NovelToon NovelToon

Mr. Boros Vs Miss Perhitungan

Miss Perhitungan

Seorang gadis cantik jelita yang tingginya sekitar 170 cm sedang berdiri di depan papan tulis. Tangan kanannya menuliskan hasil dari (-4+6) x (-2-3) adalah …. Usai menuliskan angka itu ia membalikkan badannya dan tangan kirinya menunjuk ke angka yang ditulisnya tadi. “Anak-anak ada yang bisa mengerjakan soal ini?” ujar gadis itu. 

Gadis itu bernama Andhini Maharani atau biasa disapa Rani. Ia di ibu kota hanya hidup bersama adik perempuannya. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari ia mengajar matematika di bimbingan belajar yang ada di Jakarta Selatan. 

Sebenarnya banyak yang menawarkan Rani bekerja sebagai model, pramugari, sampai bintang sinetron tapi Rani lebih memilih mengajar matematika hal itu dikarenakan dirinya sejak kecil sangat mencintai pelajaran matematika.

Anak perempuan yang duduk di kursi paling pojok yang ada di belakang mengangkat tangan. “Saya bisa mengerjakan soal itu, Bu.”

Dinda nama anak perempuan itu. “Oke, Dinda silakan maju ke depan!”

Dinda melangkah gontai. Ia sebenarnya murid paling cerdas di kelas ini namun sayang perangainya kurang baik. Ia bertingkah seperti anak laki-laki, orang zaman sekarang menjulukinya sebagai cewek tomboy. 

Begitu Dinda berada di depan Rani, Rani langsung memberikan spidol padanya. Dengan cekatan Dinda menuliskan angka tepat di bawah soal hasil dari (-4\+6) x (-2-3) adalah… Angka yang ditulisnya -2 x -5\= -10. 

“Bu, saya sudah selesai mengerjakannya,” ucap Dinda.

Rani mencoba mengoreksi jawaban yang ditulis Dinda. “Bagus, Dinda. Jawabanmu benar. Berarti kamu masih ingat pelajaran minggu lalu. Silakan kamu kembali ke tempat duduk!”

Dinda mengangguk dan segera melangkahkan kaki menuju kursinya lagi. 

“Nah, anak-anak sekarang kalian buku buku halaman 52. Kerjakan soal di halaman itu!” Rani memberikan perintah pada murid-muridnya. 

Rani duduk di kursinya sambil membuka buku matematika. Ia ingin melihat soal matematika di halaman 52 itu sulit atau tidak. 

Sakitnya tuh di sini di dalam hatiku

Sakitnya tuh di sini kau mendua

Terdengar lagu Sakitnya Tuh di sini mengalun indah di telinga Rani. Ia hapal betul lagu itu disetting untuk nada dering SMS di HP-nya. Cepat-cepat ia menyambar HP yang ada dalam tasnya. Begitu HP ada di tangannya, ia melirik ke arah layar. Di sana tertulis satu pesan diterima. Langsung saja ia klik open.

From : Adelia

Ran, lo masih ada di bimbingan belajar kan? Kita jadi kan ntar malam kita hangout bareng?

Adelia itu sahabat Rani sejak SMP, bukan Cuma sahabat tapi juga tetangga. Malam ini kan malam Minggu makanya ia selalu mengajak Rani hangout bareng. Jari-jari tangan Rani menari lincah di keypad HP untuk membalas sms dari Adelia.

Jadi dong, iya nih gue lagi ada di bimbel tapi lima belas menit lagi dah kelar kok.

Sent to Adelia

Detik demi detik terus bergulir. Tanpa terasa lima belas menit berlalu dengan cepat. “Nah, anak-anak pelajaran cukup sampai di sini saja. Soal yang kalian kerjakan tadi dijadikan PR, tapi inget besok haru dikumpul! Sekarang kalian boleh pulang,” ujar Rani.

“Selamat sore, Bu.”

“Selamat sore juga anak-anak.”

Murid-murid Rani berhamburan keluar kelas bimbingan belajar ini. Rani mengemasi buku-bukunya dulu sebelum keluar. 

Prok…Prok…Prok

Rani melangkahkan kakinya keluar kelas. Kalau Rani melangkah suara sepatunya kedengeran banget, soalnya sudah zaman makai sepatu hak tinggi ala Ashanty atau Syahrini tapi Rani masih saja memakai sepatu selop yang terbuat dari kayu, bentuknya itu kayak kapal selam. 

Semua temannya sudah menyarankan dirinya untuk ganti sepatu, tapi jawaban Rani selalu sama, “Sepatu gue masih bagus kok. Sayang kalau nggak dipake.” Padahal aslinya Rani paling malas keluar duit untuk membeli barang tidak terlalu dibutuhkan. 

Betapa terkejutnya Rani ketika berada di depan pintu kelas. Ada cewek yang sebenarnya cantik mirip istrinya Pasha Ungu tapi dandanannya itu lho menor banget. 

“Gimana dandanan gue yang baru? Bikin gue terlihat makin cantik kayak boneka Barbie kan?” ujar cewek itu. Cewek itu pun memutar badannya selayaknya boneka Barbie lagi menari balet.

Rani geleng-geleng kepala melihat tingkah cewek itu. Cewek itu tak lain dan tak bukan adalah Adelia. Adelia ini sangat terobesi ingin jadi seperti boneka Barbie. Penampilannya hari ini bukan membuatnya seperti boneka Barbie, malah terlihat seperti boneka babi yang didandani ala ondel-ondel.

“Ngapain lo make ganti penampilan segala? Lo tanpa dandan pun tetap terlihat cantik tau.” 

“Ini udah tahun 2016, Coy. Penampilan gue harus serba baru. Siapa tahu dengan penampilan baru gue nemuin gebetan baru.”

Huft, sahabatnya satu ini tak pernah berubah. Baru seminggu ia putusan sama Vino, eh sekarang sudah mikirin punya gebetan baru. Dasar Adelia, tak pernah bisa betah menjomblo.

Berbeda dengan Rani, Rani justru berbanding terbalik dengan Adelia. Ia sangat betah menjomblo. Ia jomblo bukan karena tak laku tapi karena belum menemukan cowok yang sesuai dengan tipe idamannya. Rani itu mempunyai segudang tipe idaman di antaranya : nggak boros, makai kacamata tipis, smart, bersih dari jerawat, berpakaian rapi, setia, sabar, bijaksana dan paling penting sayang sama adiknya.

“Eh, udah jam setengah enam sore nih kita langsung berangkat aja yuk!” ujar Adelia.

“Ya udah. Yuk, capcus.”

Mereka pun pergi dengan naik mobil Adelia. Padahal mereka sendiri tak tahu mau pergi kemana. Yang penting muter-muter Jakarta dulu.

\*\*\*

Setelah muter-muter Jakarta selama tiga puluh menit, akhirnya Adelia menetapkan pilihan untuk mendatangi bioskop 21 blok M square. Ada tiga alasan mengapa Adelia memutuskan mendatangi tempat ini : 

Ia tak pernah nonton bioskop. Selama ini ia kalau hangout bareng pacar atau Rani pasti selalu mendatangi salon atau kafe doang sih.

Ia ingin melihat film Rumah Kosong, film yang dibintangi oleh aktris idolanya Angelica Simpeler. Sebagai fans Angelica, masa Adelia tak nonton filmnya di bioskop? Malu dong!

Ini kan film horror, nah siapa tau di sebelahnya ada cowok cakep jadi ketika hantu muncul tiba-tiba ia bisa langsung meluk cowok cakep itu. 

Ternyata 21 blok M square penuh banget. Adelia dan Rani hampir aja tak kebagian tempat duduk. Untungnya sih dapat walaupun nyebelin dapat tempat duduknya dekat banget sama layarnya karena sudah Full dan bikin mereka pusing liatnya. Dan lebih menyebalkan lagi kenyataan tak sesuai harapan Adelia. Orang-orang yang duduk di deretan depan itu cewek semua, hilang deh kesempatan Adelia buat meluk cowok cakep.

Awal-awal film Adelia enjoy, soalnya belum ada adegan yang bikin merinding. Tapi begitu memasuki menit ke dua puluh, hantu di film itu muncul secara tiba-tiba. Asli, hantunya benar-benar menyeramkan. Reflek Adelia langsung memeluk Rani.

Sekitar lima menit, ia mencoba membuka mata ternyata hantunya sudah hilang. Seketika ia sadar bahwa dirinya sedang memeluk Rani. Cepat-cepat ia melepas pelukan dari Rani, ia takut kena fitnah banyak orang. Fitnah sebagai cewek lesbian karena memeluk cewek. 

Adelia bernapas lega karena tak ada yang memerhatikannya memeluk Rani. Ia pun kembali melanjutkan nonton filmnya. Berharap tak akan ada lagi hantu yang muncul secara tiba-tiba.

\*\*\*

Usai menonton film Rumah Kosong di 21 Blok M Squer, Rani dan Adelia memutuskan untuk mampir ke restaurant yang ada di Blok M ini dulu. Maklumlah perut mere ka sudah keroncongan, terlebih lagi sekarang sudah waktunya makan malam.

 Di Blok M Plaza ini ada banyak tersedia tempat makan yang asyik dan nyaman. Namun Rani dan Adelia lebih memilih mendatangi restaurant Platinum, yang terletak di lantai Ground. Alasan mereka memilih Restaurant ini adalah karena menu makanan yang tersedia cukup komplit. Ada menu Jawa Food, Chinese Food dan Westren Food. Harga makanan di sini lumayan terjangkau.

Begitu memasuki Restaurant Platinum, mereka pun duduk di kursi nomor 2 yang letaknya paling depan bagian tengah. Tak berapa lama datanglah pelayan restaurant memberikan menu makanan pada Rani dan Adelia. 

Rani melihat-lihat makanan yang ada di buku menu. “Ran, kamu mau makan apa?” tanya Adelia.

Jujur di lubuk hati terdalam Rani ingin sekali makan Chinese Food, terutama ingin makan makanan yang namanya Kwetiau. Kwetiau adalah sejenis mie Tionghoa berwarna putih yang terbuat dari beras. Dapat digoreng ataupun dimasak berkuah. Kwetiau merupakan makanan yang cukup populer di Indonesia, terutama di daerah-daerah yang banyak didiami oleh warga keturunan Tionghoa. Kebetulan mamanya Rani keturunan Tionghoa. Waktu kecil dulu mamanya Rani sering sekali memasakkan makanan Kwetiau untuk Rani. Namun setelah mamanya meninggal ia tak pernah lagi makan makanan itu. 

Sebelum ia memesan makanan  Kwetiau ia terlebih dahulu mengeluarkan kalkulator kesayangannya. “Uang sisa bonus akhir tahun dari bos sekitar Rp. 123.000,- tadi dipakai buat nonton film Rp. 30.000,- jika sekarang gue pesen makanan Chinese Food yang harganya Rp. 50.000,- sisa uang bonus akhir tahun gue tinggal berapa?” 

“Astaga, Rani lo mau makan enak aja make ditung-itung dulu,” ucap Adelia sambil geleng-geleng kepala.

“Iya dong. Segala sesuatu itu harus diperhitungkan untung ruginya biar ke depan nggak ada penyesalan.”

“Pantes aja sih sampe sekarang lo masih betah jomblo. Mana ada cowok yang mau punya cewek perhitungan kayak lo.”

“Cowok yang mau ma gue banyak. Cuma gue yang mau ma mereka soalnya mereka nggak ada yang sesuai dengan tipe idaman gue.”

“Lo masih mendambakan cowok yang nggak boros, makai kacamata tipis, smart, berbadan atlethis, bersih dari jerawat, berpakaian rapi, setia, sabar, bijaksana dan paling penting sayang sama adik lo?” tanya Adelia. Jawaban Adelia dijawab oleh Rani lewat satu anggukan.

“Kalau lo mencari seseorang yang bener-bener sesuai keinginan lo, lo nggak bakal nemuinnya.”

Dahi Rani berkerut, “Why?”

“Karena cinta itu bukan seperti matematika yang hasilnya pasti sama persis dengan apa yang kita perhitungkan. Terkadang Allah menjodohkan seseorang dengan orang yang berbanding terbalik dengan seseorang itu. Contohnya lo kan miss perhitungan nah bisa jadi jodoh lo ntar cowok yang super duper boros. Tujuannya biar saling melengkapi.” Adelia mulai ceramah tentang cinta. Selain terobsesi menjadi boneka Barbie, Adelia juga terobesi menjadi psikolog cinta. 

Mata Rani membulat. “Jodoh gue sama cowok super duper boros? Ih, amit-amit. Hidup gue aja sudah susah, gimana kalau dapet suami yang boros? Bisa tambah melarat hidup gue.”

“Maaf, Mbak. Kalian pesen menu apa?” Tanya pelayan Restaurant.

Rani dan Adelia menyengir kuda memamerkan gigi putih mereka. Mereka baru sadar gara-gara keasyikan mengobrol jadi lupa pesan makanan. 

“Mbak, kami pesen makanan  Kwetiau 2 porsi ya?” kata Adelia. Pelayan restaurant pun mengangguk dan pergi meninggalkan mereka berdua, mungkin menyiapkan pesanan

“Eh, gue belum bilang mau pesen Kwetiau.”

“Udah, gue tau kok lo dari tadi pengen banget makan Kwetiau. Tapi lo mikir-mikir dulu karena takut uang bonus akhir tahun habis kan? Kalau soal itu lo tenang aja, hari ini biar gue yang teraktir lo makan.”

Mata Rani berbinar. “Hah? Serius?”

“Kapan sih gue bohong ma lo?”

Senangnya hati Rani saat ini. Adelia memang sahabatnya paling baik. Ia tahu apa yang dipikirkan Rani. Satu masalah sudah selesai, sekarang Rani tak sabar menunggu pelayan restaurant membawa makanan pesanan Adelia.

Mr. Boros

Kringgg …! 

Bunyi jam weker membuyarkan seluruh mimpi indah Radith. “Aduh, jam kenapa makai bunyi segala sih? Baru aja gue tidur.” Radith menggerutu sendiri. Dengan mata terpejam ia meraba-raba meja di samping tempat tidur, pengen lihat jam berapa sih sekarang? 

Yes, akhirnya jam weker berhasil ia temukan. Ia membuka mata sebelah seketika dirinya melihat jarum jam yang pendek ke angka 5, sedangkan jarum jam yang panjang ke angka 12. Berarti jam 5 sore dong? Soalnya seingatnya tadi ia tidur jam 2 siang. “Tumben-tumbenan jam weker gue bunyi jam 5 sore?” tanyanya dalam hati. Ia tak memedulikan jam itu, ia mau tidur lagi.

Drrrrt ...

Baru aja Radith mau memejamkan mata sekarang HP-nya yang bunyi. Ah, menyebalkan! Ia jadi kesal sendiri kenapa sih HP dan jam weker bunyi dalam waktu dekat? Ia kembali meraba-raba tempat tidur mencari HP yang lagi ngumpet ntah di mana. Setelah ketemu ia melihat layar HP, untuk mengetahui siapa sih yang nelpon atau sms jam segini? Ganggu ia tidur aja!

Ternyata dugaannya salah. HP bunyi bukan karena ada sms atau orang nelpon melainkan jam alarm. Di layar HP tertulis Hari Jadian Gue sama Malaya yang ke 5 tahun dan besok hari wisuda Malaya. 

Mata Radith terbelalak melihat tulisan yang ada di layar HP. Sumpah, ia lupa hari ini hari jadian yang ke lima tahun sama Malaya. Ia bangkit dari tidur dan bergegas menuju kamar mandi. Bisa ngomel Malaya kalau sampai dirinya telat dating.

30 menit kemudian

Radith sudah selesai mandi dan berpakaian rapi. Ia berdiri di depan cermin yang menempel di lemari pakaian. Mau mengolesi rambut dulu dengan gel rambut terus mencukur jenggot biar kelihatan tambah cakep. Emang sih dirinya dari lahir sudah cakep bin ganteng, Kevin Aprilio aja lewat. Tapi tak ada salahnya dong ia berhias diri lagi sebelum datang ke hari bersejarah? 

Selain hari jadian, hari ini Radith juga mau melamar Malaya. Secara umurnya kan sudah 25 tahun, bentar lagi ia wisuda sudah seharusnya ia memikirkan sebuah pernikahan. Wisuda? Harusnya sudah dari tahun-tahun lalu ia diwisuda, Malaya yang umurnya baru 22 tahun saja besok sudah wisuda. Gimana mau cepat wisuda wong ia sering bolos kuliah? Ia hobby banget travelling dan menghambur-hamburkan uang papanya. 

Radith merasa Malaya adalah wanita yang pas buat dijadikan pendamping hidupnya. Ia mengenal Malaya sejak pertama kali ia menginjakkan kaki di Thailand. Selain parasnya yang cantik jelita, hatinya juga selembut sutra. Ia ikhlas menerima Radith apa adanya. Secara Radith  kan banyak mempunyai sifat jelek di antaranya : suka kentut di sembarang tempat, suk ngupil, nyanyi pas pup, suka main togel, suka mabuk dan suka ganti-ganti gebetan. Sejak Radith pacaran sama Malaya ia jadi taubat tak pernah ganti-ganti gebetan lagi. 

“Ya, sip gue tambah cakep! Kalau cakep kayak gini kan si Malaya nggak bakal bisa nolak lamaran gue,” ujar Radith berbicara di depan cermin.

Dandan sudah, sekarang tinggal berangkat ke tempat jadian. Eits, tapi sebelum berangkat ia mengambil HP dulu. Jari-jari tangannya menari lincah mengetik sebuah SMS untuk seseorang.

To : My Lovely Malaya

Honey, today so right we invented our dating days five years ago?

Beberapa detik setelah SMS terkirim HP-nya menyala lagi. Sengaja ia mematikan nada deringnya, jadi kalau ada sms masuk itu layarnya Cuma menyala biar nggak berisik. Di layar HP tertulis 1 pesan diterima dari My Lovely Malaya. Klik open untuk membaca SMS.

From : My Lovely Malaya

Yes, so. I'm waiting for you at the usual place. Everyone wants me to talk to you.

Radith mengangguk tanda paham arti tempat biasa yang disebutkan Malaya lewat sms. Tempat biasanya itu di pantai Pattaya, pantai paling keren di Thailand. Jadi kalau kencan di sana asyik banget, di sana kita bisa menikmati angin sepoi-sepoi pantai dan deburan ombak. 

Pantai Pattaya menjadi saksi cinta Radith sama Malaya selama lima tahun ini sebab ia ketemu sama Malaya di sana, setiap kencan di sana dan hari ini ia mau melamar Malaya di sana juga. 

Radith keluar dari kamar. Seketika ia melihat apartemen sepi biasanya jam segini Bima asyik nonton tv di ruang tengah. Bima itu sahabat Radith dari SD kelas 6, kemana-mana selalu bersama bahkan saat kuliah di Thailand mereka satu apartemen bareng.

“Bim, Bima gue pergi dulu ya. Gue mau ngedate nih.”

Namun hening, tak ada jawaban dari Bima. Radith bingung sendiri, Bima kemana ya? tak biasanya Bima tak pamitan dulu sama Radith. Berhubung Radith lagi dikejar waktu, ia tak memedulikan kemana Bima pergi.

***

Setibanya di pantai Pattaya, tubuh Radith mematung, dan mulutnya tak bisa berkata-kata lagi. Faktor penyebabnya bukan karena suasana di pantai inu tapi pemandangan yang ada di depan matanya sangatlah menyakitkan hati. Malaya wanita yang ia cintai selama lima  tahun dia sekarang lagi asyik ciuman dan bermesraan sama cowok lain di depan matanya. Lebih menyakitkan lagi ia bermesraan sama Bima, sahabatnya sendiri. Siapa coba yang nggak sakit hati melihat hal itu?

Radith terbakar api cemburu, ia mengepalkan tangan lalu melangkah maju. Ia sudah tak sabar pengen nonjok Bima. Bima itu teman makan pagar. Seenaknya aja merebut calon istrinya dan merusak suasana anniversary dirinya sama Malaya. 

Buk!

Satu tonjokannya berhasil mendarat pipi Bima. Darah segar mengalir di sudut bibir Bima. Rasain, itu belum seberapa. Bima bangkit lalu ia membalas tonjokan Radith. Ini cowok boleh juga. Lihat aja siapa yang menang.

“Stop hentikan! Kalian kayak anak kecil bertengkar di depan umum! Radith, kamu kenapa datang-datang langsung menampar orang?” seru Malaya mencoba melerai pertikaiannya dengan Bima. Malaya memang orang asli Thailand namun dirinya bisa berbahasa Indonesia karena telah diajari Radith.

"What was I supposed to ask, why are you making out with another man on the day we were invented for five years? bermesraannya with my best friend too." Nada bicara Radith mulai meninggi. 

"I'm sorry Radith, this is what I want to say to you. I know it hurts you but I have to be honest. My heart loves Bima. And begin the second I return the whole love, I do not need anymore. Thank you for the love that you gave for five years with me. Sorry, I could not continue our relationship. Goodbye!" ujar Malaya. Setelah berkata demikian Malaya berlalu dari hadapannya, ia pergi bersama cowok brengsek itu. Radith sudah tak menganggap Bima sebagai sabatnya lagi tapi menganggap Bima sebagai cowok brengsek.

Radith masih diam seribu bahasa. Kata-kata yang keluar dari mulut Malaya tajam banget seperti katana 70 cm. Sakit banget hati Radith mendengar kata-kata Malaya. Selama lima tahun ini, apapun yang diinginkan Malaya pasti dipenuhinya. Bulan ini saja Malaya minta satu set perhiasan seharga 250 juta dikasih tapi ternyata balasan yang ia dapat adalah pengkhianatan. Ia menendang apa aja (botol, kertas dan daun-daun berserakan di tanah) yang ada di depan kaki. 

Meskipun dirinya lagi emosi tapi tak akan pernah menendang meja dan memporak-porandakan restoran. Kalau ia melakukan itu bisa keluar duit atau lebih parahnya lagi bisa jadi kasus.

Radith melangkahkan kaki mendekati bibir pantai. Tanpa terasa butir-butir air matanya mengalir dari kelopak mata. Ini kedua kalinya ia menitikkan air mata. Yang pertama kalinya saat Radith melihat jenazah mamanya. 

Pantai ini tempat bersejarah buat dirinya dan Malaya. Saksi cinta kita. Mereka sering bercanda tawa, dan lari-lari kecil di pantai ini. Kini semua sirna, hanya jadi kenangan pahit. Radith menjambak rambutnya sendiri. Ia tak habis pikir kenapa nasibnya kayak gini banget. Baru aja ia mau bahagia karena hari ini mau melamar Malaya tapi ternyata ia harus menerima kenyataan pahit. Kenyataan bahwa Malaya bukan jodohnya, ia pergi ninggalin dirinya tepat di hari anniversary yang ke lima tahun. Perginya sama Bima pula. 

“Arggghh … kenapa Tuhan nggak adil? Apakah gue nggak pantas bahagia?” teriak Radith sekencang-kencangnya. Ia sudah tak peduli lagi dengan orang-orang sekitar. Biarlah mereka menganggap dirinya gila. Ia akui dirinya emang gila, gila karena Malaya. 

“GUE NGGAK MAU JATUH CINTA SAMA CEWEK LAGI! CEWEK HANYA RACUN DUNIA!” teriak Radith sekali lagi.

 Ajaib, seketika rasa sesak di dadanya hilang dalam sekejap. Lumayanlah, bisa sedikit melegakan hatinya tapi tetap aja rasa sakit hati ini masih terasa. Mungkin hanya waktu yang bisa menyembuhkan luka hatinya.

Tanpa terasa sudah satu jam ia di pantai ini. Matahari aja sudah tidak menampakkan sinarnya lagi, itu berarti tugas dia menjalankan titah Tuhannya telah selesai. Sekarang giliran bulan dan bintang yang menjalankan titah Tuhannya untuk menerangi malam. 

Cahaya bulan dan bintang tak kan mampu menyinari hati Radith yang gelap. Cuma Malaya yang mampu mampu menyinarinya.

Berhubung hatinya sudah merasa enakan dikit, ia memutuskan untuk pulang aja. Ngapain juga lama-lama di sini? Yang ada badannya bentol-bentol dicium nyamuk secara ia kan orangnya manis banget. “Selamat tinggal Pantai Pattaya! Gue nggak akan menginjakkan kaki ke sini lagi. Bagi gue tempat ini hanya menjadi kenangan yang manis sekaligus pahit.”

Sebelum pergi ia mengambil HP dulu dari saku celananya. Ia ingin menelpon seseorang dulu.

“Hello, how can we help?"

“I want to ask if tomorrow there is a flight to Indonesia?"

“Yes, Do you want to book tickets for a flight tomorrow to your Indonesian destination?"

“Yes, I want to book a ticket to Indonesia tomorrow.”

“Oke, thank.”

“Sama-sama.”

Tuttt… Tuttt

Radith memutuskan sambungan telepon. Lega rasanya tiket pesawat tujuan Indonesia sudah berhasil dipesan. Ya, Radith memutuskan besok pulang ke Indonesia saja. Buat apa di Thailand, toh sahabat yang selama ini sangat disayanginya tega menusuknya dari belakang. 

***

Setelah menempuh perjalanan Thailand-Indonesia selama tiga jam akhirnya Radith tiba di rumahnya sekitar jam dua belas siang. Kehadiran Radith bukannya disambut manis oleh papa dan mama tirinya malah disambut dengan wajah horror. Wajah mereka seperti seorang hakim yang sedang menjatuhi hukuman pada tersangka pembunuh.

“Hey, aku baru datang harusnya dipeluk atau dikasih ucapan selamat datang gitu.” Ujar Radith. 

“Radith, nggak usah bertele-tele. Kedatanganmu ke Indonesia sudah tepat. Ada yang ingin kami bicarakan sama kamu.”

“Bicarakan apa, Pa?”

Papa Radith merogoh saku celananya lalu sesaat kemudian tangan kanannya mengeluarkan beberapa lembaran kertas. Lembaran-lembaran kertas itu ditaruh di atas meja tepat di hadapan Radith. 

Radith menggaruk kepala yang tak gatal. “Kertas-kertas apa ini, Pa?”

“Kamu baca sendiri isi kertas-kertas itu!” ujar papanya menunjuk beberapa lembaran kertas di atas meja. Radith pun mengambil beberapa lembaran kertas.

Matanya terbelalak ketika melihat tulisan di kertas-kertas itu. Kertas-kertas itu ternyata adalah bon belanja Radith selama di Thailand. “Aduh, mampus gue. Bon-bon ini kok bisa jatuh di tangan papa? Ah, pasti Bima yang kirim semua ini ke papa. Dasar teman pengkhianat.” Radith memaki Bima dalam hati.

“Radith, papa nggak habis pikir selama kamu Thailand pengeluaranmu semakin banyak. Bulan lalu kamu menghabiskan uang 150 juta. Dan bulan ini kamu menghabiskan uang 250 juta. Bima saja di Thailand hanya menghabiskan uang 50 juta perbulan.” Papanya mulai mengomel. Radith hanya tertunduk mendengarkan omelan papanya.

“Papa, sudah bingung harus make cara apalagi biar kamu nggak boros.” Papanya terlihat berpikir serius. 

“Sepertinya kamu harus pergi dari rumah ini tanpa membawa uang sepeserpun dari papa. Biar kamu tahu susahnya cari uang.”

Radith melotot ke arah papa. “Papa, nggak adil. Bulan lalu tante Citra minta uang 500 juta dikasih dan nggak diusir masa aku yang hanya menghabiskan uang 250 juta langsung ditendang dari rumah ini?”

Radith memanggil mama tirinya dengan sebutan tante Citra. Walaupun papanya sudah menikah dengan Citra, hamper sepuluh tahun tapi sampai detik ini Radith masih enggan memanggil Citra dengan sebutan ‘mama’. Baginya sebutan mama hanya untuk ibu kandungnya. 

“Citra kan minta uang 500 juta buat modal usaha. Nah, kamu menghabiskan uang 250 juta untuk sesuatu yang nggak jelas.”

“Alah, bulsyit. Bilang aja papa lebih sayang tante Citra daripada Radith.”

Radith merogoh jaket dan saku celananya. Ia mengeluarkan dompet, kunci mobil, dan HP. “Kalau papa ingin Radith keluar dari rumah ini tanpa membawa harta papa oke fine. Ini semua Radith balikin ke papa.” Radith meletakkan barang-barang yang dipegangnya di atas meja. 

Jari telunjuk Radith ke arah Citra. “Buat lo, lo puas sekarang gue diusir dari rumah gue sendiri. Ini kan yang lo mau dari dulu? Gue tahu akal bulus lo yang ingin menguasai harta papa seutuhnya. Dasar ular betina berkepala dua!”

“Gue akan buktikan ke kalian semua, kalau gue bisa sukses tanpa harta papa!”

“Papa akan tunggu kesuksesanmu.”

Tanpa pikir panjang lagi Radith bergegas dari dari rumahnya. Untung rumahnya di tepi jalan raya, jadi begitu keluar rumah ia langsung mencegat taksi lewat. 

Sebelum naik taksi, ia terlebih dahulu memandangi rumahnya. Ia lahir dan besar di rumah yang ada di hadapannya itu. Sudah ratusan kenangan terukir di dalam rumah itu. Ia benar-benar tak menyangka papanya tega mengusir dirinya dari rumah itu. Kebencian Radith ke Citra semakin menjadi-jadi. Ia yakin 100% Citra lah yang ngompor-ngomporin papanya agar dirinya diusir dari rumah.

“Good bye, rumah tercinta gue.” Ucap Radith sebelum sopir taksi tancap gas.

Belajar Hidup Susah

Bagi Radith menangis adalah hal yang sangat memalukan bila dilakukan di depan orang lain. Tapi sekarang dirinya di dalam taksi bersama supir yang tidak dikenalnya, ia tidak bisa mengendalikan air matanya.

Sial. Ternyata sakit rasanya. Sakit yang ia rasakan itu super dobel. Sakit karena kehilangan dikhianati Malaya, sakit karena dikhianati Bima, sahabatnya dari SD dan paling sakit adalah ia diusir papanya dari rumahnya sendiri. Sama sekali tak pernah menyangka ia akan pergi dari rumahnya. 

“Mas, kita mau ke mana ini?” tanya supir taksi dengan hati-hati, mencari waktu yang pas di sela-sela tangisannya untuk menanyakan tujuannya setelah sekian lama mereka hanya berputar-putar tanpa tujuan saja.

“Jalan Langlangbuana, no 148,” kata Radith menyebutkan satu-satunya alamat yang terpikirkan oleh otaknya. Di jalan itu ada sungai yang airnya mengalir deras. Ia rasa tempat itu bisa dijadikan untuk aku menenangkan diri sejenak ataupun selamanya. Kemudian, ia kembali tenggelam dalam pikiranku sendiri.

***

Angin berhembus kencang meniupkan setiap helai rambutnya. Di depan, ada sungai hampir tak terlihat dasarnya. Sungai itu membentang luas dan memberikan godaan bagi Radith untuk menyelaminya. Satu sisi hatinya berusaha keras untuk menepis godaan itu tapi di sisi lain berkata, “Sudahlah, lakukan saja! Toh tak ada lagi yang menginginkanmu di dunia ini.”

Hidupnya sekarang sudah tak ada artinya lagi. Rumah tak punya, uang apalagi, satu-satunya jalan kebahagiaan adalah menyusul mama pergi ke surga.

Radith mulai melangkah maju, degupan jantung mengencang seiring perdebatan dalam otaknya. Ia mungkin tidak pantas hidup tapi ia tetap mengharapkan ada tangan menariknya kembali.

Kini ia telah di bibir sungai. Ia memejamkan mata, mulutnya mulai menghitung aba-aba. Dalam hitungan ketiga ia harus sudah terseret arus sungai. Berharap ketika ia membuka mata kembali aku telah di surga bersama mama kandungnya.

1…2…3

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Ketika ia hendak menceburkan diri ke sungai, ia merasakan ada sebuah tangan yang menahan lengan kirinya. Ia mengurungkan niat sesaat. Dan ia coba menoleh ke belakang. Telah berdiri tegak seorang cowok yang sangat dikenalinya. 

“Ngapain lo ke sini?”

“Tadi gue ke rumah bokap lo, kata tante Citra lo dah pergi. Gue disuruh  Tante Citra untuk nyari lo. Alhamdulillah, gue berhasil nemuin lo di bibir sungai. Mau ngapain di sini? Mau bunuh diri?” Seorang pria yang di depan Radith ini menatapnya dengan tatapan mengejek. “Banci, banget sih lo baru masalah gini aja mau bunuh diri. Lo pikir bunuh diri bisa menyelesaikan masalah? Nggak! Yang ada lo malah nambah masalah ntar di akhirat. Lo udah bawa bekal yang banyak buat di akhirat kelak? Lo mau masuk neraka?”

Damn!

Apa yang yang dikatakan pria ini benar 100%, bunuh diri tak akan menyelesaikan masalah. Yang ada malah menambah masalah di akhirat. Radith menyadari bahwa masih belum punya banyak bekal buat di akhirat kelak. Salatnya masih bolong-bolong, puasanya juga kadang-kadang, tak pernah sedekah, belum naik haji dan paling parah ia belum bisa membahagiakan kedua orang tuanya. Ia merinding sendiri membayangkan api neraka menjilat tubuhnya.

Bersyukur banget Tuhan masih menyayanginya, beliau mengirimkan pria ini untuk menyelamatkan Radith dari ide konyol yang entah dating dari mana. Tiba-tiba pria ini menyerahkan amplop cokelat kepada Radith. Dahi Radith berkerut, “Apa ini?” Ia bertanya penuh keheranan.

“Tadi Tante Citra nitipin amplop cokelat ini ke gue katanya sih buat bekal hidup lo.”

Ia perlahan membuka amplop cokelat yang ada di tangannya. Matanya terbelalak melihat isi amplop tersebut. Isinya beberapa lembar uang ratusan ribu. Bisa ia pastikan jumlah uang ini mencapai jutaan rupiah. Lumayan sih buat bekal hidup. 

Plung!

Dengan enteng ia membuang amplop beserta isinya ke sungai yang airnya mengalir deras layaknya membuang sampah ke tempat sampah. Ia tak sudi menerima uang dari orang yang telah membuatnya terusir dari rumah. Ia yakin Tante Citra memberi uang pasti untuk pencitraan di depan papanya, agar dibilang ibu tiri yang baik.

Mata pria yang di depan Radith melotot seolah dia mengatakan, “Kenapa lo buang uangnya? Sayang tahu!” sebelum dia mengeluarkan kalimat itu Radith lebih dulu berkata. “Gue nggak perlu uang dari seorang munafik karena gue nggak mau dikasihani.”

“Ya, udah terserah lo. Yang penting lo jangan bunuh diri. Yuk, mending lo ikut gue.”

“Ke mana?”

“Ke kosan gue. Lo pasti bingung kan mau tinggal di mana? Sementara lo boleh tinggal di kos gue.”

Mata Radith berbinar. Ya, ampun cowok ini baik banget sih. Radith sangat beruntung memiliki sahabat sepertinya. Cowok yang di depannya ini sahabat yang selalu ada di saat suka dan duka. 

“Kos-kosan I am coming!” teriak Radith. Mulai detik ini ia harus membiasakan diri jadi anak kos.

***

Glek!

Radith menelan ludah berkali-kali ketika berada di depan sebuah bangunan reyot yang sepertinya tinggal menunggu waktu roboh. Bangunan itu bertingkat dua dan tampak menyeramkan karena semua catnya mengelupas aneh. Atap bangunan itu juga akan roboh kalau diterpa angin kencang. 

Sialnya bangunan itu merupakan kosan Tandy, yang jadi tempat tinggalnya juga selama beberapa bulan ke depan. Ini sama sekali di luar dugaannya. “Sanggupkah gue bertahan di tempat ini?” gumam Radith. 

“Kok malah bengong? Kaget ya liat liat kosan gue? Sori ya gue nggak bisa bawa lo ke kosan yang lebih layak.” Raut wajah Tandy berubah jadi mendung.

“Hmmm … ya gitu deh. Nggak apa kok, kos ini juga dah lumayan cukup,” jawab Radith sedikit berbohong agar tak menyinggung Tandy. Ya, setidaknya kosan ini lumayan bisa membuatnya tak tidur di emperan toko atau kolong jembatan.

“Thanks ya atas pengertiannya. Yuk, kita masuk! Gue tunjukin kamar dan dapurnya.”

Radith mengikuti langkah Tandy. Bagian dalam kosan ini tak kalah mengenaskan dengan bagian luarnya. Kamar Tandy ada di lantai 2, bersebelahan dengan kamar nomor 7. 

“Tan, lo dah berapa lama ngekos di sini?” tanya Radith.

“Sejak abis lulus SMA, sekitar lima tahunan lah.”

Mata Radith langsung melebar mendengar penuturan Tandy. Ia tak habis pikir bagaimana mungkin sahabatnya itu bisa betah tinggal selama tahun di bangunan yang sudah tak layak disebut kos? 

Jujur, ada rasa penyesalan di hati Radith. Lima tahun yang lalu ia lagi sibuk-sibuknya menghamburkan uang papanya di Thailand. Ia tak pernah tau nasib Tandy tak sebaik dirinya, Tandy sama tak mengeluhkan nasib kepadanya. “Andai aja gue tau nasib Tandy sengenes ini, pasti dia yang bakal gue hidup di Thailand daripada si pengkhianat itu,” batin Tandy.

Sekian lama aku bertahan dengan segala sikap egomu

Rasa ini membuatku mati rasa, hampa jiwaku. Oh…

Good bye … good bye

Saatnya kita berpisah

Good Bye … Good bye 

Inilah akhir cerita cinta denganmu.

“Dith, lo lagi nyetel mp3 ya?” tanya Tandy bingung.

Radith menggelengkan kepala. “Mp3 pala lo peyang. Kan lo tau sendiri, gue kabur dari rumah nggak bawa apa-apa selain baju dan sempak?”

Tandy menggaruk kepala yang sepertinya banyak kutu. “Iya, juga ya. Terus siapa dong yang nyetel mp3? Di lantai 2 ini kan Cuma ada kita berdua sekarang.”

“HP lo kali bunyi.”

Tandy merogoh saku celananya. Tak lama kemudian ia mengeluarkan HP jadul merk Cina. Fasilitasnya itu Cuma bisa buat sms, telpon, kamera, mp3 dan Facebookan saja. “Eh, iya ding. HP gue yang bunyi. Ada orang misscall.”

Radith geleng-geleng kepala melihat tingkah Tandy. Bunyi nada dering HP sendiri malah lupa. “Emang misscall dari siapa, Tan?”

“Entahlah. Dia make private numbers. Eh, Dith lo lagi laper nggak?”

Ini nih pertanyaan yang di tunggu Radith akhirnya keluar juga dari mulut Tandy. “Hehehe … tau aja lo,” balas Radith seraya nyengir kuda memamerkan deretan gigi gingsulnya.

“Ya, udah lo tunggu di sini ya. Gue mau beli makanan dulu di luar.”

Sebenarnya Radith ingin ikut Tandy, namun badannya seolah tak bisa kompromi. Rasanya ingin segera menemui kasur. “Ya udah deh. Tapi lo jangan lama ya perginya. Kalau lama gue getok kepala lo make palu baja.”

“Sip. Beres. Tenang aja.”

***

Seorang cowok mengenakan kacamata hitam sedang sibuk mengaduk-aduk cappucino yang dipesannya. Bola matanya tetap terpaku ke arah jarum jam yang melingkar di pergelangan kirinya. “Dia ke mana sih? Sudah setengah jam gue tungguin tapi dia belum juga menampakan batang hidungnya.” Cowok itu mulai mengomel sendiri.

Cowok itu tiba-tiba merasakan pundaknya disentuh oleh seseorang. Seketika ia membalikkan badan. Berdiri tegak seorang wanita cantik sekitar umur 35 tahunan. Ia memandangi wanita yang di depannya dari ujung kaki ke ujung kepala. 

“Dia benar-benar memesona mirip Tamara Blezinsky. Andai saja dia belum menikah, pasti gue embat dah.” Batin cowok itu. 

“Maaf, saya terlambat. Tadi terjebak macet,” ucap wanita itu.

“Nggak apa kok, Tan. Bay the way, ada apa ya Tante ngajakin saya ketemuan di sini?”

“Saya ngajak kamu ketemuan, cuma mau nyerahin ini.” Wanita itu menyerahkan amplop coklat kepadanya. Ia mencoba membuka amplop tersebut. Matanya terbelalak. Isi amplop uang senilai dua juta rupiah. 

“Ini uang apa ya, Tan?” Tanya cowok itu bingung.

“Itu uang buat biaya hidupnya selama sebulan. Gimana? Cukup?”

“Sepertinya sih cukup.”

“Kalau kurang, kamu tinggal bilang sama saya. Tapi kamu harus melaporkan apa saja yang dilakukannya ke saya. Deal?” 

“Siap, Tante. Tenang saja, saya pasti melaporkan kegiatannya ke tante.”

Wanita itu bangkit dari tempat duduk, lalu meninggalkan dirinya di kafe ini.

***

Saking lamanya Tandy pergi, Radith sampai ketiduran. Pas bangun pun Tandy belum juga balik. Ia mengacak rambut sendiri sambil memegangi perutnya yang sudah sedari tadi keroncongan.

Tok … Tok

Ia mendengar ketukan pintu. “Itu pasti Tandy.”

Buru-buru ia membuka pintu. Benar dugaannya. “Tan, lo pergi kemana aja sih? Lama banget. Nggak tau apa perut gue dah keroncongan.”

“Sorry, tadi warteg di sana makanannya dah habis. Makanya gue nyari makanan agak jauhan.”

Tanpa banyak cingcong, Radith duduk sebelah kasur. Ia langsung membuka makanan yang dibawa Tandy. Seketika matanya melotot. “Lo pergi lama Cuma beli nasi, tempe dan krupuk doang?”

Tandy mengangguk pelan. “Duit gue Cuma cukup buat beli itu. Gue tau makanan yang di depan lo ini, bukan selera lo banget. Tapi gue harap mulai sekarang lo harus belajar beradaptasi dengan kehidupan saat ini dan mensyukuri apa yang ada di depan lo.” Tandy ceramah panjang lebar.

Radith hanya terdiam diceramahi Tandy. Lagi-lagi ia harus mengakui ucapan Tandy benar. Mulai sekarang belajar beradaptasi dengan kehidupan saat ini dan mensyukuri apa yang ada.      

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!