...Daripada memikirkan kehidupan normal seukuran usia yang ku pijak, aku lebih tertarik bekerja keras dan hidup serba irit. Tujuan ku ingin merubah perekonomian keluarga lewat satu-satunya harapan, yaitu adikku. Dia harus mengenyam pendidikan tinggi. Dia harus memiliki kesempatan mewujudkan mimpinya. Tidak seperti aku, yang pada akhirnya selalu menyesali keputusan yang telah ku ambil. Memang sebaiknya jangan berharap pada expetasi, dan mengalirlah tanpa memupuk kebencian. Tapi tidak apa-apa, aku anggap ini adalah jalan menemukan seorang yang telah mengubah arah pandangan. Aku bisa lebih menghargai diri sendiri....
...(Angga Adiputra) ...
...Banyak orang bilang, aku sangat di sayang kakak ku sampai mengesampingkan dirinya sendiri. Aku terharu, dan cukup tersentuh dengan perjuangan keras Mas Angga terhadap keluarga. Seakan semesta tidak mendukung niat kami, kesialan justru menimpa hingga membuat diriku gagal mengubah taraf perekonomian keluarga menjadi lebih baik. Katanya, aku adalah satu-satunya harapan, tetapi nyatanya aku malah membawa bencana. Aku minta maaf Mas. Aku tidak akan pergi sebelum kamu baik-baik saja. Sekali lagi maaf, aku tidak bisa membalas pengorbanan ini....
...(Nihaya) ...
...Aku selalu dikelilingi teka-teki. Begitu kalimat yang disematkan pada diriku. Kali ini, ada yang berbeda dengan kasus yang ku hadapi. Dalam penyelidikan tersebut aku menemukan seseorang yang memiliki tekad kuat pada suatu tujuan....
...(Nuri)...
...*****...
Jakarta.
"Gur, makan siang beli bakso nyok."
"Ntar ah, kalau keluar arisan."
"Bujug buneng, lu cuma beli bakso aja sampai nunggu keluar arisan. Gue bayarin dah!"
"Gak usah bang, makasih. Saya makan katering aja." Ujarnya sambil beranjak makan siang.
Begitulah kalimat yang keluar dari mulut seorang Angga Adiputra atau yang sering dipanggil Jagur ketika diajak membeli makanan. Baginya, makan siang yang disediakan perusahaan sudah cukup hingga tidak perlu membeli makanan penunjang lain. Dia harus irit agar bisa mengirim uang yang lebih ke kampung halaman.
Angga bekerja di perusahaan kontruksi yang penempatannya berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain. Dia merupakan tulang punggung keluarga. Awalnya, Angga yang sesungguhnya memiliki otak pintar kepingin kuliah jurusan hukum kalau saja dana cukup memadai. Dia berkeinginan menjadi pengacara, sesuai bidang yang ia minati. Tetapi, keadaannya tidaklah mendukung. Ia harus mengubur keinginan tersebut demi pergi merantau untuk menjadi penopang keluarga. Ayahnya tergolek lemah dengan penyakit stroke yang diderita. Ibunya tidak lagi gagah, yang berjalan pun harus pelan dan merambat lantaran sakit persendian. Keduanya sudah berusia senja.
Adiknya, Nihaya, berkuliah sambil berjualan baju di lapak online. Nihaya berperangai baik, tidak mengikuti arus pergaulan hedon dimana bergaya adalah hal utama. Sebagai adik dia selalu bersikap sopan kepada Angga, begitu pun Angga yang selalu bersikap lembut kepada adiknya. Berbeda dari kebanyakan kakak adik yang suka ada drama berantem-berantem sayang. Tapinya berantem, tapinya perhatian. Kalau Angga dan Nihaya tidak suka begitu.
Menginginkan adik fokus ke masa depan tanpa memusingkan biaya atau lainnya, tentu membuat standar Angga begitu kaku. Angga melarang Nihaya memiliki pacar karena dianggap mengganggu fokus kuliah adiknya. Terlebih Angga suka dengar cerita dari kawan-kawan tentang pacaran yang kebablasan, membuatnya semakin tidak setuju kalau Nihaya memiliki kekasih.
Tetapi,
Suatu hari, Angga mengetahui Nihaya menjalin hubungan pacaran dengan pria bernama Aji Prasetyo. Angga was-was ketika mengetahui kabar tersebut yang ia dapat bukan dari pengakuan Nihaya. Angga menegur Nihaya kenapa dia sudah melanggar peraturan yang dia buat, Nihaya pun menjawab kalau Aji hanyalah teman dekat. Tentu Angga pun pecaya dengan jawaban adiknya.
Namun,
Keadaan menegang saat Aji bertandang ke rumah mereka. Waktu itu bertepatan dengan pulangnya Angga ke kampung karena libur panjang hari raya. Angga dan Aji bertemu, menimbulkan decak tanya bagi Angga.
Kenapa Aji bisa ada di sini? adalah pertanyaan Angga yang telah membuat Aji membeberkan fakta. Aji memperkenalkan diri sebagai pacar Nihaya, membuat Angga tersenyum kecut. Meskipun begitu, Angga tidak merusak suasana sakral hari raya. Laki-laki itu menahan diri sampai tiba kesempatan dimana mereka bisa bicara empat mata.
Rupanya diantara Nihaya dan Aji, hubungan mereka cukup terbilang abu-abu. Yang di bilang Nihaya hanya sebatas teman tidak sepenuhnya salah. Juga Aji bilang mereka berpacaran juga betul adanya. Aji menyatakan cinta pada Nihaya, yang di respon wanita itu hanya diam saja. Padahal Aji sudah menegaskan kalau diam saja tandanya diterima. Tetapi lain menurut Nihaya. Diamnya dia beranggapan tidak menerima pernyataan tersebut, meskipun setelahnya mereka terlihat seperti pasangan. Seolah-olah diamnya Nihaya mengandung arti 'jalani saja dulu'.
Inilah awal kepercayaan Angga mulai retak.
Tidak mau menjadi orang jahat diantara dua orang yang saling mencintai, Angga pun membuat kesepakatan kepada Nihaya. Isinya berbunyi;
"Mas percayakan hal ini sepenuhnya padamu. Tapi ingat, JIKA suatu saat nanti kamu sampai merusak kepercayaan Mas Angga, jangan harap kamu bisa menganggap Mas Angga ini kakak mu lagi."
Nihaya awalnya tidak setuju dan berusaha menjelaskan lebih baik menjauhi Aji ketimbang ada sekat diantara Nihaya dan Angga. Tetapi Angga menyinggung soal peringatan awal untuk jangan berpacaran yang secara tak langsung sudah di langgar oleh adiknya. Kalau mau menjauh kenapa tidak dari awal. Giliran sudah begini baru berkomitmen buat menjauh. Angga bilang begitu, diakhiri dengan kalimat 'jangan suka mempermainkan perasaan orang', membuat Nihaya mau tak mau melanjutkan yang sudah berjalan. Ia mengangguk pasrah.
Drrrt.. drrt.. drt..
Getaran hp menutup makan siang Angga. Laki-laki itu berpindah tempat guna mengangkat panggilan telepon yang datangnya dari Nihaya. Gadis itu mengabarkan kalau dia dan sang paman akan datang ke Jakarta menemui Angga.
"Memangnya ada apa Ni? ada sesuatu yang mendesak kah?"
".... "
"Oh yaudah kalau gitu, kabarin aja kalau sudah sampai sini ya. Hati-hati di jalan."
"Kenapa Gur?" teman yang tadinya ngajak makan bakso tapi tidak jadi, bertanya lantaran kepo.
"Besok adek saya mau datang ke sini bang."
Suara Angga terdengar sumringah. Bertahun-tahun merantau, baru kali ini Angga di datangi anggota keluarga.
Semoga langit esok cerah ceria.
.
.
Bersambung.
Nihaya dan pamannya sudah tiba di Jakarta. Kedatangan mereka disambut baik para pekerja lain yang satu tempat tinggal dengan Angga.
"Wah Bang Jagur ada tamu." Sapa teman Angga dengan senyum ramah.
"Hehe, iya bang. Kenalin ini adik saya, Nihaya. Dan ini paman saya." Angga sumringah memperkenalkan Nihaya dan pamannya kepada rekan kerja. Kemudian yang diperkenalkan saling bersalaman dan melontarkan salam kenal. Basa-basi pun terjadi.
Menit-menit berikutnya perbincangan masuk tahap serius ketika teman Angga pamit ke keluar menuju laundry. Sepeninggalnya teman di telan belokan, paman membuka mulut, membicarakan maksud kedatangannya dengan Nihaya. Akan tetapi Angga yang antusias dengan kedatangan anggota keluarganya tersebut, memotong hanya untuk menawarkan jamuan. Angga pelit kepada dirinya sendiri tapi loyal kepada orang lain.
"Mau bakso, soto, mi ayam, atau yang lain?"
"Ora usah repot-repot tole. Begini saja sudah cukup."
"Repot apanya paman, gak ada yang ngerepotin kok." Angga tetap memesan banyak makanan via online. Klik sana klik sini selesai, tinggal menunggu makanan datang di sela-sela obrolan mereka. Andai temannya belum pergi ke laundry, sudah pasti si teman menggerutu soal sikap Angga yang kontradiktif. Untuk dirinya sendiri irit, tapi kepada keluarganya loyal sekali.
Angga perhatikan, Nihaya banyak diamnya sejak tadi. Laki-laki itu berderap mendekat untuk memperhatikan Nihaya.
"Kamu sehat kan Ni?" yang ditanya mendongak, menatap wajah Angga. Sepersekian detik kemudian kembali menunduk setelah menjawab.
"Sehat Mas. Mas Angga bagaimana?"
"Alhamdulillah Mas juga sehat. Oh ya tadi paman mau ngomong apa? maaf malah saya potong nanya soal makanan." Tatapan Angga bedalih kepada paman.
Paman berdiri mendekati Angga. Beliau berusaha mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi. Pundak Angga di usap-usap perlahan. Paman pun menarik nafas dalam-dalam.
"Nihaya hamil."
Dua kata yang terdengar seakan-akan membuat bumi berhenti berputar. Rasanya bak kesamber geledek di siang bolong. Angga susah payah menelan ludah, memastikan kembali kalau yang di dengarnya salah.
"Maksudnya gimana paman? Nihaya kan belum nikah, masa bisa hamil!" Sarkasnya. Angga tidak dapat mengontrol diri sehingga berkata demikian pada paman yang sebenarnya dimaksudkan pada Nihaya. Wajahnya kian memerah dibarengi air mata Nihaya jatuh ke pangkuannya sendiri.
"Ni, kamu beneran hamil?!" Angga beralih pada Nihaya.
Nihaya mengangguk lemah. Angga hancur sehancur-hancurnya, mengusap kasar wajah dan mengumpat kata-kata tak enak didengar. Melihat situasi merujuk ketegangan, paman langsung menginterupsi menjelaskan kronologi kejadian. Seolah tuli Angga pun tidak mendengar pamannya berbicara karena tersumbat riuhnya isi kepala.
"Saya bilang juga apa!!!" ujar Angga kepada Nihaya dengan nada tinggi yang tertahan. Angga betulan menepati omongannya bahwa jika terjadi apa-apa, Angga tidak mau dianggap kakak lagi. Terbukti panggilan 'Mas' digantikan kata yang lebih formal, menegaskan diantara mereka bukan siapa-siapa lagi.
"Mas, aku minta maaf. Ini gak seperti apa yang Mas Angga bayangkan. Ini bukan anaknya Aji. Aku.. aku telah mengalami--"
"Diam! saya sudah tidak percaya lagi omongan kamu Nihaya!! mulai detik ini, urus saja dirimu sendiri. Saya tidak peduli. Jangan ganggu saya, karena sekarang saya bukan kakak mu lagi. Ingat itu baik-baik."
"Astaghfirullah, Angga jangan ngomong begitu. Pamali. Istighfar le..." Paman mengurut dada. Ternyata apa yang terjadi melebihi perkiraannya. Pikiran paman hanya sebatas Angga membentak marah-marah, tetapi yang terjadi malah lebih dahsyat. Angga tega memutus hubungan persaudaraan, meskipun hubungan darah tidak akan pernah terputus. Dimana-mana tidak ada yang namanya mantan saudara.
Angga tidak menjawab perkataan paman.
"Angga, sebenarnya Nihaya diperkoosa begundal beberapa waktu yang lalu. Dia baru cerita sekarang sama paman, sama bapak dan ibu mu. Tadinya Nihaya nutupin masalahnya, biarin dipendam semata-mata agar keluarga tidak terbebani pikiran. Tapi hal yang tidak diduga malah terjadi. Pemerkosaan itu berbuntut panjang karena Nihaya hamil."
"Paman, Nihaya tidak sebodoh itu ngalamin tindak kriminal tapi malah diam. Saya lebih percaya dia sengaja ngelakuinnya, ketimbang dia diperkoosa."
"Ka-mu tidak percaya adik mu?"
"Tidak paman, sedikit pun tidak percaya. Nihaya sendiri yang sudah merusaknya."
Nihaya bersimpuh, "Mas Angga, percayalah yang dikatakan paman itulah kebenarannya."
"Menyingkir dari kaki saya, dan pergilah dari sini! pergilah dari kehidupan saya Nihaya. Saya benar-benar gak mau lihat kamu lagi." Angga berdiri menjauhkan kaki darinya pelukan adiknya. Nihaya enggan beranjak, kontan badannya tersentak mundur saat Angga berusaha menyingkir.
Teman-teman Angga sudah kembali berdatangan. Pembicaraan sudah tidak bisa dilanjut lebih jauh sehingga mau tidak mau Nihaya dan paman pergi dari tempat Angga.
Sepeninggal kepergian Nihaya dan paman, pesanan Angga datang silih berganti. Angga tidak berselera melakukan apapun. Dia memilih beranjak dari tempatnya, pergi ke semaunya kaki melangkah. Teman-teman Angga yang menerima makanan sontak kebingungan.
"Eh, siapa yang pesan makanan ampe sejibun begini?"
"Bang Jagur." Celetuk yang tahu kronologinya.
Dengar nama Jagur, mereka bilang itu merupakan suatu ketidakmungkinan. Tapi memang itulah faktanya.
...*****...
Sepanjang jalan Nihaya membasahi pipinya dengan air mata. Gadis itu terisak pilu, terbayang-bayang perkataan Angga yang terasa menyakitkan.
"Sudah nduk, jangan nangis lagi. Angga hanya marah saja. Dia butuh waktu untuk menerima ini semua sebagai takdir, jadi lain waktu kita bicarakan lagi dengannya."
"Paman, aku udah nyakitin Mas Angga sampai segitunya. Aku hanya ingin maaf dari Mas Angga."
"Iya, paman mengerti situasi mu. Sekarang lebih baik kita pulang dulu ke rumah. Kasih Angga waktu buat menenangkan diri."
Nihaya mengangguk.
Mereka berada di dalam bus perjalanan menuju kampung halaman. Nihaya menghapus air matanya, lalu mendongakkan kepala menatap lurus ke depan. Capeknya hari ini sudah tidak lagi dirasa. Ia menatap nanar, kemudian matanya menyipit karena cahaya menyilaukan datang dari sisi depan. Isi bus menjadi riuh.
Tiba-tiba ada kejadian begitu cepat, dimana Nihaya merasa terombang-ambing dalam bus. Itu hanya guncangan saja, iya, dia meyakinkan dirinya seperti itu. Tanpa dia sadari kalau tubuhnya memang betulan jungkir balik.
Nihaya merasa sakit, sakit sekali. Terutama dibagian perutnya.
Saakiit hhh. Perutku...
Lalu hari yang sudah gelap semakin menggelap.
.
.
.
Bersambung.
Semenjak tahu Nihaya hamil, Angga menjadi pendiam. Angga yang memang seorang intovert jadi lebih pendiam dari sebelumnya bahkan ia terkesan menarik diri dari lingkungan.
Tinggal satu tempat beramai-ramai dalam suasana hati yang tidak baik-baik saja membuat Angga ingin memisahkan diri. Perubahan sikapnya terasa oleh orang disekitarnya. Sampai suatu kesempatan, Angga mengutarakan keinginannya keluar dari sana. Bukan keluar kerja, melainkan pindah tempat berteduh ke gubug yang ia bangun sendiri di belakang dengan bahan seadanya. Kawan-kawan menyetujui asalkan perasaan Angga membaik.
Drt.. drt...
Disaat beberes perabotan, Hp Angga bergetar ada yang memanggil. Ia angkat panggilan tersebut yang datangnya dari sang bibi--istri dari pamannya yang datang kemarin. Orang tua Angga tidak bisa mengoperasikan ponsel. Jadi kalau ada kabar apa-apa, adik, paman, dan bibi nya lah yang menjadi penghubung komunikasi.
"Assalamualaikum," salam datangnya dari seberang sana. Suaranya milik sang ibu.
"Wa'alaikumsalam Bu."
"Le, kamu baik-baik saja disana?"
"Baik bu, ibu sehat-sehat aja kan? bapak bagaimana kabarnya?"
"Alhamdulillah ibu sehat. Bapak juga baik-baik saja seperti biasanya. Tapi adik dan paman mu tidak le. Mereka kecelakaan dan sekarang berada di rumah sakit."
"Kecelakaan?"
"Iya, waktu kembali dari Jakarta. Le.. ibu mau tanya," suara ibu mulai bergetar. Angga menarik nafas dalam-dalam.
"Tanya apa bu?"
"Kamu.. apakah marah sama Nihaya?"
Angga membuang nafas kasar. Dia sesungguhnya tidak mau membahas ini.
"Tidak bu. Ah iya, bagaimana keadaan paman?Angga atur waktu buat jenguk ke sana." Tanya Angga sambil mengepalkan tangan. Di lubuk hatinya yang paling dalam terselip rasa khawatir kepada adiknya. Namun kekecewaan kembali menyelimuti hingga ia kuasa untuk tidak menanyakan keadaan Nihaya.
"Syukurlah kalau begitu. Ibu takut persaudaraan kalian retak gara-gara masalah tersebut. Paman mu kakinya patah, dan sudah ditangani. Nihaya baru saja sadar. Ia langsung minta minum habis itu manggil-manggil kamu le. Ibu juga kecewa dengan apa yang terjadi pada Nihaya, ibu lebih kecewa kenapa ibu tidak dibagi masalah yang Nihaya pendam selama ini. Tapi sekarang--"
Sepertinya ibu belum tahu situasi antara aku dan Nihaya.
"Hallo bu, hallo.. hallo.. " Angga melakukan gerakan mencari-cari sinyal sambil terus mengatakan hallo. Lelaki itu kemudian mematikan sambungan telepon, dan mengucapkan salam di dalam hatinya. Dia juga mematikan hp, serta mecopot kartunya.
Maafkan Angga bu, Angga gak mau bahas dia lagi.
Jeratan marah mematikan rasa empati. Angga merasa masih membutuhkan waktu untuk menerima kenyataan, hingga menghindar sementara baginya merupakan jalan terbaik.
Angga menyugar kasar rambutnya. Perabot di atas meja berserakan diterjang kegalauan laki-laki itu. Gara-gara galau, sampai hati Angga memutus telepon sang ibu yang masih ingin bicara. Pantang sekali seorang anak berlaku demikian kepada orang tua. Tanpa laki-laki itu sadari, hal tersebut seperti berbuntut panjang hingga ia mendapatkan hukumannya setelah tiga puluh delapan hari.
Di mulai dari sekarang.
...****...
Beberapa hari kemudian, di gubuk derita Angga.
Tok.. tok.. tok..
Siapa yang mengetuk pintu, batin Angga. Dia menyudahi kegiatan gambarnya yang dia santroni sejak pulang bekerja. Angga beranjak membuka pintu, dimana tidak ada bunyi 'ceklek' dari handle lantaran kuncinya hanya sebuah kawat yang dililitkan pada paku menancap separuh.
"Ngapain kamu kesini?!"
Yang bertamu adalah Nihaya. Ia datang sendirian dengan kepalanya terbalut perban. Mulut boleh berkata sinis, tapi jauh di bagian ruang hatinya, ada kelegaan di hati Angga mendapati adiknya baik-baik saja.
"Mau ketemu Mas Angga."
"Mau ngapain?"
"Minta maaf."
Bruk.
Pintu dari triplek tipis menutup, memisahkan pandangan Angga dan Nihaya. Tapi tidak lama dari itu, pintu yang baru saja ditutup Angga engselnya copot sebelah. Mengakibatkan pintu tidak berfungsi sepenuhnya hingga menimbulkan celah. Nihaya mengintip dari celah itu.
"Kenapa Mas?"
Angga hanya melirik sekilas pada Nihaya sambil tangannya sibuk membetulkan engsel. Dia berdecak dalam hati, kenapa pintu segala copot pas lagi ngambek-ngambeknya. Angga tidak menjawab basa-basi Nihaya. Tanpa di tanya pun semua orang yang melihatnya bakal tahu kalau pintunya sedang roboh.
"Aku bantuin ya?"
"Gak usah. Kamu benar-benar gak denger omongan saya ya?! Jangan pernah datang kesini lagi eh malah nekat datang lagi. Mending kamu pulang saja sana!"
"Aku nggak mau pulang. Aku mau disini sama Mas Angga."
Angga mendengus, benar-benar meninggalkan Nihaya di luar sana padahal langit kelabu menandakan hujan segera turun. Guruh sudah terdengar. Lelaki itu gelisah di pembaringan. Dia bangun, mengintip keadaan luar lewat celah pintu.
Batu banget tuh anak! makinya karena masih mendapati Nihaya di luar.
Angga membuka lilitan kawat pintu lalu kepalanya menyembul keluar.
"Masuk."
Nihaya tersenyum lebar.
...****...
Di lain tempat.
"Muka mu galau banget Ji? kaya orang lagi putus cinta."
"Emang lagi putus, tapi cintaku gak akan terputus." Aji menjawab tanpa minat.
"Wess, maksudnya kamu putus sama-- siapa Ji namanya? Ni.. Ni apa?"
"Nihaya Mbak, kekasih pujaan hatiku entah mengapa malah memintaku untuk menjauh. Padahal aku gak ngelakuin kesalahan apa-apa. Aku tahu kakak laki-lakinya kurang setuju kalau adiknya sampai pacaran. Katanya bisa mengganggu fokus kuliahnya. Tapi kan Mbak, setelah kami berjuang meyakinkan, akhirnya Mas Angga memberi ijin asal kami bisa menjaga kepercayaannya. Dan di antara kami juga gak terjadi apapun. Lagi anteng, tau-tau Nihaya pengen aku pergi dari kehidupannya. Aneh kan ya?!"
Mbak Nuri manggut-manggut mendengar curahan hati sepupunya, Aji Prasetyo.
"Iya sih aneh. Kamu benar-benar gak tahu apa yang terjadi?"
Aji menggelengkan kepala.
"Daripada galau mending kamu cari tahu informasi mengenai Nihaya. Siapa tahu dia dalam situasi yang sulit sampai-sampai membuat keputusan seperti itu. Selidiki aja dulu, galaunya belakangan."
"Benar juga ya Mbak. Tapi bagaimana caranya, sedangkan Nihaya orang yang tertutup? Temannya sedikit, itu pun solid semua. Kalau dimintai keterangan tentang Nihaya, mereka pasti menghubungi Nihaya terlebih dahulu."
"Kamu ke rumahnya Ji."
"Yah itu lagi, gak bakal dapet apa-apa Mbak. Malah aku nanti di suruh pulang."
"Semenjak di suruh menjauh, kamu sudah berapa kali ke rumahnya?" Nuri menyeruput teh nya.
"Belum sih." Jawaban Aji hampir membuat Nuri tersedak.
"Nah itu. Coba aja kamu ke rumahnya, atau nggak kamu ke rumah saudaranya Ji. Bawa santai aja, jangan bersikap mencolok seperti mencari informasi."
"Gitu ya Mbak. Aku akan coba sarannya. Lama-lama aku berasa jadi intel kaya Mbak Nuri hehe. Btw, lagi sibuk apa nih kak?"
.
.
.
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!