Aku ga tau apa ceritaku ini bakalan jadi sebuah aib untukku dan kedua orangtua ku atau engga. Aku cuma ingin meluapkan semuanya disini. Rasa sepi yang datang tiba-tiba bikin aku stress sendiri jalani hidup ini. Aku ga nemu orang yang bisa menjadi teman curhatku , semuanya sibuk jadi penasehat dadakan termasuk sahabatku sendiri.
" jujur , saat ini aku ga butuh dinasehati , dikuat kuatin,, apalagi diceramahi ,, aku tuh butuh temen , aku butuh orang yang mau dengerin keluh kesahku, mau nemenin aku, itu ."
Tapi mau gimana, namanya hidup, udah pasti ga akan selamanya bisa sesuai dengan yang di inginkan. Mau ngomong sebanyak apapun , sampe berbusa sekalipun , mereka ga akan ngerti . Kini aku merasakan hidup dalam bayang-bayang penyesalan itu ternyata ga enak, nyesel banget karena sering nyakitin perasaannya, sering ngomel pada mereka karena sikapnya. Mungkin ini juga perasaan yang selama ini ayahku rasakan
jujur, andai saja mereka masih ada disini, aku bakalan habiskan waktuku untuk selalu bersamanya, mendengarkan keluh kesahnya, berbaring dipangkuannya sambil mendengarkan kisah cinta nya. Dan bahkan seluruh hidupku akan ku habiskan bersamanya.
Kepergian mereka Masih menjadi pukulan telak di hatiku sampai saat ini . Disaat aku masih membutuhkan kasih sayangnya , tuhan malah memanggilnya sebelum aku sempat membahagiakannya . Sejauh yang aku tahu, kedua orangtua ku tidak punya riwayat penyakit , secara sosial pun, mereka tak pernah punya musuh, malah yang ada justru kehadiran kedua orangtua ku selalu dirindukan semua orang terutama tetangga sekitar rumahku karena kebaikan dan sikapnya yang penuh cinta.
Tapi balik lagi, umur tidak ada yang tahu, sehari setelah mereka pulang dari ibadah umrahnya, aku menemukan ibuku tertidur untuk selamanya . Tuhan menjemput ibuku di tempat dimana ibuku selalu memuji nya . Sepuluh hari kemudian , ayahku meninggal dunia akibat tabrakan beruntun .
Yah, terdengar aneh memang, tapi itulah kenyataannya, mereka seperti ingin meninggalkanku sendiri di dunia yang keras ini .
bila ku coba berpositif thinking , dengan kebiasaan dan cara tuhan yang menjemput kedua orangtuaku serta cerita yang kudapat dari tetangga dan teman-temannya, mungkin hal yang wajar bila tuhan memanggilnya. Mungkin tuhan terlalu menyayangi kedua orangtuaku atau mungkin tuhan terlalu cemburu padaku karena kedua orangtuaku begitu menyayangiku terutama ayahku.
Sejak tk hingga lulus SMA, ayahku tak pernah absen mengantar dan menjemputku. Kemanapun aku pergi, ayahku pasti ada disekitarku. Disaat orangtua yang lain sibuk dengan pekerjaannya, ayahku justru sibuk menjagaku. Kadang risih juga dengan tingkahnya yang terlalu over dalam menjagaku.
Seakan tak ada ruang untukku menikmati hidup seperti teman-temanku. Jujur, kadang aku iri bila melihat teman-temanku bisa pulang larut malam atau menginap dirumah teman-temannya yang lain.
"ih enak banget yah bisa bebas, aku mah boro-boro , jangankan pulang malam, mau main aja di jagain." Ucapku sendiri sambil melihat teman-temanku yang terlihat begitu bahagia.
bukan cuma itu, disaat acara study tour ke jogja yang diadakan sekolah, ayahku ikut padahal jelas-jelas orangtua dilarang untuk ikut serta. Ayahku nekad pergi dengan sepeda motornya menyusulku. Ya memang sih ayahku cuma memperhatikanku dari jauh, tapi aku tetap merasa risih.
Akupun baru tahu bila sebelum aku lahir, ayahku bekerja dengan gaji yang cukup fantastis tapi satu bulan setelah aku lahir, ayahku memutuskan untuk resign dan fokus mengurusku dan ibuku. Entah apa yang membuat ayahku bertindak seperti itu.
Disaat yang lain mempertahankan pekerjaannya, ayahku justru resign dan memilih untuk berjualan.
Sampai saat ini, akupun masih bertanya tanya, kenapa ayahku begitu ketat menjagaku , kasih sayangnya begitu besar padaku hingga membuat aku tak berdaya seperti saat ini. Sikapnya padaku bikin aku bener-bener merasa kehilangan, air mata ini selalu menetes tanpa sebab setiap kali aku melihat seorang ayah yang sedang berjalan bersama anaknya.
"aku kangen, jujur,,, aku ga kuat jalani hidup ini sendirian.."
Aku ga pernah menemukan tempat ternyaman seperti saat aku didekatnya. Beberapa kali aku mencoba mencari sosok pengganti ayahku , tapi semuanya hampa, perhatian dan kasih sayangnya tak bisa menembus hatiku, semua yang kurasakan hanyalah rasa iba dan kasihan dengan kondisiku, tidak ada yang benar-benar menyayangiku seperti hal nya ayahku.
Sekarang, aku cuma bisa berdoa semoga kedua orangtua ku hidup bahagia disana, walaupun berat buat aku menerima kenyataan ini, aku yakin , tuhan punya rencana yang indah untukku. Aku cuma perlu yakin dan terus percaya padanya . Ku pasrahkan hidupku sepenuhnya .
" yah, bolehkan nura nangis?, bolehkan kalau nura rindu, nura udah berusaha buat kuat seperti keinginan ayah, tapi ga bisa yah, nura ga sanggup, ayah terlalu dalam masuk ke hati nura. Nura rindu, nura pengen bareng ayah lagi."
......................
Sebelumnya, izinkan aku memperkenalkan diri. Seperti yang kamu lihat di cover, itu memang namaku, **Nura**—panggilan sayang dari ayahku. Nama lengkapku adalah Ridha Nurrazahra.
Sempat aku bertanya pada ibuku, "Kenapa aku diberi nama Ridha Nurrazahra? Kenapa nggak Ridha Nur Azzahra?" Ibuku menjawab bahwa itu 100% adalah pemberian dari ayahku dan menyuruhku bertanya langsung pada beliau.
Dengan penasaran, aku pun bertanya pada ayahku, "Yah, lagi sibuk nggak?"
"Enggak dong, sayang. Sini-sini, duduk di samping ayah. Ada apa? Kelihatannya serius banget," jawabnya lembut.
"Yah, artinya 'Nura' itu apa?" tanyaku lagi.
"Eh, ada apa tiba-tiba nanyain itu?" Ayahku balik bertanya dengan senyum di wajahnya.
"Enggak apa-apa sih. Nura cuma heran aja. Kenapa nama Nura, bukan Nur atau Naura? Terus cara penulisannya juga aneh, Ridha Nurrazahra bukan Ridha Nur Azzahra. Itu typo atau emang sengaja?" tanyaku lebih detail.
Sambil membelai rambutku, ayah tersenyum dan mengajakku ke kolam ikan di belakang rumah. "Ayo, ayah ceritain semuanya sambil ngasih makan ikan."
Aku mengangguk dan mengikuti ayah ke kursi di pinggiran kolam. Ayah duduk dan bersandar ke batang pohon jambu, lalu mulai berbicara, "Sebetulnya, nama 'Nura' itu diambil dari dua kata: 'Nur' yang berarti cahaya dan 'Ra' dari bahasa Sunda, artinya sinar. Jadi, Nura itu berarti sinar cahaya. Ridha artinya keikhlasan, sementara Zahra diambil dari nama ibumu, Fatimah Aulia Zahra. Jadi, Ridha Nurrazahra itu bermakna sinar cahaya yang lahir dari keikhlasan ibumu. Harapan ayah, kamu bisa menyinari orang-orang di sekitarmu dengan kelembutan dan menjadi cahaya bagi mereka yang kamu cintai."
Aku mendengarkan dengan takjub saat ayahku melanjutkan, "Kamu tahu nggak, kamu itu lahir prematur, 7 bulan, dan waktu lahir kamu nggak nangis. Detak jantungmu lemah, sampai-sampai perawat bilang kalau kamu meninggal."
"Hah? Seriusan? Kenapa ayah dan ibu nggak pernah cerita?"
"Iya, serius. Kalau nggak percaya, tanya aja ke ibumu. Tapi jangan, nanti dia nangis ingat kejadian itu."
"Terus, gimana Nura bisa hidup lagi?" tanyaku, penasaran.
"Saat itu, semua sudah pasrah. Ibumu minta untuk memelukmu terakhir kali sambil menangis. Dia bilang, 'Insya Allah, Lia ikhlas. Maafin Lia, ya.' Ayah nggak kuat dengar itu. Saat ayah mau mengembalikanmu ke ibumu, tiba-tiba kamu nangis. Perawat langsung mengambilmu kembali."
Aku tertawa kecil, "Lebay, ah. Mana mungkin kayak gitu. Ayah bohong, ya?"
"Beneran, nggak bohong! Kalau nggak percaya, tanya ibumu."
Percakapan kami terpotong saat ponselku berbunyi. Mira, sahabatku, menelepon. Janji kami ke toko buku terpaksa menghentikan cerita ayahku.
"Yaah, tanggung ceritanya, tapi Nura udah janji sama Mira ke toko buku," gumamku, kecewa.
Ayahku tertawa, "Ingat pesan ayah, ya. Jangan bohong, dan jangan ingkar janji. Sudah, cepat siap-siap, nanti Mira kasihan nunggu. Nanti ayah ceritain lagi."
"Janji ya, ayah harus ceritain semua!" Aku mengajaknya untuk ikut, tetapi ayah menolak dengan lembut, mengatakan mulai hari ini dia akan memberiku kebebasan.
Dengan perasaan campur aduk, aku masuk ke rumah dan langsung memeluk ibuku dari belakang. "Bu, Nura sayang Ibu. Maafin Nura ya, belum bisa bahagiain Ibu."
Ibuku terkejut, tapi ia tersenyum hangat dan memelukku kembali.
Hari itu perasaan di dadaku terasa sesak, seolah ada sesuatu yang tidak beres. Tapi aku mencoba mengabaikannya dan segera bersiap-siap untuk pergi menemui Mira.
Saat tiba di tempat yang disepakati, aku melihat Mira tampak murung, dan setelah beberapa percakapan, ia tiba-tiba menangis dan menunjukkan pesan dari kakaknya bahwa ibunya masuk rumah sakit.
Panik, aku segera menelepon ayahku untuk meminta izin pergi ke Pangandaran bersama Mira.
"Assalamualaikum, Yah. Boleh nggak Nura ke Pangandaran? Ibunya Mira masuk rumah sakit."
Ayahku menjawab dengan tenang, "Tunggu di sana, ayah akan ke sana sekarang."
Mira terus menangis dalam pelukanku, sementara aku hanya bisa berharap semuanya akan baik-baik saja.
"Ra, maaf ya, aku bisanya nyusahin doang," ucap Mira dengan wajah sayunya.
"Apaan sih, udah ah jangan ngomong gitu lagi, aku nggak suka. Pokoknya hari ini kita temui ibu kamu. Hmmm... mau bawa apa lagi ya? Itu charger jangan lupa," ucapku sambil menunjuk ke charger handphone yang ada di atas meja.
"Oh iya, lupa. Hmmm... udah kayaknya," jawab Mira.
"Coba cek lagi, takutnya ada yang ketinggalan. Itu regulator gasnya mending dicabut aja, sama ini masukin biar nggak kedinginan. Kamu ih, berantakan banget!" ucapku sambil mengomel.
Mira hanya diam dengan omelanku. Setelah merasa semua sudah aman, kami pun pergi meninggalkan kamar kosan, tak lupa berpamitan pada pemilik kosan.
Sekitar setengah jam kemudian, aku dan Mira sampai di Indomaret untuk menemui ayahku.
"Udah siap?" tanya ayahku.
"Udah, yuk," jawabku singkat.
Kami pun berjalan menuju pinggir jalan, lalu naik angkot menuju terminal dan dilanjutkan dengan naik bus jurusan Pangandaran.
"Eh Mir, kabarin dulu kakak kamu," ucapku pada Mira.
"Oh iya, bentar," jawabnya sambil mengeluarkan handphone.
Aku melirik ke belakang, melihat ayahku duduk dengan santainya.
"Eh Mir, dari sini ke Pangandaran jauh nggak sih?" tanyaku pelan.
"Kamu nggak pernah ke Pangandaran?" ucap Mira balik bertanya.
"Ih, jangan keras-keras," ucapku sambil menutup mulut Mira.
"Kamu beneran nggak pernah ke Pangandaran, ke pantai Pangandaran? Masa sih?" tanya Mira.
"Dari dulu, ayahku nggak pernah ngizinin aku kalau mau ke pantai. Kamu tau sendiri kan, dari dulu aku nggak pernah bisa lepas dari ayahku," jawabku sedikit kesal.
"Iya juga sih... Hmmm, kalau naik bus biasanya 5 sampai 6 jam," jawab Mira.
"Hah? Emangnya jauh ya?" tanyaku kaget.
"Cek aja di Google Maps," ucapnya santai.
"Iya loh, jauh juga ya," jawabku sedikit panik.
"Kamu nggak pernah pergi gitu? Jalan-jalan?" tanya Mira.
"Pernah sih, tapi nggak pernah jauh-jauh dan nggak pernah ke pantai. Ayahku biasanya ngajak ke gunung-gunung, kayak Burangrang, Ciwidey, Puntang, Ciater, Tangkuban Perahu. Yaa... yang begitu-begitu aja," timpalku santai.
"Oh gitu... Biasanya nih ya, kalau ada anak yang dilarang ke pantai atau laut, pasti ortunya ngelmu," ucap Mira pelan.
Reflek, aku langsung menepuk kepalanya. "Astagfirullah! Amit-amit! Ih, kamu ngomongnya ngaco! Maksud kamu ortu aku dukun gitu? Sembarangan!" ucapku kesal.
"Aaawww, sakit tau," ucap Mira sambil mengelus kepalanya.
"Ya kamu ngomongnya kemana-mana," jawabku.
Kami terus mengobrol, tanpa sadar aku jadi kepikiran dengan ucapan Mira. "Apa iya ya? Apa mungkin ayah ibuku belajar ilmu gituan? Kalau iya, buat apa? Apa untungnya? Ih, si Mira bikin aku kepikiran aja..." gumamku dalam hati.
Singkat cerita, tibalah kami di terminal Pangandaran.
"Dari sini naik angkot apa?" tanya ayahku pada Mira.
"Bisa naik yang itu, atau jalan kaki juga bisa, Om. Kalau jalan kaki juga nggak sampai 10 menit kok, tuh rumah sakitnya udah kelihatan," ucap Mira sambil menunjuk arah.
"Yaudah yah, mending jalan aja. Lagian pantat Nura pegel duduk terus," ucapku cuek.
Ayahku hanya tertawa mendengar jawabanku.
Kami pun berjalan kaki menuju rumah sakit. Tak jauh dari rumah sakit, ayahku berkata, "Sayang, ajak Mira beli roti atau cemilan. Ini uangnya..."
"Ayah mau apa? Kopi?" tanyaku.
"Air putih aja," jawabnya.
"Yaudah, ayah tunggu di sini, jangan kemana-mana," ucapku.
"Iya, itu rumah sakitnya juga udah kelihatan. Ayah tunggu di sana," jawabnya.
Setelah belanja, aku dan Mira keluar dan melihat ayahku tidak ada di tempat.
"Ih kebiasaan, dibilangin suruh tunggu!" ucapku kesal.
Mira pun kemudian berkata, "Coba kesana yuk, tadi kan bilangnya nunggu di depan rumah sakit."
"Yaudah yuk," jawabku singkat.
Wajah Mira terlihat sedikit panik, meski berusaha tenang, aku yakin Mira ingin cepat-cepat menemui ibunya.
Benar saja, kami melihat ayahku sedang berdiri di depan rumah sakit dan berbincang dengan seorang pria. Karena penasaran, kami pun menghampirinya.
Saat aku dan Mira menyebrang, tiba-tiba Mira berlari dan langsung memeluk pria tersebut yang ternyata adalah bapaknya.
"Pakkk... Huhuhu," Mira menangis sambil memeluk bapaknya.
"Kamu ke sini sama siapa? Kenapa nggak minta jemput si Aa?" tanya bapaknya.
"Mira bareng ini, Pak," jawab Mira sambil menunjuk ke arahku dan ayahku.
"Ini bapak kamu?" tanya ayahku kaget.
"Iya, Om, ini bapak aku," jawab Mira.
"Ya Allah, tahu gitu kamu nggak usah ngekos. Udah aja tinggal bareng, sekalian nemenin Nura," ucap ayahku.
"Yah, emangnya ayah kenal?" tanyaku memotong pembicaraan.
"Ini mah teman lama ayah. Eh, salim dulu," ucap ayahku.
Aku pun salim sambil memperkenalkan diri. "Nura, Om."
"Siapa? Yura?" tanya ayah Mira.
"Nura, Om, pakai N. Lengkapnya Ridha Nurazahra. Mau panggil Ridha juga boleh," jawabku.
Mendengar ucapanku, tiba-tiba ayahnya Mira terdiam. Dia menatap ayahku, seperti ada sesuatu yang tidak dikatakan. Tatapan mereka seperti menyimpan rahasia.
Mira pun membuyarkan suasana dengan berkata, "Ih, malah ngobrol. Cepetan anterin Mira dulu."
Mira dan ayahnya langsung pergi meninggalkan kami.
"Ini yah minumannya," ucapku sambil menyodorkan sebotol air.
Aku dan ayahku pun berjalan mengikuti mereka.
"Kita tunggu di sini aja, gpp kan? Soalnya bukan jam besuk jadi nggak boleh masuk," ucap ayahku.
"Ayah, kok pas Nura kasih tahu nama lengkap Nura, ayahnya Mira langsung diem sih? Terus tatapannya kayak melototin ayah. Kenapa ya?" tanyaku penasaran.
"Ah, masa sih? Nggak ada apa-apa kok. Kamu tadi beli apa aja?" jawab ayahku mengalihkan pembicaraan.
"Ih, main rahasia-rahasiaan," ucapku kesal.
"Udah ah, ayah lapar. Kamu juga lapar kan? Mending makan dulu," ucap ayahku sambil membuka sebungkus roti.
"Ayah, mumpung di sini, ajak Nura ke pantai dong. Nura belum pernah loh main ke pantai seumur hidup."
Dengan wajah manja, aku berkata, "Coba ayah inget-inget, pernah nggak ajak Nura ke pantai? Nggak pernah kan? Yaah, pleaseee..."
Dengan polosnya ayahku menjawab, "Ngapain ke pantai, di pantai itu nggak ada apa-apa. Cuma pasir, terus depannya laut. Udah, gitu doang. Kalau mau lihat ikan, kamu harus nyelam dulu."
Aku yang nggak mau kalah pun terus memaksa, "Gpp atu yah, hitung-hitung jalan-jalan."
"Yaudah, abisin ini dulu yah, sekalian nunggu Mira. Nggak enak kan kalau nggak pamit dulu," jawab ayahku santai.
"Hah? Beneran yah? Ih, makasih ya yah!" jawabku kegirangan sambil memeluknya.
"Iya," jawab ayahku sambil membelai rambutku.
Beberapa saat kemudian, Mira dan ayahnya keluar dari IGD dan berjalan ke arah kami.
"Gimana Mir?" tanyaku.
"Ya gitu, masih lemes. Tapi gpp, yang penting aku udah di sini," jawab Mira berusaha tegar.
Ayahku lalu berdiri dan mengajak ayahnya Mira menjauh sedikit. Kulihat mereka seperti mengobrol serius, entah apa yang mereka bicarakan, aku pun penasaran.
Terlihat ayahku mengeluarkan handphone, mungkin sedang menelepon seseorang. Tak lama kemudian, ayahku kembali ke arahku.
"Yuk," ajaknya.
"Sekarang? Kenapa nggak besok pagi aja?" tanyaku.
Ayah Mira berkata, "Gpp, masih ada waktu. Besok juga masih bisa."
Dengan perasaan sedikit lega, aku pun tersenyum.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!