NovelToon NovelToon

Cinderella Abad 21

Bukan Cinderella Biasa

Braakkk

Lisa menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya dengan kuat. Dia kemudian bangun dan langsung menatap datar ke arah pintu yang baru saja dibuka dengan cara kasar. "Apa gurumu tidak pernah mengajarkan cara membuka pintu dengan benar? Tidak sopan. Ini kamar orang, bukan kamar binatang."

"Diam kau pemalas!" sentak Hanum. "Tidak tahu malu. Tahu tidak jam berapa sekarang?"

"Mana aku tahu. Kan aku baru saja bangun setelah kau membuat kekacauan."

"Kau!"

Hanum meradang. Semakin hari Lisa semakin pandai melawan saja. Padahal gadis ini sering menerima hukuman dari ibunya, tapi seolah tak pernah bisa membuatnya jera.

(Tidak bisa, kali ini aku harus sedikit bersabar. Kalau tidak, Lisa pasti tidak akan mau membuatkan sarapan untukku. Lebih baik aku bicara baik-baik dulu padanya. Baru nanti aku akan melaporkannya pada Ibu. Ya, begini saja)

"Cepat bangun dan buatkan sarapan untukku. Ibu sedang keluar," ucap Hanum sambil menatap ke arah lain. Rasanya begitu memalukan memohon seperti ini.

"Kaukan punya tangan, kenapa tidak membuat sarapan sendiri saja?" ejek Lisa sembari merentangkan tangan. Dia kemudian menguap. "Hoamms, ngantuk sekali. Harusnya sekarang aku masih tidur. Hmm,"

"Yakkk Lisa! Kau tuli ya? Cepat bangun dan buatkan sarapan untukku. Nanti aku telat!"

"Iya iya aku bangun."

Setengah malas Lisa terpaksa beranjak dari tempat tidur. Emm, sebenarnya bukan tempat tidur seperti pada umumnya. Melainkan ... tikar biasa yang disusun di atas tumpukan kardus. Menyedihkan bukan? Memang, tapi itu tak membuat Lisa merasa rendah dan lemah. Sekejam apapun siksaan dan hukuman yang dilakukan oleh keluarga ibu tirinya, tak sekali pun dia mengeluh. Lisa memiliki keyakinan kalau suatu saat akan ada kebahagiaan yang datang menghampiri. Dan dalam penantiannya, dia selalu berusaha tegar dan kuat menghadapi badai yang datang menerjang.

"Padahal usianya sudah dua puluhan lebih, tapi membuat sarapan saja masih mengandalkan orang lain. Apa jadinya kalau nanti Hanum menikah dan memiliki mertua yang kejam? Aku yakin dia pasti akan cepat menjadi janda. Xixixi," ucap Lisa tertawa cekikikan membayangkan saudaranya menjadi janda. Dia melakukan hal itu sambil memotong sayur yang akan dimasak.

Terhitung sudah tujuh tahun lebih Lisa menjalani kehidupan yang sangat menyedihkan. Diperlakukan tidak adil, dibully, bahkan kerap menerima perlakuan tak senonoh dari orang-orang yang harusnya menjadi keluarga. Penderitaan ini bermula ketika ayahnya tak sengaja menjadi korban tabrak lari sepulang dari membelikan hadiah untuknya. Sejak saat itu, Lisa selalu dituduh sebagai pembunuh sang ayah. Dan dia juga dituntut untuk membersihkan seisi rumah sebagai bentuk penebus kesalahan yang bahkan dia sendiri tak menginginkan.

"Hmm, kira-kira kapan ya aku bisa pergi dari rumah ini? Dunia luar pasti seru. Aku sering melihatnya di televisi." Lisa bermonolog dengan dirinya sendiri. "Mau kabur mandiri, tapi tidak ada tempat tujuan. Mau tetap bertahan di sini, tapi aku sudah mulai bosan. Hidupku berputar hanya untuk menjadi pembantu dan pelayan mereka yang kejam itu. Menyebalkan!"

"Siapa yang kau sebut menyebalkan?"

Lisa berjengit kaget saat mendengar teriakan Hanum dari arah belakang. Enggan menoleh, dia memilih fokus pada masakan. Bukan takut, sedang malas berdebat saja. Kakak tirinya itu tak sepadan jika dijadikan lawan. Tidak seperti ibu tirinya yang memiliki power untuk melakukan tindak kekejaman.

"Hei kau anak ingusan. Aku peringatkan jangan coba-coba untuk kabur dari rumah ini ya. Karena apa? Karena pembunuh sepertimu tidak akan diterima di dunia luar. Harusnya kau beruntung karena kami masih berkenan menampungmu, bukan malah berandai-andai ingin melarikan diri. Dasar t*lol!" maki Hanum sambil menatap tajam Lisa yang berdiri membelakangi.

"Aku bukan pembunuh!"

"Ya, kau. Kalau bukan karenamu, sekarang Ayah pasti masih hidup dan Ibu tidak akan menderita sedalam ini."

"Menderitanya apanya. Bukankah selama ini Ibu selalu hidup bahagia dengan menghabiskan harta peninggalan Ayah? Jangan mengada-ada. Bulu di tubuhku sampai bergetar karena merasa lucu mendengar ucapanmu yang tak masuk akal itu!" sanggah Lisa membela diri. Dia bicara tanpa ada niat menatap Hanum.

"Hati-hati dengan mulutmu, Lisa. Kalau bukan karena belas kasihan dari kami, kau pasti sudah mendekam di balik jeruji besi. Hidup kita jadi seperti ini gara-gara kau!"

Sebuah seruan dari arah depan membuat pertengkaran Hanum dan Lisa terhenti. Arina yang baru saja kembali dari luar, dibuat meradang oleh ucapan anak tirinya. Segera saja dia melontarkan kalimat yang selalu berhasil membuat gadis bengal tersebut menjadi diam.

"Andai malam itu kau tak meminta Ayahmu pergi keluar, dia pasti masih ada bersama kita sekarang. Usiamu memang baru sepuluh tahun saat itu, tapi kau tahu betul bagaimana cara menghancurkan kebahagiaan sebuah keluarga. Jadi tolong jangan memutar balikkan fakta seolah kami menikmati kehilangan ini. Itu sangat kejam!" ucap Arina mendramatisir keadaan. Dalam hati dia tertawa, pasti Lisa tak bisa berkutik lagi setelah ini.

"Halah, alasan itu itu saja yang selalu Ibu katakan. Kalian pikir selama ini aku buta dan idiot? Tidak. Aku tahu dengan pasti apa yang kalian perbuat terhadap semua harta peninggalan Ayah!"

Lisa mencicipi sayur yang telah selesai dimasak kemudian mengambil mangkuk. Dengan santai dia menuangkan sayur tersebut dan membawanya ke meja makan.

"Selalu menjadikan aku sebagai kambing hitam dibalik kematian Ayah, kalian pikir itu logis? Beliau adalah orangtua dari seorang anak, wajar jika ingin membelikan sesuatu. Satu yang pasti. Hubungan antara anak dan orangtua, tidak akan pernah bisa menghalangi takdir Tuhan. Jika kematian telah ditentukan, sesuci apapun sebuah hubungan, itu tidak akan bisa melawan kehendaknya. Camkan ini baik-baik!"

Arina dan Hanum mematung di tempat setelah mendapat petuah dari Lisa. Dan mereka hanya diam saja saat gadis tersebut berjalan melewati mereka dan langsung masuk ke dalam kamar.

"Bu, tidakkah Ibu merasa perlu untuk memberinya sedikit pelajaran?" tanya Hanum. "Lisa sudah sangat keterlaluan. Dia semakin menjadi -jadi melawan kita berdua. Ibu harus segera bertindak!"

"Sabar dulu, Num. Lisa yang ini tidak sama dengan Cinderella yang ada di dalam dongeng. Dia bisa melawan dan tahan banting. Perlu alasan yang tepat untuk bisa menghukumnya," jawab Arina sambil menekan tulang hidung. Cukup stress menghadapi pemberontakan anak tirinya yang bengal itu.

"Tapi aku sudah tidak tahan. Dia bahkan berani mengolok-olokku tadi."

"Kalau kau tidak tahan lalu bagaimana dengan Ibu? Lihat ini!"

Hanum langsung meringis saat sang ibu menyibak rok yang dipakainya. Terlihat di sana ada luka membiru di mana itu adalah hasil perlawanan Lisa saat akan diberi hukuman.

"Di dalam dongeng, Cinderella dikatakan sebagai sosok yang lemah dan penurut. Tetapi di rumah ini, orang yang sedang kita hadapi bukanlah Cinderella biasa. Salah melangkah, bisa-bisa kita yang menjadi upik abu. Kau jangan lupa kalau kita masih membutuhkan tanda tangan Lisa untuk mengambil alih semua harta milik mendiang ayahnya. Tunggu setelah dia cukup umur, Ibu pastikan dia akan hidup di jalanan!" ucap Arina seraya menyeringai licik. Bukan tanpa alasan kenapa dia membiarkan Lisa tetap tinggal di rumah ini. Ada sebabnya, dan itu karena harta mendiang suaminya yang hanya bisa diakses dengan tanda tangan gadis tersebut.

***

Tawaran Menggiurkan

Peluh membanjir membasahi wajah dan tubuh Lisa yang tengah sibuk mengepel lantai. Sudah sejak pagi tadi dia berkecimpung dengan pekerjaan rumah, tapi sampai sekarang belum kunjung usai. Bukan tanpa sebab atau karena dia malas dan lambat, melainkan karena ulah dua nenek sihir yang jahat itu. Sebelum pergi keluar, mereka meninggalkan beban pekerjaan yang sangat luar biasa banyak. Dan sialnya tak ada jatah makan siang untuk Lisa. Kejam memang, tapi kondisi seperti ini bukan yang pertama kali terjadi.

"Huh, mereka enak-enakan pergi keluar tanpa beban. Sementara aku? Bahkan upik abu pun tidak semenderita diriku. Miris sekali," ujar Lisa miris akan nasibnya sendiri. Dia lalu berkacak pinggang, menatap jengkel pada deretan ubin yang tak kunjung bersih. "Kenapa sih waktu begitu lambat berputar. Aku masih harus menunggu beberapa bulan lagi untuk bisa mendapatkan identitas yang legal. Dengan begitu, tidak akan ada yang bisa menghalangi langkahku menapaki dunia."

Andai-andai Lisa sangat sederhana. Hanya ingin sesegera mungkin meninggalkan rumah yang sudah seperti neraka ini kemudian menata hidupnya yang baru. Walau tak menempuh pendidikan tinggi, itu tak membuatnya berkecil hati. Beruntung Tuhan membekali Lisa dengan otak yang jenius sehingga mampu menyerap pengetahuan tanpa harus bersekolah. Dia belajar lewat cara yang terhitung aneh. Yaitu mengumpulkan sisa koran pembungkus sayuran, juga dengan diam-diam menguping suara televisi saat ibu dan saudara tirinya asik bermain ponsel.

"Kira-kira akan ada pria yang mau menerimaku tidak ya? Secara, nenek sihir itu pasti akan menyebarkan rumor kalau aku adalah orang yang telah membunuh Ayah. Dasar menyebalkan."

Sambil terus menggerutu, Lisa kembali melanjutkan pekerjaan. Sesekali dia juga bersenandung, meluapkan kekesalan hati lewat lagu yang entah apa judulnya.

Sementara itu diluar rumah, Hanum yang tengah menikmati makan siang bersama ibunya, tampak tertawa senang saat ponsel miliknya berdering. Segera dia menjawab panggilan tersebut dan melempar kedipan genit pada sang ibu. Pacarnya menelpon.

"Halo, sayang. Ada apa menelponku? Rindu ya?"" tanya Hanum dengan suara manja yang dibuat-buat.

"Sayang, aku butuh bantuanmu sekarang juga. Atasanku baru saja memecat pelayannya yang ketahuan menjadi mata-mata. Kalau ada, bisakah kau carikan satu wanita yang biasa mengerjakan pekerjaan rumah? Sebagai imbalan, nanti bosku akan memberikan hadiah besar padamu. Bagaimana? Apa kau bisa menolongku?"

Mata Arina langsung membulat besar begitu mendengar kata hadiah. Cepat-cepat dia menyenggol lengan Hanum dan memberi kode untuk menerima tawaran tersebut.

"Ini kesempatan emas, Num. Siapa tahu bisa dijadikan batu loncatan untuk merubah kehidupan kita. Terima saja," bisik Arina tak sabaran.

"Bagaimana, sayang? Apa kau bisa membantuku? Ini urgent. Please,"

"Hah? Oh, emm sebentar ya aku pikir-pikir dulu. Kalau tidak salah ingat, aku punya kenalan yang bekerja sebagai penyalur ART. Sebentar ya," Hanum meminta waktu untuk bicara dengan ibunya sejenak. Dia menjauhkan ponsel lalu meminta ibunya mendekat. "Maksud Ibu kita akan memasukkan Lisa ke sana?"

"Benar sekali. Ide yang brilian, bukan?"

"Ibu yakin?"

"Kenapa tidak?"

"Lisa tidak sebodoh yang kita kira. Kalau dia menolak dan malah melakukan sesuatu yang merugikan kita bagaimana? Nanti nama baikku yang jadi taruhan," ucap Hanum agak ragu mendaftarkan Lisa sebagai art di rumah bos pacarnya.

"Masalah ini biar Ibu yang urus. Tugasmu hanya memasukkan gadis bengal itu ke sana. Selain mendapatkan hadiah, kita juga bisa mendapatkan informasi tentang bos pacarmu yang konon katanya memiliki kekayaan tujuh turunan. Memangnya kau tidak mau merubah nasib, hm?" sahut Arina penuh iming-iming menggiurkan. Kapan lagi coba bisa mendapat tangkapan ikan besar.

Hanum terdiam beberapa saat. Benar juga apa yang dikatakan oleh ibunya. Pacarnya mempunyai pekerjaan yang cukup menjamin. Tetapi jika ada yang jauh lebih menjamin lagi, kenapa tidak dilakukan? Kesempatan datang diwaktu yang sangat tepat. Tidak boleh sampai terlewat.

"Baiklah. Kalau begitu aku akan memberikan Lisa padanya." Hanum berdehem sebelum kembali bicara dengan pacarnya. "Sayang, aku baru saja mengirim pesan pada kenalanku. Dan kebetulan ada seorang gadis yang ingin melamar kerja. Jika bosmu tidak keberatan, aku akan mengantarkan gadis itu ke rumahnya langsung hari ini juga. Bagaimana?"

"Kau memang yang terbaik, sayang. Aku sangat mengandalkanmu. Terima kasih banyak ya. Hari ini kau sudah menyelamatkanku dari amukan bosku. Fyuhh, leganya."

Pembicaraan masih terus berlanjut sampai beberapa menit ke depan. Sementara Arina, dia asik menikmati makanan sambil membayangkan hadiah apa yang akan diberikan oleh bos dari pacarnya Hanum. Mobilkah? Apartemenkah? Atau malah uang sejumlah miliaran rupiah? Astaga, membayangkan semua kebahagiaan itu membuat perut Arina menjadi mulas.

"Bu, bagaimana caranya kita membawa Lisa ke sana? Aku yakin gadis itu pasti akan langsung menolak dan mereog. Malas sekali kalau harus melihatnya tantrum seperti orang gila," keluh Hanum sembari berdecak pelan.

"Malas tidak malas kita harus tetap menyerahkannya pada bos pacarmu, Num. Kalau tidak, maka hilang sudah kesempatan kita mendapatkan hadiah yang besar itu. Coba kau bayangkan jika seandainya yang kita dapatkan adalah setumpuk uang, apa tidak rugi nanti?"

"Iya aku juga tahu. Cuma yang sedang ku pikirkan sekarang adalah bagaimana cara membuat Lisa mau bekerja di sana. Itu bukan sesuatu yang mudah, Bu."

Arina menyeringai. Dia menyeruput habis jus di dalam gelas sebelum menyampaikan rencananya. "Lisa sudah pasti akan menolak tawaran ini. Tetapi jika kita menyebutkan kebebasan, masihkah gadis itu akan menolak? Kita sama-sama tahu kalau Lisa begitu ingin menikmati kehidupan dunia luar. Jadi sekalian saja kita biarkan dia mendapatkan semua itu. Hitung-hitung sambil menyelam minum air. Benar tidak?"

Hanum dan Arina melakukan high five dengan penuh suka cita setelah menemukan cara untuk membujuk Lisa. Dengan senyum penuh kebahagiaan, mereka berdua pergi meninggalkan restoran dan pulang menuju rumah. Kali ini ada yang spesial. Mereka menyempatkan diri untuk singgah di sebuah toko baju guna membeli beberapa pakaian untuk Lisa. Kalau tidak salah ingat, dua tahun yang lalu terakhir mereka membelikan sepotong kaos dan celana pendek untuk gadis tersebut.

"Iyuhh, kulitku rasanya gatal semua setelah keluar dari toko pakaian itu, Bu. Pantas jika harganya murah, pasti karena kualitas pakaiannya jelek dan murahan. Menjijikkan sekali," keluh Hanum sembari mengelap kulit tangannya dengan tisu basah.

"Sesuai dengan orang yang akan memakai pakaian ini. Jelek, murah, dan buruk. Kita tidak salah tempat kok, Num," sahut Arina santai. Toko tersebut sudah menjadi langganan untuknya membeli pakaian Lisa. Terlalu berharga jika harus mengeluarkan uang hanya untuk membeli pakaian di sebuah butik. Toh pekerjaan Lisa hanya bersih-bersih rumah. Jadi untuk apa membeli yang mahal.

"Kasihan sekali Lisa. Seumur hidup tidak akan pernah bisa merasakan pakaian yang halus dan juga lembut. Nasib membuatnya terjebak menjadi seorang Cinderella miskin yang kumal dan bau. Hahahaha,"

Gelak tawa memenuhi dalam mobil saat Hanum tak hentinya mengolok-olok Lisa. Dia seolah tak sadar kalau uang yang dia dan ibunya gunakan sebenarnya adalah milik gadis itu. Keserakahan yang begitu besar, telah menutup mata hati sehingga memperlakukan seorang yatim piatu dengan cara yang buruk dan kejam. Apalah arti karma di mata mereka. Yang mereka kejar dan incar hanyalah kebahagiaan dunia.

***

Iblis Berwajah Manusia

"Rumah siapa ini?"

Lisa menatap seksama bangunan megah yang ada di hadapannya. Tadi saat dirinya baru akan istirahat, ibu dan kakak tirinya pulang dan langsung memintanya berganti pakaian. Awalnya Lisa menolak. Tetapi setelah diberitahu kalau mereka akan mengajaknya pergi jalan-jalan, dengan cepat dia melupakan rasa lelah yang menyiksa dan bergegas bertukar baju dengan yang baru. Lisa sudah sangat tidak sabar ingin segera mengetahui kehidupan di dunia luar.

"Heh gadis bengal, dengarkan ucapanku baik-baik ya. Di dalam nanti kau harus patuh pada semua yang dikatakan oleh pemilik rumah. Jangan coba-coba melawan apalagi melarikan diri. Mengerti?" tandas Hanum mengingatkan Lisa supaya tidak macam-macam.

"Kalian menjualku?" tanya Lisa santai. Tak terlihat gurat panik ataupun takut di wajahnya.

"Menjualmu?"

Hanum menatap ibunya kemudian tertawa. "Hahaha, Lisa Lisa. Memangnya siapa yang mau membeli gadis bau sepertimu? Jangan berandai-andai terlalu jauhlah, nanti kau kecewa kalau hasilnya tak sama dengan yang kau bayangkan."

"Dan juga ya, Lis. Apa kau tidak takut jika seandainya benar kami ingin menjualmu, hm?" Arina ikut menimpali. Jika bisa dijadikan uang, mengapa harus dijual?

"Takut?"

Kini giliran Lisa yang tertawa. Dan tindakan tersebut membuat ibu dan saudara tirinya mengerutkan kening.

"Kau ... tertawa?"

"Iyalah. Memangnya telinga kalian sudah tidak berfungsi lagi sampai tidak bisa membedakan mana suara tawa dan mana suara tangisan?" ejek Lisa tanpa merasa takut. "Lagipula untuk apa aku merasa takut. Toh sejak Ayah meninggal aku telah menjalani kehidupan yang jauh lebih menakutkan dari sekadar dijual. Yaitu tinggal bersama kalian. Jangan lupakan kalau kalian berdua adalah perwujudan iblis berwajah manusia. Punya hati, tapi mati nurani."

Arina tergugu oleh sindiran keras yang dilayangkan oleh Lisa. Sementara Hanum, wanita itu tampak menggigit bibir. Tentu ikut merasa tersindir saat Lisa menyebut kalau dia dan ibunya merupakan jelmaan iblis berwajah manusia.

Tak sabar ingin segera lepas dari kekangan keluarga tirinya, Lisa memutuskan untuk keluar dari mobil. Dia kembali berdecak mengagumi kemegahan bangunan yang ada di hadapannya. Seperti istana. Bedanya tidak ada pilar tinggi menjulang seperti yang pernah dia lihat di dalam buku dongeng.

"Kira-kira yang tinggal di rumah ini manusia atau bukan ya?" Pikiran Lisa melantur. Dia cuek saja saat mendengar gerutuan Hanum.

"Jangan belagak kampungan, Lis. Itu bisa mempermalukan kami!" tegur Hanum sambil menatap tajam ke arah Lisa yang lancang keluar dari mobil tanpa ijin. Untung saja gadis ini tidak melarikan diri. Huft.

"Yang malu kan kalian, kenapa jadi aku yang kena omel?"

"Hei, bisa tidak jangan membantah terus? Aku ini lebih tua darimu. Bersikaplah yang hormat."

Tanpa disangka-sangka Lisa berbalik menghadap Hanum kemudian membuat pose seperti sedang hormat pada tiang bendera. Sangat lawak. Namun, tindakan tersebut tak membuat dua wanita itu merasa senang. Malah mereka mencibir sinis dan menyebutnya sebagai gadis tak waras.

"To the point saja. Sebenarnya apa tujuan kalian membawaku kemari? Bukankah saat di rumah kalian mengatakan ingin membawaku pergi jalan-jalan? Kenapa malah tersesat di istana megah ini?" tanya Lisa menuntut penjelasan.

"Cihh, enak sekali mulutmu menguap. Berdiri di depan sebuah rumah yang sangat megah dianggap sedang tersesat? Kau benar-benar bodoh, Lisa. Pastinya ada alasan kuat mengapa kami membawamu datang kemari," jawab Arina sambil menahan kesal. Kalau tak ingat ada hadiah yang telah dijanjikan, dia pasti sudah menjambak rambut gadis ini. Semakin dibiarkan sikap Lisa semakin kurang ajar.

"Kalau begitu cepat jelaskan."

"Apa hakmu meminta kami untuk menjelaskan?"

Lisa memutar bola matanya jengah. Terlalu bertele-tele. Kalau memang dirinya akan dijual, apa susahnya bicara jujur. Toh itu tidak akan berpengaruh apa-apa di hidupnya.

"Teman Hanum butuh seorang pelayan, dan kami meminjamkanmu untuk sementara." Arina berdehem. "Nanti di dalam kau bekerjalah dengan benar. Jangan membuat kekacauan seperti yang sering kau lakukan di rumah. Itu memalukan."

Deg

(Kejamnya. Jadi mereka memberikanku pada orang lain sebagai seorang pembantu? Ayah, aku sungguh tidak mengerti apa yang sebenarnya Ayah pikirkan sebelum menikahi nenek sihir ini. Sekarang lihatlah perbuatannya kepadaku. Sudah memperbudakku di rumah sendiri, sekarang mereka malah menjadikanku sebagai pembantu di rumah orang lain. Kapan penderitaan ini akan berakhir? Aku sudah lelah)

Hanum menyikut pelan lengan ibunya karena merasa heran melihat reaksi Lisa yang malah merenung. Dia merasa was-was, takut kalau gadis bengal ini tiba-tiba mereog dan menolak tawaran mereka.

"Bagaimana ini, Bu. Tidak biasanya Lisa menjadi diam begini. Aku jadi takut," bisik Hanum gelisah.

"Apa yang perlu ditakutkan? Dasar bodoh," Arina mendengus. Akan dia pastikan Lisa mau menerima pekerjaan ini. Apapun caranya. "Tak akan Ibu biarkan dia menggagalkan kesenangan kita. Jangan khawatir. Oke?"

"Kalau dia mengamuk bagaimana?"

"Gampang. Ibu akan bilang kalau .... "

"Sampai kapan aku akan bekerja di rumah ini?"

Tiba-tiba Lisa bertanya. Tatapannya sendu, pilu memikirkan nasibnya yang seperti bola pingpong. Di sana sini hanya untuk dipukuli.

"S-sampai ... sampai .... "

"Kalian sudah datang?"

Suara bariton menghentikan perkataan Hanum yang terbata-bata. Kecuali Lisa, semua mata langsung tertuju pada sosok pria yang tengah berdiri tak jauh dari sana.

(Oh Tuhan, apakah dia titisan dewa? Sangat tampan. Rasanya aku seperti akan mimisan)

"Siapa diantara kalian yang akan masuk sebagai pelayan?" Pria itu kembali berbicara. Dingin, dan tatapannya sangat tajam.

"Aku." Singkat, padat, dan jelas. Tanpa ba-bi-bu lagi Lisa langsung masuk ke dalam rumah tanpa menunggu dipersilahkan. Tubuh dan pikirannya sudah terlalu lelah untuk sekadar menunggu arahan.

Lionel, menaikkan satu alisnya ke atas ketika gadis kumal itu berjalan melewatinya dengan sangat santai. Terkesan lancang, tapi anehnya dia tak bereaksi lebih. Malah diam membiarkan gadis itu masuk ke dalam rumah.

"Em Tuan Lionel, yang barusan bicara itu adalah pelayan yang saya bawa. Namanya Lisa. Usianya belum genap tujuh belas tahun," ucap Hanum menjelaskan identitas pelayan yang dibawanya. Dia bicara dengan nada selembut mungkin, berharap bisa mengetuk hati pria tampan di hadapannya.

"Apa kalian memperjualbelikan anak di bawah umur?" sarkas Lionel. Cukup mengagetkan saat mengetahui usia gadis aneh itu.

"Tentu saja tidak. Kami ... kami hanya ingin menolongnya yang sedang kesulitan mencari pekerjaan."

"Berikan nomor rekeningmu sekarang. Waktuku tidak banyak."

"Nomor rekening?"

Lionel kembali menaikkan satu alisnya ke atas. Apa-apaan wanita ini? Menggelikan sekali.

"Num, Tuan Lionel ingin memberikan hadiah karena sudah mengantarkan pelayan ke rumahnya. Cepat berikan nomor rekeningmu. Jangan membuatnya menunggu," tegur Arina gemas sendiri melihat sikap Hanum yang seperti orang kebingungan.

"Ibumu jauh lebih mengerti uang daripada kau, Nona. Sayang sekali."

Tertegun oleh ucapan Tuan Lionel, Hanum segera menyebutkan nomor rekening setelah lengannya dicubit oleh ibunya. Saat hendak protes, kedua matanya dibuat membelalak lebar oleh pesan yang baru saja masuk ke ponsel.

"T-Tuan, Anda tidak salah mentransfer uang 'kan? Jumlahnya banyak sekali," pekik Hanum syok saat menghitung angka nol di dalam M-banking miliknya.

"Kalian boleh pergi." Tak ada basa basi, Lionel langsung masuk ke dalam rumah begitu urusannya selesai. Mengabaikan kehebohan dua wanita yang baru saja menerima segelintir hadiah darinya, dia bergumam. "Di mana-mana wanita sama saja. Matanya akan langsung menghijau begitu melihat uang. Cih!"

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!