Retania Utami, tersenyum senang saat tau kalo kakak laki lakinya yang menelponnya.
Jarang jarang kakak laki lakinya-Pradipta-memberi kabar.
Pradipta bekerja di sebuah kapal pesiar yang ngga akan mudah mendapat sinyal kalo berada di tengah laut.
"Lingga, aku tinggal bentar, ya," pamitnya pada rekan kerjanya. Mereka akan melakukan visit pada pasien rawat inap khusus
"Mau kemana? Telpon dari pacar, ya?" tanya Lingga ingin tau. Lingga, laki laki yang seusia dengannya, satu profesi dan dulunya satu kampus.
"Ngaco. Masku nelpon," bantah Retania dengan senyum lebarnya.
"Oh iya. Oke." Lingga langsung maklum. Retania sudah pernah mengatakan padanya kalo dia memiliki kakak laki laki yang bekerja di kapal pesiar.
"Ngga lama, kok," senyumnya sambil berjalan menjauh dan meletakkan ponsel ke telinganya.
Dia sudah sangat merindukan Mas Dipta. Sudah satu minggu mereka tidak bersua lewat telpon.
Lingga hanya mengangguk. Memperhatikan wajah ceria rekannya dengan dada berdesir hangat.
Setelah beberapa bulan mengenal Retania, jantungnya selalu memberikan isyarat yang aneh.
Wajarlah kalo dia naksir juga dengan Retania. Sama seperti yang lainnya.
Gadis itu cantik, mandiri dan pintar.
"Hai, mas. Kok, baru telpon," rajuk Retania sambil menyandarkan punggungnya dii dinding rumah sakit.
Terdengar kekehan masnya.
"Mas udah ngajuin cuti. Dua hari lagi kita akan kumpul."
Pradipta menatap wajah adik tersayangnya yang selalu dia tinggalkan berbulan bulan karena pekerjaannya.
"Syukurlah," seru Retania tertahan, dengan wajah penuh binar. Ini kabar yang paling membahagiakan.
"Kamu cantik dengam seragam dokter," puji Pradipta bangga.
"Bosen, ah. Muji yang sama terus," tawa Retania manja.
Pradipta juga makin berderai tawanya.
"Mas cuma mau ngomong itu aja. Kamu juga lagi kerja, kan."
"Iya, mas."
"Ya udah. Dua hari lagi, ya. Mas udah beliin kamu banyak oleh oleh."
Wajah Retania tambah bercahaya saking bahagianya.
"Udah ngga sabar, nih."
"Ngga sabar apa? Masnya atau hadiahnya....?"
"Dua duanya." Tawa keduanya pun makin lepas.
*
*
*
Sekarang Lingga dan Retania masuk ke dalam salah satu ruangan pasien rawat inap eksklusif.
Seorang laki laki muda tampan sedang terbaring dengan salah satu kaki yamg digips.
Seorang gadis cantik berada di dekatnya bersama istri pemilik rumah sakit.
Tatap Retania bertemu dengan manik tajam laki laki muda itu.
"Pagi, bu," sapa Lingga membuat Retania mengalihkan tatapnya dari netra laki laki tampan itu.
Istri pemilik rumah sakit hanya melirik keduanya sekilas. Wanita yang masih sangat cantik di usia yang sudah mendekati angka lima puluh tahun itu memang memiliki aura angkuh yang membuat para tenaga medis sungkan dan ngga betah berlama lama berada di dekatnya.
"Lakukan pemeriksaan dengan teliti," perintahnya sambil menggandeng lengan gadis cantik ke arah sofa.
"Ya, bu," jawab Lingga. Sementara Retania hanya menganggukkan kepalanya saja.
Kemudian keduanya mendekati ranjang laki laki itu.
Davendra Arkatama. Usia dua puluh tujuh tahun.
Retania baru saja membaca indentitas pasiennya.
Retania mendadak merasa canggung dan gugup ketika sepasang manik tajam itu terus menatapnya.
Untung saja dia dan Lingga sudah membuat kesepakatan kalo pasien laki laki akan ditangani Lingga. Dirinya akan menangani pasien perempuan saja.
Retania berusaha tetap tenang sambil mencatat apa saja yang diinformasikan oleh Lingga.
"Retania," eja laki laki muda itu membuat tatap keduanya bertemu, tapi sesaat kemudian Retania mengalihkannya.
Dia ngga mau mencari masalah dengan mama laki laki ini.
"Mereka hanya dokter magang," jelas mamanya.
Laki laki muda itu-Davendra Arkatama-seolah ngga peduli dengan peringatan halus mamanya.
"Nama yang indah," pujinya dengan tatapan dalamnya.
Retania hanya tersenyum tipis tapi dia ngga bisa menyembunyikan rona merah kepiting rebus di wajahnya.
"Namanya biasa aja, Daven. Namaku lebih bagus. Ya, kan, tante," cetus gadis cantik itu seolah meminta dukungan pada istri pemilik rumah sakit.
"Tentu saja nama kamu lebih elegan, sayang," puji mama Davendra sambil mengusap lembut lengan putri sahabatnya.
"Nama pasaran itu," komen Davendra cuek. Tatapnya masih memindai dokter cantik yang tampak acuh tapi tersipu dengan pujiannya.
Dalam hati dia tersenyum.
"Enak aja," cebik gadis cantik itu jengkel.
Retania merasakan tatapan marah gadis cantik itu menyorot padanya.
Apa salahnya, batin Retania ngga tenang. Kalo bisa dia ingin segera keluar dari ruangan yang mulai menyemburkan hawa panas.
Sayangnya dia harus menunggu Lingga menyelesaikan tugasnya.
Sementara tatap manik Davendra terus saja mengarah padanya. Anehnya Retania merasakan kegugupan yang belum pernah dia alami selama ini. Jantungnya juga berdegup kencang. Perutnya mendadak mulas yang aneh.
Dia ingin keluar sekarang.
Untunglah nggak lama kemudian Lingga bisa menyelesaikan pekerjaannya.
"Kami pergi dulu, bu," pamit Lingga sangat amat sopan. Maklum saja, kalo ada kecacatan dari sikap mereka, istri pemilik rumah sakit ini bisa saja merekomendasikan pada suaminya untuk membatalkan program internship mereka dan memecat mereka kapan saja dari rumah sakit suaminya.
"Semuanya ngga ada masalah, kan? Baik baik saja?" todongnya dengan suara berwibawa.
"Ya, bu. Baik baik aja." Lagi lagi Lingga yang menjawabnya.
"Bagus. Kalian bisa pergi," usirnya dengan sikap meremehkan.
"Ya, bu." Walau dongkol tapi mereka tetap memasang wajah santun.
Retania menghembusksn nafas lega begitu keluar dari ruangan yang sudah memgambil sebagian besar oksigennya.
"Tegang, ya," kekeh Lingga pelan.
"Iya." Retania menaikkan kedua sudut bibirnya.
"Ayo, kita visit ke kamar lain," ajak Lingga
"Ayo."
*
*
*
"Reta, kamu udah ke kamar pasien anak bungsunya dokter Arkatama Reksa?" sambut Zulfa dengan mata penuh binar.
"Sudah." Retania melirik Lingga yang langsung menghampiri koloninya, sesama pria.
"Tampan banget, ya. Sayangnya ada mba lampir di sebelahnya," timbrung Elza.
"Hati hati ngomongnya." Zulfa memberi peringatan.
Elza hanya berdecak.
"Pas kamu periksa, dia ngga banyak ngomong, Ret?" tanya Elza ingin tau.
Soalnya waktu dia dan Zulfa yang memeriksa pangeran tampan itu, si lampir itu banyak sekali memberikan larangan larangannya.
"Yang periksa dia Lingga," jelas Retania kemudian mengulum senyumnya.
"Ooo, syukurlah. Si lampir itu tunangannya, ya?" tukas Elza dengan nada penuh tanya.
"Sayang sekali," lanjutnya lagi. Masih dengan cibiran khasnya.
"Sudah, Za. Lagian buat apa ngurusin orang kayak.gitu," ucap Zulfa berusaha sabar.
Mereka butuh nilai tinggi agar bisa lulus dari internship, sehingga ngga perlu mengulang lagi.
"Iya, sih. Cuma kesel aja sama sikap sombongnya," sungut Elza
"Wajarlah. Bagi mereka kita hanya remahan rengginang," kekeh Zulfa. Retania juga tertawa bersama Elza.
Retania tanpa sadar mengingat tatapan dalam anak pemilik rumah sakit itu, seketika jantungnya berdegup dua kali lebih cepat.
Jangan berharap.lebih Reta. Kamu hanya remahan rengginang.
"Bu dokter Retania?" Reta yang baru saja menghidupkan mesin motor scoopynya jadi menoleh.
"Ya?" Tatapnya heran pada seorang laki laki muda berseragam satpam dan membawa sebuah buket bunga mawar yang besar besar dan berwarna merah.
Perasaan Retania sudah ngga enak. Dia juga malu, apalagi ada beberapa orang yang ada di sana memperhatikannya.
Dia akan ditembak satpam? Tadi malam dia ngga mimpi apa apa....
Retania ngga pernah merasa ngasih harapan pada satpam atau rekan rekannya sesama tenaga medis. Dia ingin memenuhi janjinya pada satu satunya kakak laki lakinya kalo dia ngga akan menikah sebelum dapat gelar dokter spesialis mata. Dia ngga akan menyia nyiakan kepercayaan kakaknya yang sudah bekerja keras membiayai sekolahnya.
Karena itu Retania ngga pernah menanggapi niat serius lawan jenisnya. Juga ngga pernah memberi mereka harapan.
"Dokter Retania?" ucap satpam itu seolah ingin memastikan. Dia membaca kalung id card yang masih tergantung di leher gadis cantik di depannya.
Retania ingin menyangkal tapi si-alnya dia masih mengenakan id cardnya.
Ngga lucu, kan, kalo.satpam.itu yang mengingatkan kalo dia melakukan penyangkalan?
"Ya....," jawabnya agak ragu.
"Bu dokter, ini dari tuan muda saya," ucapnya sambil mengulurkan buket bunga mawar yang indah itu.
"Tuan muda siapa? "
Kapan dia punya kenalan tuan muda.... Bahkan sampai diberikan buket bunga seindah ini...? Batinnya penuh tanya.
"Tuan muda Davendra Arkatama, bu dokter. Anak pemilik rumah sakit ini," jelas satpam itu sangat sopan.
Si pasien yang kakinya digips itu? batinnya shock. Jantungnya sedang menari nari sekarang.
Bukan prank, kan....? Bodohnya lagi hatinya sekarang amat sangat senang.
Walau dilanda keraguan yang amat sangat, dia mengambil juga buket itu cepat cepat. Takut dibatalkan karena satpam ini sudah salah orang.
Bo-do amat. Sayang dengan buket bunganya. Pasti harganya mahal.
"Saya permisi, bu dokter," pamit satpam itu sebelum beranjak pergi.
Retania masih termangu. Dia tatap buket bunga mawar itu dengan bingung.
"Wow, cantik sekali buketnya, Ret. Mawar merah darah," seru Elza yang baru muncul di tempat parkir. Sinar matanya menatap kagum dan penuh keingintahuan.
"Siapa yang kasih, Ret?"
"Hemmm..... Satpam....." Ngga mungkin Retania mengatakan kalo yang ngasih Davendra Arkatama, si anak pemilik rumah sakit. Dia bisa dikira halu tak tertolong.
"Satpam?" tawa keras langsung tersembur dari mulut Elza.
"Satpam yamg mana?" tanyanya penasaran dengan masih tawa yang tersisa di wajahnya. Dia merasa sudah mendapat hiburan terbaik dan gratis setelah capek yang luar biasa berkutat dengan banyaknya pasien.
"Ngga tau. Baru lihat juga." Kali ini Retania menjawab dengan jujur.
"Oooh, satpam baru."
Retania ngga menjawab. Dia pun mengeluarkan satu satunya tote bag yang selalu dia bawa di tasnya. Ini membuatnya mengurangi sampah plastik juga kalo belanja di mini market.
Kemudian menyimpan buket itu perlahan itu ke dalam tote bag yang memang cukup besar.
Jangan sampai rusak, batinnya. Mungkin tuan muda itu sedang kesambet sampai ngasih bunga sebagus ini untuknya. Hatinya terasa sangat cerah.
Syukurlah muat, batinnya lagi.
Biar cuma prank, tapi jantung Retania masih belum stabil juga ritme detakannya.
Terlalu cepat dan keras memukul dadanya hingga terasa sakit tapi menyenangkan.
"Satpam sampai ngasih kamu buket mahal gitu, pasti cinta berat sama kamu, Ret," bahas Elza lagi.
Iya, kalo satpam yang gajinya UMR. Kalo anak pemilik perusahaan, pasti ngga ada artinya mengeluarkan recehannya untuk buket ini, batin Retania menyahut.
"Zulfa mana?" Retania mengalihkan pertanyaan.
"Dia pulang duluan."
"Oooh. Ya udah, ayo, pulang "
"Oke. Motorku di sana. Hati hati di jalan. Ingat satpamnya di rumah aja. Bahaya kalo di jalan," ucap Elza kemudian dia tergelak.
Retania hanya membalas dengan tawa saja.
Kamu belum tau aja siapa yang kirim El, de-sahnya dalam hati.
Retania ngga bisa membayangkan reaksi Elza jika tau yang sebenarnya.
Dia aja sampai sekarang masih merasa semua ini adalah mimpi yang ngga nyata.
Tapi Retania ngga ingin berharap apalagi bermimpi terlalu tinggi. Kalo jatuh pasti akan sakit banget.
Anggap saja laki laki muda dengan skor mendekati sempurna itu hanya terkesan dengan tindakan medisnya. Ngga lebih.
*
*
*
"Kata bu dokter, terima kasih tuan muda," lapor pengawalnya saat hanya berdua saja dengan tuan mudanya di ruangannya.
Nyonya besar sedang pergi, sedangkan calon tunangan tiuan mudanya belum datang menjenguk.
"Makasih."
"Sama sama tuan muda."
Davendra menyesali kakinya yang masih digips. Harusnya dia sendiiri yang memberikannya. Kesannya pasti akan lebih dramatis.
Anak pemilik rumah sakit sedang jatuh cinta dengan seorang dokter magang.
Bibirnya mengembangkan senyum tipis.
Bunga mawar yang dia pilih sendiri melalui vcall, merupakan tukang bunga favorit kakak kakaknya kalo mau ngirim buat istri istri mereka.
Farros sebagai kakak tertuanya sampai ngakak waktu mendengar permintaannya.
Flashback on
"Serius ngasih bunga buat si cerewet itu?"
"Bukan buat dia." Si cerewet adalah perempuan yang mamanya ingin tunangkan dengannya.
Farros terbelalak, takjub.
"Untuk perempuan lain? Serius adikku yang dingin ini sudah punya tambatan hati?" tanyanya beruntun. Tawanya seketika terhenti.
Waktu itu Davendra hanya nyengir saja.
"Siapa?" tanya Farros penasaran.
"Dokter di rumah sakit mama."
Farros terdiam. Dia menatap adiknya sangat serius.
"Dokter spesialis apa?" Mamanya pasti akan sangat selektif.
"Dokter magang."
"Jangan becanda," sentak Farros kaget. Jawaban yang ngga dia inginkan.
"Apa tampangku kelihatan maen maen?"
Farros terdiam. Ngga perlu lama lama menarik kesimpulan atas apa yang akan dilakukan adik bungsunya nanti.
"Jangan maenkan perasaan anak gadis orang."
"Aku ngga maen maen. Aku serius."
Sunyi sejenak.
"Oke. Terserah kamu. Kamu udah dewasa." Kemudian dia memberikan kartu nama tempat tukang bunga favoritnya.
"Bunganya rekomen banget," promosi Farros.
"Bunga apa sebaiknya yang aku pilih?"
"Mawar merah yang besar besar."
"Oke. Thank's my lord."
"Semoga berhasil."
Endflashback.
"Ohya, apa dia kelihatan suka dengan bunganya?"
Langkah pengawalnya terhenti. Dia berbalik menatap tuan mudanya sebelum menjawab.
"Bu dokter kelihatan bingung xan terkejut, tuan. Tapi overall, dia terlihat senang."
"Oke."
Setelah pengawalnya menutup pintu kamar rawat inapnya, dia mulai meraih ponselnya. Melihat pekerjaan pekerjaan yang dikirimkan sekretarisnya.
Ada satu panggilan yang masuk. Davendra mengabaikannya.
Anya Josephine.
Calon tunangannya.
Gadis itu masih berani merengek pada mamanya padahal sudah jelas dia menolaknya.
Davendra menghentikan ketikannya.
Rata rata para dokter dan perawat perempuan yang merawatnya akan tampak hiperaktif di depannya.
Tapi dokter magang itu malah mengacuhkannya. Seakan akan dia pasien biasa saja yang biasa dia rawat.
Senyum tipisnya terukir lagi. Sudah lama dia ngga diperlakukan.sebagai dirinya sendiri, tanpa embel embel nama besar kedua orang tuanya.
Kembali hari ini Retania mendapatkan buket bunga mawar merah yang sama seperti kemarin. Hanya saja didesain agak berbeda dan bukan saat pulang kerja. Tapi di pagi hari, saat dia akan memulai aktivitasnya.
Apesnya Elza dab Zulfa juga ada saat sang satpam.mengantarkan bunga itu padanya.
"Bu dokter--." Sang Satpam mengulurkan bunganya dan masih akan mengatakan hal yang lebih banyak.
"Terimakasih, pak," potong Retania cepat sebelum pak satpam berbicara lebih panjang lagi.
Retania belum siap jika kedua temannya tau siapa sesungguhnya pengirim bunga mawar itu. Dia takut nanti malah tersebar berita yang enggak enggak, kalo dialah yang menggoda pemilik buket bunga ini demi meluluskan program internshipnya.
Entah mengapa Retania jadi separanoid ini.
"Sama sama bu dokter." Setelah mengangguk hormat, satpam itu pun berbalik beranjak pergi.
"Saya ngga dikasih, pak satpam?" goda Elza centil.
Satpamnya ganteng juga. Masih muda lagi, batinnya menilai.
Si satpam hanya tersenyum tipis sebelum meninggalkan ruangan ketiganya. Dalam hati merasa aneh dengan panggilan yang diberikan untuknya.
Satpam? Tawanya dalam hati.
"Gaji satpam gede, ya, Ret. Dua kali kamu dikasih buket bunga secantik ini. Ini, kan, mahal banget," analisa Elsa dengan raut kepengennya yang sangat jelas. Tangannya mengusap pelan kelopak mawar yang indah itu dengan mata penuh binar.
"Dua kali?" Alis Zulfa mengernyit Baru tau dia.
Kenapa dia belum pernah sekalipun mendapat buket seperti ini?
Dia ngga matre, setangkai aja udah cukup, batinnya mengomel.
"Iya. Kemarin sore sama pagi ini." Elza yang menjawab.
"Serius itu dari satpam?" Zulfa ngga yakin.
"Aku baru sadar, seragamnya beda dengan seragam satpam rumah sakit ini." Kembali Elza menyahut. Tatapnya kini terarah pada Retania.yang sedang mengenakan jas dokternya.
"Seragamnya malah seperti seragan pengawal orang kaya," cecar Zulfa curiga.
Retania masih ngga niat untuk menjawab. Dia cuek saja dan merapikan perlengkapan alat alat kesehatannya.
"Retaaaa......," rengek.Elza yang merasa ngga dianggap.
Retania hanya tersenyum ringan.
"Kenalin sama temannya, ya. Aku juga mau kalo satpamnya muda, tampan dan tajir begini," rengeknya lagi.
Zulfa malah berdecak.
"Keinginan yang terlalu tinggi malah sulit berhasil," ejeknya sambil merapikan jas dokternya. Tapi dalam kepalanya berusaha mengingat, apa dia pernah melihat seragam pengawal tadi.
Retania tertawa mendengarnya, sedangkan Elza merengutkan wajahnya.
"Kamu teman yang ngga pernah mendukung segala niat baik temannya," kecamnya yang hanya dianggap.angin lalu oleh Zulfa.
"Reta, udah siap?" Lingga masuk tiba tiba ke ruangan tiga dokter perempuan yang sedang berdebat itu.
Matanya melirik buket mawar yang ada di meja Retania.
"Lingga, kamu punya saingan," cuit Elza yang sempat melihat lirikan Lingga.
'Mending Lingga kemana mana dibanding satpam," tambahnya lagi.
Zulfa dan Retania hanya menggeleng gelengkan kepalanya saja.
"Satpam?" cetus Lingga dengan kerutan di keningnya.
"Jangan dipikirkan," tepis Retania sambil melangkah mendekati Lingga.
Mereka akan mengecek kesehatan beberapa pasien. Termasuk si pengirim bunga aneh yang mungkin sekarang sedang sakit mata.
Karena penasaran, tadi malam Retania sudah melakukan googling, apa pekerjaan anak pemilik rumah sakit ini.
Ternyata dia seorang bos besar dan dikelilingi banyak perempuan cantik dan modis
Betul kata Zulfa, dia hanyalah remahan rengginang.
Ngga ada pakaian, tas, sepatunya yang bermerk dengan harga minimal dua digit.
Eman eman.
Walaupun Retania juga menyukai produk yang dijual di mall mall, tapi otaknya masih sinkron dengan fungsi barang barang yang dia beli.
Punya dompet ratusan juta buat apa kalo isi dompet hanya puluhan ribu.
Mana mau nasi padang langganannya dibayar pake dompet yang katanya limitted edition.
"Salam ya, Retasa, buat si tampan no limit itu," seru Elza ketika temannya sudah berjalan pergi dengan Lingga.
"Ya." Biar ngga tambah diperpanjang lagi kalo menolak permintaan si cerewet itu.
"Emang berani ngomongnya?" ledek Lingga.
Retania melirik sinis.
Tumben jadi sok cool.
Lingga tersenyum melihat kejudesan Retania.
"Udah ada pengagum spesial?" ledeknya lagi. Retania dan dia, juga Elza dan Zulfa, mereka dulu satu kampus. Tapi ngga terlalu saling mengenal. Internship yang sudah mereka jalani beberapa bulan lalu membuat mereka jadi cukup akrab.
"Orang iseng."
"Masa?" ledek Lingga lagi dengan ekspresi ngga percaya.
Buket sebagus itu?
"Iyaa...."
Lingga melebarkan lagi senyumnya membuat beberapa perawat melihat ke arahnya.
Lingga memang tampan. Dia salah satu favorit tim medis. Kalo di mata pasien, Retania ngga tau.
Kembali mereka memasuki kamar super eksklusif si pengirim bunga yang asli.
Jantung Retania berdebar sangat kencang. Entah mengapa dia sangat gugup. Padahal dia sudah memperingatkan hatinya jangan baper. Tetap saja saat makin mendekat ke kamar laki laki yang paling diinginkan kaum hawa itu, dia ngga bisa menstabilkan ritme debaran jantungnya.
Sengaja Retania lebih memfokuskan tatapannya pada istri pemilik rumah sakit dari pada anaknya saat memasuki ruangan mewah ini. Perempuan muda yang sepertinya digadangkan akan jadi calon istrinya juga ada di sana.
Padahal keduanya sangat pantas, selain setara, mereka pasti akan menghasilkan bocil bocil yang sangat berkualitas. Bibit, bebet dan bobot yang pasti sudah sudah teruji.
Seperti biasa Lingga melakukan tugasnya, dan dia hanya mencatat saja hasil yang didapatkan Lingga.
"Suka bunganya?" tanya Devandra terang terangan, membuat ketiga mahluk kasat mata yang ada di sana menatap Renata penuh seliidik.
Dia suka melihat reaksi kaget dokter yang sejak masuk tadi ngga pernah mau menatapnya.
Lingga pun sampai bengong.
Buket bunga itu dari dia? Bukan dari satpam? Tadi Lingga sempat mendengar percakapan Renata dan kedua temannya sebelum masuk ke ruangan mereka.
"Buket bunga apa?" tanya istri pemilik rumah sakit membuat lutut Retania lemas.
"Kamu ngasih dia buket bunga? Kok, ke aku ngga?" protes Anya Josephine dengan tatapan kesalnya pada dokter muda yang sedang mencatat hasil cek kesehatan calon suaminya.
Retania menunduk dalam. Bingung harus menjawab apa. Lagi pula kenapa laki laki ini iseng banget menanyakan apakah dia suka sama bunganya.
Ya sukalah, batin Retania sewot.
"Dokter Retania Utami, apa anak saya mengirimkan buket bunga untuk anda?" istri pemilik rumah sakit-Nyonya Ivi Oktavia menatapnya tajam.
"Emm... Iya, Nyonya. Hanya ucapan terimakasih," sahut Retania menjelaskan sekaligus menyangkal prasangka di benak semua orang yang ada.di sana.
Lingga masih menatap wajah Retania yang tampak gugup dengan sorot tak terbaca.
"Ucapan terimakasih? Pengawalku bilang begitu?" todong Davenda Arkatama dengan senyum miring di wajahnya.
Dia suka dengan reaksi ngga suka mami dan perempuan yang ingin banget jadi istrinya.
Juga reaksi gugup dan takut dokter muda ini.
Mungkin otaknya yang harus digips, bukan kakinya.
"Ya," jawab Retania cepat.
Ini menyangkut karir dokternya.
"Aku ngga pernah bilang begitu sama dia. Bentar, aku telpon orangnya dulu. Sembarangan aja ngomongnya," sahutnya sambil mengutak atik ponselnya.
Retania hampir saja berteriak untuk melarang dan merebut ponsel laki laki asem itu untuk dibuang jauh jauh.
Kenapa, sih, harus dibuktikan?
Lingga dapat melihat kepanikan di wajah Retania.
Dia menatap tajam tanpa sungkan pada anak pemilik rumah sakit yang terlihat sangat suka mempermainkan ketakutan Retania.
Sementara Nyonya Ivy Oktaria dan Anya Josephine menatap Retania dengan angkuh dan meremehkan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!