus pulang sekarang, aku paling pulang ke perguruan pedang langit saja, tak mungkin aku pulang kerumah kalau matahari sudah tenggelam sendirian”.
“Satriya, kau harus bertanggung jawab dengan anak orang yang kau bawa ini!?”. Bentak ayahnya yang semakin geram melihat anaknya yang masih saja santai melahap makanan
“Hey bocah!, kau dengar tidak suara ayahmu ini!”.
“Ya ayah, aku tidak tuli, aku dengar”. Jawab Satriya sambil melanjutkan melahap makanan
“Haduuuuh gustiiiii, kenapa kau titipkan bocah yang kurang ajar ini padakuuuuuu”. Teriak ayah Satriya dengan suara lirih.
“Nona, kamu tidur saja dikamarku, aku akan tidur diluar malam ini”. Kata Satriya menawarkan.
“Baiklah”.
Terlihat malam mulai larut terdengar suara “plak, Plak, Plak” dari luar rumah Satriya yang ternyata diluar rumah Satriya masih belum bisa tidur dan terlihat masih bertarung dengan nyamuk-nyamuk yang ingin menciumi kulitnya
“Kamu tak bisa tidurkah?”. Terdengar suara perempuan yang membuat Satriya terbangun dari rebahannya
“Nona, kamu belum tidur?”. Tanya Satriya lirih takut terdengar oleh kedua orang tuanya yang sedang tidur dikamar mereka.
“Mana mungkin aku bisa tidur dikamar kotor dan kumuh seperti itu?, banyak nyamuknya lagi!”. Jawab Permata ketus.
“Ya,,,, maafkan kami nona, aku tadi siang sudah bilang, kalau rumahku sangat kecil dibawah pegunungan, pastinya banyak nyamuknya disini, dan hati-hati nona, katanya nyamuk-nyamuk disini kalau menggigit kulit seorang nona cantik, dia akan langsung terserang penyakit gatal nona?”. Kata Satriya yang malah meledek.
“Be, benarkah?, aku mau pulang sekarang!”. Bentak Permata
“Selarut ini? Akupun tak berani keluar rumah kalau malam sudah mulai larut, kabarnya banyak siluman berkeliaran saat larut malam disekitar bukit ini nona?”. Lanjut Satriya yang malah semakin menjadi-jadi menakut-nakuti Permata.
“Pokoknya malam ini aku harus ditemani olehmu semalaman, aku mau tidur bersamamu dimanapun tempatnya!”. Jawab Permata dengan memasang muka sebelnya yang menambah keimutannya.
“Kalau difikir-fikir, nona ini cantik juga ternyata”. Gumam Satriya yang baru menyadari kecantikan Permata
“Baiklah nona, tidurlah dikamarku, aku akan menjagamu diluar kamar”.
“Baiklah, aku mau masuk kamar dulu ngantuk”. Jawab Permata yang terlihat matanya tinggal 0.00000000000009 watt saja.
Keesokan paginya terlihat paman guru bersama beberapa murid inti dari perguruan Pedang Langit terlihat murka dan sudah berada tepat didepan rumah Satriya yang saat itu baru saja selesai sarapan bersama Permata.
“Guruuu!”. Teriak permata yang langsung menghampiri gurunya dan memeluknya.
“Tuan puteri, apakah tuan puteri baik-baik saja?”. Tanya Ki Gede Lakmana
“Bagaimana aku bisa baik-baik saja disini guru, bocah ini membawaku kemari dan memberiku kamar yang kotor dan sangat kumuh semalam, banyak nyamuknya lagi!”. Permata terlihat curhat kepada Ki Gede
“Tapi tuan puteri tidak diapa-apakan kan sama mereka?”.
“Tidak guru, mereka semua orang yang sangat baik, kecuali orang itu!”. Kata Permata sambil menuding kea rah Satriya dan Ayahnya
“Apaaaaa? Kenapa aku jadi orang yang tak baiiiik?”. Gumam ayah Satriya didalam hatinya
“Apakah kamu ditindas oleh mereka? Bilang saja kepada gurumu, rumah sekecil ini hanya dengan jentikan tanganku saja akan langsung hilang dari perederaban”. Jawab ki gede
“Tidak, guru, orang tua itu selalu membentak pemuda itu, dan pemuda itu semalam menakut-nakutiku”.
“Ooo, begitu, baiklah, mari kembali ke perguruan lagi tuan puteri, dan kau bocah!, jangan lupa nanti sore kau harus datang menemuiku di perguruan!”. Bentak ki gede kepada Satriya.
“Baik paman guru!”. Jawab Satriya
“Begini naasib jadi orang miskin, tiap pagi harus kasih makan kabing, untungnya paman guru benar-benar baik orangnya”. Gumam Satriya didalam hatinya.
“Aaaah, sudah waktunya pulang dan mulai belajar ilmu pedang”. Gumam Satriya kembali.
Terlihat kini Satriya sudah berada diperguruan pedang langit dan menghadap Ki Gede
“Bocah!, apa kau tidak tau gadis yang kau bawa kerumahmu itu?”. Tanya Ki Gede
“Bahkan sampai saat ini, aku belum tau namanya juga paman guru”. Jawab Satriya
“Dia itu putri raja, dia puteri yang paling disayang oleh sang raja, jika kamu macem-macem ke gadis itu, aku tak akan segan-segan memotong lehermu nanti!”. Bentak ki Gede
“Sepenting itukah seorang puteri, paman guru?”.
“Halah, bocah ini ganteng-ganteng oon juga ternyata!”. Kata ki gede sambil berlalu dari hadapan Satriya
“Ikuti aku, aku akan melatihmu secara pribadi dibelakang perguruan ini!”. Bentak ki gede yang mengajak Satriya mengikutnya untuk berlatih ilmu pedang.
Terlihat Satriya mulai ditendang bokongnya, tumitnya, punggungnya saat baru mulai berlatih kuda-kuda.
“Tubuhmu sepertinya lumayan kuat juga bocah, apa kamu sudah pernah berlatih beladiri sebelumnya?”. Tanya ki gede
“Mau berlatih dimana? Kan baru paman guru saja yang mau menerimaku menjadi seorang murid”. Trus kenapa betismu terlihat sangat kekar?”
“Mungkin karena aku tiap siang hari berjalan menggembala kambing kambing dan naik turun bukit paman gu”. Jawab Satriya
“Oooo, jadi begitu rupanya, baiklah, sekarang pegang ini”. Ki gede sambil melemparkan pedang yang terbuat dari kayu.
“Ikuti gerakanku”. Lanjut ki gede yang sudah mulai menampilkan gerakan-gerakan indah lembut tapi mematikan dari kekuatan pedangnya.
“Fokuskan kekuatanmu di sikut dan pergelangan tanganmu”. Sambil memberikan arahan kepada Satriya yang selalu mengikuti gerakan dari ki gede yang sangat pelang tapi menarik angin dari sekelilingnya membuat banyak pohon terlihat ikut bergoyang
“Sekarang fokuslah, alirkan kekuatanmu diujung pedangmu dan tebaskan ke pohon yang ada didepanmu”.
Terlihat Satriya mulai memfokuskan kekuatannya dan terlihat genggaman tangannya semakin erat dan “Wuzh” sebuah tebasan dari pedang kayu yang dipegang oleh satriya mampu merobohkan pohon besar yang berada didepannya.
“WOOOOW, apa apaan bocah ini, baru pertama diajarkan sudah bisa langsung menguasainya!?”. Terlihat wajah kigede sangat kaget dengan mulut menganga.
“Baiklah sudah cukup untuk hari ini, kamu harus ingat apa yang sudah tadi aku ajarkan!”. Bentak ki Gede
“Baik paman guru”.
“Besok datanglah kemari lagi setelah kau selesai menggembala kambingmu”.
“Baik paman guru, terima kasih banyak sudah mau mengajariku”. Jawab Satriya sambil memberikan salam penghormatan
“Hey kamu!, berhenti!”. Terdengar teriakan dari tiga orang murid yang umurnya lebih tua dari Satriya yang ingin sekali menindas satriya karena berani-berani bergandengan tangan dengan puteri Permata.
Satriya sepontan menghentikan langkah kakinya yang akan keluar dari perguruan itu.
“Kau berani keluar masuk ke perguruan ini sesuka hatimu, memangnya siapa kau ini?”. Tanya salah seorang yang berbadan kekar
“Aku, namau Satriya, anak seorang petani dibawah bukit itu”.
“Hahahaha, ternyata hanya anak seorang petani saja, kalau kau mau aman disini, menurutlah dengan kami!, jika tidak, maka jangan salahkan kami untuk selalu menindasmu nanti!”. Bentak salah satu dari mereka
“Alah kelamaan, aku sudah tak tahan ingin memukul wajahnya yang sok lugu itu”. Kata salah seorang dari mereka yang langsung melesat dan akan memukul wajah Satriya, tapi satriya mampu menghidari pukulan itu membuat pemuda tadi jatuh tersungkur ketanah
“Sialan, berani-beraninya kau menghindari pukulanku!?”.
“Lah, kalau aku tak menghindar, bonyok dong nanti?”. Jawab Satriya
“Kau berani mempermalukan dia?, terimalah pukulanku ini!”. Teriak kedua pemuda yang langsung mengarahkan kepalan tang kedepan wajah Satriya dan satriya dapat menangkis kedua pukulan itu dengan sangat entheng.
“Bocah ini memang spesial, dia bahkan bisa menghindari dan menangkis pukulan dari murid ku yang cukup kuat itu”. Gumam Ki gede yang ternyata sedang memperhatikan Satriya.
Terlihat ketiga pemuda itu mulai mengeluarkan belati kecil yang disimpang di punggungnya dan akan langsung menyerang Satriya
“Berhenti!”. Sebuah suara terdengar yang membuat mereka berempat langsung menengok ke arah suara itu berasal.
“Tuan puteri, kenapa tuan puteri ingin membelanya, bukankah dia yang sudah menindas tuan puteri kemarin?”.
“Kata siapa?, pergilah kalian semua!”. Bentak puteri permata yang membuat ketiga pemuda itu langsung lari terbirit-birit.
“Kau, apa memang kau bisanya Cuma bikin masalah saja!?”. Bentak tuan Puteri Permata
“Aku?, aku tadi mau pulang dan dihentikan oleh mereka, aku pulang dulu, ayahku pasti akan menghajarku jika aku telat sampai rumah!”. Teriak Satriya sambil berlari pulang.
“Dasar bocah aneh”. Gumam Permata sambil berlalu menemui ki Gede.
Sesampainya dirumah, Satriya dibrondong pertanyaan oleh ayahnya, yang mengira kalau anaknya itu habis dihukum oleh ki Gede karena sudah membawa seorang puteri untuk menginap dirumahnya.
“Tidak ayah, aku tadi dilatih ilmu pedang oleh paman guru”
“Kalau tidak percaya, aku buktikan sekarang”. Kata Satriya yang langsung menambil sebatang kayu dan mempraktekkan apa yang tadi sore ia latih bersama ki Gede, dan Dwar! Sebuah pohon yang berada di depan rumah langsung hancur terkena tebasan angin dari pedang kayu yang dipegang Satriya.
“Anak ini memang menjengkelkan, tapi dia tak pernah bohong”. Gumam sang ayah
“Baiklah, aku percaya padamu, tapi jangan kau ulangi lagi, membawa seorang wanita kerumah ini tanpa izin dari orang tuanya!”. Bentak sang ayah
“Baik ayah, tapi bolehkan aku belajar ilmu pedang dari paman guru?”. Tanya Satriya sembari meminta izin kepada ayahnya
“Kalau anak ini tak mempelajari ilmu beladiri, takutnya saat dia besar nanti akan ditindas oleh banyak orang”. Gumam sang ayah
“Baiklah, dengan syarat, kau harus bisa menguasai ilmu pedang yang terhebat, dan kau menjadi orang nomer satu dikerajaan ini!”. Kata sang ayah yang sudah mengizinkan bahkan memberikan semangat.
“Baik ayah, terima kasih”.
Terlihat semalam suntuk Satriya masih memperagakan dan mengingat apa yang tadi sore ia latih, karena pesan ki Gede yang mengharuskannya untuk selalu mengingat semua gerakan yang sudah dilatihnya sore tadi.
Semakin Lama Satriya mengayunkan sebatang kayu ditangannya, semakin terasa aura pedang dari tubuhnya.
Didalam rumah terlihat sang ayah sedang termenung memikirkan sesuatu yang sepertinya sangat rumit dan tak tahu jalan keluarnya.
“Bagaimana nasib anak ini saat dia tlah dewasa nanti?, mudah-mudahan tidak ada bahaya apapun yang akan menimpanya, aku benar-benar khawatir jika ternyata ramalan itu benar-benar terjadi, semua kakak-kakaknya akan dibantai satu persatu, ah sudahlah, tugasku hanya menjaga anak ini hingga dewasa, saat dia sudah dewasa nanti, dia sendiri yang akan menentukan jalan hidupnya”. Gumam sang ayah sambil mulai merebahkan badannya yang lelah seharian mencangkul diladang.
“Aaah, ini adalah hari keduaku berlatih di perguruan Pedang Langit, aku harus lebih bersemangat, aku tak menyangka kalau aku akan langsung diangkat murid pribadinya paman guru”. Gumam satriya sambil mengarahkan kambing-kambingnya pulang dari bukit.
“Aku harus cepat sampai ke perguruan itu”. Kata Satriya yang langsung berlari menuju Perguruan Pedang Langit
“Guru, aku akan pergi membeli sesuatu dulu dipasar”. Teriak Pertama sambil berlari keluar dari perguruang.
“BRAK!”. Suara dua orang bertabrakan terdengar,ternyata itu adalah Satriya dan Pertmata yang bertabrakan di depan pintu gerbang perguruan.
“Halaaah, kamu lagi, kamu lagi, bisa ga seeeeh, elooo jangan selalu ngikutin gueeeeh”. Kata Satriya
Dan “Plak!, Plak, Plak!”. Suara tamparan yang mengenai pipi Satriya berkali-kali
“Kalau jalan liat-liat doooong, punya mata ga seh!”. Bentak Pertmata
“Siapa yang jalan, orang aku tadi lagi berlari kok”. Jawab Satriya.
“Kamu ini yaaaa!!!. HeEeEeH”. Kata Permata dengan geram
“Kenapa kamu harus selalu berlarian begitu sih? Tak bisakah kamu berjalan santai gitu?”. Bentak Permata kembali
“Alah, kamunya saja yang larinya menghadap kebawah, ada orang didepanmu sampai tak melihat, lagi lagi kalau jalan lihatnya kedepaaaan, jangan kebawaaaaa”. Kata Satariya yang menjetikkan jarinya ke kening Permata
“Kamu ini ya benar-benar!, Huh!, sudah salah tak mau mengaku salah!”. Bentak Permata kembali.
“Ada apa lagi? Sepertinya kalian berdua selalu saja bertengkar ya”. Tiba tiba terdengan suara ki gede yang sudah berada disamping mereka yang sedang memasang muka suram semua.
“Hahahahaha, sudah-sudah, tuan putri, jadikah mau membeli sesuatunya, dan kamu bocah!, kenapa harus berlarian setiap kali kamu kesini?”. Kata ki gede melanjutkan.
“Paman guru, saking bahagianya aku bisa berlatih ilmu pedang denganmu, aku tak bisa menahan diri, rasanya ingin sekali bisa menginap disini dan berlatih setiap saat, makanya aku tak mau sampai paman guru menungguku”. Jawab Satriya
“Ooo, begitu ya, masuklah!, tunggu aku ditempat latihan kemarin”. Kata ki Gede dan berlalulah Satriya sembari memberikan salam hormat kepada ki Gede.
“Tuan putri, sepertinya selalu mendapat kesialan setiap kali bertemu dengan bocah itu?”. Tanya ki Gede
“Au ah, eyap!”. Kata puteri sambil pergi meninggalkan ki Gede
“Dua anak ini sepertinya ada takdir yang menarik”. Gumam ki gede didalam hatinya.
Selang beberapa lama kemudian
“Pasang kuda-kudamu!, dan pegang ini!”. Bentak ki gede sambil melemparkan sebatang kayu untuk menjadi senjata latihan
“Coba serang aku dengan seluruh kekuatanmu!”. Tantang ki gede
“Baik guru”. Kata Satriya yang langsung melesat dan mengayunkan kan sebatang kayu yang ditangannya namun tak ada satupun yang dapat mengenai tubuh ki gede.
“Luar biasa anak ini, seluruh gerakan pedang yang baru aku ajarkan kemarin, dia sudah bisa mempraktekannya dengan sempurna”. Gumam ki gede
“Baiklah, ku lihat kau punya bakat berpedang, sekarang ikuti gerakangku, pusatkan seluruh kekuatanmu di ujung pedangmu”. Kata ki gede yang langsung mempraktekan gerakan jurus kedua dengan sangat indah, halus tapi menampakkan aura kekuatan yang benar-benar dahsyat.
“Paman Guru, ini sedikit susah untuk aku hafalkan, bisakah kita ulang sekali lagi?”. Pinta Satriya
“Baiklah”.
Setelah dua kali mempraktekan jurus pedang kedua, Satrinya mulai mempraktekannya dihadapan ki Gede.
“Memang ada bakat bocah ini, dua kali aku praktekan, dia langsung bisa menguasai dengan sempurna, sepertinya aku harus mulai mengajarkannya untuk bisa memfokuskan kekuatannya itu”. Gumam ki gede kembali.
“Sekarang coba keluarkan kekuatanmu yang seperti kemarin dan hancurkan batu besar itu”. Ki Gede menyuruh Satriya untuk memperagakan jurus keduanya sekaligus untuk mengeluarkan kekuatan tenaga dalamnya.
Dan DWAR!, batu yang berada di depan Satriya seketika hancur lebur.
“Wah, benar-benar anugrah dari sang kuasa, aku bisa mendapatkan seorang murid yang sangat berbakat seperti dia”.
“Bagaimana paman guru? Apakah aku sudah menguasai jurus kedua ini”. Tanya Satriya
“Jangan lupa nanti kamu latih lagi dirumah, dan besok datanglah lagi untuk belajar jurus ketiga”. Kata ki Gede yang tak menjawab pertanyaan dari Satriya.
“Baik paman guru, saya pamit pulang!”. Satriya berpamintan
“Kedubrak!”.
“Hey bocah idiot!, kenapa kamu selalu menabrakku sih?”. Ternyata Satriya dan Permata kembali bertabrakan di pintu rumah ki gede.
“Halaaah, koe lagi koe lagi, kenapa selalu saja datang diwaktu yang tidak tepat sih gadis cwantiiiik”. Kata satriya meledek.
Dan “Plak!, Plak!”. Tamparan itu kembali dirasakan oleh Satrinya dipipinya.
“Aduu uuuuh, kenapa aku selalu mendapatkan tamparan saat bertemu denganmu sih”.
“Ya! Kamu!, pertama bertemu menciumku, keduanya mendabrakku, ketiga kalinya juga menabrakku, dan kamu selalu tak pernah ada perasaan bersalahkan?”. Tanya Permata
“Emang salahku apa? Kan memang kita sama-sama tidak melihat?, kalau aku salah, kamu juga harus disalahkan lah”. Bentak Satriya yang mulai terlihat jengkel.
“Ah sudahlah, ngomong sama orang idiot sepertinya hanya akan merusak pita suaraku saja!”. Bentak Permata sambil meninggalkan Satriya
“Dasar gadis aneh, selalus aja menyalahkanku, kenapa nasib pipi halusku ini selalu mendapatkan tamparan darinya gustiiii”. Gumam Satriya sambil berlari menuju rumahnya.
“Ada apa sih dengan bocah sialan itu, kenapa selalu saja setiap ketemu dengannya membuatku kesal!, Huh”. Gumam Permata juga.
“Guru, lihat, aku habis membeli liontin giok ini? Baguskan?”. Tanya Permata kepada ki Gede
“Mana aku lihat?”. Ki gede meneliti tiap pojok dari liontin giok yang sudah dipegang di tangannya
“Hm,,, tuan putri, darimanakah kamu membeli liontin giok ini?”. Tanya ki Gede penasaran
“Aku membelinya dari seorang kakek tua dipinggir jalan, harganya lumayan mahal juga, aku harus mengeluarkan lima belas keping emas”. Jawab Permata
“Simpanlah liontin giok ini baik-baik tuan puteri, mungkin akan berguna untukmu dimasa depan”. Jawab ki Gede.
“Bukankah batu liontin itu adalah batu liontin yang diberikan untuk semua putera mahkota dari kerajaan Biru Langit?, kenapa bisa berada ditangan seorang kakek tua? Darimana dia mendapatkan batu liontin itu?”. Gumam ki gede dengan bermacam-macam pertanyaan dikepalanya.
“Ayaaah, Ibuu, aku pulaaang”. Teriak Satriya yang sudah sampai dirumahnya.
“Sini duduk bersama kami, dan makanlah ini”. Kata ibu satriya yang memang selalu memanjakan anaknya.
“Bagaimana belajarmu di perguruan itu?”. Tanya ayahnya
“Menyenangkan ayah, tapi sial!, aku selalu saja bertemu dengan gadis itu, dan lagi-lagi aku ditampar olehnya”. Satriya curhat kepada ayah ibunya
“Satriya anakku, seorang perempuan tidak mungkin menampar orang lain kalau tidak disalahi, memangnya apa yang sudah kamu lakukan kepadanya, sampai membuatnya marah?”. Tanya ibunya
“Hari ini aku bertabrakan dengannya dua kali, dan dua kali itu juga aku mendapatkan tamparan, benar-benar sial!”. Jawab Satriya sebel.
“Hahahaha, hey bocah!, sepertinya kau sudah mulai jatuh cinta ya!?”. Ayahnya meledek.
“Jatuh cinta itu apa ayah?”. Tanya Satriya yang membuat ayah ibunya langsung tertawa tebahak-bahak
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!