NovelToon NovelToon

Madu Hitam

Bab 1 Flashback

Udara dingin membelai lembut wajahku pagi ini. Sisa hujan tadi malam masih meninggalkan jejaknya. Ditambah udara pagi dibalik bukit menambah nikmatnya udara dingin. Namun, dinginnya udara pagi ini belum cukup untuk mencairkan hatiku yang panas.

Aku menyesap cokelat panas yang tadi aku buat. Baru saja beberapa menit yang lalu, panas cokelat mulai menguar ke udara dikalahkan oleh dinginnya udara. Aku tersenyum kecut menatap cangkir di tanganku. Andai saja hatiku seperti cokelat panas ini. Mudah luruh kala dingin menyerang.

Pemandangan di balik bukit masih tertutup kabut. Bahkan, cahaya mentari pun sulit untuk menerobosnya. Aku melemparkan pandangan sejauh mungkin. Berharap dapat menembus kabut. Bukan pemandangan deretan kebun teh yang kudapat melainkan ingatan tentang lima tahun lalu saat aku dilamar oleh pria yang sangat aku dambakan.

Flashback on

"Ella!" panggil seorang wanita paruh baya yang tak lain adalah ibu kandungku.

"Iya ma," jawabku sambil berlari kecil menghampiri wanita yang sudah melahirkan dan merawatku selama sembilan belas tahun.

"Kamu nanti malam ada acara?" tanya mama sambil memegang kedua tanganku.

"Hmm. Kayaknya ngga ada ma. Memangnya kenapa ma? Tumben mama nanyain acara aku," jawabku bingung.

"Ya, biasa kan kamu suka nongkrong dadakan sama teman-temanmu."

"Hehehe, iya sih. Tapi aku yakin malam ini ngga ada acara nongkrong."

"Bagus kalau begitu," jawab mama sambil tersenyum.

"Memangnya kenapa, ma?" tanyaku semakin penasaran.

"Pokoknya nanti malam kamu dandan yang cantik," jawab mama sambil tersenyum.

"Ih, ngapain dandan, ma?"

"Udah nurut aja," balas mama sambil melepas genggaman tangannya.

"Hmm. aku jadi curiga deh," aku menyipitkan mata berusaha mencari sesuatu yang tersembunyi.

"Pokoknya dandan yang cantik dan ingat, jangan kemana-mana!" tegas mama sambil berbalik dan berjalan menuju lantai dua.

Cukup lama aku terdiam hingga aku menyadari sesuatu yang berhasil membuat kedua mataku membulat.

"Mama! Awas ya, kalo jodohin aku! Pokoknya aku ngga mau kalau sampe mama dan papa ngejodohin aku!" teriakku sekeras mungkin.

Mama terus menapaki anak tangga tanpa peduli dengan protesku. Seolah teriakanku tadi hanya hembusan angin lalu.

"Memangnya aku Siti Nurbaya," keluhku lagi.

Tak ingin membebani pikiran, aku memilih kembali melanjutkan aktivitasku yang tadi tertunda. Waktu berlalu begitu cepat hingga tanpa aku sadari, langit yang semula terang telah berganti gelap.

"Ella! Ella!" panggil mama dari balik pintu kamarku.

Sayup-sayup ku dengar suaranya. Kedua netraku enggan terbuka. Mimpi singkat yang ku alami membuat aku semakin malas untuk membuka mata. Namun, panggilan mama semakin menusuk ke telinga.

"Sebentar ma!" jawabku setengah teriak.

"Urgh!" aku mengendurkan otot-otot tubuhku yang kaku akibat posisi tidurku yang kurang benar.

Namanya juga tertidur, mana mungkin bisa memilih posisi tidur. Aku bangkit dari ranjang dengan malas. Perlahan ku tarik slot dan memutar kenop pintu.

"Kenapa sih ma, teriak-teriak?" tanyaku.

Aku membuka pintu tidak sampai setengah namun cukup menampilkan seluruh tubuhku yang sangat khas usai bangun tidur.

Mama memperhatikanku dari ujung kepala turun hingga ke ujung kaki lalu balik lagi ke atas dan berhenti tepat di wajahku.

Mataku masih ingin merapat karena kantuk masih enggan meninggalkan ragaku yang lelah. Lelah karena terlalu lama menonton drama cina favoritku Eternal Love of Dream. Saking bagusnya drama itu membuatku tidak bosan memutarnya hingga berkali-kali. Apalagi saat adegan romantis antara Feng Jiu dengan Donghua.

Tak ayal terkadang terbawa ke mimpi. Namun, pemeran utamanya tentu saja aku dengan pria idamanku. Pria yang selama ini aku cintai. Cinta pertama yang terkunci rapat di dalam hatiku. Dave Wiratama. Seorang pria kelahiran Jawa-Belanda. Pewaris satu-satunya keluarga Wiratama.

"Ya ampun, Ella! Bukannya tadi siang mama udah bilang, kamu malam ini harus dandan." Mama mulai mengeluarkan beberapa mantranya yang membuatku semakin malas.

Aku memilih memutar tubuhku dan menjatuhkannya ke ranjang yang empuk dengan posisi tengkurap. Sebelah tanganku yang bebas berusaha menggapai bantal untuk menutupi kepala. Namun, kalah cepat dengan tangan mama yang lebih dulu meraihnya lalu mendaratkan satu pukulan di bokongku dengan bantal.

"Ella!" teriak mama.

Aku terbangun dan berdiri spontan. Rasanya gendang telingaku hampir pecah mendengar teriakan mama. Wajar saja, aku terkejut. Mama berteriak tepat di samping telingaku. Bibir mama seolah menempel di telingaku.

"Aduh, apaan sih ma!" aku merosotkan tubuhku ke lantai.

"Kamu itu yang apa-apaan? Cepat mandi dan dandan!" perintah mama.

"Masih sore, mama," jawabku malas.

Wanita paruh baya itu memilih menghela napas panjang sambil berjalan menuju jendela kamar.

"Noh, lihat! Kalau masih sore, mana sinar matahari sorenya?" kesal mama setengah meledek.

"Hehehe! Perasaan tadi aku tidurnya sebentar deh!" balasku.

"Udah ya, Ella! Mama ngga mau dengar alasan ini dan itu. Sekarang kamu cepat mandi dan dandan. Tamu-tamu kita sebentar lagi datang," perintah mama sambil berlenggang menuju pintu kamar.

"Ella ngga mau dijodohin, ma," rengekku.

Langkah mama terhenti. Sebelah kakinya sempat tergantung di udara sebentar. Aku yakin mama sedikit terkejut mendengar penolakanku. Mama berbalik. Wajahnya menyiratkan sesuatu. Terlihat dari sudut bibirnya yang membentuk senyum khas mama. Senyuman yang memiliki arti.

"Ya udah kalo kamu ngga mau, ngga apa-apa. Nanti mama tawarin ke anak tetangga sebelah aja. Silahkan dilanjutkan halu-nya," ucap mama sambil berbalik tanpa menutup pintu kamar.

"Ck, jaman udah modern masih aja maen jodoh-jodohan! Yang ada sampe sekarang itu maen rumah-rumahan," kesalku.

Aku kembali merebahkan tubuhku di atas ranjangku yang sangat empuk. Meraih bantal dan menutup wajahku. Aku yakin belum sampai satu menit, aku langsung terduduk. Menyadari ucapan mama tadi. Anak tetangga sebelah yang mama maksud adalah Nana. Aku tahu gadis itu sangat menyukai Dave.

"Mama bilang tadi, kalau aku ngga mau bakal dikasih ke Nana. Gawat!" Aku langsung mengambil langkah seribu dan berteriak di muka pintu.

"Mama! Jangan kasih ke Nana! Aku siap-siap sekarang!" teriakku.

Aku bergegas membersihkan diri. Gaun biru muda dengan lengan pendek berkerut menjadi pilihanku. Warna kesukaan Dave. Gaun ini salah satu favoritku. Selain warnanya yang lembut, modelnya juga sangat cocok di tubuhku yang ramping. Aku membiarkan rambut hitam panjang ku tergerai.

Aku mengatur napas sebelum turun ke bawah. Jangan ditanya lagi bagaimana perasaanku saat ini. Rasanya jantungku pindah ke ginjal. Rasa penasaran menabuh hatiku seperti genderang perang. Ingin turun tapi aku takut kecewa. Apa benar tamu yang dimaksud mama itu adalah Dave dan keluarganya. Bagaimana mungkin mereka datang ke rumah untuk melamar ku? atau hanya akalan mama saja agar aku segera turun. Tapi, mama tidak pernah bercanda jika sudah tersenyum seperti itu.

Bab 2 Sok Jual Mahal

"Non Ella, non!"

"Non!" teriak wanita yang memanggilku.

"Astagfirullah, mbok! Ngagetin aja," ucapku sambil mengelus dada.

"Lagian si non dipanggil-panggil dari tadi sama mbok ngga denger. Ya udah, mbok teriak aja," jelas mbok Maryam sambil tersenyum simpul.

Aku menghela napas kasar. Salahku juga yang tidak mendengar panggilan mbok Maryam.

"Non ngapain berdiri di sini?" tanya mbok Maryam penasaran.

"Ngga ngapa-ngapain kok mbok," jawabku sekenanya.

"Hmm, pasti penasaran sama tamu yang datang kan. Udah, ikut mbok turun aja. Lagian mbok ke sini juga atas perintah nyonya. Nyuruh non segera turun. Tamunya udah nungguin di ruang tamu," jelas mbok Maryam sambil memegang sebelah tanganku.

"Eits, tunggu dulu mbok!" aku balas menarik tangan mbok Maryam.

"Tamunya rame?" tanyaku penasaran.

"Iya non," jawab mbok Maryam sambil mengangguk.

"Ada yang ganteng ngga?" tanyaku lagi.

"Sebentar, mbok ingat-ingat dulu," jawab mbok Maryam sambil memainkan bola matanya.

"Ih, kelamaan mbok mikirnya," aku mulai tidak sabaran.

"Mbok tadi tidak begitu memperhatikan non. Orang mbok cuman nyajiin minuman terus disuruh nyonya manggilin non. Tapi, ya non. Mbok rasa-rasa tadi ada yang ganteng."

Aku semakin penasaran dan antusias. "Masih muda atau udah berumur mbok?"

"Aduh si non. Kita turun aja deh! Biar ngga penasaran. Lagian kata nyonya di suruh cepet," jawab mbok Maryam sambil menarik tanganku lagi.

"Ih, mbok! Sabar dong!" Aku berusaha melepaskan diri dari cengkraman mbok Maryam agar terseret hingga ke bawah.

Tenaga yang aku kerahkan ternyata masih kurang dari setengah tenaga mbok Maryam. Wanita paruh baya itu memiliki tenaga yang super duper kuat. Kata mama, mbok Maryam itu dulunya pernah menjadi atlet karate. Karena mengalami kecelakaan, akhirnya mbok Maryam harus mengubur mimpinya.

Jadi, meski sudah berumur tenaganya masih luar biasa kuat. Mama sangat pandai memilih orang untuk mengeluarkan aku dari kandang. Hampir saja aku terjungkal saat menapaki anak tangga yang menurun.

"Nah, ini dia Ella," ucap mama saat melihatku sedang diseret oleh mbok Maryam.

Aku salut dengan tenaga mbok Maryam. Tanpa aku sadari kami sudah berada di ruang tamu. Jika sudah begini, aku harus mengulas senyum palsu sambil mengedarkan pandangan.

"Ya tuhan, benaran dia!" pekikku dalam hati saat kedua netraku berhenti pada sosok yang aku dambakan.

"Salim dulu sana!" bisik mama yang entah kapan sudah berdiri di sampingku.

"Eh iya," jawabku sambil menyalami kedua calon mertuaku.

"Caela, calon mertua. Pede banget gue," pekikku lagi dalam hati.

"Dingin banget tangannya?" tanya Tante Melani saat aku menyalaminya.

"Eh iya Tante. Tadi habis cuci buah," jawabku sekenanya.

"Cuci buah di atas?" tanya Tante Melani lagi.

Aku tidak tahu jika saat itu aku sedang digoda habis-habisan.

"Sudah ma. Jangan digoda terus! Namanya juga calon menantu baru ketemu sama calon mertua," jelas om Dirga yang tak lain adalah suami Tante Melani.

Blush

Ucapan om Dirga berhasil membuat wajahku merona seperti kulit udang rebus. Mereka tidak tahu saja jika aku bersorak riang dan ingin salto di dalam hati dari tadi.

"Jadi, gimana Dave?" tanya Melani pada putra semata wayangnya.

"Dave nurut aja ma. Pilihan mama dan papa pasti terbaik buat Dave," jawab Dave dengan nada datar.

Gelombang suaranya membuat hatiku terbang tanpa arah. Mungkin sekarang warna hatiku berubah menjadi merah jambu.

"Eits, tunggu dulu! Baru aja gue duduk kok udah maen mutusin aja," ucapku dalam hati.

Aku mengamati keadaan. Mungkin mereka sudah membicarakan hal ini lebih dulu sebelum aku tiba. Tapi aku bukan gadis sembarangan. Meski tiba-tiba dilamar oleh pria yang aku dambakan bukan berarti aku langsung menyetujuinya. Jual mahal. Yups, aku harus jual mahal sedikit.

"Mama. Aku dan Dave kan belum mengenal lebih dalam," kalimat pertama yang keluar dari mulutku sangat lancar.

"Nanti juga bisa mengenal lebih dalam," jawab mama cepat tanpa menatapku.

"Tapi ma, ini kan untuk jangka panjang," timpalku lagi. Padahal di dalam hati aku menginginkan sebaliknya.

"Apa nak Ella keberatan dengan perjodohan ini?" tanya Tante Melani yang ternyata mendengar percakapan aku dan mama.

"Begini Tante. Ella dan Dave kan belum saling mengenal. Maksud Ella, apa sebaiknya kita saling mengenal dulu setelah itu baru ke jenjang berikutnya," jelasku tanpa ragu-ragu.

Suasana hening sejenak hingga Tante Melani kembali buka suara, "Benar juga sih, apa yang dikatakan Ella."

Aku tersenyum simpul. Sesuai dengan keinginanku.

"Gimana mbak Ranti?" tanya Tante Melani pada mama.

"Hmmm, ngga ngira kan, aku bakal main tarik-ulur," ucapku senang dalam hati.

Sebagai penambah suasana, aku berakting sebagai gadis polos yang belum siap menerima pinangan.

"Ya, saya sih terserah anaknya saja, mbak," jawab mama.

Aku memberikan senyum palsu dan bersikap manis.

"Kalau memang jodoh, kita segerakan. Kalau belum jodoh artinya kita tetap jadi saudara saja, mbak. Lagian kan nak Dave harus segera ke Eropa. Kasihan kalau tidak ada yang menemani," timpal mama.

"What? Apa? ke Eropa? Tunggu-tunggu! Kalau Dave ke Eropa artinya gue ngga bakalan nginjak tanah yang sama dong!" Aku terkejut bukan main. Hatiku langsung mencelos serasa pindah ke lambung.

"Benar juga kata mba Ranti. Wah, padahal saya sudah seneng loh bisa besanan sama mba. Kalau begini terpaksa saya melamar ke tetangga sebelah," ujar Tante Melani dengan raut sedih.

"Iya ngga apa-apa, mbak. Ngga jadi besanan cukup jadi saudara aja," balas mama cepat.

"Kalau begitu ..."

"Tunggu Tante!" Aku segera memotong percakapan antara Tante Melani dan mama.

Kini semua mata tertuju padaku. Aku sampai dibuat kikuk oleh mereka.

"Ma-maksudnya gimana Tante?" tanyaku terbata.

"Oh! Jadi gini, Sebentar lagi usia Dave menginjak angka kepala tiga. Usianya sudah cukup untuk menikah. Nah, setelah menikah, Dave harus menetap di Eropa selama kurun waktu yang belum ditentukan hingga dia pantas menjadi pewaris. Tante itu ngga mau Dave sendirian di sana. Takut ngga ada yang ..."

"Bersedia Tante." Tidak perlu mendengar penjelasan Tante Melani lagi, aku sudah tahu duduk perkaranya. Ingin sok jual mahal malah kaget sendiri aku mendengar kabar yang belum sampai ke telingaku tentang kepergian Dave ke luar negeri.

Mama memiringkan tubuh dan berbisik padaku, "Ngga jadi jual mahal?"

Mataku spontan membulat mendengar pertanyaan mama yang terdengar biasa saja tapi menohok di hati. Bisa-bisanya wanita yang sudah melahirkan aku itu tahu isi hati dan kepalaku.

"Hampir aja cowok idamanmu hinggap ke tetangga sebelah," bisik mama lagi.

Kali ini aku langsung menatap mama tak percaya. Sedangkan yang ditatap dengan santainya merubah posisi duduknya. Aku sangat yakin seratus persen tidak ada yang tahu tentang pria idamanku, termasuk ketiga sahabat baikku. Bagaimana mama bisa mengetahuinya?

Bab 3 Pulang

Waktu berlalu sangat cepat. Tidak sampai sebulan pernikahanku dengan Dave sudah terlaksana. Kami resmi menjadi sepasang suami istri. Pesta yang sangat megah tak begitu ku hiraukan kala itu sebab pria yang berdiri disampingku lebih megah dibanding semuanya.

Hingga mentari berganti bulan. Bulan malam itu berbentuk pepat sempurna dengan cahaya kemilau. Seluruh keluarga besar meninggalkan kami berdua di kamar hotel yang megah. Bukannya aku tidak pernah menginap di hotel bersama keluarga dengan fasilitas nomor satu tapi pria yang berada di dalam ruangan yang sama denganku membuat aku salah tingkah.

Cahaya lampu yang menyilaukan bagaikan mutiara-mutiara yang melayang di langit. Sungguh lebay. Begitulah yang kurasa. Malam pengantin yang sangat ditunggu setiap pasangan suami istri membuat aku lagi-lagi salah tingkah. Jantungku melompat-lompat kegirangan.

Namun, semua itu hanya khayalan. Usai membersihkan diri, Dave langsung menuju ranjang pengantin dan tertidur pulas dalam hitungan detik. Aku yang duduk di ujung tempat tidur dengan gaun kurang bahan dan jauh dari kata tebal diacuhkannya begitu saja. Kelakuannya berhasil membuatku melongo dan tak habis pikir.

Tak hanya satu kali, kurang lebih enam bulan aku berjuang dan berusaha agar Dave mau menyentuhku. Di sini bukan berarti Dave mengacuhkanku. Dia sangat perhatian, tutur katanya sangat lembut dan sopan. Aku sangat dimanjakan sebagai seorang istri. Tapi, aku menginginkan lebih dari itu.

Aku sempat ragu padanya. Apa karena dia belum mencintaiku dan kami dijodohkan? atau jangan-jangan dia sudah memiliki pilihan hati yang lain namun tidak berani untuk melawan kehendak kedua orang tuanya. Berbagai pertanyaan dan spekulasi bermunculan di benakku.

Aku sempat menyerah dengan keadaan tapi menyerah untuk mendapat kemenangan. Seolah aku mengikuti alur ceritanya. Aku putar balik caraku untuk menarik simpatinya hingga suatu malam, Dave sendiri yang mendatangiku dan terjadilah pergelutan panas pertama kami setelah enam bulan lamanya aku menunggu.

Perjuanganku tidak sia-sia hingga di tahun kedua pernikahan, kami dikaruniai seorang putri cantik. Lengkap sudah kebahagiaan yang aku miliki. Sungguh lima tahun pernikahan yang sangat menguras tenaga dan perasaan.

"Tunggu dulu!" aku mulai menyadari sesuatu.

Flashback off

"Gue mati-matian membangun rumah tangga selama lima tahun terakhir terus kenapa sekarang gue jadi ciut!" ucapku sendiri.

Sungguh kebodohan yang terlambat kusadari. Hampir saja sia-sia perjuangan rumah tanggaku. Aku bergegas masuk ke rumah. Menapaki setiap anak tangga dengan tergesa. Kamar yang berada di lantai dua berasa sangat jauh bagiku saat ini.

Putriku masih terlelap. Melihat kelopak matanya yang masih erat membuatku tak tega membangunkannya, aku langsung meraih jaket pink muda dan mengenakan padanya perlahan. Carla bergerak sedikit tapi tidak sampai membangunkannya. Aku meraih tas kecil lalu menggendong Carla. Menuruni anak tangga perlahan.

"Bi, tolong pakaian saya dan Carla dibereskan dan dikirim nanti!" perintahku pada bi Ijah.

"Iya nyonya. Nyonya mau kemana pagi-pagi begini?" tanya bi Ijah sambil mengelap tangannya yang basah. Wanita paruh baya itu sedang mencuci piring saat aku menghampirinya di dapur.

"Saya mau pulang, bi."

"Alhamdulillah. Bibi senang nyonya mau pulang ke rumah tuan," ujar bi Ijah sambil tersenyum. "Eh, tapi ini bukan maksud bibi mengusir ya, nyah!" timpalnya lagi dengan nada sedikit takut.

Aku tersenyum, "Aku tahu kok, bi. Bibi selalu menginginkan yang terbaik untuk rumah tanggaku."

"Sejak nyonya cerita sama bibi tiga hari yang lalu, bibi selalu berdoa sama Allah SWT. agar nyonya kuat menghadapi cobaan rumah tangga."

"Makasih bi," jawabku singkat.

"Bi Ijah jangan cerita-cerita ke siapa pun ya! Gimana juga ini aib rumah tanggaku, bi," pintaku pada bi Ijah.

"Tenang aja nyonya. Pokoknya tokcer," ucap bi Ijah sambil melayangkan ibu jarinya ke udara.

"Hah, tokcer!" seruku keheranan.

Bi Ijah menutup mulut dengan salah satu tangannya, "Itu loh, nyah. Yang ada di film-film kalo simpan rahasia itu."

"Oh, top secret, bibi!" terang ku sambil tertawa pelan takut membangunkan Carla.

Bi Ijah juga ikut tertawa sambil menutup mulut.

"Kalau begitu bibi suruh pak Ujang siapin mobilnya dan nyiapin bekalan buat nona Carla. Takut non Carla terbangun di tengah perjalanan terus mau minum susu dan makan," ujar bi Ijah.

"Makasih ya, bi."

"Sama-sama nyonya. Lagian juga udah kewajiban saya," bela bi Ijah.

"Kalau begitu saya tunggu di teras depan ya, bi."

"Siap nyonya," bi Ijah menundukkan kepala sedikit sambil tersenyum.

Aku masih bisa mendengar ocehan bi Ijah saat melangkah keluar dari dapur.

"Dasar tuan besar goubloknya ngga ketulungan. Punya istri cantik, baik, sabar, masih aja cari yang lain. Kalo aja nyonya itu anakku, udah ngga kasi ampun," oceh bi Ijah sambil meremas kain lap di tangannya.

Aku tersenyum mendengar ocehannya. Setidaknya menjadi sedikit penawar untuk hatiku. Tidak sampai lima belas menit segala keperluan Carla telah disiapkan bi Ijah. Aku salut dengan geraknya yang sangat cekatan.

"Makasih banyak ya, bi," ucapku lagi sambil menyalami dan mencium tangannya.

Spontan saja bi Ijah melepas tangannya sebelum punggung tangannya ku cium.

"Eh, ngga boleh gitu nyonya!" Bi Ijah terkejut mendapat perlakuan seperti itu dariku.

"Bibi kan lebih tua dari saya. Sudah sewajarnya saya menghormati bibi." Aku tidak ingin pengajaran kedua orang tuaku tentang adab menjadi sia-sia.

"Tapi nyo-,"

"Bibi itu seumuran sama mama aku. Jadi, bibi ngga perlu sungkan. Jangan pernah bibi berpikir karena bibi bekerja di sini, bibi sampai lupa adab yang benar itu seperti apa," aku segera memotong kalimat bi Ijah.

Tampak kedua netranya berkaca-kaca mendengar penjelasan dariku. Aku tersenyum, Lalu, aku raih kembali tangannya dan mencium punggung tangan wanita yang tidak muda lagi.

"Aku pamit ya, bi. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." Aku pamit pada bi Ijah sambil berdiri dari kursi yang menopang bobot tubuhku dan Carla.

"Hati-hati di jalan, nyonya. Jangan lupa kabari bibi saat sudah tiba di rumah!" ucap bi Ijah melepas kepergian ku.

"Iya bi."

Kendaraan roda empat yang kunaiki melaju perlahan. Meninggalkan halaman vila. Aku sengaja membuka kaca mobil sedikit agar dapat melihat bi Ijah yang masih melambaikan tangannya dan enggan masuk ke dalam villa.

Perjalanan pulang ke rumah membutuhkan waktu kurang lebih dua jam. Waktu yang cukup untukku sekedar memejamkan mata. Mengumpulkan kembali tenaga yang terkuras selama tiga hari terakhir. Ya, pikiran, hati, dan tenagaku harus optimal saat aku tiba di rumah nanti.

Beberapa pertanyaan sudah kusiapkan saat berhadapan dengan Dave. Terakhir kali aku pergi dengan meninggalkan secarik kertas dengan pesan singkat yang ku tulis dengan huruf kapital, AKU PERGI. JANGAN MENCARI DAN MENGHUBUNGI ORANG TUAKU. Beserta sebuah foto yang menampilkan sosok suami tercintaku dengan seorang wanita. Ponsel juga ku nonaktifkan. Entah bagaimana keadaan suamiku saat itu? Huh! Takdir sangat lucu dan kejam.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!