NovelToon NovelToon

Jejak Bayang Masa Lalu

Pindah ke Kota Baru

BAB 01 : PINDAH KE KOTA BARU

Langit sore terlihat mendung saat Anantari melangkah keluar dari mobil, memandangi rumah baru keluarganya. Rumah itu terletak di ujung sebuah jalan kecil yang sepi, jauh dari pusat kota yang ramai. Bangunan tua dua lantai ini jelas menunjukkan usianya, dengan cat dinding yang mengelupas dan tanaman liar yang menjalar di halaman depan. Meski terasa asing, ada sesuatu tentang rumah ini yang membuat Anantari merasa tertarik, meskipun dia tidak bisa menjelaskan alasannya.

“Bagaimana menurutmu, Anantari?” tanya ibunya, sambil membetulkan posisi topi di kepalanya. “Mungkin terlihat sedikit usang, tapi kita bisa memperbaikinya.”

Anantari mengangguk pelan, meski di dalam hati dia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa mereka harus pindah ke kota kecil ini. Sebagai seorang remaja yang terbiasa dengan hiruk-pikuk kota besar, tinggal di tempat terpencil seperti ini bukanlah sesuatu yang diinginkannya. Namun, ayahnya mendapatkan pekerjaan baru di sini, dan keluarganya tidak punya pilihan lain selain mengikuti.

“Yah, kurasa ini tidak seburuk yang aku bayangkan,” gumamnya lebih kepada dirinya sendiri. Dia mengikuti keluarganya masuk ke dalam rumah, melewati pintu kayu besar yang mengeluarkan suara derit saat dibuka.

Di dalam, suasana rumah terasa lebih sunyi daripada di luar. Lantai kayu tua yang mereka pijak berderak setiap kali ada langkah kaki yang menyentuhnya, dan udara di dalam ruangan terasa lembab, seolah rumah ini sudah lama ditinggalkan. Mebel-mebel tua yang berdebu masih tertata di tempatnya, seperti menunggu seseorang untuk menghidupkan kembali kenangan masa lalu. Anantari berusaha mencari kenyamanan di tengah ketidakpastian ini, berharap suasana rumah bisa membangkitkan semangatnya.

Setelah beberapa saat membantu keluarganya memindahkan barang-barang ke dalam rumah, Anantari merasa lelah dan memutuskan untuk beristirahat sejenak. Dia penasaran dengan setiap sudut rumah itu, terutama loteng tua yang selalu memancarkan kesan misterius. Tanpa berpikir panjang, dia menaiki tangga kayu yang berderit menuju lantai atas.

Sesampainya di loteng, Anantari membuka pintu yang sedikit macet, dan udara pengap langsung menyambutnya. Loteng itu dipenuhi debu dan barang-barang yang tampaknya sudah ditinggalkan selama bertahun-tahun. Di sudut ruangan, mata Anantari tertumbuk pada sebuah peti kayu tua yang tampak berbeda dari yang lain. Peti itu terkunci rapat, namun setelah mencari-cari di sekitar, dia menemukan kunci kecil yang tampaknya cocok dengan gemboknya.

Dengan hati-hati, dia membuka peti itu, dan di dalamnya, tergeletak sebuah buku harian tua. Sampulnya sudah pudar dan kertasnya menguning dimakan usia. Anantari merasa jantungnya berdetak lebih cepat saat dia mengangkat buku itu dan mulai membuka halaman pertama. Harapannya, mungkin buku ini bisa memberinya petunjuk tentang sejarah rumah ini atau bahkan kota yang baru ia tinggali.

Di halaman pertama, tidak ada nama pemilik yang tertulis. Hanya ada beberapa kalimat yang tertulis dengan tinta yang hampir memudar: *"Kota ini menyimpan banyak rahasia. Banyak yang telah hilang, dan yang tersisa hanya bayang-bayang dari apa yang pernah ada."*

Anantari merasakan bulu kuduknya meremang. Kalimat-kalimat itu terasa aneh, seperti peringatan yang ditulis oleh seseorang yang mengetahui sesuatu yang lebih dari sekadar hal biasa. Rasa ingin tahunya pun bangkit. Dia membalik halaman demi halaman, mencoba memahami lebih banyak tentang isi buku ini, namun kebanyakan halaman dipenuhi coretan-coretan samar dan kata-kata yang sulit dipahami.

Namun, ada satu bagian yang menarik perhatiannya. Sebuah simbol aneh yang digambar dengan hati-hati di sudut salah satu halaman. Simbol itu berbentuk seperti lingkaran yang dikelilingi oleh segitiga-segitiga kecil, dan di tengahnya terdapat sebuah tanda yang menyerupai mata. Anantari menatap simbol itu lama, merasa ada sesuatu yang familiar tentangnya, meskipun dia tidak bisa mengingat di mana pernah melihatnya.

Kejadian ini membuatnya semakin penasaran. Siapa yang menulis buku ini? Apa maksud dari kata-kata yang samar dan simbol misterius ini? Anantari tahu bahwa dia baru saja memulai petualangan yang tidak direncanakannya, tetapi rasa ingin tahunya sudah terlalu dalam untuk diabaikan begitu saja.

Tiba-tiba, suara derit pintu yang terbuka mengalihkan perhatiannya. “Anantari, kamu di atas?” Suara ibunya terdengar dari bawah.

“Ya, aku di sini!” jawab Anantari cepat, menutup buku harian itu dan memasukkannya kembali ke dalam peti. Meski rasa penasarannya belum terjawab, dia tahu bahwa untuk saat ini, ada hal lain yang perlu dikerjakannya. Dia akan kembali lagi ke sini, mencari tahu lebih banyak tentang buku itu dan misteri yang mungkin disembunyikannya. Namun, untuk sekarang, dia harus menyimpan rasa ingin tahunya.

Sambil menuruni tangga, Anantari tidak bisa berhenti memikirkan simbol itu dan apa yang mungkin disembunyikan oleh buku harian tua tersebut. Rumah ini, kota ini, sepertinya menyimpan sesuatu yang jauh lebih besar dari apa yang tampak di permukaan. Dan dia, entah bagaimana, sudah menjadi bagian dari misteri itu.

Keesokan harinya, Anantari berusaha beradaptasi dengan kehidupan barunya. Sekolah barunya terasa menakutkan dan asing. Ketika dia memasuki kelas, matanya melirik sekeliling, mengamati wajah-wajah yang tidak dikenalnya. Beberapa murid sedang berbicara riang, sementara yang lain tampak tenggelam dalam dunia mereka sendiri. Anantari merasa seperti ikan kecil di lautan yang luas.

Jam pelajaran berlangsung, tetapi pikirannya tidak sepenuhnya berada di sana. Dia terus memikirkan buku harian dan simbol aneh yang dilihatnya. Ketika pelajaran berakhir dan bel berbunyi, Anantari memutuskan untuk pergi ke taman belakang sekolah yang sepi, tempat yang tenang untuk merenung.

Saat duduk di bangku, Anantari teringat kembali pada percakapannya dengan Naura, gadis yang baru ia kenal di sekolah. Naura mengatakan bahwa ada banyak hal menarik di kota ini, termasuk gedung tua yang sering dibicarakan orang-orang. Anantari merasa dorongan untuk mencari tahu lebih banyak tentang gedung itu, dan tentang Naura yang tiba-tiba menghilang. Kenapa gadis itu tidak muncul di sekolah lagi? Apakah ada hubungannya dengan buku harian yang ditemukannya?

Di tengah pikiran yang bergejolak, Anantari teringat akan tawaran Naura untuk menjelajahi kota. Mungkin, jika dia bisa menemukan Naura, dia juga bisa mendapatkan petunjuk lebih lanjut tentang gedung tua dan semua misteri yang mengelilinginya. Rasa penasarannya menguatkan tekadnya.

Dengan semangat baru, Anantari memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang Naura. Meski dia baru di kota ini, dia bertekad untuk tidak membiarkan ketidakpastian menghantuinya. Dia mulai merencanakan cara untuk mencari Naura, dengan harapan bisa menyelami misteri yang tersembunyi di balik kehilangan gadis itu.

Ketika matahari terbenam, Anantari kembali ke rumah, menyimpan semua yang telah ia pikirkan di dalam benaknya. Dia tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai, dan banyak hal yang harus diungkap. Buku harian tua, gedung angker, dan teman yang hilang—semua ini seolah menyatu menjadi satu benang merah yang harus ditelusuri. Anantari merasa, di kota ini, setiap langkah yang diambilnya akan membawa ke petualangan yang tak terduga.

^^^TBC~^^^

Gadis yang Hilang

Bab 02 : Gadis yang Hilang

Sudah tiga hari sejak pertemuannya dengan Naura Agatha di taman belakang sekolah. Gadis itu dengan senyuman ramahnya membuat Anantari merasa lebih diterima di kota ini. Namun, sejak hari itu, Naura tak pernah terlihat lagi. Tidak di sekolah, tidak di sekitar taman, bahkan ketika Anantari berusaha mencarinya di tempat-tempat yang mereka bicarakan, Naura seolah menghilang begitu saja.

Di kelas, tidak ada yang tampak mempermasalahkan ketidakhadiran Naura. Anantari sempat mencoba bertanya pada beberapa murid lain, tapi jawabannya selalu sama: “Naura mungkin sedang sakit” atau “Mungkin ada urusan keluarga.” Namun, ada sesuatu yang tidak masuk akal bagi Anantari. Bahkan jika Naura sedang sakit, setidaknya dia akan mengirim pesan atau memberi tahu seseorang, bukan? Apalagi, selama percakapan terakhir mereka, Naura terlihat sangat antusias tentang eksplorasi gedung tua itu. Rasa gelisah mulai merasuki pikiran Anantari.

Hari itu, ketika jam sekolah berakhir, Anantari memutuskan untuk tidak pulang langsung ke rumah. Ada satu hal yang ingin dia selesaikan—menemukan Naura atau setidaknya mendapatkan petunjuk tentang ke mana gadis itu pergi. Dia berjalan menuju taman belakang sekolah, berharap menemukan sesuatu yang bisa memberinya jawaban.

Saat Anantari tiba di taman, suasana terasa lebih sunyi dari biasanya. Daun-daun berguguran, dan angin yang dingin bertiup lembut di antara pepohonan, seolah membawa bisikan-bisikan yang tak terucapkan. Anantari melangkah perlahan ke tempat di mana dia terakhir kali berbicara dengan Naura. Bangku tua tempat mereka duduk masih ada di sana, tertutup daun kering. Tapi tidak ada tanda-tanda dari Naura. Gadis itu benar-benar menghilang tanpa jejak.

Saat menelusuri taman lebih jauh, mata Anantari tertuju pada sebuah kertas yang tergeletak di tanah, setengah terkubur oleh daun-daun. Dia memungutnya dan membersihkan debu yang menempel. Kertas itu adalah sobekan dari sebuah halaman buku harian, dengan tinta yang sedikit luntur karena kelembapan. Mata Anantari melebar ketika melihat tulisan di atasnya:

Gedung tua itu... ada yang salah di sana. Aku tahu aku seharusnya tidak pergi, tapi aku harus menemukan jawabannya.

Kata-kata itu terasa familiar, seolah ia pernah membacanya sebelumnya. Tiba-tiba, Anantari teringat akan buku harian tua yang ditemukannya di loteng rumah beberapa hari lalu. Buku itu juga dipenuhi dengan pesan-pesan misterius dan simbol aneh. Apakah ini ada kaitannya dengan hilangnya Naura? Apakah gadis itu memutuskan untuk pergi ke gedung tua yang diceritakannya sebelum menghilang?

Rasa penasaran Anantari semakin memuncak. Dia tahu satu-satunya cara untuk mendapatkan jawaban adalah dengan pergi ke gedung tua yang dibicarakan oleh Naura. Tapi dia tidak bisa melakukannya sendiri. Gedung tua itu terletak di pinggiran kota, jauh dari pusat keramaian, dan berdasarkan cerita yang ia dengar, tempat itu tidak aman. Apalagi dengan hilangnya Naura, tempat itu semakin terasa penuh teka-teki yang mungkin berbahaya.

Anantari memutuskan untuk mencari bantuan. Ada satu orang yang bisa dia percaya di sekolah baru ini—**Laura Gevari**, teman pertamanya yang lebih berani dan suka tantangan. Sejak pertemuan pertama mereka, Laura sudah menunjukkan minat besar terhadap hal-hal yang bersifat misterius. Jika ada seseorang yang bisa membantunya dalam situasi ini, itu adalah Laura.

Keesokan harinya, Anantari langsung mendekati Laura di waktu istirahat. Mereka duduk di kantin, di meja yang cukup sepi dari keramaian. Anantari tidak membuang waktu untuk menjelaskan situasinya.

"Naura menghilang," kata Anantari tanpa basa-basi. Laura mengangkat alisnya, sedikit terkejut.

"Apa maksudmu menghilang?" tanya Laura sambil menyesap minuman di tangannya.

“Aku sudah tiga hari tidak melihatnya di sekolah. Aku mencoba menghubunginya, tapi tidak ada jawaban. Aku bahkan mencoba mencari di taman tempat kami bertemu terakhir kali, tapi dia tidak ada di sana. Dan... aku menemukan ini.” Anantari menunjukkan sobekan kertas yang ia temukan kemarin. Laura mengambil kertas itu, memeriksanya dengan cermat, lalu menghela napas.

“Jadi, kamu pikir dia pergi ke gedung tua itu, kan?” tanya Laura, suaranya terdengar lebih serius dari biasanya.

Anantari mengangguk. “Aku tidak tahu pasti. Tapi dia sempat bilang ingin ke sana, dan sekarang dia menghilang. Aku rasa ada hubungannya dengan buku harian yang aku temukan di rumah.”

“Buku harian?” tanya Laura, kini terlihat semakin tertarik. “Apa yang ada di dalam buku itu?”

Anantari menceritakan tentang buku harian tua yang ia temukan di loteng rumahnya—tentang tulisan-tulisan misterius, simbol aneh, dan bagaimana hal itu sepertinya memiliki kaitan dengan hilangnya Naura. Laura mendengarkan dengan penuh perhatian, wajahnya berubah serius saat mendengar semua detail yang diberikan Anantari.

“Baiklah,” kata Laura akhirnya. “Kalau Naura benar-benar pergi ke gedung tua itu, kita harus mencarinya. Aku dengar tempat itu memang terkenal dengan cerita-cerita aneh, tapi kalau dia benar ada di sana dan butuh bantuan, kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi.”

Anantari merasa sedikit lega mendengar dukungan dari Laura. Meski dia tahu ini mungkin berbahaya, dia juga merasa tidak sendirian dalam petualangan ini. Bersama-sama, mereka merencanakan perjalanan mereka ke gedung tua itu pada akhir pekan, saat mereka punya waktu lebih banyak.

**Sabtu Pagi**

Hari yang dinanti akhirnya tiba. Langit di atas kota tampak abu-abu, seolah-olah menambah kesan suram yang menyelimuti hati Anantari. Dia dan Laura berdiri di depan pagar besi berkarat yang mengelilingi gedung tua itu. Bangunan tersebut berdiri menjulang, meskipun sebagian besar atapnya telah runtuh dan dinding-dindingnya dipenuhi tanaman liar yang merambat. Pintu kayunya setengah terbuka, memperlihatkan kegelapan di dalamnya.

“Kamu yakin tentang ini?” tanya Anantari, suaranya sedikit gemetar.

Laura menatap gedung itu dengan penuh tekad. “Kalau Naura ada di sana, kita harus menemukannya.”

Dengan langkah hati-hati, mereka berdua melewati pagar dan memasuki halaman gedung. Suara angin yang bertiup di antara celah-celah dinding membuat suasana semakin mencekam. Di dalam gedung, aroma lembab dan debu memenuhi udara. Sinar matahari yang lemah hanya bisa menembus melalui beberapa celah di atap yang runtuh, memberikan cahaya samar di lantai yang dipenuhi serpihan kayu dan kaca pecah.

Saat mereka berjalan lebih dalam ke dalam gedung, Anantari merasakan sesuatu yang aneh. Ada perasaan yang tidak nyaman, seperti ada yang mengawasi mereka. Dia menoleh ke arah Laura, yang juga tampak gelisah meskipun berusaha tetap tenang.

“Mungkin kita harus mencari di lantai atas,” kata Laura pelan.

Mereka menaiki tangga kayu yang tampak rapuh. Setiap langkah yang mereka ambil menimbulkan suara derit yang semakin mempertegas suasana horor tempat itu. Saat mencapai lantai dua, mereka menemukan sebuah ruangan besar yang tampaknya dulu adalah ruang pertemuan. Di sana, di tengah ruangan, ada sesuatu yang langsung menarik perhatian mereka—sesosok bayangan di sudut ruangan.

Anantari merasakan jantungnya berdebar kencang. "Naura?" panggilnya dengan suara bergetar.

Bayangan itu tidak bergerak. Tetapi saat mereka melangkah lebih dekat, sosok itu perlahan-lahan muncul dari kegelapan.

^^^TBC~^^^

Bayangan di Balik Kegelapan

BAB 03 : BAYANGAN DI BALIK KEGELAPAN.

Sosok itu perlahan keluar dari kegelapan, membuat Anantari dan Laura menahan napas. Cahaya samar dari celah-celah di atap memberikan bayangan yang memanjang di atas lantai, menciptakan suasana yang semakin mencekam. Anantari bisa merasakan jantungnya berdebar semakin cepat. Siapa pun yang ada di sana, sosoknya terlihat sangat tidak biasa.

Ketika sosok itu sepenuhnya muncul dari bayang-bayang, Anantari dan Laura menyadari bahwa itu bukan Naura. Seorang pria muda dengan wajah yang keras, tatapan matanya tajam seolah bisa menembus jiwa mereka. Pakaian yang dia kenakan tampak kusut dan kotor, seolah sudah lama tidak disentuh air. Dia menatap mereka tanpa ekspresi, membuat suasana semakin tegang.

“Siapa kalian?” suara pria itu terdengar dalam, sedikit serak.

Anantari mundur sedikit, tetapi Laura, dengan keberanian yang sering membuat Anantari heran, maju selangkah. “Kami sedang mencari teman kami,” kata Laura, suaranya tegas. “Namanya Naura. Kamu melihatnya di sini?”

Pria itu tidak segera menjawab. Dia memperhatikan mereka berdua, matanya menyipit seolah sedang mempertimbangkan sesuatu. Setelah beberapa detik yang terasa seperti seabad, dia akhirnya berbicara. “Tidak ada yang seharusnya berada di sini. Tempat ini tidak aman.”

“Jadi kamu tidak melihat Naura?” tanya Anantari, kali ini keberaniannya muncul karena rasa putus asa untuk menemukan jawaban.

Pria itu menggeleng. “Aku tidak tahu siapa Naura. Tapi jika dia datang ke sini, dia dalam bahaya.”

“Apa maksudmu ‘bahaya’?” tanya Laura dengan nada menantang. “Gedung tua ini memang seram, tapi itu bukan alasan untuk membuat cerita horor.”

Pria itu menarik napas panjang, tampak frustasi. “Kalian tidak paham. Ada sesuatu di sini, sesuatu yang seharusnya tidak pernah kalian dekati.” Dia melirik ke sekeliling, seolah memastikan tidak ada yang mendengarnya. “Aku sudah berada di tempat ini lebih lama dari yang kalian bayangkan. Dan aku bisa katakan, kalian harus pergi sebelum terlambat.”

Anantari bisa merasakan bulu kuduknya merinding. Ada sesuatu tentang pria ini yang membuat segalanya terasa lebih nyata. Sebelumnya, semua ini hanya terasa seperti petualangan berani, tapi sekarang, dengan setiap kata yang dia ucapkan, rasa takut yang sebelumnya samar mulai berubah menjadi nyata.

“Aku tidak bisa pergi,” kata Anantari pelan. “Temanku mungkin ada di sini. Dia menghilang, dan aku harus menemukannya.”

Pria itu menatap Anantari dalam-dalam, seolah mencoba memahami tekad di balik kata-katanya. Setelah hening sejenak, dia berkata, “Kalau begitu aku tidak bisa menghentikan kalian. Tapi kalian harus tahu, tempat ini tidak seperti yang kalian kira. Ada banyak hal yang tersembunyi, banyak rahasia yang tidak seharusnya diungkap.”

Laura mendekati Anantari, menyentuh lengannya. “Kita harus hati-hati, tapi kita tidak bisa mundur sekarang. Jika Naura benar-benar ada di sini, kita harus terus mencari.”

Anantari mengangguk. Mereka berdua memutuskan untuk melanjutkan pencarian, meskipun peringatan dari pria misterius itu terus terngiang di pikiran mereka. Pria itu tidak menghentikan mereka, tetapi dia memperingatkan sekali lagi sebelum mereka melangkah lebih jauh.

“Ada ruangan di lantai tiga, di ujung koridor,” kata pria itu perlahan. “Jangan masuk ke sana. Itu bukan tempat yang aman.”

Laura dan Anantari bertukar pandang. Sejenak mereka ragu, tetapi tekad mereka untuk menemukan Naura lebih kuat. Mereka mengucapkan terima kasih singkat kepada pria itu sebelum melanjutkan perjalanan mereka, menaiki tangga yang berderit menuju lantai tiga.

Lantai tiga jauh lebih gelap dan sunyi dibandingkan lantai sebelumnya. Lorong yang sempit dan panjang seolah mengundang rasa takut yang lebih dalam. Suara langkah kaki mereka terdengar sangat jelas di tengah keheningan itu, seperti sebuah peringatan yang terus menerus mengingatkan mereka untuk berhenti.

Ketika mereka mencapai ujung lorong, Laura berhenti. “Itu ruangan yang dia bilang, kan?” Laura menunjuk sebuah pintu besar di ujung, hampir tertutup seluruhnya oleh kegelapan.

Anantari hanya bisa mengangguk. Jantungnya berdebar semakin cepat. Ada sesuatu tentang pintu itu yang membuatnya merasakan ketakutan yang tidak bisa dijelaskan.

Laura mendekat, tetapi tidak berusaha membuka pintu. “Apa yang harus kita lakukan? Kita tidak tahu apakah Naura ada di sini atau tidak.”

Anantari ragu sejenak, mencoba mendengarkan intuisi yang semakin tidak jelas. Mereka bisa pergi sekarang, kembali ke rumah dengan harapan bahwa Naura akan ditemukan di tempat lain, jauh dari tempat mengerikan ini. Tapi di sisi lain, mereka sudah sejauh ini, dan mungkin Naura ada di balik pintu itu, membutuhkan bantuan.

Akhirnya, Anantari menarik napas dalam. “Kita harus buka.”

Laura mengangguk. Dengan tangan yang sedikit gemetar, dia meraih gagang pintu kayu tua itu dan perlahan memutarnya. Pintu itu berderit pelan saat terbuka, memperlihatkan ruangan gelap di baliknya. Cahaya dari lorong hampir tidak bisa menembus kegelapan di dalam, membuat mereka harus maju lebih dalam untuk melihat lebih jelas.

Ketika mereka masuk, mereka langsung merasakan atmosfer yang aneh. Udara terasa lebih dingin, dan ada aroma yang aneh, seperti campuran debu dan sesuatu yang membusuk. Di sudut ruangan, mereka melihat sesuatu yang membuat mereka terdiam—sebuah cermin besar dengan bingkai kayu yang sudah lapuk.

Laura mendekat ke cermin itu, pandangannya terpaku pada pantulan samar dirinya. “Apa yang terjadi di sini?” gumamnya.

Namun, sebelum Anantari bisa menjawab, sesuatu terjadi. Pantulan di cermin mulai berubah. Sosok yang ada di dalam cermin bukan lagi Laura. Sebaliknya, sosok seorang gadis dengan rambut panjang dan wajah yang tampak familiar muncul di balik kaca itu—**Naura Agatha**.

“Naura!” seru Anantari, langsung mendekat ke cermin.

Gadis di dalam cermin menatap mereka dengan mata penuh ketakutan, bibirnya bergerak seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak ada suara yang keluar. Naura terlihat lelah, seolah dia sudah terjebak di sana selama berhari-hari.

“Kita harus membebaskannya!” teriak Anantari panik.

Laura mencoba menyentuh cermin itu, tetapi saat tangannya menyentuh permukaan kaca, ada getaran yang kuat. Cermin itu tiba-tiba memancarkan cahaya terang, dan sebelum mereka sempat bereaksi, Anantari dan Laura tersedot ke dalam cahaya tersebut, seolah tertarik ke dalam dunia yang berbeda.

Ketika mereka membuka mata, mereka tidak lagi berada di ruangan gelap itu. Mereka berdiri di sebuah tempat asing—hutan lebat dengan pepohonan tinggi menjulang. Suara angin yang menggetarkan daun-daun terdengar di sekitar mereka. Di kejauhan, sebuah sosok terlihat berdiri di antara pepohonan, sosok yang mereka kenali sebagai **Naura**.

“Di mana kita?” tanya Laura, suaranya penuh kebingungan.

Anantari hanya bisa menatap Naura di kejauhan, yang berdiri dengan tatapan hampa. Mereka telah melangkah ke dalam misteri yang lebih dalam dari yang mereka kira, dan sekarang, jalan keluar terasa semakin jauh.

^^^TBC~^^^

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!