Saat ini keadaan kantor yang sangat sibuk membuat Nindya yang menjadi sekertaris pun juga ikut sibuk. Banyak berkas yang ada diatas meja Nindya yang perlu dia berikan pada bosnya agar ditanda tangani. Tapi sebelum diberikan Nindya harus memeriksanya sedetail mungkin agar tidak terjadi kesalahan dan membuat bosnya marah-marah.
Kaivan Pramuja nama bos Nindya yang sering disapa dengan pak Kai, pria yang suka marah-marah saat ada kesalahan sedikit. Pak Kai itu suasana hatinya sering berubah-ubah sesuai keinginannya yang membuat Nindya bingung sendiri.
"Nindya masuk ke dalam ruanganku saat ini juga!" ucap Kai dari interkom yang terhubung di ruangan Nindya.
Baru saja namanya diomongin orangnya sudah memanggil Nindya untuk masuk ke dalam ruangan bosnya itu. Nidya langsung berdiri lalu berjalan ke ruangan bosnya. Sebelum masuk tidak lupa Nindya mengetuk pintu terlebih dahulu, baru saat sudah diizinkan masuk Nindya masuk ke dalam ruangan.
"Ada apa ya pak anda memanggil saya?" tanya Nindya sopan.
"Apakah perlu alasan saya memanggil kamu kesini?" Nindya mengerutkan keningnya bingung.
"Bukannya memang harus ada alasan ya saat anda memanggil saya kemari."
"Kalau bagiku sih tidak perlu alasan."
"Berarti anda memanggil saya kemari karena tidak ada kepentingan apapun pak?"
"Siapa bilang tidak ada, itu kamu bersihkan sofa saya karena habis diduduki oleh perempuan gatal saya takut nanti saya juga ikut ketularan gatalnya."
"Bukannya yang habis keluar dari ruangan anda itu nona Michael model papan atas, apakah mungkin nona Michael memiliki penyakit kulit? Kulit nona Michael saja sang putih seperti porselen."
"Pokoknya aku enggak mau tahu kamu harus bersihin sofa itu sampai bersih hingga tidak ada bekas Michael sama sekali."
"Saya panggilkan OB saja ya pak."
"Ngapain panggil OB aku maunya kamu yang bersihkan sofanya."
"Tapi pak pekerjaan saya masih banyak yang perlu saya kerjakan."
"OB pun juga sama, mereka saat ini pasti juga banyak kerjaan jadi daripada nambah kerjaan OB mending kamu kerjakan saja tidak perlu membantah."
Nah disaat seperti ini Nindya hanya bisa menurut daripada nanti dia malah dipecat, kan sekarang susah sekali mencari pekerjaan dengan gaji yang besar. Jadi mending Nindya cari aman saja.
"Baik pak akan saya kerjakan."
Nindya mulai mengambil vacuum cleaner dan mulai membersihkan sofa sesuai perintah dari Kai sang bos jahat. Kai yang melihat Nindya membersihkan sofa dengan mulut ngedumel pun tersenyum senang karena bisa mengerjai sekertarisnya.
"Sudah saya bersihkan pak" Kai melirik sekilas.
"Apakah sudah bersih semua?"
"Sudah pak, apakah saya boleh mengerjakan kerjaan saya lagi?" tanya Nindya dengan menampilkan senyum karirnya. Kai berdiri lalu melihat dan memutari sofa, dia mengangguk-anggukan kepalanya.
"Hmm...sepertinya sudah bersih sekarang kamu bisa pergi."
"Baik pak" Nindya menundukkan sedikit kepalanya lalu keluar ruangan. Setelah keluar ruangan Nindya bisa bernafas lega.
"Kenapa sih tuh orang nyuruh aku bersihin sofa yang jelas-jelas masih bersih, alasannya apa tadi biar enggak gatal? Cihh...dia mungkin yang gatal karena tidak mengerjaiku" dumel Nindya sambil berjalan ke meja kerjanya.
Saat baru lima menit duduk di kursi kerjanya, interkom berbunyi kembali. Nindya menghela nafas kembali, kenapa sih bosnya itu menghubunginya terus menerus? Apakah dia kurang kerjaan?
"Iya ada apa pak?"
"Segera datang ke ruangan saya!" saat Nindya akan bertanya interkom sudah dimatikan oleh Kai, sungguh rasanya Nindya ingin berkata kasar kepada bosnya itu tapi dia coba menahan.
Nindya masuk kembali ke ruangan bosnya dengan tetap menampilkan senyum karirnya. "Ada yang bisa saya bantu pak?"
"Nih kenapa laporan bulanan kantor banyak kesalahan kata seperti ini? apa kamu tidak becus kerja sih?!" dengan marah Kai membentak lalu menggebrak meja dan membanting map itu ke lantai.
"Saya minta maaf pak atas kesalahan saya" sungguh saat ini Nindya ingin menumpahkan air matanya karena bentakan dari atasannya yang sangat keras. Tapi Nindya berusaha tetap tegar agar harga dirinya tidak turun begitu saja dihadapan bosnya itu.
"Apakah dengan maafmu bisa memperbaiki kesalahan yang kamu buat ini?!" Nindya menundukkan kepalanya.
"Jawab Nindya! Jangan hanya menunduk seperti orang bodoh seperti itu!" bentak Kai membuat Nindya terlonjak kaget.
"Tidak bisa pak" ucap Nindya berupa cicitan.
"Cepat ambil laporan itu dan berikan pada pihak direksi agar memperbaiki kesalahan mereka."
"Baik pak" dengan secepat kilat Nindya mengambil laporan yang teronggok di lantai.
"Saya permisi pak" Kai hanya diam saja tidak menyahut.
Saat sudah menutup pintu Nindya langsung mendongakkan kepalanya agar air matanya tidak jatuh. Hari ini terasa berat bagi Nindya, eh tidak cuma hari ini saja yang berat tapi setiap hari berat baginya hanya gara-gara bos kampret.
"Kamu pasti kuat Nindya menjalani semua ini, jangan pantang menyerah hanya karena sebuah bentakan dari bos kampret itu. Bangkit Nindya jangan lemah" ucap Nindya mencoba menyemangati diri sendiri.
Nindya memang sering mengalami hal itu, saat ada kesalahan sedikit pun pasti Nindya yang akan kena bentakan atau omelan dari Kai terlebih dahulu. Walaupun kesalahannya bukan murni kesalahan Nindya tapi dia yang selalu terkena imbasnya.
Sesudah suasana hatinya lumayan mendingan, Nindya pun menuju ke lantai tiga tempat tim direksi. Saat masuk ke dalam ruangan tim direksi, semua orang langsung melihat kehadiran Nindya.
"Ada apa Nin?" tanya Fadli ketua direksi.
"Ini nih laporan bulanannya banyak kesalahan, kata pak Kai harus dibenerin" Nindya meletakkan map laporan bulanan itu diatas meja Fadli.
"Kesalahan bagian mananya?" tanya Fadli.
"Aku juga kurang tahu, kata pak Kai banyak kesalahan gitu aja sih."
"Kenapa kamu enggak tanya kesalahannya bagian mana aja?"
"Mana berani aku tanya seperti itu, yang ada aku malah tambah disemprot sama dia. Kalau kamu berani tanya aja sendiri."
"Aku sih enggak berani, perasaan laporan ini udah aku benerin bolak-balik deh tapi kok ya mesti ada kesalahan lagi sih. Eh Nin kamu tadi diapain aja sama dia?" tanya Fadli kepo.
"Yang pasti bisa bikin mental kita down."
"Wah bahaya juga ya, untung aja kamu yang dimarahi bukan aku."
"Iya kamu untung sedangkan aku yang buntung" ucap Nindya sinis.
"Eh ada apa nih Nin kamu ke tim direksi?" tanya Adel kepo.
"Ngapain kamu ikut kesini? Kerjaan kamu memang udah selesai?" tanya Nindya.
"Belum sih, tapi saat aku lihat kamu kesini ya aku kepo ada apa jadinya ya melipir ke sini dulu."
Mereka bertiga itu sahabatan dari awal meniti karis hingga saat ini. Walaupun beda divisi mereka tepat kompak dalam urusan ngerumpi hal-hal yang hot di perusahaan.
"Mending kamu kembali lagi ke ruang mu saja deh daripada pak Bagas tahu nanti kamu malah kena semprot" ucap Nindya.
"Tapi aku pengen ngerumpi nih hal yang lagi ramai diperbincangkan dalam perusahaan ini, eh tapi kenapa mata kamu merah Nin? kamu enggak habis nangis kan?" tanya Adel menyelidik.
"Tadi hampir netesin air mata aja sih enggak sampai nangis."
"Sama aja berati, apa kamu nangis gara-gara bos kampret itu?"
"Ya siapa lagi kalau bukan dia yang selalu bikin aku nagis."
"Memang apa sih masalahnya kali ini?"
"Tuh tanya sama si Fadli yang membuat aku kena semprot, padahal kan bukan aku yang buat kesalahan tapi aku juga yang kena semprot."
"Kenapa Dli?" Adel itu memang wanita yang sangat kepo, maka dari itu semua berita yang ada di dalam perusahaan ini dia yang paling tahu.
"Ini laporan bulanan salah."
"Itu mah jelas kesalahan Fadli kenapa sih mesti kamu yang kena?"
"Enggak tahu mungkin memang pak Kai punya dendam pribadi denganku."
"Yang sabar ya Nin, aku cuma bisa bilang begitu aku tidak bisa membantu apa-apa."
"Iya tidak papa."
"Eh Adel kamu tadi mau memberitahu berita apa sih kok heboh banget" ucap Fadli.
"Oh iya hampir aja aku lupa, sebentar aku perlu minum dulu sebelum cerita" Adel tanpa permisi langsung mengambil tumbler Fadli dan meminumnya beberapa teguk.
"Berita apa sih memangnya?" tanya Nindya.
"Apakah kalian tahu bahwa bos kita ini seorang yang suka dengan laki-laki" ucap Adel mendramatisir.
Reaksi Fadli dan Nindya setelah mendengar berita itu berbeda-beda. Fadli melototkan matanya, sedangkan Nindya menutup mulutnya tidak percaya. Memang sih selama bekerja tujuh tahun dengan Kai, Nindya tidak pernah melihat Kai dekat dengan seorang wanita atau hingga berkencan.
"Apakah benar berita yang kamu katakan itu?"tanya Nindya mencoba untuk memastikan.
"Iya benar, ini aku dapat berita ini dari orang kantor masa bohong sih? Apakah kamu pernah dengar pak Kai kencan dengan seorang wanita selama kamu bekerja dengannya?"
"Belum pernah lihat sama sekali sih, tapi kalau memang benar bahaya banget sih" ucap Nindya.
"Iya bahaya banget karena stok pria tampan menipis karena banyak pria yang suka sesama pria" ucap Adel.
"Iya benar banget apa yang kamu katakan" ucap Nindya membenarkan.
"Tapi kalian berdua tenang saja karena aku pria tampan masih suka sama wanita kok" ucap Fadli dengan sok ganteng.
Nindya dan Adel langsung memandang Fadli dengan pandangan jijik. Sedangkan Fadli masih sibuk tebar pesona dengan menyugar rambut ke belakang.
"Kamu tampan?" pertanyaan Adel langsung diangguki oleh Fadli.
"Iya lah aku tampan, kamu tahu ibuku saja mengakui kalau aku tampan masa kalian bilang aku tidak tampan. Kalian berdua berarti meragukan penglihatan dan penilaian ibuku kalau bilang aku enggak tampan."
"Itu kan ibukmu yang bilang bukan kita" ucap Adel tidak mau kalah.
"Oh jadi kamu memang meragukan penglihatan dan penilaian dari ibuku? aku akan memberitahu ibuku bahwa kamu bilang aku tidak tampan."
"Bukan meragukan sih tapikan penilaian setiap orang kan beda-beda, kata ibumu kamu tampan tapi kalau aku bilang tidak tampan berarti aku tidak salah kan? Lagian kamu kenapa sih harus bilang sama tante cuma masalah seperti."
"Kenapa kamu takut kan aku bilangin ke ibuku? Pasti nanti kamu tidak akan dapat kue lagi."
"Itu benar sih" ucap Adel pelan.
"Ekhm...apakah saat ini waktu bekerja sudah selesai?"
Nindya, Adel dan Fadli menengok ke belakang. Alangkah kagetnya mereka saat melihat orang yang berbicara tadi adalah Kai.
"Nidya tadi saya menyuruh apa? apakah tadi saya menyuruh kamu untuk merumpi disini?"
Nidya yang ditanyai seperti itu oleh Kai pun mulai panas dingin. Dia sangat takut karena ketahuan sedang ngobrol saat jam kerja. Nindya, Adel dan Fadli langsung menundukkan kepalanya ketakutan.
"Anda menyuruh saya untuk mengantarkan laporan bulanan kepada tim direksi."
"Tapi kenapa kamu malah ngerumpi disini?" tanya Kai dengan raut wajah menakutkan.
"Maaf pak saya hanya mengobrol sebentar dengan teman saya."
"Sebentar? Kamu tidak salah menghitung waktu? Kamu hampir setengah jam berada disini dan kamu tadi bilang hanya sebentar?" Nindya langsung menundukkan kepalanya tidak berani membantah dan membela diri lagi.
"Saya tadi membutuhkan kamu tapi kamu malah berada disini lama sekali, memang kamu tidak memiliki pekerjaan?"
"Maaf pak apa yang saya lakukan salah, saya mengaku salah pak."
"Nah begitu dong kamu tahu kamu salah, sekarang kembali lagi ke ruangan kamu jangan ngobrol lagi disaat waktu kerja" Nindya mengangguk dan langsung pergi berlalu dari ruangan tim direksi menuju ruangannya sendiri.
"Untuk kalian berdua juga lanjut bekerja jangan ngobrol lagi."
"Baik pak" ucap Fadli dan Adel serentak.
Setelah itu Kai pergi mengikuti Nidya dibelakangnya. Mereka berdua masuk ke dalam lift yang sama walaupun sebenarnya ada lift eksekutif yang diperuntukkan untuk para petinggi perusahaan.
"Loh kok anda naik lift yang sama dengan saya pak?"
"Kenapa apa saya tidak boleh naik lift ini?"
"Tentu saja boleh pak karena anda adalah pemilik perusahaan ini, jadi anda bisa berbuat sesuka anda."
"Itu tahu, kenapa kamu kaget begitu saat saya masuk ke lift ini."
"Saya hanya tidak menyangka bahwa anda mau menaiki lift ini secara kan ini lift untuk karyawan biasa, anda kan bisa menaiki lift eksekutif."
"Terserah saya dong."
"Iya benar pak."
Setelah itu keadaan lift kembali hening karena tidak ada suara sama sekali. Nindya diam karena takut saat dia membuka suara nanti akan salah kembali. Dalam lift Nindya merasakan lift bergeraknya sangat lama padahal biasanya Nindya merasakan pergerakan lift amat cepat tapi entah kenapa sekarang terasa lambat.
Nindya hanya diam dipojokan cosplay menjadi patung. Kai hanya melirik Nindya yang ada dipojokan.
"Kamu kenapa berdiri di pojokan seperti itu?" Nindya langsung gelagapan.
"Tidak papa pak saya hanya ingin duduk disini."
"Oh iya? Kamu berdiri dipojokan bukan karena takut denganku kan?"
"Saya tidak takut dengan anda pak."
Kai menyeringai, dia mendekati Nindya sampai Nindya terhimpit. Nindya merasa berkeringat dingin, tangan Nindya pun mengepal. Hingga akhirnya Nindya bisa bernafas lega saat pintu lift terbuka.
"Silahkan pak anda keluar terlebih dahulu" ucap Nindya.
Kai pun keluar dari lift dengan langkah santai, setelah Kai keluar Nindya baru mengikuti dari belakang. "Nindya tolong kamu berikan laporan proyek yang sedang berjalan kali ini."
"Baik pak sebentar lagi saya akan ke ruangan anda" Kai hanya menjawab dengan deheman saja.
Saat akan masuk ke dalam ruangan bosnya, malah ada wanita yang masuk terlebih dahulu. Nindya pun mengalah, dia memperbolehkan wanita itu untuk masuk terlebih dahulu. Baru saja wanita itu masuk sudah terdengar suara sesuatu yang bisa membuat Nindya berpikir yang tidak-tidak.
Bisa Nindya denger dari luar ruangan, suara didalam ruangan bosnya itu hanya suara bantingan barang. Entah siapa yang membanting barang-barang itu, yang Nindya dengar hanya suara barang yang berjatuhan dan tidak mendengar suara jeritan sama sekali. Hingga tidak lama kemudian wanita itu keluar dengan keadaan yang acak-acakan.
Nindya yang melihatnya pun melongo tidak percaya, wanita itu hanya melihat Nindya sekilas lalu pergi. Nindya jadi takut untuk masuk ke dalam ruangan bosnya itu.
"Nindya segera masuk ke dalam ruangan saya!" teriak Kai dari dalam ruangannya.
Nindya dengan takut masuk ke dalam ruangan berjalan pelan. Saat sudah masuk ke dalam aura di dalamnya kurang mengenakkan.
"Mana laporannya!" Nindya maju memberikan map hijau kepada Kai. Kai langsung dengan cepat mengambil map itu dan membacanya dengan raut wajah serius.
Brak(suara gebrakan meja)
Nindya yang sedang menunduk pun terlonjak kaget. Dia mendongakkan kepalanya melihat ekspresi bosnya. Wajah Kai mengetat penuh dengan amarah yang meluap-luap.
"Kamu itu memang bisa kerja tau tidak sih! Masa hanya untuk mengecek berkas seperti ini kamu tidak bisa dan masih ada kesalahan!"
"Bagian mana pak yang salah? Perasaan saya sudah melihatnya berkali-kali aman tidak ada masalah apapun" kali ini Nindya akan berani bertanya, dia tidak mau disalahkan dan dihina terus menerus.
"Mata kamu itu dipakai! ini terlalu rancu laporannya, kalau kamu enggak niat kerja lebih baik enggak usah kerja!" Kai melampiaskan amarahnya ke Nindya.
Mendengar perkataan yang seperti itu membuat hati Nindya langsung mencelos sakit. Enak sekali bosnya itu bilang bahwa dia tidak niat bekerja, lalu selama ini dia dianggap apa? Masa lembur selama sebulan full itu hanya main-main saja.
"Pak kalau anda ada masalah dengan orang lain jangan lampiaskan ke saya, profesional dong pak jadi bos itu!"
"Tahu apa kamu tentang saya!" bentak Kai dengan mata yang melototi Nindya.
Sudah cukup, pertahanan yang dibuat Nindya sudah runtuh saat ini. Perlahan air mata yang Nindya tahan sedari tadi sudah turun ke pipinya.
"Ya saya memang tidak tahu semua tentang anda selama ini!" Kai yang semula tidak melihat ke arah Nindya pun saat melihat ke arah Nindya kaget tapi dia dengan segera menormalkan raut wajahnya agar terlihat biasa saja.
Nafas Nindya terengah, "kalau anda tadi bilang saya tidak niat kerja, jadi saya memutuskan untuk segera resign dari sini. Besok anda akan melihat surat pengunduran diri diatas meja anda, saya pamit pak."
Dengan rasa marah didada, Nindya pergi dari ruangan Kai. Dia terus mengelap air matanya karena terus menerus keluar tidak mau berhenti. Nindya berpikir mungkin ini lah akhir dari masa perjuangannya selama tujuh tahun bekerja di sini.
Nindya mengambil tas serta laptopnya lalu menuju lift. Saat sudah sampai lantai dasar dia bertemu dengan Adel yang ada di meja resepsionis. Adel kaget melihat keadaan Nindya yang menangis sambil tangannya membawa tas kerjanya.
"Nin kamu mau kemana jam segini?" tanya Adel dengan alis mengkerut.
"Aku mau pulang."
"Kamu pasti bercanda kan? Mana ada pegawai kantor jam segini pulang apalagi kamu seorang sekertaris dari bos paling sibuk pasti pulangnya malam terus."
"Aku saat ini sampai seterusnya sudah tidak menjadi sekertarisnya pak Kai lagi."
"Nindya kamu itu kalau bercanda jangan berlebihan dong."
"Aku tidak bercanda, apa yang aku ucapkan itu akan menjadi kenyataan. Besok aku akan memberikan surat pengunduran diri dan akan membereskan meja kerja ku."
"Ya ampun kamu kenapa kok bisa mengundurkan diri? Ada masalah apa sih?"
"Ceritanya panjang tapi yang pasti aku sudah tidak kuat lagi berada di sini."
"Kamu beneran mau keluar dari perusahaan ini? Enggak kamu pikirkan lagi?"
"Keputusanku sudah bulat tidak bisa diganggu gugat lagi."
"Ya sudah kalau memang itu keputusan kamu, sudah sekarang kamu pulang dan tenangkan dirimu agar lebih rileks."
"Hmm...aku pulang duluan ya" Adel mengangguk dan tersenyum lalu mengelus pundak Nindya.
Nindya keluar dari perusahaan dengan langkah lunglai tidak semangat sama sekali. Adel masih berada di tempatnya semula melihat Nindya hingga tidak terlihat lagi.
Lima belas menit kemudian Nindya telah sampai di rumahnya. Ibu Nindya yang saat ini tengah membersihkan teras rumah pun kaget melihat anaknya sudah pulang jam 11.30 karena biasanya Nindya pulang diatas jam sembilan.
"Nak kenapa kamu pulang jam segini?" Leli ibu Nindya pun menghampiri anaknya yang terlihat lesu.
"Nak kamu pulang bukan karena sakit kan?" Nindya menggeleng.
"Ya sudah ayo kita masuk dulu agar enak ngobrolnya" Leli menuntut Nindya masuk ke dalam rumah lalu mendudukkan di sofa.
"Ada apa nak? kamu jangan hanya diam seperti itu dong? Ibu jadi khawatir."
"Bu aku mau berhenti kerja" Nindya berucap pelan.
"Kenapa kamu mau berhenti kerja nak?"
"Aku sudah enggak kuat kerja disana bu, aku sudah tidak kuat lagi kerja disana."
"Kamu sudah memikirkan dengan matang keputusanmu itu?"
"Aku sudah memikirkannya bu, mungkin memang yang terbaik aku harus keluar dari perusahaan itu."
"Ibu terserah kamu saja, tapi alangkah baiknya kamu memikirkannya saat amarah kamu sudah mereda, coba pikirkan dengan kepala dingin."
"Iya bu, tapi kalau aku tetap ingin keluar dari perusahaan apakah tidak papa bu?"
"Tidak papa nak, ibu tidak akan memaksa karena kan kamu yang menjalaninya."
"Terima kasih ya buk" Nindya memeluk tubuh ibunya dengan sayang.
"Iya nak sama-sama, sudah sana mending kamu mandi agar badanmu lebih segar" Nindya mengangguk lalu beranjak menuju ke kamarnya.
Nindya hidup dengan ibu dan ayahnya yang sangat menyayanginya. Dia tidak memiliki adik karena ada masalah dengan kandunga ibunya makanya hingga saat ini dia tidak bisa memiliki adik. Walaupun anak tunggal Nindya tetap didik untuk mandiri.
Bahkan saat kuliah dulu, Nindya kuliah sambil bekerja itu pun atas keinginannya sendiri tanpa paksaan dari orang tuanya. Ayahnya seorang pedagang besar disebuah pasar yang ada di kota. Sebenarnya kalau hanya untuk kebutuhan Nindya, dia tidak akan kekurangan.
Saat Nindya akan masuk kamar mandi ada suara notifikasi dari teleponnya. Ternyata yang mengirimkan pesan adalah Adel.
Adel
kamu tahu tidak Nin pak Kai
langsung pulang dari perusahaan
sesudah kamu pulang
^^^Nindya^^^
^^^Lalu apa urusannya^^^
^^^denganku?^^^
Setelah balasan dari Nindya itu, Adel tidak membalas lagi. Merasa Adel tidak akan membalas pesannya, Nindya pun kembali melanjutkan langkahnya untuk masuk kedalam kamar mandi.
Sekitar pukul 21.30, Kai terus menelpon Nindya hingga Nindya sendiri merasa jengah. Nindya tidak menjawab sama sekali telepon dari Kai karena malas berurusan dengan bos yang gampang marah itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!