Bang Hanggar memejamkan matanya. Dadanya terasa sesak kala mengingat bagaimana kedua orang tuanya meregang nyawa di dalam sebuah gudang tua. Ledakan itu membuat tubuh kedua orang tuanya hancur berkeping karena sebuah fitnah.
Tak lama datanglah Pak Hara sebagai pahlawan lalu meminta warga memadamkan api dan memakamkan kedua orang tuanya secara layak. Wajah tanpa dosa itu selalu teringat dalam benaknya padahal telinganya mendengar bahwa surat perintah pembumi hangusan gudang tua tersebut adalah sesuai perintah beliau.
"Bang.. apakah baju ini sudah terlihat cocok?" Tanya Arlian, calon istri Lettu Hanggar yang juga putri panglima.
"Cocok. Cantik sekali." Puji Bang Hanggar mengurai senyum tipis melihat penampilan calon istrinya saat fitting baju pengantin.
Senyum Arlian pun tersungging, terlihat sekali gadis lugu itu amat mencintai Lettu Hanggar Bayuaji dengan sepenuh hati.
'Maafkan saya, dek..!! Suatu saat nanti kamu boleh membenci dan mencaci maki saya. Tapi kamu harus tau, saya mati-matian berjuang hidup karena orang tuamu mengambil hak hidup orang tua saya. Kamu hidup bergelimang harta dan kasih sayang, sedangkan saya.. tidur beratap langit, beralaskan tanah. Bahkan saya harus mendapat hinaan demi mendapatkan sesuap nasi untuk mengisi perut.'
Bang Hanggar mengulurkan tangannya, dengan cara lembut seperti itulah hingga Arlian bertekuk lutut di hadapannya.
Arlian pun menyambutnya dengan bahagia. Apalagi kini pernikahannya dengan Bang Hanggar semakin dekat dan hanya tinggal menunggu detik waktu.
...
Malam hari Bang Axcel sudah datang ke rumah, suasana menjadi ramai apalagi Bang Bilal dan Bang Rumbu sudah ada disana.
Rona wajah bahagia pun menghias wajah Papa Hara. Meskipun sempat tidak setuju, tapi Bang Hanggar mampu meyakinkan beliau bahwa Bang Hanggar akan menyayangi dan mencintai Arlian dengan sepenuh hati.
Tak ada yang menemani Bang Hanggar untuk menjadi pendamping di malam do'a hingga akhirnya Danyon sendiri yang turun tangan untuk mendampingi Bang Hanggar.
Suara lantunan merdu terdengar sendu pilu dari bibir Bang Hanggar, pria itu sampai menitikan air matanya.
~
"Di dalam segala bentuk kerendahan hati, saya.. Hanggar Bayuaji memohon ijin kepada Pak Trihara untuk meminang Dinda Arlian Nafila Shada untuk menjadi istri saya. Saya berjanji, akan menyayangi dan mencintai Dinda Arlian sepenuh hati berserta segenap jiwa saya. Jika kemudian saya mengingkari janji saya.. saya menerima segala bentuk konsekuensi yang akan di berikan saudara Axcel, saudara Bilal, saudara Rumbu dan terutama Pak Trihara untuk menjatuhkan sanksi yang sepadan." Ucap janji Bang Hanggar di hadapan seluruh anggota keluarga.
"Karena bukan saya yang menikah, silakan di tanyakan sendiri pada Arlian..!!" Jawab Pak Hara.
Setelah menarik nafas panjang, Arlian menjawab di balik tirai. "Saya terima pinangan Abang. Semoga kelak, Abang mampu memenuhi janji seperti yang Abang ucapkan."
"Insya Allah.. Dinda."
Entah kenapa Bang Hanggar berharap dalam cemas dan gelisah ingin melihat paras wajah Arlian di balik tirai padahal di hatinya sama sekali tidak ada rasa untuk gadis itu selain dendam yang begitu mengungkung jiwa.
"Sabaar Let..!! Besok sudah bisa lihat pengantinmu..!!" Ledek Danyon.
Bang Hanggar hanya bisa menunduk dengan senyum tipis, ia menyembunyikan wajahnya yang mungkin kini sudah memerah.
***
Desir darah Bang Hanggar rasanya naik turun seakan tidak dapat di kendalikan padahal di hatinya hanya ingin membalas dendam dan menumpuk kebencian di dalam hatinya.
Tubuhnya seakan terasa keringat dingin menyadari sesaat lagi dirinya akan resmi menjadi suami dari Arlian.
'Setelah ini tamat lah riwayatmu, dek.'
...
"Sah.."
"Alhamdulillah..!!!!"
Tak tau apa yang terjadi padanya. Kala semua orang sudah mengatakan kata SAH, aliran darahnya semakin tidak menentu.
Kembali dari balik tirai. Ketiga Abang mengantarkan Arlian pada Bang Hanggar, di saat tirai terbuka, di saat itu pula jantung Bang Hanggar terasa terlepas dari raga.
Sesak terasa menekan jalan nafasnya, matanya terasa panas berkaca-kaca, denyut nadinya berantakan. Paras ayu itu seakan membiusnya hingga tidak sanggup berkata-kata. Titik air mata Arlian membasahi pipi.
'Allahu Akbar, kenapa Engkau mengirimkan dia di tengah hancurnya perasaanku. Aku tidak bisa mencintai dia. Aku tidak mungkin memberikan hatiku pada keluarga pembunuh ayah dan ibuku. Aku hanya bisa menyiksanya, menyiksanya hingga ayahnya menangis melihat penderitaan putrinya. Kalau perlu, Pak Hara bisa melihat putri kesayangannya meregang nyawa, baru aku bisa mengampunimu..!!'
Tangis Bang Hanggar berlelehan. Rasanya begitu takut untuk mendekat. Luka di hatinya terlalu menyakitkan untuk dirasakan.
"Pak Hanggar dan Ibu Arlian sudah menjadi suami istri. Di persilakan jika Bapak ingin mendekati Ibu Arlian. Sudah bebas, Paak..!!" Kata MC disana.
Bagai ada yang menuntunnya, Bang Hanggar mendekati Arlian namun siapa sangka gadis itu terhuyung, Arlian tidak sadarkan diri dan menubruk Bang Hanggar.
"Astaghfirullah.. dek..!!!" Secepatnya Bang Hanggar membawa Arlian menuju kamar pengantin.
:
"Kalian itu saya bayar mahal bukan untuk menyiksa istri saya. Kenapa bisa pasang dalaman pakaian sekencang itu???" Bentak Bang Hanggar pada seluruh perias yang kesemuanya adalah wanita.
"Apa kau ini tidak lelah, sedari tadi kau memaki semua orang." Tegur Bang Axcel, ia juga litting Bang Hanggar sekaligus kakak tertua bagi Arlian.
"Ya mereka juga cari perkara. Kalau memang mereka profesional, Lian tidak mungkin sampai pingsan." Omel Bang Hanggar.
"Tahan emosimu sedikit lah, Bang. Mereka sampai takut. Lagipula Lian sudah sadar dan baik-baik saja sekarang." Kata Bang Bilal, saudara kandung Bang Axcel yang terlahir di tahun yang sama dengan nya karena 'ulah jahil' Papa Hara.
"Aaahh.. persetan." Bang Hanggar melangkah masuk ke dalam kamar.
Tangan itu langsung saja membuka pintu tanpa mengetuknya dan disana Bang Hanggar begitu terkejut saat melihat sang istri tengah berganti pakaian.
"Aaaaaaaaa..." Pekik Arlian sekuatnya.
Refleks Bang Hanggar langsung menutup pintu kamar. "Astagaa.. maaf dek..!! Abang nggak sengaja. Demi Allah Abang nggak lihat apa-apa." Ucapnya gugup sampai tangannya gemetar memegang gagang pintu.
"Kau ini bagaimana, Le. Lihat juga nggak apa-apa. Sudah boleh." Kata Opa Ratanca.
Papa Hara hanya bisa menggeleng gemas sendiri melihat tingkah menantunya.
.
.
.
.
Ekor mata Bang Hanggar terus melirik Arlian. Entah apa yang di rasakannya saat ini. Gadis itu terlihat begitu cantik. Harus ia akui selama ini Arlian memang gadis yang sangat cantik tapi kali ini rasa tubuhnya terasa menegang tak karuan melihat kecantikannya.
'Tuhan, tolong jangan buat hati dan pikiranku berkhianat dalam keadaanku. Aku hanya ingin membuat keluarga ini menangis dan membayar semua perlakuan hingga nanti keluarga ini menangis saat aku meninggalkan gadis ini dalam keterpurukan.'
...
Bang Hanggar membanting dirinya yang lelah. Beberapa jam menjamu tamu undangan sudah cukup menguras tenaga.
"Bang, bisa minta tolong bantu lepas pernak pernik di kepala Lian?" Tanya Lian.
Sebenarnya Bang Hanggar cukup malas karena kelelahan pada tapi tetap saja kakinya melangkah menghampiri Arlian. Satu persatu tangannya melepas hiasan di puncak kepala Arlian.
Semerbak aroma mewangi masih melekat pada tubuh sang istri yang memang sangat merawat tubuhnya. Hatinya sempat tergoda untuk mengecup puncak kepala gadis yang telah resmi menjadi istrinya itu. Namun sesaat kemudian ia tersadar akan tujuan utamanya menikahi Arlian. Ia pun mengambil jarak.
"Lanjutkan sendiri, saya mau merokok." Ucapnya kini terdengar berbeda, nada suaranya lebih terkesan kasar.
Mau tidak mau Arlian melepas riasan pada rambutnya sendirian.
"Abang capek ya?" Tanya Arlian.
"Cepek lah, seharian berdiri nyambut tamu." Jawab ketus Bang Hanggar.
"Mau Lian pijat?"
"Nggak usah, di luar banyak perempuan yang pintar memijat." Bang Hanggar segera menyambar dompet dan kunci motornya kemudian segera keluar dari kamar.
~
Tak sengaja saat itu Bang Axcel melihat Bang Hanggar keluar membawa motornya. Keningnya pun berkerut, jika biasanya pengantin baru akan betah berada di dalam kamar, namun baru kali ini dirinya melihat ada pengantin pria yang meninggalkan kamarnya dan keluar tengah malam.
"Ini ada apa sih? Apa jangan-jangan 'ada tamu', kalau memang benar.. bukan main kesalnya si Hanggar, tapi wajar lah wanita kedatangan tamu." Gumamnya namun kemudian tak ambil pusing dengan rumah tangga adiknya, ia pun kembali tidur di sebelah Bang Bilal dan adiknya.. Bang Rumbu.
Sejenak setelah merebahkan diri, ia melihat adik perempuan keluar dari kamar sembari menghapus air matanya.
"Mereka ribut gara-gara 'itu'?? Masa iya Hanggar nggak bisa maklum??" Lagi-lagi Bang Axcel kembali heran tapi kemudian segera memejamkan matanya meskipun harus dengan susah payah.
***
Bang Hanggar menangis sendirian. Hatinya berantakan merasakan hidupnya. Keinginannya untuk menikahi Arlian sudah tercapai. Dua tahun ini dirinya berusaha keras mengambil hati gadis kecil kesayangan Panglima.
Namun kini setelah pernikahan itu terjadi, batinnya menjadi dua kali lipat lebih sakit. Ingin rasanya untuk langsung 'menangani' Arlian tapi hatinya merasa tidak tega, tapi hanya dengan 'menyiksa' fisik dan mental Arlian, seluruh dendamnya akan terbalaskan.
"Aku harus bagaimana Ya Allah????? Kenapa hatiku jadi plin-plan??? Bukankah keluguannya yang akan kugunakan untuk mengalahkan Pak Hara????" Bang Hanggar mengacak rambutnya. "Kenapa kamu terlahir sebagai putri panglima sih, dek????" Gumam sesal Bang Hanggar.
Tangis Bang Hanggar pecah berlelehan, di sela jarinya terselip batang rokok sebagai kawan malamnya. Ia pun kemudian melirik botol yang masih tersegel rapat.
Dulu, minuman itu pun menjadi kawan setianya. Hobby nya itu terhenti saat mengenal Arlian dalam hidupnya karena gadis itu tak menyukainya. Ia tak paham pada dirinya sendiri, mengapa dirinya bisa menjauh dari minuman tersebut jika hanya untuk menarik perhatian seorang Arlian.
Antara ragu dan tidak, ia membuka tutup botol tersebut.
cckkllkk..
"Maaf, dek..!!"
...
"Astaghfirullah.. Gaaaarr..!!!!" Bang Bilal geram tapi merendahkan suaranya namun suara tersebut masih bisa membangunkan Bang Axcel.
"Ono opo??" Bang Axcel melirihkan nada suaranya.
"Hanggar mabuk. Cepat kita bawa ke kamar Lian..!! Jangan sampai Papa tau, bisa di gampar nih bocah." Kata Bang Bilal.
Secepatnya Bang Axcel dan Bang Bilal membawa Bang Hanggar ke kamar adiknya.
Mendengar suara ketukan pintu, Arlian pun segere membuka nya.
"Abaaaang..!!!" Arlian kaget melihat Bang Hanggar tiba-tiba menubruknya.
"Sayangkuuu..!!!" Racau Bang Hanggar.
Aroma minuman keras langsung membuat Arlian pusing.
"Keluarlah, Bang..!! Biar Lian yang urus Bang Gar." Kata Arlian.
"Kamu bisa urus sendiri?? Hanggar berat lho dek." Ucap Bang Bilal tidak yakin.
"Bisa, Bang. Nggak apa-apa."
Bang Axcel yang penasaran segera mengangkat dagu iparnya dan memperhatikan disana sini. Keningnya pun berkerut.
"Ya sudah, kau urus dia baik-baik. Usahakan cepat sadar..!! Kalau suamimu tidak sadar juga, hantam pakai pot bunga..!!"
...
"Abaaang.. sadar..!! Kenapa Abang jadi begini?? Lian buat salah apa sama Abang?? Lian minta maaf..!!"
Bang Hanggar masih bertingkah seolah tidak mendengar. Ia pun 'menyerang' Arlian dengan brutal. "Aku tidak pernah cinta sama kamu. Kamu tidak pernah menarik di mataku."
Arlian mendengarnya, ia hanya menitikan air mata lalu tersenyum menatap kedua bola mata Bang Hanggar yang terus menghindari tatapannya.
"Tidak apa-apa. Mungkin suatu saat nanti Abang akan mencintai Lian." Jawab Lian kemudian menghapus air matanya lalu dan secepatnya merawat Bang Hanggar.
Agaknya ucap kecil Arlian membuat Bang Hanggar merasa tidak tahan. Ia memejamkan matanya dan memilih untuk 'tidur'.
...
"Saya minta rumah dinas, Pa." Pinta Bang Hanggar saat sarapan pagi.
"Ya sudah, silakan saja. Segera hubungi bagian pelayanan personel agar bisa segera di persiapkan rumah dinasmu..!!" Jawab Papa Hara menyetujui.
"Bolehkah Lian tetap tinggal disini bersama Papa??" Tanya Lian pelan.
"Lian sayang, bukannya Papa tidak mengijinkan kamu untuk tinggal dengan Papa dan Mama disini, tapi kamu sudah punya suami. Akan lebih baik kalau kamu belajar mandiri. Belajar bermasyarakat dan mengurus suami." Jawab Papa Hara.
"Papamu benar, ndhuk." Imbuh Mama Rintis dan mendapatkan anggukan penuh dari Opa Ratanca dan Oma.
Arlian hanya bisa menunduk pasrah kemudian mengangguk. Tak ada suara apapun juga dari Bang Hanggar. Yang pasti ia sudah mengungkapkan inginnya untuk membawa Arlian pergi dari rumah.
Bang Axcel sedikit curiga tapi ia menepis semua rasa curiganya itu.
...
"Abang mau kemana???" Tanya Arlian saat Bang Hanggar bersiap pergi di masa cutinya.
"Cari uang tambahan lah. Memangnya skincare mu, make up mu, pakaianmu, benda yang menempel di sekujur tubuhmu semuanya murah??" Ucap Bang Hanggar kini terdengar lebih menyakitkan.
"Maaf, Bang. Lian tidak akan memakainya lagi." Arlian segera melepas segala perhiasan yang melekat pada tubuhnya.
"Tidak usah di lepas. Saya nggak mau kalau sampai orang menyangka saya kere." Jawab Bang Hanggar kemudian segera meninggalkan kamar.
Langkahnya berjalan cepat menuju ke mobil dan segera menutup pintu mobilnya.
jddrr..
Bang Hanggar menyandarkan punggungnya dengan kasar. "Astaghfirullah hal adzim, Ya Allah.. kenapa hatiku sakit sekali melakukannya. Kenapa kamu tidak melawanku, dek?? Kenapa kamu tidak teriak dan memberontak????" Tak hentinya Bang Hanggar mengusap dadanya yang terasa nyeri. "Apakah aku bisa kuat kalau seperti ini terus keadaannya. Ayo lawan, dek..!!!!"
.
.
.
.
Apakah sudah ada yang bisa menebak isi hati Bang Hanggar?? Harap sabar ya, masih di bab awal😉.
🌹🌹🌹
Bang Hanggar mengurut keningnya. Dirinya bagai orang plin plan tidak bisa menentukan arah.
"Apa aku harus 'mabuk' lagi?? Tingkah apalagi yang harus kubuat agar Lian merasa muak??" Gumam Bang Hanggar.
Begitu keras Bang Hanggar berpikir hingga kepalanya terasa nyeri.
"Lebih baik aku sholat dulu..!!"
...
Setelah melaksanakan Sholah Dhuha, hati Bang Hanggar sedikit lebih tenang tapi tangis Arlian semalam masih terus terbayang dalam ingatannya.
Di lubuk hatinya yang terdalam tak sanggup menatap bagaimana telatennya seorang Lian merawatnya yang tengah mabuk.
'Entah aku, atau kamu yang salah terlahir di dunia ini. Sesalku hanya dalam satu tanya, mengapa kita di pertemukan dalam keadaan seperti ini. Sudahilah rasa di hatimu, kau adalah angin, sedangkan aku adalah api. Kau terlalu besar menyala, aku akan menyeretmu jauh hingga membakar sekitar, kau terlalu kecil.. maka aku akan memadamkanmu. Aku tak tau, apakah kita berjodoh dalam hidup ini??'
Bang Hanggar meringkuk sampai akhirnya menangis.
"Astaghfirullah.. astaghfirullah hal adzim.. kuatkan aku, Tuhan..!!"
-_-_-_-_-_-
Hari sudah lewat pukul sembilan malam, Bang Hanggar baru tiba di rumah. Seperti biasa rumah selalu sepi karena Papa dan Mama pastinya mengikuti banyak kegiatan sedangkan Bang Bilal dan Bang Rumbu sudah kembali ke tempat dinas mereka. Di rumah itu hanya ada Bibi, si mbok dan Bang Axcel.
"Abang baru pulang? Mau mandi atau makan dulu?" Sapa Arlian kemudian meraih tangan Bang Hanggar dan mencium punggung tangan suaminya meskipun hanya mendapatkan reaksi malas dari Bang Hanggar.
"Saya mau tidur, tadi sudah makan. Kau makan saja sendiri..!!" Jawab Bang Hanggar.
Arlian mengangguk kemudian membantu Bang Hanggar melepas jaketnya.
Langkah besar Bang Hanggar menuju kamar sedangkan Arlian hanya bisa sigap berlari kecil mengikuti nya.
Bang Axcel mulai geram namun ia masih berusaha menahan diri karena memang setelah menikah, Arlian adalah 'milik' suaminya. Hanya tangan mengepal dan gigi bergemeretak melihat ulah sahabatnya.
***
Malam sudah terlewati, Bang Hanggar terbangun dan melihat Arlian tidur di lantai hanya beralaskan kain sarung.
"Kenapa tidak tidur di atas saja?? Ini kan kamarnya sendiri." Gumamnya.
Secepatnya Bang Hanggar mengangkatnya dan membaringkan Arlian di atas tempat tidur lalu menyelimuti dirinya.
Setelah dirasa Arlian nyenyak dan nyaman dalam tidurnya, ia pun menyusul mengambil tempat di samping Arlian. Kedua bola mata itu terus menyisir setiap lekuk wajah sang istri. Punggung jari telunjuknya mengusap pipinya.
"Jika saja Ayahmu tidak menghabisi nyawa kedua orang tuaku, mungkin aku bisa belajar mencintaimu. Tapi aku tidak akan bisa mencintai putri pembunuh ayahku dan aku harus membuatmu menderita secara perlahan agar orang tuamu juga merasakan sakitnya."
Satu kilas kecupan mampir di atas puncak kepala istri kecilnya. Dadanya terasa sesak tercekat, hanya dirinya yang paham bagaimana rasa sakit itu sudah menyiksa batinnya.
...
Pagi saat Arlian terbangun, nafasnya terasa sesak, tubuhnya pun terasa berat. Ia mengedarkan pandangan dan ternyata dirinya sudah tidur dengan Bang Hanggar di atas ranjang. Tubuh kecilnya bagai tenggelam dekapan tubuh tegap, tinggi dan kekar milik suaminya itu.
Perlahan ia bergeser agar tidak membangunkan suaminya namun tubuhnya terasa ngilu hampir di sekujur tubuhnya bahkan ini kali pertama bagian tubuhnya merasa tidak nyaman.
"Aku kenapa ya? Rasanya sakit sekali." Gumam Arlian. Ingin menangis tapi dirinya tidak berani bersuara ataupun membangunkan Bang Hanggar hingga kemudian Bang Hanggar menggeliat dan ia memilih kembali memejamkan matanya.
Bang Hanggar pun membuka matanya, ia terkejut dan sedikit bergeser karena sudah menindih tubuh Arlian. Ia segera membenahi selimut sang istri kemudian hati-hati sekali Bang Hanggar mengecup bibirnya.
...
Beberapa orang anggota membantu Bang Hanggar memasukan barang Arlian ke dalam rumah dinas barunya. Nampak Bang Axcel pun juga ikut sibuk membantu iparnya.
braaaakk..
Terdengar suara barang jatuh dari pick up. Bang Axcel pun menghampiri sumber suara dan ternyata Arlian tidak sanggup mengangkat kopernya.
"Kenapa kau sibuk sekali?? Kalau tidak kuat lebih baik kau duduk saja di dalam dan atur posisi peletakan barang, daripada kau pingsan.. kita semua bisa repot." Omel Bang Axcel karena melihat adiknya sudah mulai pucat.
"Lian pengen cepat saja, Bang..!!" Kata Arlian.
"Lebih cepat kalau laki-laki yang tangani. Sudahlah, kau diam saja di ruang tamu. Sekarang dimana suamimu?? Cepat panggil..!!" Pinta Bang Axcel.
"Abang masih beli makan siang untuk om-om yang bantu. Memangnya ada apa Bang?" Tanya Arlian.
"Sebenarnya Abang tidak pantas tanya hal ini, tapi Abang pun penasaran.. bagaimana pun juga Abang ini tetap kakak kandungmu. Hmm.. apakah Hanggar sudah mengajakmu untuk....... Duuhh bagaimana nih bilangnya." Bang Axcel bingung sendiri karena memang adik perempuannya itu sangat lugu.
"Tidur seperti suami istri??" Tanya Arlian dalam artian pemikirannya sendiri.
"Naaaahh.. itu dia. Sudah apa belum??" Bang Axcel balik bertanya karena mencemaskan adik perempuannya.
Arlian menunduk, agaknya adik bungsu Bang Axcel itu bingung menjawabnya. "Sudah, tapi........."
"Tapi apa?? Hanggar terlalu kasar???? Dia menyakitimu????? Dia memukulmu????"
"Bukaaan.. Bang Hanggar berubah setelah menikah, tidak pernah memukul hanya cara bicaranya saja yang kasar tapi saat Lian pura-pura tidur, Bang Hanggar lembut sekali." Kata Arlian jujur.
"Kira-kira Hanggar kenapa ya?? Aku juga melihat ada yang berbeda." Gumam Bang Axcel.
.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!