Tap!
Bersamaan dengan terlihatnya beberapa lembar foto yang berjejer di atas meja, terdengar pula helaan napas berat dari seorang pria yang sedang duduk di depan meja tersebut.
Dia lalu mengambil salah satu diantara foto-foto itu dan menatapnya dengan pandangan sedih.
"Dia pasti tengah tertidur pulas saat dibunuh. Pria yang malang.."
Mata tajamnya yang sayu lantas mengamati setiap detil dari penampakan sesosok jasad tak bernama yang tercetak di kertas foto itu.
Luka terbuka yang memanjang di leher, darah segar yang mengucur deras dari balik luka sayatan itu, serta air mata yang keluar dari indera penglihatan korban.
Semua itu tampak sangat memilukan di mata Cameron, pria muda yang merupakan pemimpin dari pasukan khusus yang tengah menangani kasus pembunuhan berantai di Sigrid.
Meskipun terbilang masih muda, nyatanya sepak terjang Cameron dalam hal menangani kasus kriminal sudah tak diragukan lagi sehingga namanya pun tersohor hingga ke berbagai penjuru dunia.
Namun nyatanya, segudang pengalaman bertarung yang gemilang itu tak cukup untuk membuat Cameron terbiasa melihat sesuatu yang mengerikan.
Dia masih saja bergidik ngeri setiap kali menangani kasus yang berhubungan dengan penghilangan nyawa terlebih jika kasus itu merupakan pembunuhan berantai seperti yang sedang ditanganinya kali ini.
Bukan karena betapa mengenaskannya penampakan para korban, namun Cameron baru saja menyadari akan satu hal penting yang selama ini luput dari pengamatannya.
Senyum.
Itulah yang dia lihat ketika mengamati wajah para korban yang telah kehilangan nyawa mereka dan ekspresi tersebut nyatanya terukir di semua bibir para korban yang sampai saat ini sudah menyentuh angka tujuh belas orang.
"Menurutmu, Gyolete.."
Sang wakil yang mulanya berkonsentrasi penuh pada foto-foto di atas meja pun lantas menatap Cameron ketika namanya disebut.
"Apakah mungkin bahwa seseorang merasa bahagia ketika akan dibunuh?"
"Tak ada seorang manusia normal pun yang merasakan kebahagiaan saat nyawanya dicabut dengan cara seperti itu, kapten."
"Lalu mengapa mereka tersenyum?"
"Tersenyum?"
Cameron pun lalu memperlihatkan foto yang dia pegang, lantas menunjuk bagian bibir dari korban yang membuat Gyolete juga baru menyadari hal janggal tersebut.
"Itu.."
"Benar, bukan? Kau juga melihatnya? Memang samar, namun jika diperhatikan dengan seksama kau pun pasti akan berpikir sama denganku bahwa dia sedang tersenyum di foto ini. Tak hanya di foto ini, bahkan.."
Cameron kemudian bangkit dari kursinya dan berjalan menuju papan besar yang menggantung di dinding dimana terdapat enam belas foto korban lainnya yang sudah tertempel di sana.
"Semuanya berekspresi serupa, Gyolete. Tidakkah kau merasa aneh dengan hal ini?"
Gyolete pun terdiam beberapa saat sebelum menjawab pertanyaan dari sang kapten.
"Jika memang demikian, bukankah artinya korban mengenal pelaku?"
"Mereka mengenal pelaku atau mereka melihat sesuatu yang luar biasa menggembirakan sehingga tak keberatan untuk dibunuh. Ah.. Jika seperti itu, artinya kita sedang berhadapan dengan seseorang yang lebih berbahaya dari para pembunuh berantai biasa, Gyolete. Bisa jadi pelakunya memiliki kemampuan khusus terutama untuk memanipulasi pikiran para korban dan orang yang memiliki kemampuan semacam itu sudah bisa dipastikan bahwa dia juga memiliki otak yang cemerlang. Dia bertindak dengan sangat rapi layaknya seorang profesional dan bahkan tak ada jejak apapun di tempat kejadian walau hanya sebuah sidik jari sekalipun. Ditambah lagi kita juga belum tahu pelaku ini laki-laki atau perempuan. Astaga.. Hal ini benar-benar membuatku frustasi.."
Cameron lalu tak sengaja melihat sebotol anggur yang ikut tertangkap kamera dan terletak beberapa langkah dari salah satu korban.
Alisnya pun segera mengernyit karena dia tahu persis dimana anggur itu biasa dijual.
"Setelah sekian lama, akhirnya kita harus berkunjung ke tempat hiburan malam. Gyolete, tolong persiapkan semuanya."
"Tentu.." jawab Gyolete tanpa banyak bertanya.
Hup!
Kedua pria perkasa itupun turun dari kuda mereka masing-masing.
Cameron lalu memberikan tali kekangnya pada Gyolete ketika prajurit terbaiknya itu mengulurkan tangan ke arahnya untuk meminta tali kekang kuda yang tadi dia tunggangi.
Sementara Gyolete mencari tempat yang pas untuk mengikat kuda, Cameron pun mulai memantik korek api dan menyulut rokok yang telah bertengger di bibirnya.
Asap putih yang cukup tebal pun membumbung tinggi ketika dia menghembuskan napas setelah menghisap rokok yang berhasil dia nyalakan itu.
"Fyuhh.."
Untuk sejenak Cameron terpaku menatap ke tulisan besar yang terpasang di depan bangunan yang berada di hadapannya sekarang.
"Violetta.." gumamnya lirih.
Dia lalu melihat sekeliling dimana ternyata malam ini banyak sekali orang yang datang berkunjung ke salah satu bar paling terkenal di Sigrid.
(Sepertinya orang-orang sedang mengalami hari yang buruk sehingga mereka berbondong-bondong datang ke tempat ini sekarang!)
"Apa benar dia akan datang?"
Cameron pun melirik ke arah dua orang pria yang sedang berbincang tak jauh darinya.
Dalam hening, Cameron lanjut menghisap rokok sambil mencuri dengar pembicaraan kedua pria itu yang mungkin akan memberikan sedikit petunjuk.
"Benar! Bukankah sekarang adalah akhir pekan?! Sudah semestinya dia datang hari ini!"
"Tapi minggu lalu dia tidak datang, bukan? Bagaimana kau bisa yakin bahwa kali ini dia akan datang lagi?"
"Haish.. Apa kau tidak mencium sesuatu yang familiar?!"
(Siapa yang mereka bicarakan? Mencium apa?)
Baru saja terbesit satu pertanyaan itu di kepala Cameron dan sedetik setelahnya, dia baru menyadari bahwa di sekitarnya kini tercium sesuatu yang sangat harum.
Saking harumnya, Cameron pun tanpa sadar melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam Violetta dimana bau harum itu semakin menguat.
Sang kapten sempat tertegun sebentar ketika sudah berada di dalam Violetta dimana tempat itu terlihat penuh sesak dengan pengunjung yang didominasi oleh pria.
Namun anehnya, suasana di dalam Violetta justru cenderung lebih tenang untuk ukuran orang sebanyak itu yang semakin membuat Cameron penasaran akan situasi yang sedang dihadapinya saat ini.
🎶🎶
"Astaga, kapten.. Di sini kau rupanya! Mengapa tidak menungguku?!"
..
"Kapten?"
Karena tak kunjung mendapatkan respon dari sang kapten, Gyolete pun mengalihkan pandangannya ke arah yang sedang dilihat oleh Cameron.
Begitu tahu apa gerangan yang membuat sang kapten terpaku, Gyolete pun bereaksi serupa dimana dia juga terpaku menatap sosok yang muncul di atas panggung sambil memetik sebuah gitar dengan jemari lentiknya.
Wajah cantik yang berseri, senyum lembut dari bibirnya yang mungil, serta rambut hitamnya yang menari-nari ketika tertiup angin malam.
Namun dari sekian banyak keindahan visual sosok itu, hal yang paling menarik perhatian adalah mata berwarna biru laut yang mampu membuat siapapun betah untuk berlama-lama menatapnya.
"Siap untuk bersenang-senang malam ini, tuan-tuan?"
Pertanyaan tersebut hanya dijawab dengan anggukan kepala dan senyum sumringah oleh para pengunjung yang langsung membuat gadis itu juga tersenyum lembut.
Dia kemudian mulai memetik gitar sembari menyanyikan sebuah lagu.
🎶🎶
Tap.. Tap..
Gadis itupun sedikit terkejut ketika Cameron mendekat sambil mengulurkan tangan ke arahnya dengan sopan ketika dia baru saja menyelesaikan lagunya.
"Aku Cameron. Tolong ijinkan pria sederhana ini untuk mengetahui juga siapa namamu, nona."
"Dyane."
Cup..
Cameron pun lantas mencium punggung tangan Dyane ketika gadis itu menyambut uluran tangannya.
"Aku belum pernah melihatmu sebelumnya di sini. Apakah kau seorang pendatang, nona?"
"Lebih tepatnya seorang pengembara."
"Pengembara? Artinya kau hanya singgah untuk beberapa waktu di sini sebelum melanjutkan perjalananmu kembali, begitu?"
"Benar, tuan." jawab Dyane sambil tersenyum.
"Begitu ya.."
Cameron pun berusaha untuk membalas senyum Dyane walaupun sebenarnya dia kecewa saat mengetahui bahwa gadis cantik itu akan segera pergi meninggalkan Sigrid.
(Tunggu! Apa ini? Mengapa aku sangat kecewa ketika mendengar bahwa dia akan pergi?)
"Hei! Kapten Cameron! Sampai kapan kau akan memegang tangan Dyane?! Cepat lepaskan tangannya supaya dia bisa melanjutkan kembali petikan gitarnya yang indah!"
Teguran dari salah satu pengunjung bar itupun serta merta membuat Cameron melepaskan tangan Dyane. Dia lalu tersenyum kikuk dan menggaruk kepala belakangnya yang sebenarnya tidak gatal.
Melihat sang kapten yang salah tingkah tersebut, Gyolete pun menjadi gemas dan membisikkan sesuatu pada Cameron.
"Kendalikan dirimu, kapten! Dia memang sangat cantik dan aku memahami betul gejolak apa yang ada di hati pria kesepian yang sampai saat ini belum memiliki pasangan. Tapi tolong ingat kembali tujuan awal kita hingga jauh-jauh datang ke tempat ini!"
"Kau benar, Gyolete. Tapi mengapa ucapanmu terdengar sangat menyebalkan di telingaku?"
Cameron pun menundukkan kepala ke arah Dyane yang menandakan bahwa dia akan pamit dari hadapan gadis cantik itu lalu diikuti oleh Gyolete di belakangnya.
Sambil terus memetik gitar, Dyane hanya tersenyum sembari menatap kepergian Cameron dan Gyolete yang menepi ke sebuah meja di sudut belakang bar.
"Pantas saja banyak yang datang ke tempat ini sekarang. Rupanya ada bidadari cantik yang piawai memainkan gitar serta memiliki suara yang merdu saat bernyanyi." ucap Cameron sambil memesan dua buah anggur pada bartender.
"Sepertinya kau sangat tertarik dengan gadis itu, kapten."
"Bohong jika aku mengatakan tidak, Gyolete. Dari sekian banyak gadis cantik yang bertebaran di Sigrid, baru kali ini aku bertemu dengan gadis yang memiliki pesona begitu kuat seperti Dyane. Entah karena dia yang sangat cantik, atau karena aku yang sudah terlalu lama hidup sendiri. Namun yang pasti sulit sekali bagiku untuk mengalihkan pandangan darinya." ucap Cameron sambil masih memperhatikan Dyane yang melanjutkan aksi panggungnya.
"Kurasa semua pria di sini pun sama sepertimu, kapten."
"Termasuk dirimu?"
Gyolete pun hanya tersenyum mendengar pertanyaan kaptennya yang membuat Cameron sedikit kesal.
Cameron lalu menyapukan pandangannya ke seisi ruangan dan ucapan Gyolete memang benar. Semua pengunjung pria di bar itu seolah terhipnotis dengan permainan gitar Dyane.
(Luar biasa..)
"Minumanmu, tuan-tuan."
Cameron dan Gyolete lantas menoleh bersamaan ke bartender yang baru saja menyuguhkan anggur untuk mereka.
Kapten pasukan khusus itupun kemudian menatap botol di depannya lalu berpaling menatap sang bartender dengan sorot mata menyelidik.
"Apakah Trebbiano hanya dijual di sini?"
"Oh! Rupanya kau bisa mengenali salah satu anggur terbaik di Sigrid! Tentu saja tidak, tuan! Kau bisa menemukan Trebbiano di bar manapun di Sigrid. Tapi percayalah! Hanya Trebbiano kami lah yang memiliki kualitas super daripada anggur lain yang dijual di luar sana. Kau bisa memastikannya sendiri dengan lidahmu."
Manis, harum, dan menenangkan.
Itulah yang dirasakan oleh Cameron ketika butiran-butiran Trebbiano mengalir lembut membasahi kerongkongannya.
Diapun merasakan kenikmatan yang luar biasa dari sebuah minuman yang selama ini belum pernah dia rasakan sebelumnya.
"Mungkin sensasi inilah yang membuat pria itu tersenyum sebelum mati."
"Mati? Siapa yang mati?" tanya sang bartender ketika mendengar gumam Cameron.
Cameron lalu memberikan isyarat pada Gyolete yang membuat wakilnya itu mengeluarkan selembar kertas berisi foto dari salah satu korban pembunuhan berantai yang sedang mereka selidiki.
Namun tentunya foto itu sudah diperhalus sehingga menampilkan wajah dari korban yang sebelumnya mengerikan sudah menjadi lebih baik.
"Pria ini."
Sambil mengernyitkan alis, bartender itupun mengamati foto yang ditunjukkan oleh Gyolete.
"Bukankah dia Tuan Alexander? Pemilik toko jam antik di Ofury?"
"Kau mengenalnya?"
"Tentu saja! Dia pelanggan tetap Violetta yang berkunjung setiap akhir pekan. Terakhir kali dia bahkan terlihat bahagia sambil menikmati alunan musik Dyane sekitar tiga minggu yang lalu sebelum keduanya pergi untuk menghabiskan waktu berdua di balkon. Jadi Tuan Alexander sudah mati?! Bagaimana bisa?!"
"Dia.. Tunggu.."
Cameron lalu mengalihkan pandangannya ke arah panggung dimana Dyane telah berbalik dan bersiap untuk turun dari sana.
"Dyane!"
Sang kapten pun secara spontan memanggil nama gadis cantik itu hingga tak hanya Dyane, bahkan seisi ruangan pun menoleh ke arahnya karena suaranya yang keras.
"Mmm.. Kapten.." bisik Gyolete sambil melihat sekeliling dimana semua mata telah tertuju pada kaptennya.
Cameron lantas memberikan isyarat pada Gyolete untuk tetap berada di tempat. Dia lalu berjalan mendekati Dyane yang sudah menuruni tangga panggung tanpa memperdulikan pandangan penuh menyelidik dari para pengunjung bar.
Ada satu hal yang membuat pria itu menaruh curiga pada gadis pemetik gitar tersebut.
Tap.. Tap..
"Kau tidak terlibat dengan semua ini, bukan?"
"Maaf?"
"Katakan padaku bahwa kau.."
Syuut..
"Astaga! Tuan Cameron?!"
Dyane pun dengan cepat menangkap tubuh Cameron yang tiba-tiba oleng. Kepalanya terasa pusing dan pandangannya mulai berputar.
"Ugh.."
"K-kau baik-baik saja, tuan?!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!