Petang yang teduh, matahari tak lagi ada di tempatnya. Langit yang tertutup awan kelabu menggantung di atas kota New York, kota yang pernah dijadikan sebuah pos dagang komersial oleh Belanda pada tahun 1624. Gumpalan awan semakin kelam, hampir menutupi seluruh wilayahnya yang hanya menerima sinar matahari rata-rata 234 hari setiap tahunnya. New York merupakan kota beriklim subtropis dengan musim panas yang lembab serta musim dingin yang nyaman. Dan petang itu, kota New York akan mandi besar, gedung-gedung pencakar langit akan basah kuyup dijatuhi titik-titik air hujan.
Di dalam sebuah bangunan rumah sakit besar, yang terhimpit gedung-gedung tinggi di jantung kota itu, seorang remaja berusia tujuh belas tahun, terbaring lemah sambil memandangi kelamnya langit dan derasnya hujan ke arah luar jendela sana. Di sisinya duduk seorang lelaki paruh baya berusia empat puluhan, ayah angkatnya, Rushel Marthin,
seorang pastur yang mengabdikan dirinya di sebuah gereja di kota itu. Seharian ini ia menghabiskan waktunya untuk menjaga anak angkat kesayangannya, David.
Saat kilat menyambar di luar sana, remaja bermata biru nan sayu dan berambut pirang ini langsung mengalihkan pandangan matanya ke wajah ayah angkatnya dengan rasa takut. Sejak kecil David sangat takut dengan suara kilat. Ayah angkatnyalah yang selalu menjaga dan menenangkannya di setiap ketakutannya muncul. Pastur itu telah mengasuh David sejak kecil, sejak ia dibuang oleh orang yang tidak bertanggung jawab di depan gereja hampir tujuh belas tahun silam. Tanpa sengaja, Rushel menemukannya di depan gereja di pagi buta, lalu merawat dan mengasuhnya sampai ia remaja seperti saat ini.
"Ayah, kapan aku bisa pulang? Aku sudah tidak betah di sini. Teman-teman di kelas pasti membutuhkanku. Banyak hal yang harus aku
kerjakan untuk teman-temanku di sekolah," pinta David lemah pada ayah angkatnya.
Rushel memandanginya iba dan mengelus kening David. "Sabar anakku, dokter bilang kau belum boleh pulang."
David memasrahkan diri. Ia kembali melihat derasnya hujan yang membasahi bangunan-bangunan tinggi di luar sana.
Tak lama kemudian, Jardon, teman sekelasnya, datang mengunjunginya bersama salah seorang gadis bernama Anggel. Rushel langsung keluar sambil memberi senyum pada Jardon dan Anggel saat mengetahui mereka masuk. Ia membiarkan kedua teman sekolah David itu untuk menemui anaknya tanpa dirinya.
”Bagaimana keadaanmu, Dave?” tanya Jardon, seorang anak kulit hitam, khawatir. Sementara itu, Anggel hanya terdiam berdiri di samping Jardon.
”I’m much better, I guess. Thanks for your coming, guys. (Kurasa aku sudah lebih baik. Terima kasih sudah datang ya, teman-teman)” Seulas senyum terpancar dari rona wajah David.
Jardon dan Anggel saling lihat. Mereka sepertinya menyimpan sesuatu yang ingin segera mereka sampaikan pada David mengenai kabar terbaru di sekolah.
"Di kelas ada murid baru, Dave. Hari ini teman-teman sekelas tidak masuk sekolah, termasuk aku dan Anggel. Nico said that she is a terrorist (Nico bilang dia *******). Teman-teman takut ke sekolah. Mereka khawatir kalau-kalau sekolah kita akan dibom." Jardon berucap penuh kesal, sementara Anggel hanya diam dan menunjukkan mimik wajah yang sama seperti Jardon.
”A terrorist?” David terkejut tak percaya.
"Iya, Dave. Semua anak di kelas ingin menuntut Kepala Sekolah agar mengeluarkan anak itu. You know what? She always wears a long dress and a big veil, kinda awkward outfit. Yuck! (Kau tahu? Dia kerap mengenakan pakaian panjang dan kerudung kebesaran, kostum yang aneh sekali. Yuck!)" Tukas Anggel meyakinkan.
"I should be back to school soon, then (Kalau begitu aku harus segera kembali ke sekolah). Aku tak mau sekolah kita dinodai oleh seorang
*******, tapi kata dokter aku belum boleh pulang," ucap David sedih. Sebagai ketua kelas, ia merasa menjadi orang yang paling berperan jika dikelasnya mendapatkan suatu masalah, apalagi ini tentang terorisme.
”You don’t need to be worried! I’ll take care of it when you’re not there. I’m your best vice, remember?! (Kau tak perlu khawatir! Aku yang
akan mengatasi semuanya saat kau tak ada. Aku, kan, wakilmu)” Sergah Jardon dengan senyum.
"Terima kasih Jardon, cepatlah bertindak, kalau tidak nanti sekolah kita bisa porak-poranda seperti Gedung Putih!" Pinta David penuh semangat.
###
Sejak mengetahui berita itu, David gelisah. Ia ingin segera sembuh dan segera ke sekolah agar bisa melihat perempuan muslim yang dianggap
******* oleh teman-teman sekolahnya itu. Ia ingin segera membantu Jardon untuk mengusir perempuan berkerudung itu dari sekolahnya.
Sejak peristiwa bom 9/11 di gedung putih, semua warga Amerika mem-black list umat muslim, tak terkecuali David, ia menganggap semua muslim adalah *******.
###
Di ruang kelas, Maryam duduk sendiri di bangku paling depan. Ia bingung kenapa semua murid di kelas tak ada yang masuk. Ia baru saja pindah bersama keluarganya di kota New York. Awalnya Maryam tak mau ikut pindah, namun ia tak punya pilihan lain, ayahnya yang terpilih sebagai Duta Besar Uni Emirat Arab untuk wilayah New York harus membawa istri dan anak satu-satunya itu ke kota tersebut. Karena masih sibuk dengan urusan kedutaan, ia terpaksa memasukkan Maryam ke sekolah yang mayoritas siswanya adalah non muslim.
Seorang guru perempuan tiba-tiba muncul. Ia sedikit terkejut ketika hanya melihat satu murid di kelasnya. Maryam menunduk.
”Good morning, Maryam. Are you ready for today? (Selamat pagi, Maryam. Apakah kamu siap belajar hari ini?)” sapa Bu Violen yang sudah tahu namanya.
Maryam merasa bangga melihat gurunya sudah hafal namanya.
”Good Morning, Mom. Kenapa teman-teman di kelas ini tidak hadir?" tanya Maryam yang masih belum begitu sempurna bahasa Inggrisnya. Logat
bahasa Arabnya masih kental sehingga mempengaruhi ucapan bahasa Inggrisnya. Sebenarnya dari kecil Maryam sudah dikursuskan bahasa Inggris oleh ayahnya sehingga dia tidak begitu kesulitan dalam bahasa tersebut, hanya logatnya saja yang kadang terdengar belum pas.
"Ibu belum begitu mengerti, tapi menurut desas-desus yang ibu tahu dari perbincangan mereka, mereka pikir kamu seorang *******, padahal ibu sudah menjelaskan panjang lebar bahwa kau anak seorang duta besar dari Uni Emirat Arab. Tapi jangan khawatir, mereka akan ibu urus. Walau hanya kau sendiri yang hadir di kelas ini, kegiatan belajar-mengajar harus tetap berlangsung," ucap Bu Violen sambil tersenyum menjelaskan pada Maryam. Guru berkulit hitam dan berambut keriting itu terlihat sangat bijak.
Maryam sedikit sedih, namun ia berubah menjadi semangat ketika Bu Violen terlihat begitu antusias mengajarinya di pagi itu.
✒✒✒✒✒✒✒✒✒✒✒✒✒✒✒✒✒✒
Halohaa readers setiakuuu😘😘😘 Author bakal Up Setiap hari kalau kalian tidak lupa membantu ya.. Readera setiakuuu💕💕💕
Bantu Vote, Like👍, Komen dan jangan lupa Tip⭐nya juga. Terimakasih Readerskuuu😘😘😍😍😍 Semoga kalian sehat selalu dan diberi rizqi yang melimpah. Amin yarob🙏🙏🙏
David masih terbaring lemah menunggu kesembuhannya. Ia ingin sekali segera membantu sahabat-sahabatnya untuk mengusir Maryam dari sekolah, namun ayahnya selalu mengatakan bahwa dokter belum mengizinkannya untuk pulang.
Seminggu lebih di rumah sakit serasa setahun baginya. David benar-benar merindukan suasana gereja tempat tinggalnya, mencium aroma pepohonan di taman gereja, menyapa para biarawan-biarawati yang menyayanginya dan bermain-main dengan anjing yang ia beri nama
Pinokio, anjing kecil dan lucu yang memiliki kalung bertuliskan pinokio. Kalung itu sudah ada di leher anjingnya saat David tak sengaja menemukannya terluka dan meraung lemah di depan gereja. David akhirnya mengadopsi anjing itu sampai sekarang.
Ah, akhirnya waktu itu tiba juga, dokter sudah
memperbolehkannya pulang.
Sebuah mobil hitam menunggunya di depan rumah sakit. Para biarawan tersenyum bahagia menuntun David masuk kedalam mobil itu. Ayahnya tak berhenti memuji Tuhan saat anak angkatnya itu sudah sembuh. David langsung mengirim SMS pada seluruh teman-teman kelasnya bahwa besok ia akan datang ke sekolah dan mengurus si ******* berkerudung itu.
Dan pagi itu, usai menikmati sarapan roti bakar kesukaannya, David pamit pada ayahnya untuk sekolah. Ia kayuh sepeda silvernya dengan kencang. Anjing Pinokionya menyalak-nyalak saat mengetahui David pergi.
”Easy, calm down, Buddy! I’ll be home soon. Wait for me, okey?! (Tenang, teman! Aku akan segera pulang. Tunggu, ok?!)” teriak David pada anjing kesayangannya.
Rushel dan seorang biarawan yang berdiri di sampingnya memandang David dari kejauhan.
”Bapa, apakah David benar-benar sudah sembuh?” tanya Biarawan itu.
”Hanya Mukjizatlah yang menyembuhkannya. Kita harus membuat David selalu bahagia, dokter bilang dia tidak boleh stress,” ucap Rushel pada biarawannya.
Biarawan itu terdiam, ada kesedihan di hatinya. Bagaimana tidak, David adalah milik mereka, milik gereja.
***
Setiba di depan gerbang sekolah, teman-teman kelasnya menyambut David dengan girang.
"Syukurlah, pemimpin kita sudah sembuh sekarang." Jardon berseru.
"Ayo, kita ke ruang kepala sekolah sekarang!" Ucap David yang tak sabar lagi ingin mengurus anak baru yang dianggap ******* itu.
Semua temannya mengikuti David masuk ke halaman sekolah. Tak lama kemudian Maryam pun masuk ke gerbang sekolah dan menunduk.
”David. . . David. . . Stop!” Teriak Jardon. Lalu David pun menoleh ke arah Jardon.
”What’s going on? (Ada apa?)” tanya David penasaran.
Jardon mendekat dan berbisik, ”There she is, Dave. (Itu dia, Dave)” Jardon berujar sambil menoleh ke arah Maryam. David pun ikut menoleh
melihat Maryam.
David terperangah, sosok wanita berwajah cerah itu terus menunduk. Matanya yang bening biru, hidungnya yang mancung, serta alisnya yang tebal dan menyatu membuat David diam terpaku.
”Are you sure that she is a terorist, Jardon? (Apa kau yakin bahwa dia seorang *******, Jardon?)” tanya David.
”You don’t believe me, Dave? Look at her big veil. Someday you’ll see her concealing the bomb over her veil. (Kau tidak percaya, Dave? Lihat jilbab besarnya. Suatu saat kau akan melihatnya menyembunyikan bom di balik bajunya.)” Jardon meyakinkan David.
"Aku tak mau ke ruang kepala sekolah sekarang. Aku yakin dia bukan *******," ucap David. Jardon langsung terkejut. Teman-teman sekelasnya melihat David dengan tatapan aneh. Mereka heran mengapa David tiba-tiba berubah pikiran, padahal dia yang paling semangat untuk mengusir Maryam yang dianggap ******* itu.
”Dave, what’s wrong with you? You have to believe me! She is a terrorist. T-E-R-R-O-R-I-S-T. Remember that! (Dave, ada apa denganmu? Kau harus percaya padaku! Dia itu *******!)" Teriak Jardon meyakinkan.
Maryam terus berjalan dan tak mempedulikan perdebatan mereka. Maryam sekilas melihat ke arah David dan tersenyum, lalu berlalu. Sementara David terdiam kaku bagai terkena hipnotis saat melihat Maryam memberikan senyum untuknya.
"David...?!" Teriak Jardon lagi.
"Teman-teman semua, percayalah padaku, dia bukan *******. Sekarang aku mau ke kelas. Terserah kalian mau ikut belajar atau tidak denganku. Aku tak mau ikut campur lagi." David berkata tegas pada semua teman kelasnya.
"Kalau kau sampai masuk ke kelas, berarti kau bukan ketua kelas kita lagi." Jardon mengancam.
"Terserah, tapi percayalah padaku, aku yakin gadis itu bukan *******, aku bisa melihatnya, dia gadis baik-baik," ucap David tegas, lalu pergi ke kelas meninggalkan mereka.
Jardon dan teman-temannya bersikukuh untuk tidak mau masuk kelas. Mereka pulang atas bujuk dan rayuan Jardon dengan orasi semangatnya. Jardon berhasil mempengaruhi teman-teman kelasnya untuk meyakinkan bahwa Maryam benar-benar seorang *******. Semua teman kelasnya kecewa pada sikap David yang begitu saja yakin bahwa Maryam bukan seorang *******.
***
David membuka pintu kelas yang tertutup. Entah apa yang dia rasakan sampai dia berubah pikiran untuk tidak ikut campur dengan pernyataan ******* yang dituduhkan Jardon pada Maryam. Ia melihat
Maryam sedang duduk di bangku paling depan sambil membaca sesuatu. David pun ikut duduk di sebelahnya. Lama, tak ada pembicaraan di antara
mereka. Bagi David, wajah secerah itu tak mungkin ada niat jahat untuk menghancurkan sekolah dengan bom.
Maryam sendiri merasa tenang berada di kelas itu karena ia merasa punya teman yang mendukungnya. Ia sedikit mendengar perdebatan antara David dan Jardon di halaman sekolah tadi pagi. Hati Maryam ingin mengucapkan terima kasih pada David karena telah membelanya, namun ia tak tahu harus memulai dari mana.
Mereka berdua masih terdiam, padahal di antara dua manusia berbeda ras itu seperti ingin sekali saling sapa dan berucap. Mereka tak kuasa dan tetap memilih diam. Lalu tiba-tiba, seorang guru laki-laki berumur empat puluh tahunan masuk ke kelas.
”Good Morning. Ouch... only two of you (Selamat pagi... Oh, hanya kalian berdua?) Ke mana murid-muridku yang baik dan cerdas-cerdas itu, David?” tanya guru itu pada David.
”They are away, Sir. They... uhmm.. (Mereka semua pergi, Pak!)” David tak melanjutkan kata-katanya. Ia menoleh ke arah Maryam, lalu akhirnya mengurungkan niatnya untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi pada gurunya. Ia khawatir akan membuat Maryam bertambah cemas dan gusar.
”Mereka kenapa?” tanya guru itu lagi.
”Mereka pikir aku seorang *******, Pak, padahal aku pindah ke sini jauh-jauh dari Dubai karena ikut ayahku yang bertugas sebagai duta besar Uni Emirat Arab. Aku hanya seorang siswi, bukan *******.” Maryam berusaha menjelaskan.
”Begitu, ya?” ucap Guru itu, lalu mendekat ke arah David, ”This is your resposibility as the chief of the class. You must convince and explain to your friends that Maryam is not a terrorist. (Ini tanggung jawabmu sebagai ketua kelas. Kau harus meyakinkan dan menjelaskan pada semua temanmu bahwa Maryam bukan *******.)”
”Yes, Sir. I believe that she’s not and I’ll do my best to convince them (Aku percaya dia bukan ******* dan aku akan berusaha semampuku untuk
meyakinkan mereka),” ucap David.
Maryam menoleh ke arah David. Selama sekolah di Dubai, ia sama sekali tak pernah berada sekelas dengan kaum adam. Ia disekolahkan disebuah sekolah khusus perempuan. Maryam merasa agak gugup, namun dia merasakan sesuatu yang berbeda. Maryam merasa nyaman sekali melihat seseorang yang begitu mantap mempercayainya bahwa dia bukan seorang *******.
”Baiklah. Kita akan tetap belajar hari ini,” ucap Guru itu, lalu mereka pun akhirnya belajar bersama.
✒✒✒✒✒✒✒✒✒✒✒✒✒✒✒✒✒✒
Halohaa readers setiakuuu😘😘😘 Author bakal Up Setiap hari kalau kalian tidak lupa membantu ya.. Readera setiakuuu💕💕💕
Bantu Vote, Like👍, Komen dan jangan lupa Tip⭐nya juga. Terimakasih Readerskuuu😘😘😍😍😍 Semoga kalian sehat selalu dan diberi rizqi yang melimpah. Amin yarob🙏🙏🙏
Jam istirahat tiba. David beranjak dari duduknya. Ia ingin sekali mengajak Maryam keluar untuk pergi ke kantin bersama-sama, namun ia masih malu, ia lihat Maryam malah tetap duduk dan membaca sebuah buku tebal, lalu David akhirnya meninggalkannya.
Di perjalanan menuju kantin, David mencoba menelepon Jardon.
”Hello, Jardon...,” ucap David setelah Jardon mengangkat teleponnya.
”You’re not my best friend anymore, Dave! What for do you call me, huh? (Kau bukan temanku lagi, Dave! Untuk apa kau menghubungiku lagi, hah?)” jawab Jardon ketus.
”Jardon, please, trust me! Maryam is not a terrorist. Even our teachers believe that she’s not, then why you guys do it? Oh come on, we’re all friends. Help me convince our other friends and ask them to come back to the class. (Jardon, kumohon, percayalah padaku! Maryam bukan *******. Bahkan guru-guru kita percaya bahwa dia bukan *******, lalu kenapa kalian seperti itu? Ayolah, kita semua teman. Bantu aku meyakinkan teman-teman kita yang lain dan minta mereka untuk kembali ke kelas.)” Pinta David.
”Kau kenapa, Dave? Kau bisa begitu saja percaya, padahal baru tadi pagi kau melihatnya. Kau belum tahu semuanya tentang gadis itu, bukan? Oh My God, aku yakin kau pasti terhipnotis dengan parasnya. Karena kecantikan gadis itu kau jadi berubah pikiran, begitukah? Ternyata benar kata pepatah, wanita bisa menghancurkan dunia. Hey, kau ingat, kan, apa
kata Bu Violen tentang pengaruh wanita, Bill Clinton saja hancur gara-gara wanita,” ucap Jardon meyakinkan David.
”Jardon, come on! Please, trust me! This is not like what you think. (Jardon, ayolah! Kumohon, percaya padaku! Ini tidak seperti yang kau
kira)” David memohon.
”Sepertinya kau termasuk dalam salah satu 10 tanda-tanda orang jatuh cinta di buku yang pernah aku baca. Love at the first sight. Is it right, Dave? (Cinta pada pandangan pertama. Apa itu benar, Dave?)” tanya Jardon penuh selidik.
”Oh, come on, this is not about love. That’s silly! (Oh, ayolah, ini bukan soal cinta. Ini konyol!) Aku baru saja melihat gadis itu, mana mungkin aku langsung mencintainya. Ini karena sebuah keyakinan, aku sangat yakin dia bukan *******!” Ucap David mencoba menjelaskan lagi.
”Kau jatuh cinta padanya, Dave. Tanyakan pada hatimu. Itulah sebabnya kau membelanya,” ucap Jardon lalu mematikan handphone-nya tiba-tiba.
”Jardon... ” Panggil David, saluran itu pun terputus.
David terdiam sesaat. Ia lalu duduk di sebuah bangku taman dan mencoba memikirkan kata-kata Jardon.
”Love? Is it? Am I really falling in love with her at the first sight? No.. No.. No.. Jardon doesn’t even know what my heart feels. He must be wrong. This is not a love. The Big N followed by the Big O. NO! (Cinta? Benarkah? Apa aku benar-benar jatuh cinta padanya pada pandangan pertama? Tidak, Jardon bahkan tidak tahu apa isi hatiku. Dia pasti keliru. Ini bukan cinta. Tidak!)” Sanggah David dalam hati. Ia kembali mengingat-ingat kejadian ketika untuk pertama kalinya David melihat wajah Maryam. Ia mencoba
mengingat-ingat suasana hatinya kala itu.
”Aku ingat... wajah itu begitu cerah bersinar. Belum pernah aku melihat wajah yang bersinar cerah seperti itu. Walaupun aku tahu Anggel
adalah gadis tercantik di sekolah ini, tapi wajah Anggel tak secerah wajah gadis itu.” Hatinya terus bergumam, mencoba mengingat-ingat peristiwa pagi itu.
”Aku merasa tenang saat berada di kelas bersama gadis itu, tak pernah aku merasakan setenang itu. God, apakah aku jatuh cinta pada gadis itu? Aku sungguh belum pernah merasakan rasa ini sebelumnya pada gadis manapun. Selama ini aku selalu dingin, tapi tadi aku seperti berubah, berubah menjadi David yang lain. Apa mungkin kata Jardon benar, bahwa aku terhipnotis oleh gadis itu hingga aku begitu saja percaya bahwa dia bukan *******? Aku, kan, belum kenal baik dengan gadis itu?” tanya David dalam hati, berulang-ulang. Ia pun tak mempedulikan lagi kata hatinya. Ia kemudian mencoba bangkit dari kursi taman itu dan berjalan ke kantin sekolah. Setiba di sana ia memesan makanan dan sebotol minuman. Setelah selesai menghabiskan makanan dan minumannya ia kembali pergi ke kelas.
Di kelas, ia melihat Maryam masih duduk di bangkunya sambil membaca buku tebal itu.
”Apakah dia tidak lapar?” tanya David dalam hati.
”Tunggu...tunggu, aku peduli padanya dan mengkhawatirkannya? Tidak, Jardon benar, benih cinta ini memang ada,” pikir David.
David langsung berlari ke kantin. Ia memesan makanan dan sebotol miniman dingin, lalu membawa makanan dan minuman itu ke kelas.
”You must be starving. Here are for you. Have them! (Kau pasti lapar. Ini untukmu. Makanlah!)” Tawar David sambil menyodorkan
makanan dan minuman di tangannya. Dia agak gugup. Maryam sedikit terkejut melihat kebaikan David yang mendadak itu.
”Maaf, aku sedang berpuasa,” ucap Maryam mencoba menjelaskan.
”Fasting? You mean, no food no drink? (Puasa? Maksudmu, tidak makan tidak minum?)” tanya David masih belum paham tentang puasa.
”Yes!” Jawab Maryam menunduk.
”Okey, you may keep them, then (Oke, kau bisa menyimpannya). Pasti ada waktunya, kan, kau bisa makan dan minum lagi?” pinta David pada Maryam.
Maryam mengangguk lalu mengambil makanan dan minuman yang ditawarkan David.
”Thank you,” jawab Maryam sambil tersenyum.
David terlihat salah tingkah. Ia bingung harus berkata apalagi untuk memulai pembicaraan yang lain dengan Maryam, dan akhirnya ia pun menyerah, lalu duduk kembali di bangkunya. Sementara Maryam begitu takjub dengan kebaikan David. Baru kali itu ia merasakan kebaikan seorang lelaki kepadanya. Jam pelajaran berikutnya sudah dimulai lagi, mereka saling berdiam-diri memperhatikan materi yang diajarkan guru di depan kelas. Lama terasa pelajaran saat itu. Lalu, saat yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga, jam pulang sekolah.
Maryam mengemasi buku-bukunya lalu beranjak keluar kelas, sementara David membuntutinya dari belakang. Ia masih penasaran dengan perempuan muslim itu. Sedari tadi ia tak pernah berhasil untuk berkomunikasi lagi dengannya, entah karena tak tahu harus memulai dari mana atau karena memang ada sesuatu yang berbeda, namun sejak
pertemuan pertama di halaman sekolah tadi pagi, ada sesuatu yang David rasakan. Untuk pertama kalinya selama ia hidup, David merasa wajah
Maryam seperti magnet dan ia sendiri ibarat logam yang tak mau lepas dari magnet itu. Pada akhirnya, David membenarkan ucapan Jardon tadi melalui telepon. Ah, David merasa gadis ini memang seorang *******, tapi ******* yang menghipnotis pikiran dan perasaannya untuk selalu mengingat parasnya. Selama ia sekolah di sekolah bergengsi itu, David tak pernah merasakan hal seperti ini. Bahkan Anggel, teman sekelasnya yang terkenal dengan julukan The next Miss World, pun tak pernah ia hiraukan.
Dedaunan kering berguguran di sepanjang jalan trotoar menuju halte bus. Kota New York begitu hangat siang ini. Maryam berjalan menunduk menuju halte. Kerudungnya berkibar terhembus angin yang juga menerbangkan dedaunan kering yang mengotori trotoar. Sementara David, ia berjalan sambil mendorong sepedanya di belakang Maryam. Ia masih penasaran dengan Maryam. Ia masih berharap agar bisa bicara lagi dengannya. Itulah mengapa ia tidak mengayuh sepedanya, tapi menuntunnya dan berjalan mengikuti Maryam.
✒✒✒✒✒✒✒✒✒✒✒✒✒✒✒✒✒✒
Halohaa readers setiakuuu😘😘😘 Author bakal Up Setiap hari kalau kalian tidak lupa membantu ya.. Readera setiakuuu💕💕💕
Bantu Vote, Like👍, Komen dan jangan lupa Tip⭐nya juga. Terimakasih Readerskuuu😘😘😍😍😍 Semoga kalian sehat selalu dan diberi rizqi yang melimpah. Amin yarob🙏🙏🙏
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!