NovelToon NovelToon

Aku Melihatmu

Prolog

Hidupku tanpa cintamu, bagai malam tanpa bintang...

Cintaku tanpa sambutmu, bagai panas tanpa hujan...

Jiwaku berbisik lirih, kuharus milikimu...

Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku meski kau tak cinta, kepadaku...

Beri sedikit waktu biar cinta datang karena telah terbiasa....

Lagu Risalah Hati dari Dewa terdengar lirih dari putaran mp3 yang ada di sebuah ponsel.

"Aku rindu kamu," gumaman seorang pemuda yang sedang duduk dengan menopang dagunya di dalam kamar. Menatap nanar beberapa foto yang silih berganti digesernya.

'Aku juga rindu kamu. Aku bisa melihatmu, meski kamu tidak akan pernah bisa melihatku.'

Semilir angin yang tiba-tiba datang melewati jendela berhasil membuyarkan lamunannya. "Dewi, kamu dimana?"

...***************...

Pertemuan pertama? Pasti itu terasa asing tapi tidak dengan yang dia rasakan. Pertemuan pertama itu justru seperti pelepas rasa rindu.

"Hai, hati-hati." Tarikan tangannya berhasil membuat seorang gadis yang baru saja sampai di depan gerbang sekolahnya selamat dari senggolan sepeda motor sport yang akan masuk ke dalam gerbang sekolah.

Tatapan itu justru terus menatap pada pengendara motor sport yang menghentikan motornya sesaat dan menoleh ke arahnya.

"Hei, lo gak papa kan?" Pertanyaan itu akhirnya menyadarkannya seiring dilepaskannya tangan gadis itu.

"Sorry, gue gak papa kok. Thanks yah." Gadis itu akhirnya melihat siswa yang ada di sampingnya. Dia menatapnya dengan saksama. Kayaknya gue pernah kenal sama dia, tapi dimana? Gue kan baru aja pindah di kota ini.

"Lo siswa baru juga kan? Kenalin nama gue Dewa." Dewa mengulurkan tangannya pada gadis itu dan mengajaknya berkenalan.

"Gue Lisa." Lisa membalas jabatan tangan Dewa. Dia tau, Dewa juga salah satu siswa baru di SMA itu karena seragam yang sama dan pernak-pernik perlengkapan MOS yang sama seperti yang dia pakai.

"Kita ke kelas yuk."

Lisa tersenyum sambil mengangguk. Lalu mereka berjalan sejajar.

"Btw lo di kelas mana?" tanya Dewa sambil sesekali memandang paras cantik Lisa dari samping.

"Kelas B," jawab Lisa singkat.

"Kalau gitu sama dong kita. Kebetulan banget ya. Bener-bener awal yang indah."

Lisa tertawa mendengar kalimat Dewa yang berlebihan. "Lo lebay banget sih."

"Yah, gue emang suka lebay. Dan lo harus terbiasa pasti lama-lama lo juga suka sama gue."

Dan lagi Lisa dibuatnya tertawa. Dia baru beberapa menit mengenal Dewa tapi rasanya seperti sudah lama mengenalnya.

"Ngomong-ngomong lo tinggal dimana? Ya, siapa tau kita searah dan gue bisa boncengin lo pulang."

Belum juga Lisa menjawab ada yang memanggil Dewa dengan keras dan menghentikan langkah mereka. "DEWA!!" Dia berlari ke arah Dewa.

"Lo sekolah di sini juga. Sebegitunya lo ngejar gue."

Ada satu jotosan kecil di lengan Dewa dari Karin, sahabat Dewa dari SMP. "Sorry ya kalau gue ngejar lo. Ini kan sekolah favorit, pastilah gue pengennya masuk sini secara gue itu nilainya sebelas duabelas sama lo."

"Tapi masih lebih banyak gue. Eh, kenalin ini Lisa." Kemudian Dewa membisikkan sesuatu di telinga Karin yang kini sudah berada di dekatnya. "Gimana menurut lo, dia cantik kan? Suatu pencerahan di awal SMA."

"Iya cantik. Emang dia mau sama lo?"

"Lo liat aja nanti."

"Eh, sorry kita malah ngomong sendiri. Kenalin gue Karin." Karin mengulurkan tangannya.

"Gue Lisa." Mereka saling bersalaman lalu Karin menggamit lengan Lisa dan mengajaknya berjalan ke kelas.

"Kita ke kelas yuk. Lo di kelas B kan?"

"Iya." Mereka berjalan dan meninggalkan Dewa sendiri.

"Loh, kok gue malah ditinggal. Dasar cewek!" Dewa mengambil ponselnya yang ada di saku lalu menghubungi temannya. "Hallo, Reno lo udah datang?" Reno sahabat Dewa dari SMP juga.

"Gue udah di kelas. Lo dimana?"

"Gue masih di lorong. Karin beneran sekolah di sini. Lo bentar lagi pasti bakal lihat dia masuk ke dalam kelas kita."

"Yang bener?"

"Iya. Ini satu kesempatan buat lo dan kali ini lo harus bisa deketin dia."

"Oke, thanks bro."

Dewa memutuskan panggilannya. Dia sempat kaget saat ada seorang senior yang tiba-tiba berteriak kepadanya.

"Hei, kamu masih diluar! Gak denger bel masuk udah bunyi! Cepat ke kelas dan segera kumpul di lapangan!"

Dewa menoleh sesaat ke arahnya tanpa menjawab lalu dia berlenggang menuju kelas tanpa rasa bersalah dan takut sedikitpun. Jadi dia ketua OSIS yang ditakuti itu, Rizal Aditya. Dewa menyunggingkan sebelah bibirnya.

Perkenalan

"Oo, jadi itu ketua OSIS yang katanya galak," ucap Karin yang kini berdiri di tengah barisan saat apel pagi pembukaan MOS waktu itu.

Lisa menoleh Karin sesaat ketika mendengar pernyataan Karin. Lalu pandangannya kini beralih pada seseorang yang berada di depan lapangan yang kini sedang berpidato.

Ketua OSIS? Dia kan cowok yang hampir nabrak gue tadi. Lisa terus menatapnya. Entah perasaan aneh apa yang dia dapat. Dia seperti tidak ingin berhenti memandangnya. Memandang wajah tampannya yang seolah sudah lama dia nanti. Ini baru pertama kali gue lihat dia, kenapa rasanya kayak udah lama kenal dia. Dan rasanya... Aneh, gak mungkin kan gue kangen ama cowok yang gak gue kenal.

Lisa terlalu fokus dengan lamunannya sampai dia tidak mendengar apa yang dikatakan sang ketua OSIS di depan lapangan. Sampai apel segera dibubarkan dia masih melamun. Bahkan kini dia tersadar ada seorang gadis yang berdiri di belakang Rizal. Gadis itu sangat pucat dengan tatapan kesedihannya. Dia siapa? Perasaan tadi tidak ada siapa-siapa.

"Lisa..." Panggilan dan tepukan tangan Karin menyadarkan lamunan Lisa.

"Ya.."

"Lo lihatin Kak Rizal sampai segitunya, apelnya kan udah selesai."

"Kak Rizal siapa?" Lisa tidak mengerti karena dia sama sekali tidak mendengar saat sesi perkenalan Rizal.

"Lo fokus liatin dia tapi lo gak dengerin suaranya, lo kenapa? Naksir sama Kak Rizal. Hati-hati, dia itu galak banget." Karin menggandeng tangan Lisa dan mengajaknya berjalan ke kelas sambil menggoda Lisa.

"Bukan gitu. Gue tadi liat ada cewek di belakang Kak Rizal."

"Cewek? Yang maju ke depan itu cuma Kak Rizal. Lo halu kali."

Lisa semakin bingung. Dia jelas-jelas melihatnya tapi logikanya berkata lain. Kalau emang ada cewek di belakang Kak Rizal mana mungkin dibiarin, pasti dia suruh mundur. Masak iya gue halu?

"Kalian berdua jalan lelet banget, ayo cepat masuk ke dalam kelas!!" teriak salah seorang pembina OSIS yang sudah berdiri di dekat pintu.

"Huh?! Nenek lampir," gumam Karin sangat pelan agar tidak terdengar olehnya sambil berlenggang masuk ke dalam kelas dan duduk di bangkunya bersama Lisa.

"Sekarang keluarkan semua perlengkapan MOS dan yang belum pakai aksesoris yang telah ditentukan di pakai sekarang!!" Perintah Sofi cukup keras sambil berkeliling dari meja ke meja.

"Gawat! Kartu peserta MOS gue mana?" Lisa membuka dan mengacak isi dalam tasnya. "Jangan-jangan ketinggalan."

"Lo kenapa? Ada yang ketinggalan?" tanya Dewa yang duduk di belakang Lisa saat melihat Lisa masih bingung mencari sesuatu di dalam tas.

"Kartu peserta gue ketinggalan."

"Nih pake punya gue aja."

"Beda nama, Dewa."

"Ehem! Kalian ngobrolin apa? Mana kartu peserta kamu?" Sofi menunjuk Lisa.

Lisa mulai gemetar tapi dia sudah pasrah. "Ketinggalan Kak."

"Ketinggalan? Baru pertama masuk sekolah kamu sudah gak disiplin. Sekarang kamu minta tanda tangan sama Rizal kalau kamu gak dapat, kamu pulang."

"Tunggu-tunggu, biar gue aja yang gantiin Lisa." Dewa berdiri tapi lagi-lagi Sofi memberikan perintah yang harus dituruti.

"Mau jadi sok pahlawan!! Kembali duduk!"

Dewa sebenarnya sudah emosi, "Kalau lo bukan cewek mungkin udah gue hajar. Persetan dengan senior."

"Dewa, udah gue gak papa." Lisa berdiri dan membawa buku beserta penanya. Dia melangkah ragu.

Sumpah, gue takut. Bagaimana caranya dapat tanda tangan Kak Rizal. Ikut MOS aja kenapa harus ada persetujuan dari dia sih. Fiuuhhh...

Dia, siapa?

Lisa menghentikan langkah kakinya di pinggir lapangan basket. Dia semakin gemetar saat melihat Rizal dengan lantang memberi perintah pada siswa yang tidak disiplin waktu itu. Dia berjalan pelan mendekat. Bibirnya terasa kaku untuk memanggil Rizal agar membalikkan badannya. Dia diam beberapa saat di belakang Rizal yang masih beberapa kali meneriaki peserta MOS.

Tiba-tiba Rizal membalikkan badannya dan dia cukup terkejut saat melihat Lisa yang sudah berdiri di situ bahkan sejak beberapa menit lalu. "Kamu ngapain berdiri di sini?"

"Hmmm, anu kak. Ini...." Lisa masih saja tidak bisa berbicara lancar.

"Di suruh ke sini sama siapa? Dan melakukan kesalahan apa?" Pertanyaan Rizal begitu tegas.

"Sama Kak Sofi." Lisa sedari tadi hanya menunduk. Dia tidak berani melihat wajah Rizal saat itu. "Kartu peserta MOS saya tertinggal dan saya disuruh minta tanda tangan Kak Rizal."

"Baru hari pertama jadi siswi SMA kamu sudah tidak disiplin! Gak gampang buat dapat ijin mengikuti MOS hari ini. Kamu mau hukuman fisik atau mental?”

Lisa terdiam dan berpikir. Keduanya sama-sama berat baginya, tapi jika dia memilih hukuman mental pasti dia akan dipermalukan dan bagaimana dia bisa masuk sekolah lagi keesokan harinya dengan reputasi yang sudah hancur. "Fisik," jawab Lisa singkat.

"Oke. Sekarang kamu putari lapangan 5 kali."

Lima kali!!! Lisa menautkan alisnya. Sebenarnya dia hari itu sudah merasa sangat lelah.

"Ayo cepat lari! Apa kamu mau lari putari gedung sekolah!"

"Iya Kak."

Lisa mulai berlari. Tanpa sadar Rizal terus mengamati Lisa. Kenapa dia seperti gak asing lagi buatku.

Satu kali putaran, lalu dua kali putaran, lari Lisa mulai melambat. Lisa mengusap keringat yang mulai mengalir di pelipisnya. Napasnya juga sudah ngos-ngosan. Capek banget gue.

"Sudah, berhenti!" Rizal menyuruh Lisa berhenti lalu dia berjalan mendekati Lisa yang membungkuk dan mengatur napasnya. "Baru dua putaran aja udah gak sanggup. Mana buku kamu?"

Lisa menegakkan badannya dan memberikan bukunya yang sedari tadi dia pegang. Baru kali ini dia menatap Rizal. Pandangan mereka beradu beberapa saat.

Tatapan mata ini? Dewi? Jantung Rizal berdegup melihat tatapan mata Lisa. Nggak! Dia bukan Dewi tapi kenapa pandangan matanya bisa buat jantungku bergetar. Rizal mengalihkan pandangannya pada buku yang dia pegang dan menandatanganinya.

Lisa masih saja menatap Rizal dan matanya kini melebar saat melihat sosok gadis yang begitu pucat itu di belakang Rizal lagi. Kenapa dia tiba-tiba muncul lagi. "Nggak!!" Lisa berteriak dan menutup matanya sambil berjongkok. "Kamu jangan muncul lagi!!"

"Hei, kamu kenapa?" Rizal membungkuk dan menarik tangan Lisa untuk membantunya berdiri.

Lisa masih ketakutan dan teriakannya memancing perhatian beberapa siswa lain beserta seorang guru.

"Rizal, ada apa? Bapak sudah bilang sama kamu, jangan terlalu menghukum mereka."

Lisa tersadar teriakannya sudah mengundang perhatian. Gue gak boleh kayak gini. Ntar dikira gue gila. Tenang.... Lisa menarik napas panjang.

"Hmmm, maaf Pak. Saya cuma..."

"Maaf Pak, ini bukan salah Kak Rizal." Lisa memotong kalimat Rizal. "Saya memang kurang sehat hari ini. Bukan karena hukuman Kak Rizal."

"Ya sudah. Kamu kembali ke kelas tapi kalau masih merasa kurang sehat lebih baik kamu ke UKS."

"Iya Pak. Terima kasih."

Pak Rudi berlalu. Kemudian Lisa mengambil buku yang ada di tangan Rizal. "Makasih."

"Kamu sebenarnya kenapa? Sakit atau takut sama aku?"

Lisa menggeleng. "Aku gak papa." Lisa membalikkan badannya dan melangkah pergi.

Lisa? Rizal sempat melihat name tag Lisa yang menggantung di lehernya. Dia menatap punggung Lisa yang kian menjauh. Ada perasaan aneh yang dia rasakan yang tidak bisa dia artikan saat ini.

***

"Ngomong-ngomong lo tadi di hukum apa sama Kak Rizal sampai pucat banget gini?" tanya Karin sambil membayar minuman yang dia beli di kantin saat itu.

Lisa tak langsung menjawab. Dia menyedot minumannya sampai habis lalu dia membeli lagi.

"Eh, gila lo sampai dehidrasi gini."

"Haus banget gue." Lisa kini membawa minuman dinginnya yang masih penuh dan berjalan pelan di samping Karin.

"Lo belum jawab pertanyaan gue." Karin begitu kepo.

"Gue tadi disuruh lari keliling lapangan. Mana gue capek banget lagi."

"Apa lo disuruh lari. Wah, bener-bener keterlaluan!" Dewa tiba-tiba datang dan mendengar perkataan Lisa. "Jangan mentang-mentang dia ketua OSIS jadi bisa seenaknya."

"Dewa, udahlah nanti kalau ada yang denger gimana."

Karin hanya melirik mereka berdua. "Jangan sok jagoan deh. Kayak lo berani aja." Setelah melempar olokan pada Dewa, Karin melangkahkan kakinya dan meninggalkan mereka berdua.

"Karin tunggu!" Lisa mempercepat langkahnya tapi tanpa sengaja dia justru menabrak seseorang dan menumpahkan minumannya di baju seragam dia. "Ma-maaf." Napas Lisa hampir saja berhenti saat melihat orang yang dia tabrak adalah Rizal.

"Kamu!" Rizal begitu marah saat melihat seragamnya sudah belepotan es coklat.

"Lisa, kok bisa sih." Karin kembali dan berdiri di samping Lisa.

"Maaf kak. Aku gak sengaja." Lisa berusaha mengusap seragam Rizal dengan tisu.

"Gak perlu!!" Tapi Rizal justru menangkis tangan Lisa lalu membalikkan badannya. Dia buka seragamnya sambil berjalan cepat.

"Belagu banget tuh orang!" Dewa bersiap untuk mengejar Rizal.

"Dewa biarin, gue yang salah." Lisa mencegah Dewa mengejar Rizal. Tapi kini dia justru melihat penampakan gadis itu lagi yang berjalan di belakang Rizal. Dia?? Gue masih penasaran kenapa dia muncul tiap ada Kak Rizal. Apa dia beneran makhluk astral? Lisa kini justru mengikuti Rizal dengan langkah cepat. Dia tidak menghiraukan panggilan teman-temannya.

Saat semakin dekat Lisa meraih tangan gadis itu tapi, "Gue gak bisa pegang dia. Jadi...." Lisa menutup mulutnya sendiri agar tidak berteriak. "Kalau gue gak bisa pegang dia, kenapa gue bisa liat dia?"

"Ngapain lo ngikutin Rizal?" Pertanyaan Sofi yang cukup keras membuat Rizal membalikkan badannya.

Lisa hanya terdiam dan masih memikirkan gadis itu. "Dia menghilang lagi..."

"Kamu kenapa?" tanya Rizal yang membuyarkan pandangan kosong Lisa.

"Aku... Aku cuma mau minta maaf." Lisa mencari alasan.

"Minta maaf? Kalau kamu merasa bersalah, ini kamu cuci sampe bersih!!" Rizal melempar seragamnya yang ditangkap langsung oleh Lisa.

"Lo masih baru masuk udah buat masalah aja. Rizal beri hukuman yang lebih berat dong biar dia kapok."

"Sofi, ini diluar bimbingan MOS jangan seenaknya." Rizal membalikkan badannya dan berlalu.

Sofi menyunggingkan sebelah bibirnya dan sedikit mendorong bahu Lisa. "Kalau lo masih caper lagi sama Rizal, habis lo sama gue!"

"Lisa!!" Dewa kini menyusul Lisa dan berhenti di samping Lisa. "Eh, nenek lampir lo ngomong apa sama Lisa?! Bukannya Rizal yang selalu cari masalah."

"Heh, lo bisa sopan gak sama senior lo!!"

"Dewa udah, biarin aja." Lisa kini menarik tangan Dewa agar Dewa mau mengikutinya.

Dewa sebenarnya masih ingin meladeni Sofi tapi karena tarikan Lisa, dia tidak berkutik. Dia malah tersenyum sambil melihat tangan Lisa yang memegang pergelangan tangannya.

Lisa berangsur melepas tangan Dewa dan kini justru mengamati seragam Rizal yang ada di kedua tangannya.

"Jadi lo tadi ngikutin Rizal cuma mau nyuciin seragamnya?"

"Dewa, bukan gitu. Gue tadi bukan ngikutin Kak Rizal."

"Terus?"

Lisa terdiam dan membelokkan badannya masuk ke dalam kelas. "Gak taulah, gue masih belum bisa cerita sama lo."

"Oke, gak masalah. Tapi selepas MOS gue gak mau lagi lo berurusan sama mereka yang gila akan senioritasnya itu." Dewa kini kembali duduk di tempatnya.

Lisa melipat seragam Rizal asal lalu memasukkannya ke dalam tas. Dia masih saja memikirkan makhluk tembus pandang yang bisa dia lihat. Baru kali ini gue bisa lihat makhluk astral. Apa yang terjadi sama gue? Tapi kenapa dia selalu muncul di dekat Kak Rizal. Jangan-jangan Kak Rizal punya temen hantu?

Lisa terus berkutat dengan pikirannya sendiri sampai dia mendiamkan Karin yang duduk di sebelahnya.

"Lisa, lo kenapa dari tadi diam aja?" tanya Karin sambil mengemasi barang-barangnya karena sudah saatnya mereka pulang. "Masih mikirin Kak Rizal yah?" bisik Karin.

"Enggak! Ngapain gue mikirin dia. Gue cuma capek banget hari ini pengen cepet pulang." Lisa juga mengemasi barang-barangnya.

"Ya udah, gue duluan yah." Karin bergegas pergi sambil menengok Dewa sesaat.

"Lisa, pulang bareng gue yuk." Dewa mengimbangi langkah Lisa yang kini keluar dari kelas.

"Nggak usah. Gue di jemput kok hari ini. Kebetulan ayah gue masih libur."

"Btw rumah lo dimana?"

"Di jalan Supriadi."

"Kapan-kapan gue ke rumah lo boleh kan?"

Lisa mengangguk. "Boleh, ajak Karin juga."

Kini langkah mereka terhenti di dekat tempat parkir. Mereka tanpa sengaja mendengar pernyataan cinta Reno pada Karin.

"Dari dulu lo selalu nolak cinta gue. Oke, gue terima tapi apa alasan lo? Mungkin ada satu hal yang gak lo suka dari gue, gue bisa berubah demi lo." Reno masih menjelaskan semua perasaannya pada Karin yang kini sudah duduk di atas motor scoopy-nya. "Apa karena lo punya perasaan sama Dewa?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!