Sebuah pesan masuk dari nomor sang Ibu mengejutkan Amira saat setelah dia memasuki gerbang sekolah. Yang pada mulanya datang ke sekolah dengan suasana hati bahagia, kini meredup seutuhnya setelah membuka isi pesan tersebut.
'Amira, ini Bi Desi. Ibu masuk rumah sakit lagi. Syifa juga kumat lagi. Bibi gak bawa HP, jadi pake HP Ibu hubungi kamu. Sekarang lagi di RS.'
Kedua mata gadis cantik berambut hitam sepinggang itu berkedut memerah panas, bibirnya mengerucut. Ternyata ada panggilan tak terjawab sebanyak 5 kali sebelum pesan itu muncul.
Setelah ayahnya meninggal, dialah yang menjadi tulang punggung keluarga. Dia hidup dengan ibunya yang penyakitan dan adiknya-Syifa yang memiliki kelainan sejak lahir.
Dengan usianya yang baru menginjak 19 tahun, sudah banyak yang dia pikul dipunggungnya. Rasanya berat sekali.
"Woi, Amira! Ngelamunin apa, sih? Aku panggil dari gerbang gak nengok-nengok," kata Uci, teman sebangkunya bermata sipit dengan rambut bergelombang sebahu.
Amira sampai terlonjak kaget ketika Uci menepuk bahunya dengan cukup kencang saat dia sedang larut dalam pikiran.
"Bikin kaget mulu, ih. Bisa jantung aku lama-lama!" gerutu Amira sambil memasukkan ponselnya dan berusaha menyembunyikan mimik wajahnya.
"Lagian fokus banget sama HP. Ada berita apa emang pagi ini?" tanyanya penasaran sambil mengerlipkan mata.
"Berita apaan? Gak ada. Cuma lagi ngaca aja tadi, kagum sama muka sendiri yang bening banget, nyampe terharu aku, hwehehe ...."
"Idih, amit-amit. PD-nya udah gak ketulungan."
"Hahahaa ... eh, ngomong-ngomong mana si Sofi? Tumben gak bareng," tanya Amira sambil melanjutkan langkahnya menuju kelas 12 MIPA-2.
"Noh, dibelakang lagi nyengir kayak orang stres." Uci menggerakan kepalanya, menunjukkan keberadaan Sofi dibelakang mereka.
Benar saja, teman satunya itu sedang tersenyum lebar sampai deretan kawat gigi berwarna biru yang dikenakannya terlihat seutuhnya.
"Lagi ngomongin aku, ya?" goda Sofi cengengesan. Dia langsung berbaur dengan Amira dan Uci.
"Iya nih, kita lagi mikir kapan kawat gigi kamu dicopot. Risih banget liatnya. Nangisin si Farel juga bisa-bisanya sambil nyengir kemaren," gurau Uci sambil mengulum senyum.
"Wkwkwk, iya dong. Nangis versi aku itu bukan yang cemberut, tapi tersenyum. Kawat gigi mahal nih, sayang kan kalo gak pamer, haha ...," sahut Sofi sambil terbahak. "Eh, aku udah syantik belum? Coba tebak ada yang beda gak?"
Amira dan Uci melihat secara seksama dari ujung kaki hingga kepala Sofi, tidak ada yang berbeda dari sebelumnya. Mereka pun menggelengkan kepala sebagai jawaban.
"Ih, masa gak ada. Ada, ah." Sofi terkekeh.
"Apaan? Sama kok kayak biasanya," ujar Amira heran.
"Muka aku! Kemaren paket skincare sama bedak dari Korea aku dateng. Aku coba hari ini, masa gak keliatan glowing?"
"Ya ampun, baru juga pake masa udah keliatan hasilnya. Tunggu beberapa hari dulu kali," ucap Uci sambil menepis bahu Sofi dengan gemas.
"Hm, masa sih? Dari review-nya katanya udah keliatan sekali pake. Gimana dong? Sekarang kan mapel Pak Tristan. Tadinya mau keliatan bercahaya, malah gak jadi, huhu...."
"Astaga, bisa-bisanya aku lupa! Mapel Pak Tristan dituker jadi mapel awal kan hari ini?! Waduh, belum sempet make-up lagi," keluh Uci kelimpungan.
Amira hanya mengelus dada melihat tingkah kedua temannya yang langsung menggeliat seperti cacing kepanasan kala teringat nama Tristan-Guru Biologi.
"Cape deh. Pak Tristan mulu yang dipikirin. Udah ah, masuk!" kata Amira sambil berjalan menuju bangkunya dan melepas tas ransel.
"Aku sama Sofi gak habis pikir sama kamu, Ra. Bisa-bisanya kamu gak tergila-gila sama Pak Tristan nyampe sekarang. Apa yang kurang dari Pak Tristan coba? Udah ganteng, tajir, keturunan Timur Tengah, macho, berkharisma, badannya kek model, cool. Beuh, hot deh, gak ada celah sedikitpun pokoknya. Semua murid cewek gak ada yang gak tertarik sama dia. Guru-guru cewek dari sekolah sebelah aja sering banget ke sini buat caper sama Pak Tristan," cuap Uci sambil duduk di samping Amira.
"Kayaknya mata kamu rabun deh, Ra. Pulang sekolah nanti coba periksa ke dokter mata," usul Sofi tak benar-benar serius mengatakannya.
"Enak aja, mana ada rabun. Bosen malah aku liat dia terus, nyampe mual. Lagian tiap Mapel Biologi juga aku sering usilin dia, kan? Gak cuek bebek banget," balas Amira sambil menyunggingkan senyumnya.
"Hmmzzz, gak serius ah kamu ngidolain Pak Tristan-nya. Gak kayak kita-kita ya, Ci," ujar Sofi sambil menggerakkan alisnya pada Uci.
Ditengah keriuhan kelas yang membicarakan ketidaksabaran para murid perempuan terhadap kehadiran Tristan, bel sekolah pun akhirnya berbunyi nyaring tanda dimulainya proses pembelajaran.
Tidak lama menunggu, Guru Biologi-Tristan Ozdemir yang sudah dinanti para murid pun melenggang masuk ke dalam kelas 12 MIPA-2 dengan menenteng tas laptop ditangannya.
Sejak Tristan melewati koridor, Tristan bagaikan model top dunia yang sedang berjalan di atas karpet merah dengan gagah perkasa. Para murid dari kelas lain berjajar di depan kelas hanya untuk sekedar menyambut kedatangannya sambil menyapanya hangat.
"Günaydın, Pak Tristan!" sapa murid kelas MIPA-2 dengan senyum ramah ketika Tristan sampai di depan pintu.
"Günaydın (pagi)," balas Tristan dengan senyum manisnya sambil menguarkan rambut bervolumenya ke belakang dengan kerlip bola mata ambernya yang sontak langsung membuat para murid-muridnya berteriak histeris, terkecuali murid laki-laki.
Amira langsung menarik napas dalam-dalam dan dia embuskan dengan kasar. Dia tak berselera, tapi berusaha ceria. Setiap pelajaran Tristan atau pun bertemu dengannya, dia harus berpura-pura turut mengidolakan Tristan seperti yang lain karena jika tidak, para murid yang mengidolakan Tristan akan mengucilkannya.
Begitulah lingkungan sekolah Amira, aneh tapi nyata.
"Mohon maaf nih, Pak. Bisa mundur dikit gak?" celetuk Amira mulai meluncurkan aksinya ditengah keriuhan.
"Kenapa, Amirah?" tanya Tristan yang langsung terhenti dan perlahan mundur beberapa langkah.
"Gak apa-apa sih, cuma gantengnya kelewatan."
"Anjay, hahahaaa!" teriak murid laki-laki sambil tertawa puas.
"Mantap Amira!" kata teman sekelasnya sambil mengacungkan jempol padanya. Mereka seakan bangga setiap Amira menggoda guru hot jeletotnya. Seolah terwakilkan olehnya.
Tristan pun mengulum senyum digoda demikian sampai tampak tersipu. Dia melanjutkan langkahnya dan duduk di kursi agungnya sambil membuka laptop dan buku absensi.
"Sudah, cukup. Duduk. Saya akan mulai mengabsen," ucap Tristan dengan mimik serius.
Setiap berkedip, bulu mata lebat nan lentiknya seolah menyapu dengan hangat dan hal itu selalu mengguncang iman para murid perempuan yang iri. Seorang pria bisa-bisanya memiliki bulu mata secantik itu.
"Aditya Pratama?
"Hadir!"
"Aida Nur Rachman?"
"Hadir, Pak!"
"Amirah Arsiela Bilbina?"
Hening.
"Amirah?" panggil Tristan lagi.
Uci sebagai teman sebangkunya menyenggol siku Amira yang ternyata sedang melamun menatap ke luar jendela.
"Woi, absen!" bisik Uci.
"Amirah!" tekan Tristan dengan nada tak sabaran.
"Iya, hadir Pak!" kata Amira kelimpungan sambil bersikap sempurna.
"Kenapa diam saja?" tanya Tristan.
"Bapak manggilnya Amirah terus, sih. Nama aku kan, Amira. Gak pake H, geli dengernya kayak ada desahan diujung gitu," gurau Amira ngeles.
Semua teman kelasnya menyembunyikan tawa mereka dengan apa yang Amira ucapkan. Karena terselip kata yang cukup sensitif di dengar.
"Si Amira mah suka mancing-mancing nih Pak. Mentang-mentang mapel Biologi, jadi frontal ngomongnya. Harus dikasih paham Pak." Salah satu teman laki-lakinya mengolok-olok sambil berdiri. Dia melihat Amira yang mengepalkan tangan dengan tatapan mengancam padanya dan itu membuatnya tertawa usil.
"Saya lagi pertimbangin hukuman buat dia. Tenang aja," kata Tristan sambil menyunggingkan senyum.
"Awas kamu Raka!" rutuk Amira bicara tanpa suara. Mulutnya hanya komat-kamit saja.
Sejak pelajaran Biologi dimulai, Amira memang tidak fokus. Dia tidak memperhatikan saat Tristan menjelaskan materi. Dirinya ada di sana, tapi pikirannya di tempat lain. Dia memikirkan kondisi ibu dan adiknya yang sedang menderita di kampung. Itu sangat mengganggu konsentrasinya.
Amira membenamkan wajahnya dengan menempelkan dahi di permukaan meja. Dia tertunduk dalam.
Tristan yang sedari tadi memperhatikan secara diam-diam. Melihat Amira lesu, muram dan tidak banyak bicara seperti biasa, membuatnya bertanya-tanya.
"Amirah, dengan materi yang sudah saya sampaikan hari ini. Saya ingin tanya, kamu benar-benar memperhatikan dari tadi atau tidak? Saya akan ambil contoh, misalnya Pak Adnan, dia merupakan pengusaha sukses yang bergerak dalam usaha budidaya jamur, agar lebih maksimal menekuni budidaya jamurnya, Pak Adnan harus membekali dirinya dengan ilmu apa?" tanya Tristan dengan tatapan menusuk.
Amira kelimpungan panik dengan melirik ke sana kemari mencari jawaban. "E-ehemm ... jamur apa dulu nih, Pak? Jamur super atau jamur biasa? Soalnya aku suka yang super-super. Kalau yang biasa gak mau ngeladenin, ah."
"Serius, Amira!" ketus Tristan dengan raut wajah datar tanpa ekspresi.
Glek!
Amira menelan salivanya. Seharusnya dari gerak-geriknya, Tristan sudah tahu kalau Amira tidak dapat menjawab pertanyaannya.
Amira melirik meminta tolong pada Uci disampingnya. Uci menuliskan sesuatu di buku dan menyuruh Amira membacanya.
'Mikologi'
"Ilmu apa, Amirah? Kamu memperhatikan saya tidak?!"
"I-ilmu mikologi, Pak!" jawabnya gelagapan.
"Apa itu mikologi? Jelaskan!" tanya Tristan lagi sambil mengetuk whiteboard dengan ujung spidol.
Mampus aku! (Batin Amira)
Amira menundukan wajahnya sambil menggigit bibir, perlahan dia menggelengkan kepala sebagai ungkapan bahwa dia tak tahu. Teman sekelasnya hanya bisa menonton tanpa menolong.
"Kamu benar-benar minta dihukum. Jam istirahat saya tunggu di ruangan saya!" ucap Tristan sinis sambil menutup laptopnya dan bersiap-siap pergi. "Jangan lupa, isi esay di halaman 46. Hari Kamis kita bahas. Saya permisi dulu."
"Baik, Pak!"
"Hayoloh, Amira! Lagian malah ngelamun, sih," kata teman-teman sekelasnya memojokkan.
"Mikirin apa sih, Ra? Gak fokus gitu kamu," tanya Sofia dengan membalikan badannya ke belakang, dia tampak mencemaskan Amira.
Amira hanya menggelengkan kepala saja dengan lesu tanpa menjelaskan apa-apa.
°°°
Jam istirahat.
Amira pamit undur diri pada Sofi dan Uci karena tidak bisa gabung makan siang dengan mereka di kantin. Dia harus menjalankan hukumannya. Entah apa hukuman yang akan Tristan berikan padanya. Dia sudah mempersiapkan diri.
Amira mengetuk pintu ruang 'Guru Biologi-Tristan Ozdemir' yang tertulis di depan pintu dengan hati-hati sambil melirik ke sana-kemari.
"Masuk!" kata Tristan dari dalam.
Amira membuka pintu dan masuk, tak lupa dia menutup kembali pintunya. Dia lihat Tristan yang tengah duduk berkutat dengan gawainya sambil mengenakan kacamata.
Tristan tampak semakin berkharisma dan mempesona saat memakai kacamata minusnya. Terlihat seperti pria lugu kutu buku, tapi yang ini seksi dengan jambang tipis yang merambat di pipi.
Amira berdiri mematung di hadapannya, seolah menawarkan diri untuk segera dihukum. Tristan mulai menutup gawainya dan beranjak bangun. Dia berlalu melewati Amira dengan mengunci pintu serta menutup tirai jendela.
Tristan mengerutkan lengan kemeja putihnya sampai siku. Urat-urat di lengannya menonjol menjalar seperti akar.
Dia melangkah mendekati Amira.
Tangannya langsung melingkar di pinggang rampingnya dan menarik Amira sampai tubuh mereka menempel satu sama lain.
Tristan mengecup pipinya dengan lembut sambil berbisik penuh sensual, "Apa yang mengganggumu, Amirahku? Suasana hatimu terlihat buruk. Uang yang saya beri kurang kah?"
...
Jangan lupa like, komen & favoritkan, ya!
'Umur dibawah rata-rata minggir dulu. Bahaya!'
•••••
"Ehem, jangan terlalu dekat, kita sedang di Sekolah," ucap Amira was-was sambil membuang muka.
"Kenapa memangnya? Pintu dan jendela sudah saya kunci. Tirai juga sudah ditutup. Saya hanya ingin menghukummu dengan lebih intens, kamu keberatan?" goda Tristan dengan senyum tipisnya. Tangannya memainkan ujung rambut Amira.
Aroma kuat dari parfum Tristan menyeruak ke dalam hidung. Membuat Amira sedikit mabuk kepayang.
"Ayolah, jangan membuatku dalam masalah. Jam istirahat seperti ini biasanya banyak siswi yang menemuimu dengan membawa makanan, kan?"
"Sudah ada Damar yang berjaga diluar. Dia akan mengusir siapapun yang mengganggu. Tenanglah," kata Tristan lirih.
Benar saja, begitu menoleh ke arah jendela, siluet Damar tampak sedang berlalu-lalang di luar.
Damar adalah kaki tangan Tristan, termasuk Guru BK di sekolah tersebut. Hanya dia satu-satunya orang yang tahu rahasia antara Amira dan Tristan di Sekolah.
Tristan menggenggam keseluruhan rambut Amira dan menyapu anak-anak rambut, lalu mulai menghujani leher Amira dengan kecupan manja.
"Oh, çok güzel (sangat baik)," ucap Tristan candu sambil menghirup aroma harum tubuh remaja 19 tahun ini yang selalu memikatnya sambil terpejam nikmat.
Amira refleks menjepit tengkuk lehernya karena jambang tipis Tristan menusuk menggelitik. "Uh, geli! Hentikan," pintanya dengan perasaan tak karuan karena mendengar suara murid-murid yang berlalu lalang di luar. Rasanya takut ketahuan.
"Tadi di jam pelajaran saya kamu bilang suka yang super-super, jika biasa-biasa saja tidak mau meladeni. Apa maksudnya? Kamu sedang mencoba menggoda saya, kan?" tuduh Tristan. Tangannya mulai liar menyelusup ke dalam rok abu Amira.
"Tan!" Amira berusaha menghentikan.
Tristan menatapnya dengan tatapan mengintimidasi. Dia biasa memasang tatapan seperti itu setiap kali melakukan sesuatu yang tidak boleh dibantah, termasuk hal ini.
Namun, Amira tidak akan membiarkan Tristan menang kali ini. Gila dia ingin melakukannya di Sekolah!
Amira berjinjit berusaha menyamakan tingginya dengan Tristan dan memiringkan wajahnya, lalu dia mengecup bibir Tristan dan lanjut menyesapnya. Semoga saja dengan ciuman ini Tristan akan lupa dengan hal lainnya.
Benar saja, Tristan menarik tangannya dari dalam rok Amira dan melepas kacamatanya, lalu mencengkeram leher Amira. Dia balas isapan itu dengan yang lebih liar dan kuat.
Tristan menggendong tubuh Amira dan mendudukkannya di atas meja sambil terus memainkan bibir.
Dia isap bibir Amira dan memasukan lidahnya ke dalam mulut Amira. Amira menyambutnya dan lidah mereka saling berpagutan.
Darah di sekujur tubuh mereka terasa mengalir dengan panas. Wajah mereka memerah. Gairah sudah menggebu di ujung kepala.
Sudah tersulut begini, mana bisa Tristan berhenti. Dia malah semakin menjadi.
Tak tanggung-tanggung, Tristan melepaskan kancing seragam putih Amira dan meremas dadanya sambil membaringkannya di atas meja.
Tristan kembali mengulum bibir Amira meski Amira sudah minta berhenti. Sudah dibilang Tristan tak bisa berhenti. Api yang sudah menyala, perlu dipadamkan!
Tangannya masuk ke dalam CD Amira. Amira menahan tangan Tristan, mencoba menghentikan, tapi usahanya sia-sia. Dia tak bisa menghentikan Tristan. Dia pun tak bisa bicara karena bibirnya dibungkam oleh bibir Tristan.
Salah satu jari tangan Tristan berhasil menerobos masuk ke dalam kepemilikan Amira sampai sekujur tubuh Amira mengejang kuat, seolah mendapat sengatan listrik.
'ah'
Desahan kecil pun lolos begitu saja dari mulutnya. Tristan menghentak-hentakkan tangannya perlahan dan hati-hati agar tidak melukai Amira. Mata Amira perlahan menatap sayu dengan air mata bergelinang. Keningnya berkedut. Perih dibalut rasa nikmat.
Amira terus mendesah kecil di bawah kuasanya. Tristan melumat kembali bibir Amira yang merah berair.
Setiap hentakan tangannya diiringi dengan desahan kecil yang menggelitik di telinga sampai Tristan sudah tidak dapat menahannya.
Dia tak ingin bermain-main lagi. Sudah cukup pemanasannya. Gairahnya sudah terbakar habis.
Tristan melepaskan sabuk yang melingkar di pinggangnya dan membuka kedua kaki Amira, lalu menekuk lututnya.
Amira sudah tahu, tak ada kesempatan lagi untuk menghentikan Tristan. Dia membungkam mulutnya dengan tangannya sendiri.
Ketika sesuatu yang keras dan besar menerobos masuk ke dalam kewanitaannya, Amira hanya bisa menjerit kesakitan dalam hati. Hanya air mata yang mengalir di pipi yang dapat menjelaskan rasa sakit dan perih itu.
Tristan tak peduli sesakit apa Amira setiap kali dia menggaulinya, yang terpenting hasratnya sudah tersalurkan pada sang istri tercinta.
Hentakkan demi hentakkan yang Tristan tekan membuat peluh membanjiri sekujur tubuh. Dia begitu menikmati pemandangan Amirahnya di bawah sana yang tengah meringis kesakitan dengan mulut menganga, seakan ingin berteriak tapi kerongkongannya tak membiarkan suara itu lolos.
Waktu berlalu dan Tristan pun sampai pada titik klimaksnya.
Amira sedang ancang-ancang menarik diri. Dia bisa membaca wajah Tristan setiap kali Tristan mencapai klimaksnya. Namun, pada saat Amira akan menarik diri, Tristan dengan gilanya bukan ikut menjauhkan diri malah menekannya semakin kuat.
Sampai Amira merasa sesuatu berkedut dan terasa hangat di dalam kewanitaannya. Tristan pun ambruk di atas tubuh Amira sambil mengerang. Erangan yang membuatnya merasa sangat-sangat puas.
"Tan, kamu ... kamu jangan bercanda!" seru Amira panik dengan perasaan tak tenang. "Kamu pakai pengaman, kan?"
Tristan yang sedang terengah-engah menindih tubuh Amira menggelengkan kepalanya. Detak jantungnya berdegup kencang sampai terdengar jelas oleh Amira.
"Sungguh? Bagaimana bisa kamu ceroboh begini?! Kalau aku hamil bagaimana?!" tuntut Amira sambil berusaha menyingkirkan tubuh Tristan yang beratnya minta ampun.
Tristan kehabisan tenaga, lututnya gemetar lemas.
"Kalau kamu hamil, kontrak diperpanjang," jawab Tristan sekenanya sambil berusaha beranjak bangun sekuat yang dia bisa. Namun, sebelum itu dia kecup pipi tembem merah merona Amira.
Dia merapikan tampilannya, lalu memberikan Amira tisu.
...
"Sebelum lanjut, inget ini cuma cerita hiburan aja, ya. Jangan terlalu serius."
Amira terdiam dengan perasaan sesak dalam dada. Mudah sekali Tristan bicara begitu. Amira tidak setuju dengan keputusannya. Apa Tristan tidak sadar kalau Amira masih duduk di kelas 12. Jika dia hamil mau bagaimana? Tristan bicara tidak pakai otak alias ngawur!
"Kenapa masih berbaring? Ambil tisunya. Apa mau lagi?" godanya sambil menaikan sebelah alisnya.
Amira berdesis sebal sambil merampas tisu dari tangan Tristan. Dia beranjak duduk dan merapikan penampilannya. Ingin segera pergi, malas meladeni orang yang tidak sepemikiran. Namun, lupa sesuatu, Amira harus memanfaatkan situasi dengan sebaik mungkin.
"Aku anggap kali ini tidak sengaja, jangan sampai ada lain kali!" ancamnya sambil melotot.
"Iya, iya, saya lupa bawa kond'om barusan." Tristan kembali mendekati Amira. "Ngomong-ngomong ada apa dengan suasana hatimu hari ini, hm? Apa yang mengganggumu?"
"Ah, itu ...." Amira terdiam sejenak sambil memutar bola matanya. "Ibu masuk rumah sakit lagi. Aku butuh biaya banyak," jawabnya sambil cemberut manja dan membuat lingkaran di dada Tristan.
"Lagi? Sudah keberapa kalinya ibumu masuk rumah sakit sejak kita menikah, Amirah. Kita belum setahun menikah, ibumu sudah berkali-kali jatuh sakit. Kamu tidak mau memberitahu saya mengenai penyakitnya?" tuntut Tristan dengan nada memaksa.
"Bukannya tidak mau memberitahu, tapi ibuku memang penyakitan dan sudah sering keluar masuk rumah sakit. Kata Dokter, Ibu terlahir dengan fisik yang lemah."
"Pertemukan saya dengan ibumu, lalu kita bawa ibumu berobat ke luar negeri."
Amira langsung bungkam seketika. Dia meremas ujung roknya, menunjukkan keraguan. "Aku ... aku tidak bisa."
"Kenapa? Setiap kali saya ingin bertemu dengan ibumu, kamu selalu bilang tidak," tanya Tristan tak habis pikir.
"Memangnya apa yang mau kamu katakan jika bertemu dengan ibuku? Kamu mau bilang kamu suamiku, begitu? Atau menikah kontrak denganku? Tidak, Tan. Itu tidak boleh. Ibuku tidak boleh tahu mengenai pernikahan kita. Dia tahunya aku ke Ibu Kota untuk bekerja," ucap Amira sambil menatapnya getir.
"Dari awal kamu telah salah mengambil keputusan. Tidak seharusnya kamu menyembunyikan pernikahan kita dari ibumu. Ketika rahasia ini terbongkar dari mulut orang lain, ibumu akan sangat kecewa."
"Kamu pikir jika aku memberitahu ibuku, dia akan mengizinkan aku menikah denganmu? Tan, kita menikah hanya karena saling menguntungkan. Kamu butuh istri dan aku butuh uang. Itu saja! Sekarang kamu sudah melewati batas. Aku tidak suka kamu mencampuri urusanku apalagi terus-menerus ingin tahu tentang Ibu. Aku juga tidak pernah ingin tahu tentangmu selama ini. Jadi, simpan saja rasa penasaranmu. Ibuku biar aku yang urus." Amira bicara dengan penuh penekanan. Sorot matanya sangat tajam dan dalam. Membuat Tristan tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti keputusannya.
"Tamam (Baik), saya minta maaf. Berapa yang kamu butuhkan?" tanya Tristan mengalah. Dia tidak mau ambil pusing. Jika Amira bilang tidak boleh, ya sudah tidak boleh. Cukup hargai privasinya saja. Toh mereka bukan suami-istri sungguhan seperti pada umumnya. Ada banyak batasan dan ketentuan diantara mereka.
Tristan mengambil cek dan siap menulis nominal.
"Emm ... mu-mungkin sekitar 80-jutaan," ucap Amira malu-malu sambil mengusap tengkuk lehernya. Dia merasa tidak enak hati mengucapkan nominal yang besar setelah marah-marah.
Dengan santai dan damai sentosanya Tristan menulis angka 80 juta, lalu menyobek cek tersebut dan memberikannya pada Amira secara cuma-cuma.
Amira tak langsung mengambilnya. "Kamu ... yakin?" tanyanya dengan binar di mata. Pupilnya mendadak berubah jadi warna hijau.
Tristan menaikan dagunya sambil duduk bak seorang raja di singgasananya. "Hanya secarik kertas dengan beberapa angka saja, apa yang perlu diragukan?" ujarnya sombong.
"Jika kamu mencium saya, mungkin nominalnya bisa bertambah," goda Tristan sambil memutar kursi kerjanya.
"Serius?"
Tidak ada yang bisa menahan godaan uang. Amira langsung lompat dari meja dan ternyata kakinya tidak sekuat itu sampai dia hampir terjatuh. Untung saja Tristan dengan sigap menangkapnya dan meraihnya ke dalam pelukan.
Amira pun tak tanggung-tanggung menciumnya bertubi-tubi. Dari kening, hidung, pipi, dagu sampai bibir, semuanya dapat bagian.
"Muach, muach, muach, muach! Maaf ya, tadi sempat marah-marah hehe, makasih ...."
"Dikasih uang baru nyengir," sindir Tristan sambil geleng-geleng kepala. Uang memang dapat merubah perilaku seseorang dengan cepat. Lebih besar nominalnya, lebih baik pula perilakunya. Amira contohnya.
°°°
Amira ke luar dari ruangan Tristan sambil menyeret kaki dengan memasukan cek tersebut ke dalam saku seragamnya. Dia menoleh ke samping, Guru BK ternyata masih siaga di sana.
Melihat keadaan kaki Amira dengan langkah terpincang-pincang, Damar menyeringai bagai kuda sambil menggerakkan tangannya, mengisyaratkan kalau dia akan tutup mulut seperti biasa.
Mempunyai rekan biadab seperti Tristan membuatnya malu sendiri pada Amira.
Dari kejauhan Uci dan Sofi langsung datang menghampiri sambil membawa beberapa botol es boba di tangan mereka. Uci memberikan salah satu es boba untuk Amira dengan rasa penasaran.
"Diapain kamu sama Pak Tristan nyampe encok gitu?" tanya Uci cemas.
"Muka kamu juga nyampe pucet lho, Ra. Keringetan banyak gini. Kamu gapapa, kan?" tutur Sofi sambil memapah Amira.
"Huhuu ... aku disuruh ngerangkum 1 bab penuh, terus tadi pas udah beres, Pak Tristan nyuruh aku squat jump 50 kali coba. Gila gak tuh? Nyampe bengkak nih kaki. Duduk dulu ah, bisa pingsan aku," dusta Amira, merengek dipelukan Sofi dengan wajah memelas sambil menyeruput es boba karena memang sangat haus. Tenggorokannya kering bak gurun pasir.
"Squat jump 50 kali?!"
"Seriusan?"
"Duarius! Malah tadinya dia nyuruh 100 kali, stres emang."
"Kok Pak Tristan jahat banget, sih?! Jadi ilang resfect, deh!"
"Lagian kalian segitunya nyembah-nyembah Pak Tristan. Udah tau kan sekarang orangnya kayak gimana, gak berperasaan! Tadi di dalem ruangan dia, aku dipelototin terus sama lubang hidungnya yang gede. Hih, serem! Ci, cariin tukang urut. Harus diurut ini mah, kayaknya ada yang salah urat," kicau Amira merembet ke mana-mana demi membuat teman-temannya percaya.
Di dalam ruangan, Tristan mendadak bersin-bersin.
Haccu, haccuu...!
"Uh, siapa yang lagi ngomongin saya?" gumamnya sambil mengusap hidung mancungnya.
...
'Gak ada yang sok jaim ya di sini. Kalau suka kasih komentar aja. Kamu normal berarti, hwehehe! Inget, cerita ini cuma hiburan!'
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!