NovelToon NovelToon

Cahaya Cinta Naura

Prolog...

Matahari mulai condong ke arah barat. Sinarnya terhalang barisan awan hitam yang nampak berat menampung beban, Aku bergegas mengayunkan kaki dengan ransel hitam berisi buku-buku pelajaran les private anak2 asuhanku yang masih setia nemplok di punggungku. Semilir angin mengibas-ngibaskan jilbab membuat kulitku berdesir merasakan dinginnya sore yang hampir hujan.

Namaku Naura Fina Mudya, tinggal di satu perkampungan daerah Tasikmalaya Jawa Barat. Baru 3 bulan yang lalu lulus SMA dan pulang dari pesantren. Selama waktu 3 bulan ini kuisi hari-hariku dengan memberikan les private untuk anak-anak disekitar rumah yang terdiri dari 5 orang anak SD, rata-rata mereka kesulitan dengan pelajaran Matematika.

Matematika??? Oh...Matematika yang selalu menjadi Momok bagi para siswa. Tapi entah mengapa aku justru sangat menyukainya. Berkutat dengan deretan angka dan hitungan plus, minus, kali, bagi dan sebagainya. Aku akan memegang pencil dan kertas seharian jika jawaban dari satu soal matematika tak juga kutemukan. hmmm...

Awalnya aku iseng membantu salah satu tetangga yang anaknya kesulitan belajar, dan ternyata mereka membagikan pengalamannya kepada tetangga yang lain. Akhirnya seperti sekarang ini, setiap pukul dua siang aku akan bertemu dengan mereka disebuah ruangan kecil disamping pos ronda untuk belajar, sampai saat adzan ashar hampir tiba.

Hari ini, bibirku lebih merekah dari biasanya, karena baru saja orang tua mereka memberiku amplop kecil berisi uang 250ribu untuk kerja kerasku mengajari anak mereka. Meski sebenarnya aku sama sekali tidak pernah meminta imbalan apapun, karena ini adalah kegiatan yang sangat menyenangkan bagiku.

Hmmm... bagi gadis seusiaku, uang 250ribu, yaaaa... lumayan lah buat jajan hehe...

Aku terus melangkah menyusuri jalan kampung yang sedikit berbatu, sesekali kakiku menendang batu kerikil yang kebetulan mampir diujung sandal jepitku, sampai aku tiba didepan sebuah rumah besar dua lantai yang tepat berada disamping rumahku yang sederhana. (Tetanggaku maksudnya hehe..). Tetangga yang bisa dibilang cukup kaya, karena hanya ada 3 rumah saja di kampungku yang berukuran besar dan berlantai dua.

"Olla...! Olla...! Sini...!" panggil teman kecilku bernama Rahayu, dan aku biasa memanggilnya Ayu, namun kami hanya bersama sampai SD saja, karena aku mengenyam pendidikanku mulai dari SMP sampai SMA di pesantren.

Dan untuk panggilan Olla? Hmmm... jangan heran, semua teman kecilku, keluarga, tetangga bahkan orang sekampung selalu memanggilku dengan sebutan Olla.

Nama itu kudapat dari Teh Rifa, Kakakku yang hanya berjarak 1,5 tahun saja denganku. Waktu kecil dia kesulitan menyebut kata Naura, jadi dia memanggilku Olla, dan sampai sekarang nama itu terus tercetak pada jati diriku, hehe...

Aku menatap Ayu dari kejauhan. Ia berdiri tepat di pintu gerbang rumah besar itu seraya melambaikan tangan. Aku pun melangkah menuju ke arahnya.

"Ada apa?" tanyaku penasaran. Jiwa kepoku datang, sementara kepalaku mulai celingukan untuk mencari tahu, peristiwa apa yang sedang terjadi di dalam.

"Hayuk sini...!" Ayu menarik lenganku menuju pintu gerbang.

"Eh... eh! Tunggu! Mau ngapain Yu?" Aku yang sedang berdiri tak siap, mengikuti langkahnya sambil berusaha meminta penjelasan.

"Itu ... Si Galih panggil-panggil namamu," ucap Ayu sambil menghentikan langkahnya karena ditahan olehku.

"Galih? emang kenapa?" tanyaku heran.

"Gak tau...lagi kumat kali", ucapnya asal, membuat keningku semakin berkerut.

"Teruuuus... apa hubungannya denganku?" tanyaku lagi.

"Eh... bukannya kamu pacar dia, ya?" tanyanya lagi.

"Apa? siapa bilang?" Aku semakin bingung mendengar ucapan Ayu.

"Terus kenapa dia manggil namamu terus? dari tadi dia uring-uringan gak bisa ditanya, dan cuman nama kamu yang keluar dari mulutnya".

"Masa sih?" Lagi-lagi aku tak percaya dengan ucapannya, Aku memang cukup dekat dengan Kak Galih, selain karena kami bertetangga dan dia sering main kerumahku, akhir-akhir ini dia juga sering memintaku untuk mengajarinya mengaji dan tak jarang dia juga ikut ngaji di surau tempat kubelajar.

Perdebatan kami terus berlangsung, hingga satu suara memanggilku. "Olla...! sini...!" ucap suara itu, membuatku menoleh ke arahnya, ternyata Ceu Nani tetanggaku yang memanggil dari pintu samping rumah besar itu. Dia adalah orang yang ditugaskan mengurus Kak Galih disini, selama orang tuanya di perantauan. Orang tuanya memang sudah bercerai, dan ku dengar dari Kak Galih, Ayahnya sudah menikah lagi, sedangkan ibunya bekerja di Ibukota. Jadi dia hanya tinggal sendiri disini, dan sesekali ditemani Ceu Nani.

"Iya Ceu?" tanyaku, sambil menatap kearahnya yang memberi kode dengan tangannya. Akupun berlari kecil meninggalkan Ayu dan menghampiri Ceu Nani lewat pintu samping, yang hanya dibatasi pagar saja dengan halaman rumahku. "Ada apa?" tanyaku lagi.

Ceu Nani menarik tanganku, "Itu Den Galih kenapa, La? Euceu teh bingung, enggak biasanya Den Galih kayak gitu, Kamu teh deket kan sama dia, dia juga manggil-manggil nama kamu dari tadi," ucap Ceu Nani dengan logat campur sundanya yang terdengar lucu, tapi wajahnya nampak begitu khawatir.

"Kenapa atuh Ceu? Ola juga enggak tau," jawabku.

"Tuh! lihat dulu deh ke sana! Duh gimana atuh ini teh, mana orang tuanya gak ada", ucapnya lagi bertanya pada dirinya sendiri, tangannya diremas-remas menunjukan rasa khawatirnya.

"Ya udah, Olla lihat dulu ya, Ceu!"

"Hayuk...!" Ucap Ceu Nani dan segera menarik tanganku menuju ruang tengah.

Kulihat seseorang meringkuk diatas kasur lantai beludru dengan tubuh menggigil, wajahnya nampak pucat dan berkeringat, matanya terpejam, dengan bibir membiru. Aku hanya melongo, berdiri dihadapan orang-orang yang mengelilinginya yang kini sedang menatap kearahku dengan berbagai pandangan berbeda yang entah mengandung arti apa.

Mereka ada 5 orang, tiga diantaranya seorang pria paruh baya dan 2 lagi seorang perempuan paruh baya dan gadis cantik, mungkin putrinya. Juga ada beberapa tetangga yang hanya berdiri didepan pintu. Aku terdiam, mengartikan semua tatapan orang-orang dihadapanku, mungkin kedatanganku yang tak berpunya ini telah mengganggu kenyamanan mereka, mereka adalah sodara-sodara dari Ibunya Kak Galih yang rata-rata semuanya orang berada dikampungku.

"Ayo, La!", panggil Ceu Nani sambil menarik tanganku mendekat ke arah Kak Galih.

"Siapa ini, Ceu?" tanya salah seorang pria yang berambut agak putih karena uban kepada Ceu Nani.

"Ini Olla...temennya Den Galih, Pak!" jelas Ceu Nani.

"Oh...jadi kamu yang namanya Olla?", ucapnya lagi dengan tatapan sinis ke arahku, atau mungkin hanya perasaanku saja.

Aku mengangguk sopan kearahnya. Lalu Ceu Nani kembali menarik tanganku. "Duduk sini!" pintanya dan tanpa mendengar persetujuanku, dia sudah menarik tanganku kebawah sehingga aku langsung terduduk tepat didepan wajah Kak Galih.

"Den...! Den Galih, Ini ada Olla," Ceu nani mengguncang pelan bahu Kak Galih. tapi dia tidak bereaksi dan terus saja menggigil. "Sok atuh bicara geura, La! siapa tahu Den Galih denger suara kamu," pintanya ke arahku.

Aku hanya memandang Ceu Nani, lalu kuputar pandanganku pada semua orang yang ada disana dan ternyata merekapun sedang menunggu reaksiku. Mataku kembali kualihkan pada wajah pria dihadapanku, dengan gugup kubuka mulutku untuk memanggil namanya. "Kak... Kak Galih... Kamu... kamu kenapa?", ragu-ragu kupegang pundaknya dan sedikit menggoyangnya. Tiba-tiba, tanganku secepat kilat ditangkup dan dipeluk di depan dadanya dengan erat sambil tetap memejamkan mata. Aku yang kaget dengan reaksi Kak Galih, langsung pucat, dan kembali memutar pandanganku ke arah orang-orang di sekelilingku. Aku bingung harus berbuat apa, ku coba untuk menarik tanganku, namun sulit sekali, karena pegangannya sangat kuat.

Aku tertunduk karena malu, namun entah mengapa, hatiku berdebar sangat kencang, Ah...! Bagaimana tidak, seumur hidupku, baru kali ini aku merasakan ada seorang pria yang menggenggam erat tanganku, meski aku tau mungkin ini dilakukan diluar kesadarannya. Tapi, untuk ukuran Pria seperti Kak Galih, yang menurutku lumayan tampan dilihat dari sisi manapun, rasanya tidak mungkin kalau tidak ada sedikit pun debaran di dadaku jika diperlakukan seperti ini.

"Olla...," gumamnya pelan.

Aku kembali tersentak, ternyata benar apa yang diucapkan Ayu dan Ceu Nani tadi, Dia menyebut namaku.

"Olla...", panggilnya kembali.

"Eu... i... iya Kak... Aku Olla," jawabku gugup.

Tak kusangka, perlahan dia membuka matanya, matanya sayu menatapku, aku balik menatapnya, bola mata kami bertemu, saling memandang cukup lama, sampai aku kembali pada kesadaranku saat melihatnya tersenyum manis kearahku. "Astaghfirullohal Adzim," ucapku dalam hati. Aku tertunduk malu, dan pastinya saat ini orang-orang di sekelilingku sedang memperhatikanku. Mulai kudengar bisikan demi bisikan dari mulut tetanggaku Ah...! Mau disimpan dimana mukaku saat ini? perasaanku campur aduk, antara malu, senang sekaligus takut kalau hal ini akan sampai ke telinga orang tuaku.

kira-kira seperti inilah visual Olla yang ada di bayangan Author, gadis periang yang selalu berpenampilan sederhana, dengan semangat hidupnya yang tak pernah kendor ditengah-tengan kehidupan orang tuanya yang pas-pasan 😊.

*************

Bersambung...❤❤❤⚘⚘⚘

\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=

Assalamualaikum Readers...🙏😊

Selamat datang di karya ketigaku, semoga kalian juga suka dengan alur cerita ini seperti kalian suka dengan karya-karya saya sebelumnya.

O ya..., sebelumnya Author mau memperkenalkan beberapa tokoh yang akan hadir didalam cerita ini.

Naura Fina Mudhya (Olla), seorang gadis berusia 19 tahun baru keluar SMA, putri dari seorang ayah yang berprofesi sebagai guru PNS disebuah sekolah SMP negri

Galih Taufiq Ismail, Seorang pemuda korban broken home yang bertekad untuk merubah dirinya menjadi lebih baik.

Faiz Khoirul Azzam, 🤔🤔🤔

Rifa Lathifah Hasna, Kakak perempun Olla.

Sulis Khoirun Mahmudah, Adik dari Olla kelas 1 SMU.

Dikdik Munawwir siddik, teman SMA Olla

Untuk sementara, itulah tokoh-tokoh yang akan hadir dalam cerita ini.

Jangan lupa like, Vote dan Komentarnya 😉

I LOVE YOU ALL...❤❤❤😚😚😚⚘⚘⚘

By : Rahma Husnul

Mau Sholat...

HAPPY READING... 🌹🌹🌹

Bisikan demi bisikan terus terdengar dari mulut mereka, "Ah...bilang aja pengen ditemenin kabogohna, paling ge Si Galih mah tos mabok atawa habis minum obat itu teh... aya-aya wae, bikin panik orang sekampung!" Begitulah kira-kira umpatan mereka yang terlontar dari mulut para tetangga. Dan aku... aku semakin tertunduk, seandainya saja aku bisa melihat cermin, mungkin saat ini mukaku begitu merah karena malu, atau juga pucat karena takut. Entahlah aku juga tidak tahu, bagaimana cara mendeskripsikan wajahku saat ini, lagi pula tidak ada cermin disini.

Aku mencoba untuk menarik tanganku dari genggamannya sambil tersenyum garing yang ku paksakan kearah Kak Galih dan semua orang. Akhirnya tanganku bisa kulepas, dan Kak Galih menggeliat, senyum manisnya telah hilang digantikan dengan tatapan kebingungan saat matanya berputar ke seluruh ruangan yang sudah dipenuhi banyak orang. Dia berusaha mendudukkan tubuh lemas nya, bersandar pada sofa besar di belakangnya, wajahnya pucat, rambut hitamnya berantakan, semua orang memperhatikan gerak-geriknya, dan Aku sendiri...? "Astaghfirullahal adzim..." Gumamku dalam hati, mata polos ku yang masih perawan ini malah terus menikmati setiap lekuk wajah di hadapanku yang tampan alami ini tanpa ekspresi. "Ya Ampun Olla...sadar...! dosa Olla...dosa..., itu zinah mata namanya...!" umpat batinku pada diriku sendiri, Aku mengusap wajah, lalu menundukkan pandanganku. "Hadeuuuh... kenapa jantungku dag-dig-dug kayak gini ya?" gumamku lagi .

"Syukurlah sepertinya, kamu sudah baik-baik saja Galih", Ucap salah seorang pria paruh baya yang tak lain adalah Kaka dari ibunya Kak Galih, "jangan bikin ulah lagi! ingatlah dengan perjuangan ibumu!", ucapnya lagi. Lalu tanpa mendengar jawaban dari Kak Galih, mereka semua berdiri dan menepuk pundak Kak Galih.

"Paman pulang dulu, sudah mau hujan", ucapnya kemudian, dan berlalu pergi menuju pintu seiring dengan bubarnya para tetangga meninggalkan Aku dan Ceu Nani juga Kak Galih yang sepertinya belum sadar sepenuhnya.

"Olla juga pulang ya, Ceu!" pamit ku pada Ceu Nani.

"Ih...jangan dulu atuh, La!, temenin Euceu dulu disini", pinta Ceu Nani sambil memelas.

"Tapi Olla belum Sholat Ceu", Ucapku yang memang belum sholat Ashar, padahal jam sudah menunjukan pukul empat lebih sepuluh menit.

"Ola Sholat disini aja atuh..., ya?", pinta Ceu Nani lagi, masih dengan wajah memelasnya.

Aku berfikir sejenak, yah...begitulah aku, selalu kalah saat ada orang yang memohon sedikit saja, lalu aku pun menganggukkan kepalaku karena tak tega melihat Ceu Nani yang terus memohon.

Aku segera meletakan ransel yang masih setia nemplok sejak tadi di punggungku ke atas sofa, lalu bergegas menuju kamar mandi yang ada disamping dapur untuk mengambil air Wudhu. Aku kembali menghampiri Ceu Nani dan Kak Galih, karena aku tidak tahu harus Sholat dimana. "Ceu...dimana Sholatnya?" tanyaku sambil mengusap wajahku yang basah karena air Wudhu.

"Oh...itu...di atas aja La", jawab Ceu Nani sambil tersenyum girang dan menaikan jari telunjuknya ke arah lantai 2.

Aku mendongakkan kepalaku, dan sebelum aku kembali bertanya, Ceu Nani sudah menarik tanganku menuju tangga untuk naik ke lantai dua.

"Yuk...!" ajaknya, dan Aku hanya mengikuti langkahnya menaiki tangga sampai berhenti tepat didepan pintu sebuah kamar. Ceu Nani memutar handel pintu dan "brak...!" pintu terbuka menampakan isi kamar yang tersusun rapi dengan perabot yang serba bagus menurutku. Aroma parfum menyeruak menambah kesan mewah dari isi kamar ini.

Aku memutar pandanganku, kagum dengan tatanan kamar ini, kombinasi warna moca dan coklat tua antara cat tembok, furniture, gorden, dan bad cover yang menyelimuti tempat tidur besar dikamar ini sangat mecing menurutku. "Kamar siapa ini Ceu?" tanyaku.

"Kamar Den Galih", ucapnya sambil tersenyum.

Aku hanya membulatkan mulutku tanpa suara, dan pandanganku masih tetap berputar mengagumi isi kamar ini. Aku melangkah ke arah jendela yang terbuka, dari sini aku bisa melihat jelas rumah sederhanaku yang terletak tepat di samping rumah ini, aku mendongakkan kepalaku ke bawah, kulihat kawat-kawat jemuranku yang terbentang di samping rumahku sudah kosong, sepertinya ibu sudah mengangkat semua pakaian yang aku jemur pagi tadi, aku menarik nafas lega.

Ku alihkan pandanganku ke sebelah barat, dari sini Aku dapat melihat dengan jelas, Gunung Galunggung yang berdiri tegak dengan gagahnya diselimuti awan hitam yang bergerombol tertiup angin dingin, sekilas kulihat cahaya berkelebat di atas langit yang menghitam, Aku bergidik dan mundur beberapa langkah, "Pasti akan turun hujan besar", gumamku.

"Euceu kebawah lagi ya, La!, kamu sholat dulu disini!", Ceu Nani mengulas senyum ke arahku, sambil memberikan gulungan mukena miliknya. Aku Pun mengangguk dan segera melaksanakan kewajibanku.

Aku menutup wajah dengan kedua tanganku setelah ku ucapkan salam untuk menutup ritual ibadahku, tak lupa kupanjatkan beberapa Do'a untuk kedua orang tuaku, keluargaku juga diriku sendiri, serta sebagai rasa syukur atas nikmat yang telah Alloh berikan padaku.

Aku menoleh ke arah jendela, ternyata bulir-bulir air hujan tengah berlomba-lomba meluncur turun dari mega hitam menuju bumi yang sudah basah. Aku menghela nafas panjang. Ah...! akhirnya hujan turun, pasti Ibu dan Bapak khawatir denganku karena aku belum pulang juga.

Aku bergegas turun kembali ke lantai bawah setelah melipat mukena, lalu berjalan menghampiri Ceu Nani dan Kak Galih yang tampaknya mulai sadar, Mata belo nya menatapku tajam, Aku menunduk dan terus berjalan membawa mukena dan menyerahkannya kepada Ceu Nani.

"Dari mana, La?" tanya Kak Galih.

"Sholat, di atas", jawabku masih tetap berdiri sambil mengangkat jari telunjukku ke atas.

"Oh...", jawabnya singkat.

"Kak Galih sudah Sholat?" tanyaku, entah mengapa, tiba-tiba saja mulutku bertanya seperti itu padanya. Dia menggeleng lemas, "Ya udah sholat dulu atuh", ucapku kemudian, dia malah menatapku, aku pun mendekati sofa untuk mengambil ranselku, "Kalau gak mau ya sudah", kataku lagi sambil menggendong ransel tanpa melihat ekspresinya.

"Aku mau Sholat", ucapnya, sontak membuatku menoleh ke arahnya.

Bibirku tiba-tiba tersenyum lebar dan segera duduk menghampirinya. "Kak Galih mau Sholat? Ayo! Olla bantu", Ucapku tiba-tiba, entah mengapa, hatiku begitu bahagia mendengar dia ingin melakukan Sholat, karena yang kutahu, dia selalu cuek jika Aku mengajaknya untuk Sholat.

************

Bersambung...❤❤❤🌷🌷🌷

\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=

Assalamualaikum Readers...

Suka kah dengan karya ketigaku? kalau suka tinggalkan komentar di sini ya.

tetap like like like...😘😘😘❤️❤️❤️🌷🌷🌷

By : Rahma Husnul.

Harapan Bapak...

HAPPY READING... 🌹🌹🌹

Mata hitam dan sayu nya menatapku, mungkin dia agak heran dengan reaksiku yang sedikit berlebihan. Aku menundukkan kepalaku karena malu.

Dia berusaha untuk berdiri dengan berpegangan ke pinggir sofa, lantas dia melangkahkan kakinya perlahan ke arahku. Aku hanya berdiri terpaku menunggu apa yang ingin dilakukannya. Dengan sedikit sempoyongan tubuhnya semakin mendekat dan tangannya terulur ke arahku, seakan berusaha meraih pegangan. Tapi..., tiba-tiba tubuhnya oleng dan hampir jatuh ke lantai.

Aku yang kaget, secepat kilat mendekat dan meraih tubuhnya, tapi tubuhku yang kecil ini tak mampu menahan beban tubuhnya yang tinggi itu, alhasil tubuh kami ambruk ke lantai dengan posisi tubuhku berada di bawah tubuhnya. Aku memejamkan mataku dan berusaha untuk bangkit, namun saat Aku membuka mataku, rupanya wajahnya berada tepat di depan wajahku, matanya menatapku tajam. Sesaat mata kami terkunci hingga suara seseorang menyadarkan kami berdua.

"Den Galih! Ola! Eta kalian lagi ngapain?" tanya Ceu Nani yang tiba-tiba datang dari arah dapur sambil menatap kami heran.

Mataku mengerjap dan seketika mendorong tubuhnya. Aku langsung berdiri dan merapikan pakaianku. "Eu..., tidak Ceu..., ini tidak seperti yang Ceu Nani Pikirkan. Tadi...tadi hanya kecelakaan, iya..., hanya kecelakaan," Ucapku gugup.

"Benarkah?" tanya Ceu Nani dengan tatapan menyelidik.

"Benar, Tadi Kak Galih mau jatuh, jadi Aku membantunya, ternyata..., kami berdua malah jatuh, begitu kejadiannya, Ceu!" Jelas Ku masih dengan gugup sambil menoleh ke arah Kak Galih yang terduduk dengan kedua tangan bertumpu ke lantai di belakangnya untuk menahan tubuhnya sendiri agar bisa duduk dengan tegak. Matanya masih saja menatapku.

"Ow..., kirain kenapa kalian teh, ya sudah! Tapi lain kali hati-hati, kalau kalian terlalu dekat, bisa-bisa yang ketiganya Syetan," Ucap Ceu Nani kemudian.

"Jangan bilang kalau Ceu Nani yang jadi Syetannya ya! ha ha ha...," Ucapku tiba-tiba seakan ada angin segar untuk menggoda Ceu Nani, meski sebenarnya, ucapanku hanya untuk mengalihkan rasa gugup dan maluku saja.

"Ah...! kamu mah ada-ada aja Ola! masa iya ada Syetan seksi siga Euceu," Ucap wanita berusia sekitar 45 tahunan yang hanya hidup seorang diri itu, karena suaminya sudah meninggal 10 tahun yang lalu dan dia belum di karuniai anak.

Ucapan Ceu Nani sontak membuat kami berdua tertawa. Lantas kami mengalihkan pandangan ke arah Kak Galih yang masih setia dengan posisinya.

"Den Galih, ada perlu apa?" tanya Ceu Nani kepada majikannya.

"Saya mau ke kamar mandi, Ceu!" ucap Kak Galih dengan suara lemas nya.

"Enya, sok bantuan atuh, La!" Ceu Nani menoleh ke arahku yang hanya berdiri di sampingnya.

Aku mengangguk dan ikut membantu Ceu Nani untuk memegangi tangan Kak Galih agar berdiri dan memapahnya masuk ke kamar mandi.

Setelah selesai dia pun keluar kembali dari kamar mandi dengan wajah yang basah dan nampak segar karena siraman air Wudhu. Sepertinya Dia sudah bisa berjalan dengan tegak dan meminta di siapkan alat Sholat kepada Ceu Nani.

Ceu Nani segera naik ke lantai atas untuk mengambil sajadah dan kain sarung milik Kak Galih. Sementara Aku hanya berdiri, tak tau apa yang harus aku lakukan saat ini. Akhirnya aku berinisiatif untuk pulang saat tatapanku tertuju pada ranselku yang tergeletak di atas sofa.

Aku berjalan menghampiri sofa untuk mengambil ranselku, lalu menggendongnya. Aku masih terdiam sambil menatap ke lantai atas menunggu Ceu Nani turun hendak meminta izin.

"Terimakasih, La!" Ucap Kak Galih pelan.

Sontak Aku menoleh ke arahnya. "Oh, iya, sama-sama, Kak! Aku... aku pulang dulu, sudah sore," ucapku dengan sedikit menyunggingkan senyum, meski terasa sedikit garing.

Dia pun mengangguk pelan. Tak lama Ceu Nani turun dari lantai atas dengan membawa sajadah yang dia gulung. "Ola mau pulang?" tanyanya kepadaku, setelah melihat ransel yang sudah nemplok di punggungku.

"Iya, Ceu! Ola pamit ya sudah sore, sepertinya hujannya pun sudah sedikit reda," Ucapku.

"Nya sok atuh, nanti orang tuamu khawatir lagi. Tuh pake payung!" ucap Ceu Nani sambil menunjuk ke pojok dapur, di mana ada payung bertengger di sana.

"Gak Usah! Ola lari saja," Ucapku sambil mengulas senyum.

"Anak gadis kok lari-lari?"

"Gak papa, kan rumah Ola cuman beberapa meter saja dari sini Ceu..."

"Ya sudah hati-hati!" ucapnya lagi. Aku pun mengangguk dan melangkah menuju pintu samping rumah besar ini, sekilas kepalaku ku putar ke belakang untuk menoleh ke arah Kak Galih yang ternyata sedang menatap kepergianku.

********

"Dari mana kamu, La?" tanya Ibuku saat aku baru saja tiba di teras rumahku, sambil menjinjing sandal jepit yang ku pakai tadi untuk ku simpan di atas rak sepatu.

"Dari..., dari..., itu tadi Ola kehujanan jadinya ikut berteduh di rumah tetangga, Bu!" Jawabku, tak berani mengatakan yang sebenarnya, karena pastinya ibu akan sangat marah kepadaku seandainya dia tau kejadian yang sebenarnya.

"Sudah Sholat?" tanya Ibu lagi.

"Sudah tadi, Bu! Ikut Sholat di sana," Jawabku sambil berlalu dari hadapan Ibu, karena takut beliau akan bertanya lebih jauh lagi.

Aku berjalan menuju ke dapur lewat pintu samping rumahku. Lalu menyimpan ransel yang sejak tadi setia nemplok di punggungku ke atas meja usang yang biasa kami sebut sebagai meja makan, atau lebih tepatnya meja kecil tempat menyimpan nasi dan lauk yang di tutup dengan tudung saji, karena ukurannya yang kecil dan di sana sama sekali tak ada kursi untuk kami duduk.

Setelah ransel ku simpan di sana, aku menyambar handuk yang tergantung di hanger kecil di samping kamar mandi, lantas aku bergegas masuk ke kamar mandi, karena baju basahku yang menempel di badan cukup membuat tubuhku menggigil kedinginan.

"Eh..., tu anak, Ibunya belum selesai bicara malah nyelonong gitu aja!" Gerutu Ibuku yang bisa ku dengar sayup-sayup dari dapur dan kamar mandi. Tapi, karena rasa dinginku, Aku pun tidak menjawabnya dan kembali melanjutkan kegiatan mandi ku.

"Ada apa bu? Anak baru datang sudah diomelin aja?" Ku dengar lagi suara Bapak yang sepertinya sedang berjalan menghampiri Ibu ke arah dapur.

"Itu, anak kesayanganmu, Pak! Udah pulang sore, hujan-hujanan, eeeeh... ibunya belum selesai bicara udah nyelonong aja," Suara ibu terdengar kesal.

"Biarkan Ola mandi dulu, Bu! kasian dia kedinginan," ucap Ayah.

"Belain aja terus, itu tuh yang bikin dia sering bantah ucapan Ibu," Ucap ibuku lagi.

"MasyaAlloh, Bu! bukan begitu, Bapak cuman meminta Ibu sabar dulu, biarkan Ola mandi dan bersih-bersih dulu, abis itu baru kita tanya."

"Terserah Bapak aja, Ibu sudah capek denger omongan para tetangga tentang Ola, Ibu malu, Pak!"

Aku terdiam di kamar mandi mendengar obrolan kedua orang tuaku tentang diriku. Perlahan tanganku mengambil handuk dan membungkus tubuhku yang kini semakin menggigil setelah tak lagi ku dengar suara keduanya, mungkin mereka kembali ke ruang depan.

Kepalaku celingukan dari pintu kamar mandi, untuk melihat situasi, karena aku yang hanya membungkus tubuhku dengan handuk saja. Setelah dirasa aman, aku pun setengah berlari menuju kamarku dan kamar adikku Sulis.

"Teteh dari mana aja?" tanya Sulis yang sedang duduk di depan meja belajar kami, "dari tadi Ibu cari-cari Teteh," ucapnya lagi sambil menyimpan pencil di atas buku pelajarannya, sepertinya dia sedang mengerjakan PR.

"Kehujanan Lis," jawabku singkat sambil membuka lemari pakaianku dan mengambil baju ganti.

"Berteduh di mana?" tanyanya lagi.

"Di rumah Kak Galih," jawabku jujur.

"Apa?" tanya Sulis heran, seakan tak percaya.

"Ssssst...! jangan keras-keras, Ibu bisa marah!" Ucapku lagi dengan menyimpan jari telunjukku di depan bibirku.

"Kalian hanya berdua? mana hujan-hujan gini lagi. Kalian...?"

"Aduh, Deeeek..., kamu ni mikir apa si? di sana ada Ceu Nani juga," Jelas Ku sedikit kesal.

"Hehe...kirain..."

"Apa? Kamu kira Teteh gadis apaan?" Ucapku sambil mendelik kesal ke arah adikku.

"Iyeee... maafkan adikmu ini Teteh Ku...," ucap sulis sambil cengengesan. Aku hanya mencubit hidung mungilnya dan kembali memakai pakaianku.

"Ceklek," Suara pintu kamar kami di buka dari luar. "La!" panggil Teh Riva, Kakakku.

"Iya, Teh?" tanyaku sambil menoleh ke arahnya di sela menyisir rambutku yang setengah basah.

"Dipanggil Bapak dan Ibu di depan," jelas Teh Riva.

"Deg!" jantungku berhenti sejenak, ku alihkan pandanganku ke arah Sulis yang hanya menatapku dengan tatapan khawatir.

Aku memang sangat dekat dengan Sulis adikku, mungkin karena kami satu kamar, lain halnya dengan Teh Riva Kakakku, entah mengapa diantara kami seolah ada jarak, padahal usia kami hanya berjarak satu setengah tahun saja.

Sebagai anak tertua, Teh Riva sudah punya kamar sendiri, sedangkan aku satu kamar berdua dengan Sulis. Bukannya Bapak tidak mau memberikan kami masing-masing satu kamar, namun rumah Bapak yang sederhana dan hanya terdapat tiga kamar saja, tidak memungkinkan Beliau untuk membuat satu ruangan kamar lagi untuk kami.

Sebenarnya dulu kamar ini adalah kamar Sulis, karena sejak kecil aku tinggal bersama Nenekku. Bapak bilang, Aku terpaksa di titipkan bersama Nenekku karena waktu itu Ibu tidak sanggup mengurus dua bayi sekaligus. Teh Riva yang masih sangat kecil dan sudah mempunyai adik, juga penyakit leukimia yang dideritanya sejak lahir membuat Ibu sangat repot harus mengurus kami berdua yang hampir terlihat kembar ini. Akhirnya, Nenek menawarkan untuk merawat ku, meskipun biaya kebutuhanku tetap Bapak yang mencukupi.

Nenek sangat menyayangiku, aku tidak pernah menganggap Beliau sebagai Nenekku, tapi Ibu kandungku, Nenek hanya punya dua orang anak laki-laki, yaitu Bapak dan Pamanku yang sedang merantau ke Jogjakarta bersama istri dan dua orang anaknya. Nenek mencurahkan semua kasih sayangnya kepadaku, sehingga, ketika beliau wafat pada saat aku duduk di kelas 5 SD, aku begitu terpukul dan kehilangan dirinya. Dan Aku pun kembali tinggal bersama Bapak dan Ibuku.

"Ada apa teh?" tanyaku kepada Teh Riva sambil memakai kerudung instan ku.

"Kurang tau, La! Kamu samperin aja! mereka di ruang depan," Jawab Teh Riva.

Aku pun mengangguk, dengan hati berdebar, aku menghampiri keduanya. Aku pun mendudukkan diriku diatas kursi usang tepat di hadapan mereka yang sepertinya siap menginterogasi ku. Aku terdiam tak berani memulai pembicaraan.

"Jawab dengan jujur, La! tadi kamu dari mana?" tanya Bapak. Ucapannya yang pelan, namun terdengar tegas seakan menusuk ke dalam lubuk hatiku, aku pun mulai berbicara jujur, tak sanggup menyembunyikan apapun darinya.

"Ola..., dari rumah Kak Galih, Pak!" Jawabku sambil tertunduk.

"Tuh...! bener kan, Pak?" timpal Ibuku.

"Tenang dulu, Bu!" Bapak mengangkat tangannya ke arah Ibu. Lalu kembali mengalihkan pandangannya kepadaku.

"Lalu?" tanya Bapak lagi masih dengan suara tenangnya setia mendengarkan penjelasanku.

"Ola tidak melakukan apapun, Pak! Ola hanya membantu Ceu Nani untuk menyadarkan Kak Galih, abis itu hujan, dan Ola ikut Sholat di sana," Jelas ku masih setia dengan tunduk ku.

"Dan masuk ke kamar Pemuda itu?" tanya Ibu lagi, membuat aku tersentak kaget, apa mungkin Ibu melihatku saat aku sedang mendongakkan kepalaku dari jendela kamar Kak Galih tadi? hatiku bertanya-tanya.

"I...iya, Bu! tadi Aku hanya ikut Sholat di sana, Kak Galih tidak ada di kamar itu, dia berada di bawah bersama Ceu Nani, Ola juga tidak tau kalau itu kamarnya Kak Galih, Ola hanya di suruh Sholat di situ sama Ceu Nani," Jawabku berusaha menjelaskan semuanya dengan cairan bening yang sudah tergenang di kedua mataku, ada rasa sesal, takut sekaligus sakit karena mereka tidak mempercayaiku.

"Ya sudah, kalau begitu kenyataannya. Tapi kamu harus ingat, ada batasan antara laki-laki dan perempuan, meskipun itu hanya berteman, apalagi kalian ini sudah bukan anak kecil lagi, kalian sudah sama-sama dewasa, jangan pernah berkholwat, kemungkinan buruk mungkin saja akan terjadi. Jangan biarkan Syetan tertawa dengan bobroknya moral para pemuda yang menjadi pondasi bangsa dan Agama.

Berkholwat atau yang biasa di sebut pacaran oleh anak muda zaman sekarang adalah sarana untuk melakukan perbuatan zina dan keji. Kebanyakan muda mudi sekarang ini terjerumus dalam zina dan pergaulan bebas dari praktek pacaran ini. Padahal kamu juga tau dalilnya kan, La? Firman Allah dalam Surat Al-Isra ayat 32:

...وَلَا تَقۡرَبُوا الزِّنٰٓى اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً  ؕ وَسَآءَ سَبِيۡلًا...

Janganlah kalian mendekati zina sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." Jelas Bapak panjang lebar, dia menarik nafas panjang, lalu berpindah duduknya ke sampingku.

"La...", ucap Bapak pelan sambil mengusap punggungku yang kini semakin tertunduk. "Bapak memberimu nama, Naura Fina Mudya, dengan harapan besar bahwa kamu kelak akan menjadi cahaya yang terpancar dalam keluarga kita, yang mampu mengangkat derajat keluarga kita, bukan hanya harta, tapi juga kehormatan dan ilmu yang akan membawa keluarga kita menuju Ridho Nya. Kamu anak yang cerdas dan sehat, Bapak yakin sekali, suatu saat kamu akan mewujudkan harapan Bapak ini. Jadi jangan pernah kecewakan Bapak dengan perilaku mu yang akan membuat Bapak malu di hadapan Alloh juga manusia."

Mendengar kata-kata yang Bapak ucapkan, sungguh membuat hatiku begitu malu karena sudah membuatnya kecewa padaku, aku pun mengangkat kepalaku dan memberanikan diri menatap wajah teduhnya dengan kedua mataku yang sudah basah. Bapak nampak membentangkan tangannya ke arahku, dan Aku pun tak sanggup untuk tidak meletakan kepalaku dalam rengkuhan orang yang paling aku hormati ini.

Seketika, aku pun mengeluarkan tangisku dalam pelukan Bapak, dengan untaian kata maaf yang berkali-kali aku ucapkan kepadanya karena rasa maluku.

Ya, seharusnya aku sadar bahwa akulah harapan terbesar mereka, karena Teh Riva sangat lemah baik dalam fisik maupun pemikiran. Meski begitu, Bapak tetap memasukan Teh Riva ke bangku kuliah, meski tak jarang Beliau di panggil ke kampus karena Teh Riva tiba-tiba saja melemah dan tak berdaya dan harus segera transfusi darah.

Memasukan putra putrinya ke pondok adalah impiannya. Namun karena Teh Riva yang sering sakit-sakitan dan tidak di izinkan untuk mondok oleh Dokter, Maka Aku lah yang dimasukan Bapak ke pondok pesantren, meski dengan susah payah, Bapak rela kerja banting tulang sepulang ngajar dari SMP untuk membiayai ku agar aku bisa terus melanjutkan mondok di pesantren sampai lulus SMU.

Gajih Bapak yang sebagai guru di sekolah negri, tentunya tidak mencukupi untuk biaya sekolah kami bertiga. Ibu pun tak luput dari membantu biaya ekonomi keluarga kami, Ibu berjualan di kantin tempat Bapak ngajar, Ibu juga pekerja keras, beliau tidak pernah merasa malu meskipun suaminya ngajar di tempat itu.

****************

Bersambung...❤❤❤🌷🌷🌷

\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=

Assalamualaikum Readers...

Mohon maaf sudah beberapa bulan baru bisa UP lagi cerita ini. Alhamdulillah karya saya yang kedua sudah selesai, insyaAlloh saya akan fokus dengan cerita ini.

Harapan besar saya, semoga karya ke tiga saya ini akan bermanfaat juga di sukai readers sama seperti cerita pertama dan kedua saya...

Tapi, episode ini Selow dulu ya Readers... Olanya sedang memperkenalkan keluarganya dulu. 🤗🤗🤗

Ayo... jangan lupa like, vote komennya selalu ditunggu 🤗.

O ya, malam ini kalian ke GC sy ya, saya akan tebar kotak poin jam 7.30 nanti... 🤗

I LOVE YOU ALL...😘😘😘❤❤❤🌷🌷🌷

By : Rahma Husnul.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!