NovelToon NovelToon

Terhisap ke Dunia Game: 5 Nyawa untuk 1 Harta

Misi Dimulai: 100Hari di Pulau Hara

Di sebuah ruangan briefing kecil di markas besar agen rahasia, tiga pria duduk di depan layar proyektor yang tampak usang. Mereka adalah Reza, seorang hacker jenius tapi pemalas; Bima, mantan militer dengan sikap serius dan tegas; dan Fajar, seorang petualang berjiwa bebas yang selalu mencari kesenangan di tengah-tengah kekacauan. 

"Jadi, misi kalian kali ini..." Suara Komandan mereka, Pak Anton, terputus sebentar karena ada suara kertas yang berdesir. "Adalah misi yang sangat penting untuk masa depan negara kita."

Reza langsung melirik ke arah Bima dan Fajar, lalu bergumam pelan, "Kayak kita gak pernah denger yang kayak gitu sebelumnya."

Bima hanya memutar matanya, sementara Fajar tersenyum lebar, jelas antusias dengan tantangan baru. 

Pak Anton kemudian menyalakan proyektor, memperlihatkan gambar sebuah pulau kecil terpencil di tengah lautan. "Ini adalah Pulau Hara. Tugas kalian adalah bertahan hidup di sana selama 100 hari."

"Hah?!" seru Reza. "Maksud lo, kita disuruh camping selama 100 hari di pulau yang bahkan gak ada sinyal?"

"Ini bukan camping, Reza. Ini Misi 100H. Kalian harus bertahan hidup tanpa bantuan teknologi modern. No phones, no internet, no electricity." Pak Anton menekankan dengan serius.

"Buat apa, Komandan?" tanya Bima dengan nada curiga. "Apa hubungannya dengan keamanan negara?"

Pak Anton tersenyum tipis, "Ada sesuatu di pulau itu yang harus kalian temukan. Informasi rahasia yang tidak bisa kita dapatkan melalui satelit atau teknologi lainnya. Semua orang yang pernah dikirim ke sana... tidak pernah kembali."

Reza langsung menelan ludah, sementara Fajar bersenandung pelan, seakan sudah tidak sabar. "Menarik. Jadi kayak *Survivor* tapi versi agen rahasia?"

"Jangan lupa, kalian tetap akan diberi bekal dasar seperti air, makanan kaleng, dan beberapa alat," lanjut Pak Anton. "Tapi ingat, kalian tidak bisa kabur dari pulau itu sampai waktu 100 hari selesai."

Reza mengangkat tangannya, "Kalau kita nggak balik dalam 100 hari?"

Pak Anton memandang Reza dengan tatapan tajam. "Jangan terlalu khawatir. Kami akan memastikan kalian balik... entah hidup atau mati."

Bima menggelengkan kepalanya. "Baiklah, kapan kita mulai?"

"Besok pagi," jawab Pak Anton. "Dan ingat, ini bukan hanya sekadar bertahan hidup. Ini adalah misi kalian untuk menemukan kunci yang bisa menyelamatkan negara kita."

***

Keesokan harinya, ketiga pria tersebut diterbangkan dengan helikopter ke Pulau Hara. Begitu mereka mendarat, suara mesin helikopter menjauh, meninggalkan mereka bertiga di tengah hamparan pasir putih dan hutan lebat.

Fajar melihat sekeliling dengan senyuman lebar. "Yah, ini sih kayak liburan gratis, ya gak?"

Reza mengerutkan dahi, memandangi hutan yang terlihat menakutkan. "Kalau ini liburan, gue pilih buat liburan di Bali aja, bro. Di sini gak ada sinyal, gak ada Wi-Fi. Bahkan gak ada listrik! Ini mimpi buruk buat gue!"

Bima dengan tenang menyiapkan perlengkapan mereka. "Daripada ngeluh, mending kita mulai cari tempat untuk bikin basecamp. Kita punya 100 hari, dan itu bakal jadi neraka kalau kita nggak siap."

Reza memutar bola matanya. "Serius, Bim? Lo kayak main *Sims* aja, planning everything."

Sambil tertawa kecil, Fajar menepuk bahu Reza. "Udah lah, bro. Sekali-kali nikmati hidup tanpa teknologi. Siapa tahu lo bakal menemukan makna hidup yang baru di sini."

Reza hanya mendengus, "Makna hidup gue ada di laptop gue yang sekarang gak bisa gue pake."

Setelah beberapa jam mencari lokasi yang tepat, mereka akhirnya menemukan sebuah tempat yang agak terbuka di pinggir hutan, dengan akses langsung ke pantai. Bima mulai menginstruksikan mereka untuk mendirikan tenda dan mengumpulkan kayu bakar.

Fajar, yang seharusnya mengumpulkan air dari sungai terdekat, malah terlihat duduk di pinggir pantai sambil bersantai. "Bro, lo gak lihat ombak ini? Perfect buat surfing!"

Bima mendekati Fajar dengan tatapan marah. "Fajar, lo punya tugas, ingat?"

Fajar hanya tersenyum tak peduli. "Tenang aja, gue cuma istirahat sebentar. Lagi pula, kita punya 100 hari, bro!"

Reza datang dengan beberapa ranting kecil dan menambahkan, "Kalau lo istirahat terus kayak gitu, 100 hari ini bakal terasa kayak 100 tahun, tahu gak?"

Setelah beberapa jam bekerja, mereka akhirnya selesai mendirikan basecamp sederhana. Ketika malam tiba, suara-suara hutan mulai terdengar lebih jelas: serangga yang berdengung, angin yang berdesir di antara pepohonan, dan sesuatu yang menggeram samar-samar dari dalam kegelapan.

Reza, yang sedang duduk di depan api unggun, tiba-tiba berdiri dengan panik. "Guys, lo denger itu gak? Ada yang aneh di hutan."

Fajar melirik sebentar, lalu kembali berbaring di dekat api. "Santai aja, itu cuma suara hewan malam."

Bima menyipitkan mata, mendengarkan lebih seksama. "Tapi kedengarannya kayak... lebih besar dari hewan biasa."

Mereka semua saling berpandangan, ketegangan mulai terasa. Dan tiba-tiba, dari balik pepohonan, sesuatu bergerak cepat menuju mereka.

Reza langsung meloncat ke atas batu terdekat, berteriak, "Gue bilang juga apa! Ini dia, guys! Kita bakal mati di sini!"

Namun, yang muncul dari hutan bukanlah binatang buas. Seekor monyet kecil melompat keluar dan menatap mereka dengan mata penasaran. Fajar langsung tertawa terbahak-bahak. "Hahaha! Serius lo, Reza? Takut sama monyet?"

Bima menghela napas lega, sementara Reza merosot duduk di tanah. "Sialan... gue kira itu predator."

Malam itu, di bawah langit yang dipenuhi bintang-bintang, mereka bertiga akhirnya bisa tertawa bersama. Meski misi ini baru dimulai, mereka tahu bahwa 100 hari ke depan akan penuh dengan tantangan, tawa, dan mungkin sedikit kegilaan.

**Bersabung...

Suara Misterius di Malam Hari

Malam pertama di Pulau Hara sepertinya akan menjadi malam yang panjang bagi Reza, Bima, dan Fajar. Setelah insiden monyet tadi, suasana mulai tenang, meski bayangan pepohonan hutan masih tampak mencekam di sekitar mereka.

Di sekitar api unggun, Reza masih menatap ke arah hutan dengan cemas. Fajar, seperti biasa, tampak santai, bahkan sibuk mencoba menggoreng sesuatu di atas api, sementara Bima duduk tenang dengan pisau lipat di tangannya, sesekali menajamkan ujungnya pada batu.

"Malam pertama di pulau terpencil ini, dan gue udah kena serangan monyet," gumam Reza, masih trauma dengan kejadian sebelumnya. "Bayangin aja kalau beneran ada yang lebih serem dari itu."

Fajar tertawa ringan sambil mengaduk-aduk masakannya. "Bro, lo itu terlalu paranoid. Ini pulau kosong. Palingan cuma hewan liar, bukan hantu."

Tiba-tiba, terdengar suara angin yang berdesir kencang, disertai suara gemerisik aneh dari hutan. Daun-daun bergoyang dengan kasar, dan mereka bertiga saling berpandangan.

Reza menelan ludah. "Lo denger itu?"

Bima menghentikan aktivitasnya sejenak, mendengarkan lebih seksama. Suara desiran itu semakin jelas, seolah ada yang berjalan perlahan di sekitar mereka, diselingi suara gemerisik dedaunan dan ranting patah.

"Siapa tahu... itu cuma angin?" kata Fajar, meski senyumnya agak memudar.

Bima berdiri, menggenggam pisaunya erat. "Gue cek dulu. Tetap di sini."

"Lo yakin?" tanya Reza, suaranya sedikit bergetar.

Bima mengangguk dan melangkah pelan ke arah hutan, mata tajam mengamati sekeliling. Ketika dia hilang di balik pohon-pohon besar, Reza dan Fajar terdiam.

Beberapa menit kemudian, suara desiran kembali terdengar, kali ini lebih keras dan lebih dekat. Diikuti dengan suara seperti bisikan yang aneh. 

"Aduh, jangan-jangan ini beneran pulau angker, bro," kata Reza dengan suara lirih. "Gue dari dulu udah nggak percaya sama yang mistis-mistis, tapi kali ini..."

Fajar hanya mengangkat bahu sambil berusaha santai, meski wajahnya mulai tegang. "Yaelah, Reza. Lo terlalu sering nonton film horor."

Tiba-tiba, terdengar suara mengerikan seperti jeritan panjang dari arah hutan. Reza langsung melompat dari tempat duduknya, sementara Fajar berteriak kaget.

"WHAT THE—?!" Fajar hampir melemparkan panci yang dia pegang, sementara Reza sudah setengah lari ke arah pantai.

Tapi, sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, Bima kembali dengan langkah cepat, wajahnya tampak tenang namun tegas.

"Bukan apa-apa," kata Bima sambil duduk lagi. "Cuma hewan."

Reza yang setengah panik mendekat ke arah Bima, menunjuk ke dalam hutan dengan tangan gemetar. "HEWAN apaan yang bisa ngeluarin suara kayak orang teriak begitu?!"

Bima menggelengkan kepala. "Gue nggak tahu. Tapi yang jelas, kita nggak sendirian di sini."

Suasana kembali sunyi untuk beberapa saat, sebelum tiba-tiba terdengar suara seperti bisikan lagi, kali ini lebih jelas dan semakin dekat.

Reza menoleh dengan cepat. "Lo denger itu? Sekarang gue nggak bercanda, bro. Ini beneran suara orang!"

"Tenang," kata Bima, berusaha menenangkan, meskipun suaranya terdengar sedikit tegang. "Gue pastikan nggak ada siapa-siapa di sekitar sini tadi."

Namun, tiba-tiba, sesuatu bergerak di atas pohon, membuat dedaunan bergoyang hebat. Reza langsung berdiri lagi, nyaris tersandung kursi lipat.

"Bro, ini gak normal! Gak normal!" Reza mulai panik lagi. "Gue bener-bener gak siap buat ini! Gue pikir misi ini cuma soal bertahan hidup dari hewan liar, bukan dari HANTU!"

Fajar akhirnya tak tahan dan meledak tertawa. "Hahaha! Reza, lo harusnya nulis buku komedi, sumpah! Hantu? Serius?!"

Namun, tawa Fajar tiba-tiba terhenti ketika suara aneh lagi-lagi terdengar. Kali ini, bisikannya lebih jelas dan terasa seperti suara manusia.

"Kita... lihat... kamu..."

Ketiganya langsung terdiam. Fajar, yang biasanya paling santai, sekarang mulai tampak cemas.

"Lo... denger itu?" tanya Fajar, kali ini suaranya jauh lebih serius.

Reza mengangguk cepat, matanya hampir melotot ketakutan. "Bro, gue udah bilang, ini bukan cuma angin!"

Mereka saling berpandangan, tak tahu harus melakukan apa. Namun tiba-tiba, dari belakang mereka, terdengar suara tertawa kecil yang mengerikan.

"Hahahahaha..."

Reza berteriak histeris dan langsung melompat ke arah tenda, berusaha bersembunyi. Fajar, yang awalnya mencoba tenang, kini ikut panik. "Siapa di sana?!"

Bima berdiri lagi, kali ini dengan sikap lebih waspada. "Tunjukkan diri kalian!"

Namun tak ada yang muncul. Suara tawa kecil itu hilang, berganti dengan suara derap langkah kaki pelan yang menghilang ke arah hutan.

Fajar, yang wajahnya mulai pucat, menoleh ke arah Bima. "Ini serius, bro. Gue rasa kita gak sendiri di sini."

Bima hanya diam, jelas dia mulai merasakan ketegangan yang sama. "Besok pagi, kita mulai survei lebih luas. Kita gak bisa duduk-duduk aja nunggu kejadian aneh kayak gini terus."

Reza, yang masih bersembunyi di tenda, akhirnya berteriak dari dalam. "Gue gak bakal keluar sampai kita tahu siapa atau apa itu! Kalian aja yang cek! Gue di sini aja, aman!"

Fajar tertawa kecil di sela-sela kecemasannya. "Reza, lo itu agen rahasia, bro. Masa takut sama suara-suara doang?"

"Terserah deh! Mending gue jadi hacker aja daripada berurusan sama hantu!"

Malam itu, meskipun suasana mulai tenang, ketiganya tahu ada yang tidak beres di pulau ini. Gangguan aneh tersebut bukan hanya dari alam, tapi dari sesuatu yang mereka belum bisa pahami. Mereka harus bersiap, karena malam-malam berikutnya mungkin akan membawa misteri yang lebih besar.

**Bersambung...

Penjelajahan yang Tak Terduga

Pagi menjelang di Pulau Hara, tetapi suasana tegang masih terasa di antara Reza, Bima, dan Fajar. Setelah malam yang penuh dengan suara aneh dan tawa misterius, mereka bertiga bertekad untuk menyelidiki lebih jauh. Meski begitu, Reza masih terlihat enggan untuk meninggalkan tendanya.

"Kita nggak bisa nunggu lebih lama lagi. Hari ini kita jelajahi lebih dalam ke hutan," kata Bima dengan nada tegas sambil merapikan perlengkapannya.

Reza, yang masih meringkuk di dalam tenda, mengintip keluar dengan ragu-ragu. "Lo yakin? Gimana kalau... ya tau lah, hantu atau... monster muncul lagi?"

Fajar, yang sedang mengikat tali sepatunya, tertawa ringan. "Hantu? C'mon, Reza. Ini misi survival, bukan film horor. Lagian, kalau ada hantu, lo yang pertama bakal gue jadiin umpan."

Reza melotot kesal. "Sialan lo, Fajar. Gue serius! Ada yang aneh sama tempat ini."

Bima menyela, "Ya udah, terserah. Kalau lo mau ngumpet di sini, silakan. Gue sama Fajar bakal keliling."

Setelah beberapa detik terdiam, Reza menghela napas panjang, keluar dari tenda sambil membawa tas kecilnya. "Oke, gue ikut. Tapi, kalo ada yang aneh lagi, gue nggak bakal ragu buat kabur!"

Mereka mulai berjalan ke arah hutan, melewati jalur setapak yang dikelilingi pepohonan tinggi dan lebat. Angin sepoi-sepoi berhembus lembut, membuat daun-daun berdesir, tapi kali ini tanpa suara aneh yang mereka dengar malam sebelumnya. Fajar berjalan paling depan, disusul oleh Bima di tengah, sementara Reza berada paling belakang, terus-menerus menengok ke belakang dengan curiga.

Beberapa jam berjalan, mereka tiba di sebuah lembah kecil yang penuh dengan batu besar dan semak belukar. Di tengah lembah itu, ada sebuah gua kecil yang tampak menyeramkan dari kejauhan.

Fajar langsung berseru dengan semangat, "Gue rasa kita harus masuk ke gua itu!"

Reza segera memprotes. "Lo gila, ya?! Tadi malam aja udah cukup serem, sekarang lo mau masuk ke gua yang kayak sarang hantu ini?"

Fajar mengangkat bahu santai. "Justru ini yang bikin seru, bro. Petualangan nggak akan lengkap tanpa tantangan."

Bima tersenyum tipis sambil menatap gua itu. "Kita harus cek. Mungkin ada petunjuk atau sesuatu yang bisa bantu kita paham lebih baik soal pulau ini."

Reza, dengan wajah pasrah, akhirnya setuju. "Fine, tapi kalo ada yang loncat keluar dari dalam sana, gue yang pertama kabur."

Saat mereka memasuki gua, suasananya langsung berubah menjadi lebih dingin. Batu-batu di sekitarnya terasa lembap, dan cahaya dari luar semakin meredup. Dengan menggunakan senter, Bima memimpin jalan masuk, diikuti Fajar yang sibuk membuat lelucon untuk mengurangi ketegangan.

"Eh, lo tau nggak, gua ini kayak rumah nenek sihir di film-film Disney," Fajar berkata sambil tertawa, tetapi tawanya terhenti ketika terdengar suara gemeretak dari dalam gua.

Reza langsung merapat ke tembok gua, wajahnya panik. "Gue tau itu bukan suara angin. Gue bener-bener yakin ada sesuatu di sini!"

Mereka bertiga terdiam, mendengarkan dengan cermat. Suara gemeretak itu semakin mendekat, lalu tiba-tiba... seekor kelelawar besar terbang keluar dari kegelapan, mengejutkan mereka.

"AAAAAH!!" Reza berteriak sambil melompat ke belakang, nyaris menabrak Fajar yang juga terkejut.

Fajar tertawa terbahak-bahak melihat Reza yang hampir jatuh. "Hahaha! Kelelawar, bro! Cuma kelelawar! Lo kayak liat monster aja!"

Reza berdiri dengan kesal, membersihkan celananya yang sedikit kotor. "Sialan lo, Fajar! Itu kagetin banget, tau nggak?! Kalau kelelawar itu lebih besar dikit, mungkin udah nyerang gue!"

Bima hanya menggelengkan kepala, berusaha tetap tenang di tengah keributan kecil antara kedua temannya. "Fokus, bro. Kelelawar mungkin bukan masalah, tapi gua ini bisa jadi punya sesuatu yang lebih dari sekadar hewan liar."

Fajar mengangkat alis dan berjalan lebih dalam ke gua, masih sambil terkikik. "Yaudah, kita lihat aja. Siapa tau ada emas atau batu berharga di dalam sini. Kalau kita kaya, bisa balik ke kota naik jet pribadi."

Reza memutar matanya. "Atau kita ketemu tengkorak bajak laut dan dikutuk seumur hidup."

Perlahan-lahan, mereka bertiga terus berjalan ke dalam gua. Senter yang mereka bawa memantulkan cahaya redup di dinding gua yang basah. Semakin dalam mereka masuk, semakin terasa suasana yang mencekam. Suara gemeretak aneh yang mereka dengar di awal tiba-tiba terdengar lagi, kali ini lebih dekat dan lebih jelas.

"Eh, lo denger itu lagi, kan?" bisik Reza, matanya melirik ke arah Fajar dan Bima.

Bima mengangguk, berhenti sejenak dan mendengarkan. "Iya, gue dengar. Tapi kali ini, suaranya kayak..."

"Tunggu... kayak langkah kaki," tambah Fajar, kini berhenti tertawa dan mulai serius.

Langkah kaki itu terdengar semakin mendekat. Tanpa banyak bicara, mereka bertiga menyalakan senter ke segala arah, mencoba menemukan sumber suara. Namun, tidak ada apa pun selain batu-batu dan bayangan gelap yang terbentuk dari cahaya senter mereka.

Fajar, yang biasanya santai, kini mulai merasa cemas. "Oke, mungkin ini bukan cuma hewan liar. Tapi... siapa yang mau jalan-jalan di gua ini, sih?"

Mereka terus berjalan, sampai tiba-tiba suara langkah kaki itu berhenti. Hening.

Reza menelan ludah, berkeringat dingin. "Bro, kita cabut aja, ya? Ini udah mulai nggak enak nih."

Sebelum Bima sempat menjawab, suara gemeretak terdengar lagi, kali ini dari atas gua. Ketiganya serempak menyalakan senter ke langit-langit gua, dan mereka melihat sesuatu yang bergerak cepat—seperti sosok hitam yang melompat dari satu batu ke batu lain.

"LO LIAT ITU?!" seru Reza, suaranya tinggi.

"Ya, gue liat!" jawab Fajar dengan mata melotot, tapi dia juga menahan tawa. "Apa itu tadi? Kelelawar super? Atau... superhantu?"

Tiba-tiba, dari arah belakang mereka, terdengar suara langkah berat dan hembusan napas seperti binatang besar. Fajar, Bima, dan Reza membeku sejenak.

"Eh... itu napas siapa?" tanya Fajar sambil perlahan menoleh ke belakang.

Reza langsung merapat ke Bima. "Oke, gue resmi takut sekarang."

Bima menyalakan senternya ke arah suara itu. Di belakang mereka, berdiri seekor makhluk besar berbulu lebat, mata merah menyala, dan gigi tajam. Ketiganya terdiam, mulut ternganga. Sosok itu tampak seperti...

"Beruang!" teriak Fajar sambil melompat mundur.

"BERUANG?!" teriak Reza, wajahnya pucat.

Tanpa berpikir panjang, ketiganya langsung berlari keluar gua dengan kecepatan maksimal, meninggalkan makhluk itu yang tampaknya juga terkejut dengan kehadiran mereka. Suara kaki mereka berdebam keras di dinding gua, sementara suara geraman beruang itu terdengar semakin jauh di belakang.

Sampai akhirnya mereka tiba di mulut gua, ketiganya jatuh terduduk di atas tanah, kehabisan napas. Fajar masih tertawa terengah-engah, meski wajahnya penuh keringat.

"Bro... lo liat tadi? Kita kabur dari... seekor BERUANG!" Fajar berkata sambil mencoba mengatur napas.

Reza, yang hampir menangis ketakutan, hanya bisa memandangi Fajar dengan tatapan jengkel. "Lo bisa ketawa? Tadi itu hampir akhir hidup kita, tau!"

Bima, yang biasanya paling tenang, kini juga tidak bisa menahan senyum. "Ya... tapi kita selamat. Itu yang penting."

Fajar menepuk punggung Reza sambil masih tertawa kecil. "Makanya, bro, jangan kebanyakan mikir soal hantu. Liat aja, malah beruang yang ngejar kita."

Reza berdiri, mengusap kotoran di celananya. "Gue nggak mau lagi deh masuk gua di pulau ini. Ini udah cukup buat setahun hidup gue!"

Bima tersenyum kecil. "Yah, mungkin kita bisa fokus cari petunjuk di tempat lain besok. Tapi gue rasa kita nggak bakal tidur nyenyak malam ini."

Ketiganya tertawa bersama, meski rasa tegang masih tersisa. Misi mereka baru saja dimulai, dan mereka tahu petualangan berikutnya pasti tidak akan kalah seru... atau mungkin lebih berbahaya.

**Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!