"Iya anjir. Katanya tuh udah banyak gitu yang jadi korbannya. Ih ngeri banget."
"Jangan sampe kita jadi korban juga ih, ngeri. Mana gua sekarang tuh sering lembur."
"Gua ngga mau serin-sering lembur...."
Lilac mengabaikan suara-suara yang tak sengaja didengarnya. Menganggap semua yang tengah diperbicangkan rekan kantornya hanya angin lalu. Wanita dengan balutan jas berwarna hitam itu kembali masuk kedalam kantor, melanjutkan pekerjaannya yang tadi sempat tertunda. Jika kalian ingin tahu, Lilac hanya seorang pekerja kantoran biasa. Bukan seorang wanita karir yang memiliki jabatan tinggi dan berpengaruh. Jadi untuk mencukupi kebutuhan hidupnya yang serba-serbi untuk keluarga, Lilac akan mengambil waktu lembur yang bisa menambah gajinya.
Persetan dengan pulang tengah malam dan perampokan yang sedang terjadi akhir-akhir ini di daerah Tulungagung. Akan Lilac hadapi semua dengan keberanian.
Begitu masuk kedalam kantor, suasana sepi langsung menyambutnya. Lilac dudukkan bokongnya dikursi kerja dengan lesu. Menghela napas pelan, lalu mengambil ponselnya untuk menghubungi keluarga dirumah yang mungkin sebentar lagi akan menanyakan kepulangannya. Mengingat jam sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Meski berada jauh dari rumah, keluarganya selalu menanyakan apakah dirinya pulang kerja tepat waktu atau tidak. Nasib anak gadis yang merantau.
"Halo, ibuk..."
"Halo, Lili. Dimana nak? Kok belum pulang?"
Mendengar nada khawatir sang ibu, Lilac kembali menumpukan kepala pada lipatan tangannya diatas meja. Suara itu selalu saja membuatnya merasa bersalah.
"Kayaknya Lili bakal pulang telat lagi bu. Mau lembur. Ibu istirahat aja duluan. tadi pasti cape abis kerja disawah kan?"
"MBAK, IBUK NGEYEL GA MAU ISTIRAHAT MBAK!!."
Terdengar suara teriakan sang adik yang melengking dari seberang sana. Lilac terkekeh. Adiknya itu benar-benar.
"Diem deh Al. Suara kamu bikin mbak makin pusing."
"Makanya mbak pulang aja ih. Udah sore juga ini. Jangan lupa ibadahnya, nduk."
"Iya, buk. abis kerjaan ini selesai juga pulang kok. Ga bakal malem-malem."
"Yaudah kalo gitu. lanjutin aja kerjanya biar cepet selesai. Abis itu pulang, bersih-bersih dan istirahat."
"Iya, buk. Lilil lanjut kerja dulu. Sampe nanti."
Tanpa menunggu jawaban dari seberang, Lilac menutup telpon sepihak. Biarlah, dia memang suka begitu. Karna kalau diteruskan sang ibu malah akan kembali berbicara panjang lebar. Lilac kembali menatap layar monitor didepannya. Mungkin malam ini ia tidak akan lembur terlalu lama. Punggungnya sudah sakit minta segera diistirahatkan, dan dari mood yang seharian ini ia rasakan, Lilac akan segera datang bulan, sepertinya. Akkhirnya dengan semangat yang tersisa, wanita dengan rambut sebagu itu kembali melanjutkan pekerjaannya.
...
Jika hal yang paling Lilac benci adalah bekerja seharian tanpa henti, maka hal paling menyenangkan adalah membeli eskrim sebanyak mungkin dan memakannya seorang diri. Oleh karena itu, kini Lilac sudah berdiri didepan counter eskrim dan terlihat kebingungan untuk meilih rasa apa yang akan ia makan untuk mengusir rasa penat.
"Mbaknya mau beli eskrim juga?"
Terdengar suara dibelakang Lilac. tentu saja hal itu membuat Lilac segera menoleh dan mendapati seorang remaja laki-laki yang mungkin masih SMA itu menatapnya penuh minat. Seakan menemukan teman yang sudah lama ia cari. Wajahnya terlihat berbinar, padahal ini sudah malam. Lilac menggeser tubuhnya dan segera pergi dari sana setelah mengambil sebungkus eskrim dengan asal. Tak mau lebih lama berinteraksi dengan orang-orang. Setelah membayar eskrimnya, Lilac kembali melanjutkan perjalanan pulang menuju kost yang hanya berjarak beberapa meter dari kantor. Sembari menikmati eskrimnya, Lilac mengedarkan pandangan ke sekitar.
"KAK!!! KAK!!"
Lilac menoleh kebelakang, mendapati remaja laki-laki tadi kini berlari kecil kearahnya dengan sekantong plastik penuh jajanan. Lilac mengernyitkan kening. apa mau anak itu, monolognya dalam hati. Saat jarak mereka sudah dekat, baru bisa Lilac rasakan harum vanila yang menguar dari tubuh besar yang baru saja berhenti didepannya itu.
"Hehe. Aku mau kenalan sama kakak ngga papa kan?" Tanya nya dengan senyum sumringah dan tangan yang terulur menunggu untuk disambut.
"Kamu ga pulang kerumah kamu? Ini udah malem, anak kecil ga boleh keliaran larut malam begini." sahut Lilac tanpa menyambut uluran tangannya. Si remaja menurunkan tangannya perlahan dan malah mengikuti langkah Lilac saat wanita itu kembali melanjutkan langkah.
"Kakak udah kerja ya kak? Kerjanya dimana kak? Kakak pulang kerumah atau kost? Kakak udah lama kah lulus kampusnya? Dulu alumni ma-"
"Ngapain ngikutin gue?"
Lilac tatap remaja itu tepat dimata. Sungguh, tinggi badannya yang diatas rata-rata itu, menurut Lilac, membuat wanita itu harus sangat mendongak.
"Eum, hehe, itu kak...aku pingin kenalan sama kakak. Aku seneng banget ketemu perempuan dewasa kaya kakak masih suka makan eskrim. Jadi, aku ngga merasa aneh kalau aku yang cowok kaya gini suka eskrim."
Wajahnya tertunduk, membuat poni yang menutupi sebagian matanya mampu menutupi wajahnya juga. Percaya tidak percaya, remaja itu malah terlihat lucu sekarang.
"Emang temen lo ga ada yang suka eskrim? Temen cewek lo?"
Pertanyaan itu mendapat gelengan sebagai jawaban. Lilac memutar matanya malas. Ia lelah, ingin segera istirahat. namun tak mungkin juga membiarkan anak ini terus mengikutinya dan tau dimana kost nya berada.
"Ayo gue temenin makan eskrim. Tapi janji abis ini lo harus pulang. jangan ikutin gue. Ngerti?"
Kepala yang semula tertunduk itu langsung mendongak dan tersenyum cerah ke arah Lilac. Membuat wanita itu meringis.
"JANJI KAK. Abis ini aku langsung pulang."
Berakkhir dengan keduanya berjalan beriringan menuju taman dekat jalan yang mereka lewati saat ini. Malam semakin larut, namun untuk kali ini, biarlah lilac menunda agenda istirahatnya dengan menaikkan mood lewat menemani remaja asing yang baru ditemuinya. Berharap besok mereka tak bertemu dan hal ini tak kembali terulang.
"Eh, tapi percaya deh, Li sama gue. Katanya tuh sekarang jadi seleb aja bisa banyak duit. Makanya ayo Li kita bikin konten-konten gitu."
Sembari melipat baju yang baru saja diangkatnya dari jemuran, Lilac mendengarkan celotehan sahabat karibnya dari seberang sana. Kini keduanya tengah melakukan panggilan video karena terhalang jarak. Nasib memiliki bestie yang juga sama-sama merantau kekota orang.
"Lo aja. Gua mana berani ngomong depan kamera. Ngomong biasa aja kadang masih belepotan." Jawab Lilac sambil menata baju yang telah ia lipat kedalam lemari.
"Alah belapotan apaan. Siapa anjir dulu yang menang public speaking pas SMA? Itu lo saudari Lilac Isadora Amethyst." Jawab sang sohib dengan nada ketus. Sedangkan yang disebut hanya terkekeh pelan. Nadzifah, teman karibnya selama masih duduk dibangku SMP itu merotasi matanya dengan kesal. Selalu begitu, Lilac dengan segudang pikiran tak beralasannya, overthinking.
"Ayolah Li. Kalo lo ga mau kita ganti deh kontennya. Ngga usah yang bikin lo banyak ngomong didepan kamera. Kan sekarang banyak tuh yang nge-cover lagu-lagu gitu. Nah kita coba tuh. Ntar lo rekaman dari situ, biar gua yang edit disini. Gimana?"
"Rajin banget cari duitnya, dek. Emang buat siapa sih?" Ledek Lilac menirukan kata-kata yang kini viral di sosial media.
"Ya buat gue lah, anjir. Yakali buat siapa? Kaga butuh tu gue cowok yang banyak omong tapi kaga bisa ngasi duit jajan. Gue bisa nyari sendiri." Nada sarkas itu terdengar lagi, membuat Lilac tertawa lepas. Mengingat bagaimana kisah cinta yang sahabatnya itu alami selama ini. Kalau tidak jadi HTS ya mungkin mendapat lelaki yang hanya bermodalkan omongan.
"Ayo ketemu. Kapan mau ke Tulungagung?" Lilac kembali merebahkan tubuh diatas kasur dan menatap Nadzifah yang kini sibuk dengan laptopnya.
"Lo lah anjir ke Bandung. Ga bosen apa disana terus. Kesini kek sekali-kali. Gua tau lo sebenernya udah muak disana." Wanita diseberang sana hanya melirik Lilac yang kini menatapnya. Sedangkan yang diajak mengobrol hanya menghela napas, lagi.
"Gue pingin. cuma lagi males aja juga mau kemana-mana. Kebutuhan rumah lagi banyak akhir-akhir ini. Alva bentar lagi juga mau masuk SMA, makin-makin deh tuh duitnya buat pendaftaran."
"Li, mau gue kasi saran ga biar banyak duit? buat kebutuhan juga kan ini?"
Lilac menatap kawannya itu jengah. Pasti yang akan keluar dari mulut wanita itu hanya saran-saran tidak berguna yang sudah pasti tidak akan pernah Lilac lakukan.
"Kalo lo mau nyuruh buat jadi LC, sorry too say gue ngga butuh. kerja tiga hari tiga malem ngga pulang kantor juga gue jabanin daripada jual diri." Terdengar tawa dari seberang sana. Tawa Nadzifah itumenular bagi Lilac. Melihat teman seperjuangannya itu tertawa lebar selalu berhasil membuat mood Lilac naik.
Jika ada yang bertanya bagaimana keduanya bisa berteman maka jawabannya adalah, masalah keluarga. Nadzifah dengan gelar anak yatim piatunya dan Lilac dengan gelar brokenhome nya. Ditambah lagi keduanya pernah menyukai orang yang sama saat masih duduk dibangku SMP. Lilac yang awalnya pemalu dan pendiam jadi lebih aktif saat bertemu Nadzifah. Sifat keduanya memang bertolak belakang. Sebagaimana sahabat papa umumnya, Lilac akan selalu menjadi orang yang berbeda ketika sudah bersama Nadzifah. Merasa aman dan memiliki pelindung walau keduanya pada dasarnya seumuran. Mungkin efek Nadzifah yang merupakan anak bungsu dan Lilac anak pertama, mereka merasa bisa saling memberikan efeksi satu sama lain.
Lilac tatap lagi wajah Nadzifah yang kini masih fokus pada laptopnya. Kadang Lilac berpikir bahwa menjadi editor semudah itu. Seperti sahabatnya itu yang kini bisa mengerjakan pekerjaannya dimana pun. Teringat lagi dirinya yang selalu mengerjakan semua tugas kantor yang bisa ia lakukan hanya untuk mendapat gaji tambahan. Jika kalian berpikir kantor tempat Lilac bekerja adalah kantor besar dengan omset milyaran rupiah perbulan, maka hempaskan semua angan itu.
Lilac menenggelamkan wajahnya pada bantal. Ingin berteriak tapi takut nanti Nadzifah pasti akan menanyakan hal-hal tak penting padanya.
"Gua mau tidur dulu deh ya? lo masih lama kan itu?" Lilac menata kembali bantal-bantalnya yang berserakan.
"Hooh deh. lo kalo udah ngantuk duluan aja. ntar kalo pingin sleepcall juga gue bakal nelpon kakak kayaknya."
"Huek! Makan tuh kakak lo. Hts aja dipelihara lo. Awas ntar sakit ati malah lo kata-katain tuh kakak lo."
"Eh diem ye jomblo. udah sana tidur. gut nite adeeeeek"
"Hmm." Lilac segera memutus sambungan telpon saat dirasa Nadzifah benar-benar fokus pasa pekerjaannya. Lilac menatap langit-langit kamarnya yang kini mulai menguning.
Teringat lagi saat dulu ia saksikan dengan mata kepalanya pertengkaran hebat sang ayah dan ibu. Diruangan sepi itu, sehabis melaksanakan ibadah dan baru masuk kekamarnya, Lilac dikagetkan dengan perdebatan keras keduanya. Sang ayah yang tempramen, bertemu dengan ibunya yang selalu terlihat lembut namun tegas. Keduanya bertengkar hebat, membuat Lilac yang saat itu berusia sembilan belas tahun tersentak kaget. Begitu juga dengan adiknya. Semua terasa begitu cepat hingga tanpa sadar air mata, mengalir turun ke atas dress putih yang ia kenakan. Lilac lelah, tapi akan lebih lelah jika berpisah dari keduanya.
Alva yang saat itu masih berusia sebelas tahun langsung memeluknya. Menepuk punggung Lilac yang saat itu masih mengenakan mukena.
"Ssstt...ngga papa mbak. Bapak lagi capek." Ucapnya sambil dengan telaten menepuk punggung si kakak. Lilac lemas, membalas pelukan sang adik pun rasanya ia tak mampu. Rasanya lelah, baru sehari ia sampai dirumah dan berharap bisa menenangkan pikiran dari beban perkuliahan, namun malah menyaksikan dengan langsung kedua orang tuanya bertengkar hebat.
Lilac bangun, menghapus air matanya yang tanpa terasa mengalir melewati telinga ketika ia berbaring tadi.
"Kayaknya gua harus beli eskrim. Ngga bisa kalo malem-malem begini overthinking ngga makan eskrim."
Dengan asal ia ambil cardigan navy miliknya yang tergantung dibalik pintu kamar. membawa uang secukupnya dan keluar untuk berburu eskrim. Seiring dengan langkahnya yang ringan, wanita itu merapatkan cardigan saat terasa angin terasa berhembus dingin. Padahal baru sore tadi ia membeli eskrim dan menemani remaja asing memakannya bersama. Lilac terkekeh saat mengingat betapa senangnya wajah remaja itu saat ia menyetujui ajakannya untuk makan eskrim bersama. Memang bukan sesuatu yang istimewa, tapi saat kamu merasa benar-benar tidak sendirian dan ada orang yang menemanimu melakukan hal kamu suka, mungkin semua orang akan merasakan senang yang sama.
"Sendiri aja kak?"
Belum selesai Lilac memutar tubuh, sebuah balok dipukulkan kekepalanya dan semua berubah gelap.
"Sayang..."
Hal pertama yang Lilac rasakan saat membuka mata ialah kepalanya yang terasa berputar. Wanita itu melenguh pelan saat merasa lehernya begitu nyeri. Mungkin kah itu efek pukulan orang tak dikenal semalam?
"Anjir kepala gue berat banget. Aduh...ini dimana?"
Lilac pandangi semua bentar yang tertangkap radar penglihatannya. Ruangan yang kini ia tempati terasa begitu asing. Sofa abu-abu disudut ruangan, rak buku yang terisi dengan penuh didekat lemari, jendela besar yang kini tertutup gorden putih. Lilac mengernyitkan kening saat merasa semuanya begitu asing. Yang ia ingat semalam hanya dirinya yang diserang orang asing saat ingin membeli eskrim. Lalu semuanya hilang begitu saja.
"Ngga mungkin gue diculik kan? Atau...jadi kaya dalam semalem? Aneh banget anjir plis deh."
Segera gadis itu turun dari kasur dan melangkah menuju jendela. Membukai tirainya lebar-lebar dan terkejut saat sinar matahari langsung menyerang penglihatannya. Lilac diam sejenak saat melihat begitu banyak bunga yang tumbuh dibawah jendela kamar. Kini gadis itu sadar jika ia berada ditempat yang tak ia kenali sama sekali. Dalam sekejap pikiran-pikiran buruk mulai bermunculan dalam benaknya.
"Ngga mungkin gue diculik. Anjir." Umpatnya sambil berlari kecil kearah pintu. Berharap pintu dengan chat berwarna abu-abu yang menjulang itu tidak terkunci. Namun belum sempat ia sentuh gagang pintunya, dorongan dari luar membuat Lilac kembali melangkah mundur. Lilac lagi-lagi terdiam saat melihat seorang wanita paruh baya yang kini tersenyum lembut kearahnya.
"Selamat pagi nona Isadora. Bagaimana tidur anda semalam?" Tanyanya dengan tangan terulur. Saat ia membuka tangannya yang terganggam, bisa Lilac lihat jika wanita itu memberinya sebungkus kecil permen yupi. Permen kesukaannya dan sang adik saat masih kecil.
"A-anda siapa? kenapa saya bisa disini?"
"Nona tidak perlu khawatir. Saya disini untuk membantu nona bersiap diri. Nona juga tidak perlu takut akan terjadi hal buruk, karena semua orang yang ada disini akan menjaga nona dan merawat nona dengan baik."
"Kasi saya alasan kenapa saya bisa ada disini. Saya ngga mau disini." Sahut Lilac dengan suara bergetar. Dia memang sudah sering tersesat saat dalam perjalanan jauh. Dia memang suka menghabiskan waktu dengan berjalan tanpa arah dan tujuan, tapi tak pernah sekalipun ia merasa setakut ini saat tau ia sendirian. Ah, atau mungkin ia saja yang baru sadar kalau sendiri itu memang menakutkan.
"Nona jangan khawatir. Saya berbicara jujur dan nona bisa percaya pada ucapan saya. Untuk saat ini, saya tidak bisa memberi tahukan siapa yang memerintahkan kami untuk merawat nona. Tolong nona tenang. Percaya pada saya ya?" Wanita itu berjalan kearah Lilac dan menggenggam tangan yang lebih muda. Seakan memberi keyakinan bahwa semua akan baik-baik saja.
Karna bingung dengan keadaan dan lain sebagainya, yang bisa Lilac lakukan hanya menganggukkan kepala. Wanita yang berdiri didepannya itu kini tersenyum teduh sambil menatap Lilac dengan tulus.
"Sekarang mari nona bersiap dulu. Lalu setelah itu, nona bisa langsung sarapan jika ingin. Mari nona."
Wanita yang bahkan belum ia ketahui namanya itu menuntun Lilac untuk masuk kekamar mandi. Rupanya didalam sudah ada bathup yang terisi dengan air hangat. Handuk berwarna putih yang tentu saja begitu halus dan juga peralatan mandi yang Lilac sendiri tau merk-merk ternama itu. Sungguh kalau sampai ia masuk kedalam dunia novel dan harus memerankan tokoh seseorang untuk bertahan hidup, maka Lilac benar-benar ingin pulang.
"Apa nona berkenan mengizinkan saya untuk membantu nona membasuh diri?" Lilac seketika menoleh saat mendengar suara wanita itu. Terpikir lagi dibenaknya kalau wanita itu begitu sopan. Tutur katanya pun begitu lembut dan membuat Lilac nyaman. Setidaknya untuk saat ini.
"Eum...sebelum itu boleh saya tau nama ibu siapa? Saya merasa kurang nyaman jika dipanggil nona seperti itu."
"Nama saya Aini, nona. Nona boleh memanggil saya dengan panggilan yang membuat nona nyaman."
"Kalau panggil ibu ngga papa?" Tanya Lilac ragu. Seketika wanita itu tersenyum lebar hingga matanya ikut menyipit. Cantik sekali wanita itu walau sudar berumur.
"Tentu saja nona manis. Anda bisa memanggil saya dengan sebutan ibu."
"Ibu juga ngga perlu manggil saya nona. Saya...saya ngga terlalu suka. Panggil saya Lilac aja." Ucap Lilac sambil melepas cardigan navy yang ia pakai semalam juga dengan pakaiannya yang lain.
"Tentu saja nak Lilac. Anda sopan sekali. Bukankah wanita sopan berhak mendapatkan pria yang baik juga?"
"Eum...ibu udah lama tinggal disini? Dirumah ini ada siapa aja?" Tanya Lilac mencoba mengalihkan pembicaraan. Ia benci mendengar dirinya harus bersanding dengan seorang pria, walau pada kenyataannya begitu. Ia membutuhkan seseorang yang bisa menjaga dan membimbingnya sebagai pasangan hidup. Dengan perlahan Lilac memasukkan tubuh kedalam bathup yang sudah berisi air hangat dan sabun aromaterapi itu.
"Sudah lama, manis. Ibu disini sejak rumah ini pertama kali dibangun. Untuk sekarang, Lilac cukup tau kalau semua orang yang ada disini akan menjaga Lilac dengan baik. Percaya sama ibu, mereka pasti akan senang melihat Lilac ada dirumah ini. Mendengar ucapan bu Aini, Lilac hanya bisa menghela napas kecil. Dulu saat masih sekolah dasar, Lilac adalah anak yang paling kecil dikelasnya. Tubuhnya bahkan tak sampai jendela kelas. Hal itulah yang membuat Lilac kecil sering ditindas dan diperlakukan dengan buruk.
Jika ada yang bilang masa kecilnya sangat seru karena dijaga oleh kedua saudara sepupu laki-lakinya, maka akan dengan lantang Lilac jawab bahwa ia membenci mereka. Betapa semena-menanya mereka pada keluarga Lilac yang bahkan saat itu hanya tersisa ayah, ibu dan Lilac kecil. Alva belum lahir dan tak tahu seberapa menderitanya keluarga mereka saat harus meminjam motor hanya untuk pergi kedokter. Sampai Lilac kecil harus demam berminggu-minggu hanya karna sang ayah yang tak bisa segera mendapat pinjaman motor.
Lilac mendongakkan kepala saat dirasa air matanya hampir jatuh. Ia biarkan bu Aini memijat pelan bahunya yang lama memikul beban anak pertama. Jika diingat lagi, Lilac kembali menyalahkan diri saat hubungan keluarganya tak mampu ia selamatkan. Bukankah anak pertama harusnya berani mengambil resiko? Bukankah anak pertaman harus bisa bersikap tegas? Bukankah anak pertama juga bisa menjadi pelindung saat kepala keluarga yang ia harapkan bisa membawa kebahagiaan bagi keluarga justru membuangnya serta sang ibu dan adik?
"Ibu, boleh saya minta tolong ibu untuk keluar? Biar saya selesain in mandinya sendiri aja?" Ucap Lilac saat ia rasa butuh waktu sendiri ketika moodnya sedang tidak baik-baik saja seperti saat ini.
"Iya manis. Ibu keluar ya? Kalau butuh sesuatu panggil ibu ya?"
Lilac hanya mengangguk dan kembali menundukkan kepala saat merasakan usapan halus dirambutnya. Ah, iya jadi rindu ibunya dirumah. Yang bisa ia harapkan saat ini hanyalah, semoga semua kejadian diluar nalar ini cepat berakhir. Ia benar-benar hanya ingin hidup dengan tenang. Dann saat pintu kamar mandi kembali tertutup, Lilac meloloskan isakan kecil dan berharap kamar mandi itu kedap suara. Ia semakin muak dengan hidupnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!