NovelToon NovelToon

The RADAN

BAB 1

Kota Malang yang selalu disebut sebagai Kota Seni oleh kalangan ramai pastinya memiliki banyak sejarah yang menarik dan mengesankan. Seperti halnya SMA Rimba Sakti. SMA swasta yang terletak di Kedungmalang, pinggiran Utara Kota Malang. Sekolah ini berdiri megah dengan bangunan utama bergaya kolonial yang telah ada sejak tahun 1960. Dikelilingi oleh hutan kecil yang kerap dianggap angker oleh para siswa. Meski begitu, sekolah ini selalu ramai dengan kegiatan ekstrakurikuler dan dipenuhi juga oleh murid-murid berprestasi.

Tahun ini merupakan awal tahun ajaran baru. Sekolah baru bagi murid-murid kelas 10 serta pembelajaran baru bagi murid-murid kelas 11 dan 12. Selagi anak-anak kelas 10 yang masih masuk ke dalam masa orientasi hari terakhir, kelas 11 dan kelas 12 langsung masuk ke dalam pembelajaran baru mereka sejak awal masuk dua hari yang lalu.

Pada waktu istirahat ini, kantin sangatlah ramai. Baik kantin dekat dengan gedung kegiatan ekstrakurikuler maupun kantin utama yang berada di dekat tempat ibadah.

Bahkan saking ramainya, banyak yang tidak mendapatkan tempat duduk untuk makan langsung di sana sambil menikmati nyamannya kursi kantin yang berada di bawah pohon apel. Beberapa murid berdesakan untuk memesan makanan sampai-sampai ada yang baru datang tetapi langsung balik lagi dikarenakan suasananya yang ramai.

Lain halnya dengan seorang siswa yang sedari duduk di salah satu meja kantin dengan pohon apel tepat di atas kepalanya. Jika beruntung, apel itu akan jatuh dan ia akan mendapatkannya secara gratis tanpa perlu izin kepada sekolah.

Satu lagi siswa menghampirinya santai dan duduk di depannya sambil membawa semangkuk bakso dan segelas es teh. "Boleh duduk di sini, kan?" tanyanya.

Sedangkan lawan bicaranya itu hanya mengangguk saja sambil memakan bakso di hadapannya.

"Aku Rian dari IPS 2. Kamu sendiri siapa?" katanya lagi bertanya berusaha membuka topik.

"Arga, MIPA 1," jawab lawan bicaranya itu dengan singkat.

Rian kali ini tak mengatakan apapun lagi. Rian Pamungkas yang sangat dikenal sebagai siswa super humble dan suka berbicara itu juga bisa terdiam di depan seorang Arga Adiwijaya hanya karena dia sedang serius menyantap semangkuk baksonya saat ini. Hal itu tentunya membuat Rian sedikit kesal.

"Kamu anak OSIS, kan?" tanya Rian. Arga hanya berdeham sebagai jawaban membuat Rian jengkel mendengarnya. Laki-laki jangkung itu sudah selesai dengan ritual makannya dan berencana pergi, namun tindakannya terhenti setelah mendengar Rian yang kembali berbicara, "Cuman rumor sih, tapi katanya ada salah satu anak murid dari kelas 12 yang kemarin hilang. OSIS tau sesuatu?"

Netranya seketika menatap Rian dengan penuh siasat seperti halnya yang dilakuan Rian padanya.

"Gak ada yang tau soal itu," jawab Arga. Tetapi, bukannya pergi, Arga justru kembali duduk dan bertanya pada Rian, "Kamu sendiri tau dari mana?"

Rian hanya mengedikkan bahunya. "Gosip anak cewek di kelas," jawabnya yang membuat Arga tak puas mendengarnya.

"Sebenarnya anak OSIS juga bingung kenapa ada rumor begitu. Tadi ada salah satu anggota OSIS yang bilang kalau kemarin dia belum pulang, hari ini orang tuanya lapor ke sekolah yang gak tau apapun soal itu dan sekolah juga menanyakan kenapa dia gak masuk hari ini. Akhirnya dilaporkan ke kantor polisi soal anak hilang ini. Cuman kembali lagi, masih katanya," jelas Arga.

"Dengan kata lain, OSIS tau soal ini, kan?" tanya Rian lagi dan Arga mengangguk.

"Tapi, gak ada satupun yang percaya dan nganggap kalau si siswi ini memang bolos sekolah," jawab Arga.

Bel masuk tiba-tiba berbunyi di sela-sela obrolan itu.

"Ke kelas duluan, Ga. By the way, salken," kata Rian sambil beranjak meninggalkan Arga di kantin.

Masih dengan rasa penasaran yang cukup tinggi, Rian berjalan menyusuri koridor sekolah menuju kelasnya sambil memikirkan penjelasan Arga. Saat masuk, dirinya mendapati teman seperjuang sebangkunya yang kini tengah duduk sambil tangannya berkutik dengan laptop yang ada di depannya.

Rian menghampiri untuk duduk juga, tetapi matanya memincing ketika melihat teman sebangkunya itu justru bukan sedang nge-game. Seketika ia terbelalak melihat berbagai macam tulisan aneh berwarna hijau yang terus-menerus muncul di laptop itu.

'Gila...ngoding?' batinnya tak percaya.

Rian langsung menepuk pundaknya, membuat teman sebangkunya itu sedikit terlonjak kaget dan langsung menutup laptopnya—ia membuka headphone yang menutup kedua telinganya sambil memandang ragu ke arah Rian.

"Lagi ngapain tadi?" tanya Rian penasaran.

"Benerin sesuatu," jawabnya singkat.

Dengan spontan bola mata Rian memutar dengan malas. "Tadi aku dari kantin ketemu anak MIPA yang lagi diidolain sama anak-anak kelas 10," ujarnya membuka topik.

"Terus?" tanya temannya itu singkat.

"Aku mancing dia tanya soal anak kelas 12 yang rumornya hilang itu, dia bilang kalau anak OSIS semuanya tau tapi gak ada yang percaya," jelas Rian.

"Soalnya yang hilang memang cewek yang suka ngerundung, jadi gak ada yang percaya," balas teman sebangkunya itu malas sambil memasang headphone-nya kembali.

Dengan segera, bagian sebelah kanan headphone-nya disingkirkan oleh Rian. "Tapi, ada yang aneh," katanya.

"Apa?" tanya teman sebangkunya itu dengan nada malas.

"Masalahnya kemarin denger gosip gengnya si Riska, kalau dia sendiri ini gak berencana pergi kemana-mana dan pulang sekolah mau langsung pulang," jawab Rian.

Teman sebangkunya itu—Dimas Biantara menatap Rian malas. "SMA itu masa-masa labil, Yan," balasnya membuat Rian berdecak.

Tak lama kemudian, guru geografi mereka masuk ke dalam kelas sehingga Dimas memasukkan laptopnya ke dalam tas dan pelajaran di kelas 11 IPS 2 pun dimulai.

Lain halnya dengan Arga yang saat ini tengah sibuk mengawasi anak-anak kelas 10 di hari terakhir masa orientasi mereka. Beberapa siswi melihat ke arahnya terpana dengan pesona Arga. Sedangkan laki-laki itu sendiri kini merasa tertarik pada salah satu siswi kelas 10 yang memakai kacamata. Rambutnya tergerai dan poninya hampir menutupi matanya.

Bukan apa-apa, Arga merasa ada yang aneh saat siswi itu seperti cemas dan waspada ketika ada yang berusaha dekat dengannya.

"Kenapa, Ga?" salah seorang anak OSIS menghampirinya.

"Bukan apa-apa," balas Arga singkat kemudian berniat pergi menuju toilet. "Aku tak ke toilet dulu yo," izinnya pada anak OSIS yang menghampirinya itu.

Arga mulai melangkah menuju toilet, tetapi terhenti usai melihat sesuatu yang mencurigakan baginya. Dia melihat salah satu guru SMA Rimba Sakti yang seolah sedang mengikuti seorang siswi pengguna almamater OSIS di sana.

Seketika dirinya menghampiri guru tersebut dan menepuk pundaknya. Aneh bagi Arga saat guru itu sedikit terlonjak kaget dan menoleh panik ke arahnya.

"Oh, Arga. Ada apa?"

"Gak ada apa-apa, Pak. Saya cuman kebetulan lewat dan gak sengaja ketemu Bapak. Pak Ruslan sendiri mau ngajar atau apa Pak?" jawab Arga santai seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku.

Guru TIK yang kerap dipanggil sebagai Pak Ruslan itu hanya tersenyum halus sambil menjawab, "Saya mau mengecek komputer di lab. Arga hari ini kegiatan sudah selesai?"

"Belum, Pak. Setelah Dzuhur nanti istirahat sebentar baru apel penutup," jawab Arga.

"Kalau sekarang tidak ada kegiatan, bisa bantu Bapak? Ada beberapa komputer yang harus dibawa ke gudang karena memang kemarin dicek sudah pada mati," tawar Pak Ruslan.

"Boleh, Pak," balas Arga menyetujui.

Keduanya pun berjalan dengan santai menuju lab komputer. Di koridor itulah mereka bertemu dengan Rian dan Dimas yang tengah duduk di kursi panjang di depan lab komputer.

"Lho! Kalian berdua kok di sini?" tanya Pak Ruslan.

Rian berdiri sembari menggaruk tengkuknya tak gatal. "Gini, Pak. Laptop si Dimas mati, dia mau minta tolong Bapak benerin," jawabnya.

Dimas sendiri pun ikut menyusul Rian sambil menyodorkan laptopnya kepada Pak Ruslan. "Saya minta tolong dengan sangat, Pak. Soalnya ada banyak data penting di laptop ini, kalau gak segera dibetulkan bisa-bisa datanya hilang semua," jelasnya.

"Iya Pak, kasihan saya sama Dimas. Dia gak punya pacar, soalnya pacar dia laptop, Pak. Kalau gak dibenerin bisa-bisa besok sudah innalilahi," sahut Rian bercanda membuat Dimas langsung menoyor kepalanya.

Pak Ruslan hanya menggelengkan kepalanya mendengar celotehan kedua anak muridnya itu. Dengan senang hati ia mengulurkan tangannya untuk mengambil laptop tersebut. "Ya sudah saya bantu, tapi sebagai gantinya kalian juga harus bantu saya," katanya.

Rian dan Dimas tak menjawab dan justru saling memandang sejenak sebelum kembali mengarah ke Pak Ruslan.

"Bantu Arga untuk membawa beberapa komputer ke gudang selagi saya membetulkan laptop kamu," lanjut Pak Ruslan.

"Oh, kalau gitu aja sih siap Pak," jawab Rian dengan tangan berposisi hormat.

Pak Ruslan berjalan lebih dulu untuk membuka lab komputer. Di lain sisi, Rian dan Dimas tiba-tiba saling bertos-ria pelan seolah mereka berhasil akan sesuatu. Hal tersebut membuat mata Arga menyelidik seketika.

"Kalian mau bantuin biar gak ikut pelajaran?" tanya Arga menyelidik.

"Tau aja," jawab Rian santai sambil berbalik menuju lab komputer yang akhirnya diikuti Dimas dan Arga di belakang.

Saat Arga ingin masuk, Dimas secara tiba-tiba mengatakan sesuatu yang aneh, "Jangan mencurigai satu orang."

BAB 2

Sudah masuk waktu istirahat yang ke dua kalinya di mana adzan Dzuhur mulai berkumandang di mushola SMA Rimba Sakti. Saat ini seorang gadis beralmamater OSIS tengah berjalan di koridor sekolah sambil membawa buku besar di tangannya. Langkahnya terhenti ketika ia mencium asap aneh yang membuat hidungnya merasa terganggu.

Dirinya menghampiri asal dari asap tersebut di mana itu berada di belakang rumah kebun sekolah yang kini sudah tak terpakai lagi.

Matanya terbelalak melihat bahwa itu adalah asap rokok dari ketiga siswi kelas 12 yang sangat ia kenali.

"Mbak, tolong matiin rokok itu! Ini sekolah, apalagi kalian pakai seragam sekolah," katanya meminta.

Sedangkan ketiga siswi itu langsung tertawa sejenak sebelum memandangnya acuh dan kembali melakukan kegiatan mereka.

"Tolong matiin sebelum saya panggil—"

"Halah, berisik!" salah seorang siswi dari ketiganya memotong ucapan gadis itu sambil melempar putung rokok ke sembarang arah. Ia berjalan mendekati gadis itu dengan tatapan tak suka, namun ketika tangan kanan siswi itu sudah mengudara dan akan segera menamparnya, seseorang datang bak pahlawan kesiangan menahan tangannya.

"Minggir!" geram siswi itu tak terima, tapi tangannya tak kunjung dilepas oleh gerangan yang baru datang tersebut.

Ia hanya menatap kedua teman dari siswi itu sejenak kemudian melepaskan tangannya. "Ini wilayah sekolah, Mbak. Kalau mau merokok pulang saja, jangan pakai baju sekolah. Dikasih tahu kok malah ngelunjak? Masih baik lho dia kasih tahunya sendirian, coba kalau bawa guru?" katanya kesal.

Ketiganya menatap mereka malas sebelum akhirnya pergi dari tempat itu menyisakan mereka berdua.

"Makasih, Nad," ucap gadis itu.

"Sama-sama. Kalau mereka cari masalah, lawan aja!" balas temannya itu yang bernama Nadya Cahyani Soekardjo seraya membetulkan almamater OSIS-nya dan ikatan rambut ikalnya. "Oh iya, Aisyah. Aku boleh tanya sesuatu?"

Aisyah Sastroamodjo—gadis berjilbab putih itu hanya mengangguk.

"Kamu kan sama Arga, mau minta tolong kasih ini ke dia," kata Nadya seraya menyodorkan sebuah kotak pada Aisyah.

"Gi-gimana ya, Nad. Bukannya gak mau, tapi—"

"Please," potong Nadya memohon.

Sambil menghela napas akhirnya Aisyah mengambil kotak tersebut. "Ini pertama dan terakhir kalinya, ya," katanya.

Nadya tersenyum. "Iya, ini yang pertama dan aku gak janji ini jadi terakhir kalinya," balasnya sambil menggandeng pundak Aisyah dan mengajaknya pergi dari tempat tersebut. Mereka berdua berjalan menyusuri koridor sekolah hingga mendapati sebuah kerumunan di dekat gedung lab. "Ngomong-ngomong, itu ada apa ya ramai banget?" tanya Nadya sambil menunjuk ke arah depan di mana para siswi kelas 10 sedang berkerumun di sana.

Aisyah ikut terheran melihatnya. Keduanya saling berpandangan sebelum mereka memutuskan untuk menghampiri pusat kerumunan tersebut. Nadya melepas gandengannya dan berjinjit untuk melihat apa yang sedang terjadi, tapi ia langsung menyilangkan kedua tangannya di dada sambil menghela napas malas.

"Ada apaan di sana?" tanya Aisyah.

"Cuman Rian sama Dimas yang lagi bawain komputer," jawab Nadya sambil menjauh dari kerumunan itu, diikuti oleh Aisyah. "Aneh-aneh aja, kayak gak pernah ngeliat cowok," lanjutnya menggerutu.

"Rian...?" gumam Aisyah bertanya.

"Mereka tetangga kelasku. By the way, Dimas hari ini bolos kegiatan OSIS dan lebih milih belajar di kelas, kalau Rian...gak mungkin kamu gak tahu, kan?" jelas Nadya.

"Oh, kalau Dimas bukan bolos, katanya ada persiapan lomba IT di Malang, jadi dia izin sama ketua OSIS untuk gak ikut kegiatan selama masa orientasi," balas Aisyah menerangkan.

"Apapun itu—"

"Eh, itu kak Arga!"

"Kak Arga! Kak Arga!"

Mata Nadya langsung melotot dan kembali ke arah kerumunan tadi—berdesakan dan berusaha maju ke depan untuk melihat secara langsung wajah dari pujaan hatinya.

Sedangkan di belakang kerumunan itu, Aisyah hanya menggelengkan kepalanya saja. "Padahal cuman bawa komputer," gumamnya heran.

Tiba-tiba, seseorang menepuk pundaknya membuat ia menoleh. Itu adalah sang wakil ketua OSIS, Kevin Abimanyu, dari kelas 11 MIPA 2.

"Ngeliatin apa?" tanyanya.

"Tadi cuman ikut Nadya ke sini, ada apa?" jawab Aisyah diakhiri pertanyaan.

"Oh iya, Nadya ada di gedung IPS, kan? Nanti tolong kasih tahu dia kalau Dimas harus ikut apel penutupan, dia jaga di belakang kelas 10-3," ujar Kevin memberitahu.

Aisyah hanya mengangguk sebagai jawabannya, lalu Kevin pun pergi meninggalkannya.

Dalam perjalanannya menuju mushola, Kevin melihat seorang siswi berambut hitam panjang dengan poni yang hampir menutupi kacamatanya tengah berjalan ke arah yang sama. Jalannya nampak terburu-buru dan panik membuat Kevin ikut melangkahkan kakinya menghampiri siswi tersebut.

Tetapi, ia terhenti saat ada yang menepuk pundaknya.

"Dimas?"

"Mau protes," ujar Dimas tiba-tiba.

"Hah?" tanya Kevin bingung.

Rupanya di sana Dimas di sana tidaklah sendirian, melainkan juga datang bersama Rian dan Arga.

"Itu soal apel penutupan. Aku gak bisa ikut karena masih ada yang harus diselesain," lanjut Dimas.

"Bukannya tadi udah?" tanya Kevin.

"Harusnya udah, tapi laptopnya tiba-tiba rusak, tadi baru dibenerin sama Pak Ruslan," terang Dimas.

"Ada-ada aja, yaudah diizinin, jangan lupa juga bilang ke Aisyah biar dia izinin kamu di absen pulang," balas Kevin. "Duluan," lanjutnya kemudian pergi meninggalkan mereka bertiga.

Tak lama, ada yang menghampiri mereka, itu adalah Aisyah dan Nadya.

"Agak mencurigakan juga," ucap Rian pelan, namun didengar oleh mereka semua.

"Apanya?" tanya Nadya menyahut.

"Iya juga, kenapa dia ke sana?" sambung Arga sambil menatap punggung Kevin dari belakang yang tengah berlari mengejar sesuatu.

"Yang pasti mau sholat," sahut Aisyah membuat mereka menoleh ke arahnya.

"Syah, izin lagi, laptopnya baru dibenerin," tukas Dimas.

Dengan senang hati Aisyah mengangguk lalu memberikan sebuah kotak pada Arga.

"Apaan?" tanya Arga heran.

"Dari—" Belum sempat Aisyah menyelesaikan perkataannya, Nadya dengan spontan mencubit lengan Aisyah pelan. "Dari fans kamu, gak tahu siapa. Dia datang, kasih, terus pergi," lanjut Aisyah berbohong.

Rian langsung mendelik ke arah Aisyah. "Buat aku gak ada?" tanyanya dengan wajah seolah merasa sedih.

Sedangkan Aisyah hanya menghendikkan bahu tanda tak tahu dan tak peduli, kemudian Nadya pun bertanya pada Rian, "Kamu tadi curigain apa ke Kevin?"

"Kepo," jawab Rian singkat membuat Nadya langsung memutar bola matanya malas.

Dimas pergi meninggalkan mereka yang disusul oleh Rian. Sedangkan Arga pergi berlawanan arah. Aisyah juga berniat pergi menuju kantor, namun ditahan oleh Nadya.

"Makasih ya, Syah," katanya dan Aisyah hanya tersenyum tipis sambil mengangguk.

Kedua gadis itu pun pergi ke arah masing-masing tujuan mereka. Mungkin saat ini mereka berlima terlihat tidak memiliki ikatan persahabatan sama sekali, namun seiring berjalannya waktu, mereka akan tahu bahwa mereka yang seolah ditakdirkan untuk memiliki ikatan tersebut akan terus diuji oleh misteri yang mulai mengintai SMA Rimba Sakti.

BAB 3

Keesokan paginya, suasana sekolah tidak seperti biasanya. Riuh kali ini bukan lagi tentang 'ada PR apa' ataupun yang lainnya, melainkan 'sedang terjadi apa'. Sebab pagi ini tiba-tiba sudah ada berita yang menghebohkan seluruh siswa SMA Rimba Sakti. Seorang siswi kelas 10 dilaporkan hilang sejak kemarin sore. Berita ini segera menyebar dan membuat seluruh siswa khawatir, terutama karena ini bukan kali pertama kejadian serupa terjadi di sekitar sekolah.

"Udah ketiga kalinya, yaa," kata Rian sambil menyuap nasi goreng di bawah pohon apel.

Di depannya, Dimas sibuk dengan laptopnya. Setelah memencet tombol 'Enter', ia melepas headphone dan mengalungkannya di leher, kemudian mengambil teh hangatnya.

"Bukannya yang kedua?" tanya Dimas menyanggah.

"Ada tiga. Satu lagi gak terlalu di ekspose soalnya anak dari kelas 11 MIPA 5. Dia memang pendiam dan tinggal sendiri di rumah, dia juga sedikit bermasalah sama absennya," jawab Rian menerangkan.

"Tau dari mana soal itu?"

Arga datang dan duduk dengan santai di samping Dimas sambil meminum teh kotak di tangannya.

"Gosip," jawab Rian singkat, membuat Arga memutar bola matanya malas. Seharusnya dia tak tanya. "Kali ini anak kelas 10, teman adikku," lanjut Rian.

"Dapat info apa aja?" tanya Arga.

"Adikku bilang, teman sekelasnya itu gak pulang sejak kemarin. Saudaranya udah lapor polisi," jawab Rian sambil mengaduk teh manisnya dengan ekspresi serius.

"Boleh gabung?"

Ketiganya menoleh ke arah Nadya yang menyapa mereka dengan senyum manisnya.

"Gabung ngobrol apa biar dekat sama Arga, nih?" ledek Rian.

Tak peduli dengan ucapan laki-laki bermata sipit itu, Nadya langsung duduk di sampingnya. Semua memandang Nadya heran saat gadis berambut ikal itu terus mengetuk-ngetuk meja dengan wajah menoleh ke arah warung kantin seolah menunggu sesuatu.

Tak lama, tangannya melambai. "Syah, sini!" Panggilnya.

Dari kejauhan itu, Aisyah yang tengah membawa buku besarnya dan beberapa buku lagi di tangannya langsung menghampiri mereka.

"Eh, Sipit. Tolong geser," pinta Nadya pada Rian dengan nada malas.

"Baru datang udah ngusir," balas Rian tak terima.

"Bukan ngusir, tapi geser," pungkas Nadya.

Dengan malas Rian sedikit bergeser dari tempat duduknya. Aisyah datang dan Nadya dengan spontan menepuk-nepuk kursi panjang kantin di sampingnya menandakan bahwa Aisyah boleh duduk di sana.

Gadis berjilbab cokelat itu meletakkan buku-buku yang ia bawa di meja dan duduk di sana. Kemudian, tangannya mengambil salah satu buku yang berjudul 'Kode Rahasia' dan mulai membacanya.

"Ngomong-ngomong, kalian tadi lagi bahas soal anak kelas 10-1 yang hilang itu, kah?" tanya Nadya penasaran.

"Ya, begitulah. Kamu tahu sesuatu, Nad?" jawab Arga diakhiri pertanyaan pada Nadya.

"Dia gak cuma kabur atau pergi tanpa izin, kan?" tanya Aisyah menyahut, mencoba tetap logis dengan tatapan masih mengarah ke bukunya.

"Udah dihubungi ke rumah semua temannya, gak ada yang tahu di mana dia. Bahkan rumahku juga kena," jawab Rian. "Ini serius, Syah."

"Jadi, kemarin tuh—"

"Selesai!"

Seketika semua langsung menoleh ke Dimas yang baru saja melepas headphone-nya kemudian ia memperlihatkan layar laptopnya pada yang lain. Aisyah tidak tertarik dan hanya tetap fokus pada buku bacaannya.

"CCTV mana?" tanya Arga.

"Sekolah. Ini CCTV kemarin, lihat baik-baik kalau menurut kalian ada yang aneh, bilang," jelas Dimas lalu beralih pada ponsel di tangannya.

Semua terfokus pada laptop Dimas, sedangkan Aisyah yang merasa bosan mulai menutup bukunya dan membuka buku tulis kosong sambil menuliskan sesuatu di sana.

"Syifa Andani, dari kelas 11 MIPA 5. Dia hilang tiga hari yang lalu, lebih tepatnya pas hari pertama sekolah. Dia punya masalah sama absensinya dan udah alpa sebanyak 5 kali selama periode kelas 10. Riska Nuriawati, kelas 12 IPS 3. Dia hilang dua hari yang lalu dan punya track record sebagai pembully di sekolah ini. Satu lagi, Cika Lastrana, dari kelas 10-1. Anak ini pendiam selama orientasi, kalau aku lihat gerak-geriknya dia selalu ngerasa waspada sama setiap orang yang berusaha deketin dia," jelas Aisyah membuat semua terpaku ke arahnya.

Dimas meletakkan ponselnya lalu mengambil kembali laptop itu untuk mengarah kepadanya dan mengetik sesuatu di sana. "Mereka gak punya banyak kesamaan. Kalau penculiknya orang yang sama, harusnya dia cumab culik siswi yang bermasalah. Tapi kali ini dia justru culik siswi yang pendiam," terangnya.

Arga mulai berpikir ada yang aneh dengan ini semua. Di sela-sela itu, ada yang menepuk pundak Rian dan merangkul pundaknya.

"Udah bel dari tadi, kalian gak mau masuk kelas?"

Semua langsung terbelalak melihat Kevin yang sedang tersenyum miring ke arah mereka. Senyuman itu sudah pasti sebagai tanda bahwa ia akan segera menghukum murid-murid yang berusaha untuk membolos sekolah

Dengan spontan semuanya berdiri. Dimas cepat-cepat memasukkan laptopnya ke tas dan pergi lebih dulu lalu disusul oleh Arga dan Rian, sedangkan Nadya dan Aisyah masih di sana.

"Kamu sendiri gak masuk ke kelas, Vin?" tanya Nadya.

"Aku kan satu gedung sama Aisyah, harusnya aku yang tanya itu ke kamu," jawab Kevin membalas omongan Nadya.

Nadya hanya cengengesan saja lalu berpamit untuk ke kelas. "Syah, duluan ya."

Aisyah hanya mengangguk kemudian menggelengkan kepalanya saat melihat Nadya berlari menyusul Rian dan Dimas yang menuju ke arah gedung kelas IPS. Sedangkan Arga dari kejauhan berhenti sambil menunggu Aisyah yang kini jalan berdua dengan Kevin.

"Arga kirain udah ke kelas duluan," kata Kevin usai mereka berdua kembali bertemu dengan Arga untuk menuju arah yang sama.

Arga tak menjawab dan hanya berjalan di samping Aisyah dengan kedua tangan yang di masukkan ke dalam saku.

"Ngomong-ngomong, udah ada info dari kepolisian soal Syifa, Vin?" tanya Arga membuka topik.

Dengan ragu Kevin menoleh ke arahnya sambil menjawab, "Belum nih, Ga. Soal Riska juga belum ada dan ini malah nambah lagi." Matanya beralih pada Aisyah. "Kalau pulang hati-hati, Syah. Kayaknya penculiknya memang cuman culik cewek SMA," lanjutnya mengingatkan Aisyah.

Langkah Kevin terhenti usai mereka sampai di depan kelasnya. Kemudian, Kevin berpamitan lebih dulu untuk masuk ke kelas. Sedangkan Arga dan Aisyah harus berjalan beberapa meter lagi sebelum mereka sampai ke kelas 11 MIPA 1.

"Kamu juga ngeliat gerak-gerik Cika selama ini?" Arga mulai bertanya.

"Begitulah, dia kayaknya memang lagi khawatir sama sesuatu, tapi aku gak sempat nanyain kenapa dan hari ini justru dia dilaporin hilang," jawab Aisyah sembari keduanya masuk ke dalam kelas.

Beruntung mereka saat masuk belum ada guru yang datang sehingga baik Arga maupun Aisyah bisa duduk di tempat masing-masing tanpa ada kendala harus dihukum karena pelajaran pertama mereka adalah fisika yang mana gurunya terkenal dengan ketegasan dan suka memberikan tugas yang menumpuk.

—o0o—

Pada waktu istirahat, Arga berencana untuk pergi ke kantin. Tetapi tiba-tiba saja ponselnya berdenting notif masuk. Saat membukanya, ia terkejut melihat bahwa nomornya telah masuk ke dalam sebuah grup baru di sana.

...'TEMAN BARU NIH'...

Dimas 'ips 2

Grup apa lagi ini?

Nadya 'ips 1

Rian! Ini grup apaan?

08132xxxxxxx

Biar gampang

'Apanya?' batin Arga heran.

08132xxxxxxx

Ayo ketemu di perpus

lanjut bahas yang tadi

Arga hanya melihatnya saja tanpa merespon apapun di dalam grup tersebut, dirinya menoleh pada Aisyah yang sudah membawa buku besarnya beserta dengan dua buku lainnya. Ia mengikuti Aisyah tatkala gadis itu sudah keluar dari kelas.

"Perpus?" tanya Arga usai berhasil menyamakan langkahnya dengan gadis itu.

Aisyah sendiri tak menjawab dan hanya mengangguk saja. Mereka berdua pun berjalan ke arah yang sama yaitu menuju perpustakaan. Gedung itu terletak cukup jauh dari gedung utama dan gedung kelas. Bahkan bisa dibilang hanya gedung perpustakaan saja yang letaknya menyendiri di antara gedung lainnya.

Keduanya masuk usai sampai di gedung bertingkat dengan gaya khas zaman kolonial itu. Di dalam sungguh sunyi dan bau harum khas buku dan kayu-kayu bisa tercium ketika masuk ke dalam. Mereka menuju lantai dua dan mendapati Rian, Dimas, dan Nadya yang duduk di meja belajar bagian pojok kiri.

Lantai dua lebih sepi dibandingkan lantai satu yang memang di lantai dua ini hanya ada buku referensi dan buku-buku yang sudah tidak terpakai lagi.

Arga dan Aisyah menghampiri mereka. Aisyah langsung duduk di samping Nadya sedangkan Arga yang duduk di bagian tengah.

Mata Arga menoleh ke arah Dimas yang terus mengetik laptopnya seolah tak memperdulikan sekitarnya. Sedangkan Aisyah sendiri juga langsung membuka bukunya lagi dan membacanya.

"Aku belum sempat bilang ini tadi. Kemarin sore, waktu pulang sekolah, aku liat Cika yang jalan ke arah puskesmas sendirian. Aku sendiri kan memang juga mau ke sana, tapi karena lupa bawa KK jadi pulang lagi. Dari rumahku ke puskesmas itu cuman perlu nyebrang jalan besar itu, hitung saja bolak-balik lima menit, tapi waktu di puskesmas, dia gak ada," jelas Nadya mulai membuka topik pembahasan mereka yang sempat tertunda pagi tadi.

"Mungkin dia udah dipanggil dokter," timpal Aisyah.

"Gak mungkin, Syah! Soalnya sore itu puskesmas gak tau kenapa ramai banget, jalan raya juga ramai banget. Bahkan dengan senang hati aku tanya ke tempat administrasinya atas nama Cika pun gak ada di sana, aku juga dengan baik hatinya tanya ke satpam ada anak cewek pakai baju SMA terus pakai kacamata dan rambut poninya agak nutupin matanya atau nggak, satpamnya gak lihat sama sekali," elak Nadya kembali menerangkan.

"Kalau gitu, dia diculik sebelum pergi ke puskesmas. Tapi, gimana caranya?" sahut Rian kemudian mempertanyakannya.

Seketika semua ikut berpikir kecuali Dimas yang terus sibuk dengan programming di laptopnya.

"Ngoding mulu! Bantuin, Dim!" kata Rian mendengus kesal.

"Ini lagi bantuin," jawab Dimas singkat.

"Bisa jadi, penculiknya memang orang yang dikenal sama Cika," tutur Arga.

Aisyah menutup bukunya sambil berkata, "Itu bisa jadi. Cika kemarin sore ke puskesmas dan jalanan gak sepi. Masa iya kalau Cika diculik begitu aja orang-orang gak ada yang peduli?"

Yang lain menganggukkan kepalanya setuju dengan perkataan Aisyah.

"Tapi, siapa?" tanya Nadya heran.

"Kalau penculiknya orang yang sama dengan orang yang udah culik Syifa sama Riska, berarti dia dari sekolah ini. Tapi, kalau orang yang beda, lain lagi masalahnya," sahut Rian ikut menjelaskan.

"Pikirku penculiknya sama. Kalaupun dia dari sekolah ini, berarti dia orang yang cukup dikenali sama banyak orang," ucap Arga.

"Lihat ini!" Dimas menunjukkan CCTV kembali pada mereka.

Kali ini CCTV itu mengarah pada jalan besar dan puskesmas di sana. Tiba-tiba, di layar tersebut menunjukkan punggung seorang anak SMA yang tengah berjalan di trotoar, lalu tak lama ada sebuah mobil hitam yang datang dan berhenti di sana. Anak SMA itu awalnya nampak gugup, tetapi langsung berubah seketika usai menoleh ke arah kaca mobil yang tak tertangkap oleh kamera CCTV. Anak itu tampak mengobrol sejenak sebelum akhirnya ia masuk ke dalam mobil dan mobil hitam itu melaju di jalan besar.

"Anak itu Cika, dan orang yang ada di dalam mobil itu gak tau siapa," terang Dimas seraya menghadapkan kembali laptop itu ke arahnya.

"Dapat dari mana itu?" tanya Rian penasaran.

"Rumah dia," jawab Dimas santai sambil menunjuk Nadya menggunakan wajahnya dengan tangan yang kembali mengetik. Nadya sendiri sudah melotot mendengar perkataan Dimas barusan, tetapi Dimas sendiri langsung melanjutkan perkataannya, "Aku ndak bisa cari tahu plat nomor mobil ini karena jarak dari CCTV ke mobil ini benar-benar jauh."

"Kira-kira Cika kenapa mau masuk ke dalam, ya? Kalau pulang kan rumahnya di Kedungmalang," tanya Nadya heran sambil menumpu dagunya dengan telapak tangan.

"Kemungkinan ditawari untuk langsung ke rumah sakit," jawab Arga serius. "Cika arahnya mau ke puskesmas dan mobil itu datang terus lajunya ke arah rumah sakit, kalau pulang—" Arga langsung tersentak dan menoleh pada Dimas. "Dim, mobil itu lewat lagi gak?"

"Sebentar," jawab Dimas kembali beralih pada laptopnya.

"Kalau mobil itu lewat lagi, dari arah CCTV bakalan kelihatan plat nomornya. Itu juga jadi petunjuk kalau memang tempat Cika dan yang lainnya diculik itu memang di Kedungmalang," terka Arga yakin.

"Gak ada tuh," sahut Rian sambil ikut melihat laptop Dimas. "Coba putar ulang, Dim," pintanya.

Dimas memutar ulang lagi rekaman tersebut. Mata sipit Rian itu semakin menyipit melihat rekaman tersebut yang bahkan sudah dipercepat durasinya oleh Dimas. "Gak ada. Bahkan gak ada satupun mobil yang lewat masuk ke Kedungmalang," kata Rian semakin yakin.

"Berarti rumahnya ada di luar Kedungmalang," ucap Aisyah. "Bahkan menculik Syifa dan Riska pun pasti dibawa ke tempat yang sama juga," lanjutnya.

"Seyakin itu?" tanya Rian.

Aisyah mengangguk. "Rumah Riska juga di kota, dia pasti juga jalan lewat trotoar yang sama. Kalau Syifa, itu masih jadi misteri," jelasnya.

Arga hanya terdiam mendengarkan penjelasan mereka. Aneh bagi dirinya, karena kemarin tak ada mobil yang terparkir di sekolah terkecuali mobil dari kepala sekolah mereka sendiri. Itu membuat pertanyaan kembali, jika penculiknya berasal dari SMA Rimba Sakti, di mana penculik itu akan memarkirkan mobilnya sedangkan rumahnya saja berada di luar Kedungmalang. Semua guru termasuk para staf dan karyawan masuk tanpa ada yang absen. Ia sangat mengerti sekolah ini, meskipun baru satu tahun. Arga sangat tahu bahwa selama ia bersekolah di SMA Rimba Sakti, tak ada satupun guru ataupun murid yang datang menggunakan mobil kecuali kepala sekolah.

"Yan, kalau kamu penculiknya, di mana kamu bakalan parkirin mobil itu?" Tanya Arga mulai membuka suara.

"Yang jelas bukan di sekolah," jawab Rian. "Tapi, cara ke sekolahnya gimana?" tanyanya kembali menyerang jawabannya sendiri.

"Pakai motor," jawab Aisyah.

"Hah?" Nadya spontan terheran. "Tunggu-tunggu, kok aneh ya? Misal Rian penculiknya. Dia bawa mobil ke Kedungmalang dan parkirin di suatu tempat, terus Rian ke sekolah. Nanti dia pulang pakai apa? Angkot? Ojek online? Terus mobilnya mau ditinggalin gitu aja, kah?" imbuhnya.

"Iya juga ya, kalau besok aku berangkat pakai motor, tapi mau targetin culik Cika pakai mobil, motornya gimana? Penculikan besok pakai apa?" sahut Rian ikut menanyakannya juga.

Semua jadi ikut berpikir sampai akhirnya bel masuk menghentikan mereka.

"Kita lanjut besok lagi, Kevin hubungin aku kalau istirahat kedua seluruh OSIS harus rapat buat persiapan acara ulang tahun sekolah," kata Aisyah dan semuanya mengangguk setuju.

Mereka berpisah menuju kelas masing-masing. Petunjuk dari kasus yang mereka bahas semakin membingungkan bagi mereka.

Apakah mereka akan segera mendapatkan benang merahnya?

Atau harus kembali merasakan bagaimana meresahkannya penculik tersebut yang akan kembali beraksi sebelum ia dibuat jera?

—o0o—

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!