NovelToon NovelToon

Cerita Dua Mata

Misteri Kematian Arfan Dinata

Mekdi mengenakan seragam lengkap dengan topi dan lencana, sedang berdiri di depan lemari tua yang terbuat dari kayu jati berwarna gelap. Tangan kanannya perlahan membuka pintu lemari yang berderit, memperlihatkan interior lemari yang dipenuhi oleh debu dan sarang laba-laba.

Wajahnya terlihat tegang, matanya fokus meneliti setiap sudut dalam lemari, mencari sesuatu yang penting untuk memecahkan sebuah teka-teki kematian seorang pria paruh baya yang kaya raya. Cahaya redup dari jendela gudang rumah itu, menerangi bagian lemari yang terbuka, dan menyinari setiap sisi di dalamnya.

Mekdi menemukan sebuah buku usang yang tergeletak di dalam laci yang ada di lemari itu. “Lemari sebesar ini hanya berisi buku tua?” bisik Mekdi dalam hatinya sambil menutup laci seperti semula, dan kemudian membersihkan debu yang menempel pada buku yang ditemukannya.

Ia kembali memperhatikan isi lemari. Lemari itu benar-benar kosong. Rak-rak yang di rancang dalam lemari itu hanya berisi debu, dan beberapa sarang laba-laba yang terajut di setiap sudut sisinya. Dan bunyi nyamuk yang bermalam di dalam lemari itu, mulai berdengung di telinga Mekdi.

Mekdi kembali menutup pintu lemari itu. Bau khas lemari lama mulai menghilang dari hidungnya. Ia memperhatikan buku yang baru saja ditemukannya.

Sampul plastik berwarna hijau yang melindungi buku itu telah usang dan berkerut dengan goresan di setiap sisinya. Kertas-kertasnya yang dijilid telah kekuningan dan rapuh, sementara yang lain hampir terlepas dari jahitannya. Aroma kertas tua bercampur dengan debu memenuhi udara di sekitarnya.

Tulisan tangan pada halaman-halaman buku yang tersusun dari puluhan kertas double folio itu, telah hampir memudar, terkikis oleh waktu. Meski tampak lusuh, buku itu seperti menyimpan rahasia yang selama ini Mekdi cari, ada kisah lama yang telah terlupakan, dan menunggu waktu untuk ditemukan. Di sudut halaman pertama itu tertulis kalimat “Cara Tuhan Memisahkan Kita.”

Bunyi langkah kaki seseorang terdengar dari kejauhan. Sol keras terdengar samar-samar beradu dengan lantai granit, perlahan semakin jelas mendekat ke gudang barang lama tempat dimana Mekdi berada. Orang itu ialah seorang pria yang merupakan teman waktu SMA-nya Mekdi.

Pria itu memasuki ruangan paling belakang yang ada di rumah megah yang sedang diselidiki oleh Mekdi, menghampiri Mekdi yang masih berdiri di depan lemari jati. Nama teman SMA Mekdi itu ialah Rendra, seorang wartawan media online. Dia mendapatkan tugas dari perusahaan tempatnya berkerja untuk meliput perkembangan kasus kematian pemilik rumah yang dimasukinya itu, yang bernama Arfan Dinata.

Bapak Arfan Dinata ialah seorang pria berumur 42 tahun yang ditemukan tewas di kamar tidurnya. Ia meninggal tiga hari yang lalu dalam kondisi bersimbah darah dengan bekas pukulan benda keras di kepalanya. Polisi belum bisa menyimpulkan penyebab kematian itu, karena belum cukup ditemukannya petunjuk dan bukti, dan juga tidak ada saksi dalam perkara ini.

Ia tinggal sendirian di rumah besar yang terletak di kawasan perumahan elit kota Padang. Tidak ada siapa-siapa di rumah itu. Istrinya telah meninggal sepuluh tahun yang lalu, dan mereka tidak mempunyai keturunan dari pernikahan tersebut.

“Apa yang kau temukan itu?” sapa Rendra pada Mekdi yang terlihat sibuk membersihkan debu-debu yang menempel pada buku yang ada di tangannya.

“Hanya sebuah buku lama,” jawab Mekdi santai.

“Apa isi buku itu? apakah sebuah wasiat?

“Entahlah! Aku belum membaca isinya. Sepertinya buku ini cukup penting!

“Belum baca kok tahu isinya penting?” Rendra tersenyum.

“Dalam lemari sebesar ini hanya ada buku ini di dalamnya,” ungkap Mekdi memandangi lemari berukuran tiga meter persegi yang ada di hadapannya.

“Memangnya kalau tempatnya besar, itu tandanya penting? Septitang juga besar, tapi isinya nggak penting! sedangkan cincin tunangan kotaknya kecil, tapi sangat penting!

Mekdi hanya diam. Temannya yang satu itu memang tidak mau pernah mengalah jika berdebat dengannya. Ia tahu, percuma saja menjelaskannya, dan nantinya pasti akan tetap dibantah oleh temannya itu.

“Boleh aku lihat?” Rendra kembali tersenyum, berharap.

Mekdi memberikan buku di tangannya. Buku itu sudah terlihat bersih dari sebelumnya. Tulisan tangan yang ditulis dengan tinta pena berwarna hitam, sudah bisa untuk di baca, walaupun ada sebagian hurufnya yang sedikit mengabur akibat warna kertas yang telah terlampau menguning.

Rendra membalik satu persatu halaman kertas itu, membaca secara acak isi di dalamnya. “Ini seperti buku harian, tapi…, lebih seperti novel sih!” Rendra terus membalik halaman buku di tangannya. “ Ini novel! ujarnya kemudian, menemukan beberapa dialog dalam tulisan di buku itu.

“Hehehe..,” Rendra terkekeh. “Apa yang bisa kau dapatkan dalam tulisan ini? ini novel, bukan buku harian. Isinya pasti fiksi, bukan fakta!” sambung Rendra tersenyum.

“Apa setiap novel itu Fiksi? Bisa jadi ditulis berdasarkan kisah nyata dari penulisnya!” bantah Mekdi. Wajahnya tampak kesal mendengar tawa Rendra yang seolah-olah meledeknya.

“Tetap saja ada unsur fiksi di dalamnya!” Rendra membalik buku di tangannya kehalaman pertama, lalu membaca tulisan yang ada di halaman itu. “Cinta adalah anugerah yang tak dapat lepas dari manusia. Cinta adalah sifat yang tak dapat dibuat-buat. Cinta dapat membuat manusia kuat dan hebat. Cinta juga bisa membuat manusia lemah, bodoh, dan juga ceroboh. Dan cinta tak hanya ciptakan rasa lebih hidup, tapi juga dapat hadirkan asa untuk akhiri hidup!” Rendra terdiam, tak meneruskan membaca tulisan itu. Ada makna lain yang terasa di hatinya pada akhir kalimat yang baru dibacanya.

“Kenapa kau berhenti?” Mekdi menatap wajah temannya.

Pria tinggi dengan rambut keriting yang berdiri di samping Mekdi itu tampak sedang memikirkan sesuatu. Rambutnya yang bergelombang di sekitar kening sedikit bergerak akibat keningnya yang mulai mengerut mencari makna dari deretan kata yang baru saja diejanya.

“Cinta, tak hanya, ciptakan rasa, lebih hidup! tapi juga, dapat hadirkan asa, untuk akhiri hidup!” Rendra kembali mengulang kata-kata yang dibacanya. “Sepertinya penulis buku ini pernah mengalami tekanan yang berat dalam percintaan!

“Drrrtt… drrrtt… drrrtt…” Handphone Rendra bergetar di dalam saku kemejanya. Ia mengeluarkan Handphone itu dari sakunya. Panggilan Bos 2 tertera di layar handphone samsung kecil berwarna hitam miliknya itu.

“Aku harus kembali ke kantor.” Ia mengabaikan panggilan itu dan memasukan kembali handphone ke sakunya, lalu berniat meninggalkan tempat itu.

Mekdi dengan cepat mengambil kembali buku yang ada di tangan kiri Rendra. “Jangan sampai kau bawa!” ujarnya.

“Tentu saja tidak! Buat apa? Itu hanya fiksi!” timpal Rendra cengengesan. Pria yang mengenakan celana jeans dengan kemeja polos berwarna hitam itu pergi meninggalkan ruangan itu.

Mekdi berjalan ke tepi jendela, menuju sebuah kursi kayu yang tersimpan di gudang tempat penyimpanan barang-barang lama itu. Ia meniup debu-debu yang menempel di kursi, dan menyingkap lebih luas tirai jendela gudang itu.

Cahaya matahari yang mulai meninggi, berlomba-lomba menerangi tulisan tangan di kertas yang di pengang Mekdi. Ia kemudian menyandarkan tubuhnya, duduk di kursi kayu yang terletak di samping jendela gudang. Ia kembali membaca halaman satu buku itu.

Bersambung.

Terimakasih sudah membaca. Jangan lupa beri dukungannya ya! “Penulis tanpa dukungan pembaca, hanya seperti lukisan indah di depan orang buta.”(R M Affandi)

Chapter Satu Buku Itu

“Mata itu menipumu. Tak akan ada rasa yang bisa diyakinkan, hanya lewat sebuah tatapan. Seperti sebutir benih, tidak akan bisa dipastikan tumbuh atau tidaknya, sebelum kau menanamnya.”

Berawal kisah ini kujalani, ketika hati mencoba mencari defenisi dari kata kekasih. Temanku mengartikannya, kekasih itu adalah separuh aroma surga yang membuat manusia bahagia dan mensyukuri hidup di dunia karena tercipta berpasang-pasangan.

Maksud hati semakin tinggi untuk mencari arti kekasih, saat kupandangi di antara mereka yang kukenali, hanya akulah yang masih sendiri. Sehingga, setiap hari aku selalu merenungi, benarkah hidup ini indah jika memiliki kekasih? Benarkah wanita yang disebut kekasih tercipta untuk kebahagiaan laki-laki? Dan benarkah ketika memiliki kekasih akan mencium aroma surga di dunia ini?

Mungkin pertanyaan itu ada karena aku telah menginjak tangga pertama untuk disebut dewasa. Karena saat itu aku telah duduk di bangku SMA kelas tiga, dan umurku sudah genap delapan belas tahun. Jika dipikir-pikir, aku sedikit terlambat untuk mempertanyakan tentang wanita dibandingkan teman-teman seusiaku waktu itu.

Semakin hari pikiranku tentang wanita selalu menumpukki benak ini. Hayalan-hayalan kemesraan dengan seorang kekasih hadir di setiap renunganku yang tiba-tiba. Jiwa selalu bergejolak! Dan hati selalu dipenuhi niat, aku harus punya kekasih! Tapi entah pada siapa hasrat itu akan kulabuhkan?

Dalam kebingunganku saat itu, seseorang datang dalam hidupku. Orang itu adalah Vika, seorang wanita berwajah lembut dengan senyuman manis yang selalu menghiasi bibirnya yang tipis, membuat para pria selalu senang membuat lelucon ringan untuknya, demi melihat senyuman itu.

Banyak pria yang berharap dan berlomba-lomba untuk mendapatkan cintanya, namun tak satupun dapat meluluhkan hatinya. Sifatnya yang suka berteman dengan laki-laki, membuat para pria yang ingin memiliki hatinya selalu berakhir dengan hubungan pertemanan.

Tapi entah mengapa dia memilihku waktu itu? padahal aku tidak sedikitpun memiliki kelebihan dari mereka-mereka yang selama ini mengincar Vika, dan bahkan mungkin aku malah banyak memiliki kekurangan dari pria lain. Entah apa yang dia sukai dari tubuhku yang hanya memilik tinggi 160 cm ini? Jika di bandingkan, Vika lebih tinggi 3 cm dariku.

Vika menaruh impian yang teramat indah padaku. Dia juga memiliki cinta yang teramat besar untukku. Aku dapat merasakan itu dari sikap dan caranya menyapaku di setiap aku lewat di depannya. Tatapannya padaku menyimpan makna yang lebih dari sekedar teman satu sekolah. Kelasnya yang bersebelahan dengan kelasku, selalu menjadi saksi bisu bagaimana gadis itu tersenyum padaku di setiap pagi aku berjalan di beranda kelasnya.

Namun, entah mengapa hatiku tak merasakan apa-apa padanya? Aku tidak bisa melayangkan tatapan sebagaimana dia menatapku. Perasaanku terasa biasa saja. Tidak ada getaran yang membuat jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya. Senyumannya yang manis seakan lewat begitu saja dalam ingatanku. Sehingga, aku selalu mengabaikan momen-momen itu yang hampir setiap pagi kudapati saat aku menuju kelasku.

Tapi Vika bukan gadis yang pemalu dalam soal perasaan. Keinginannya untuk bisa menjalin hubungan denganku tak pernah rapuh dan terhenti begitu saja. Dia selalu berusaha untuk mewujudkan niatnya, walau dengan cara yang tak biasa.

Siang itu suara lonceng memecahkan suara hening di sekolahku. Lonceng yang berdenting dua kali, membuat murid-murid berhamburan keluar kelas. Tanda istirahat telah berbunyi, cerita baru tanpa buku akan kembali mengisi suasana taman di SMA ku itu.

Aku berjalan menuju sebuah warung yang ada di samping taman, mencari secangkir kopi hitam, dan beberapa jajanan ringan untuk mengisi perutku yang mulai kosong. Warung itu bukan kantin resmi dari sekolah, tapi aku suka ke sana karena menunya berbeda dengan kantin yang disediakan pihak sekolah. Hanya di sanalah satu-satunya tempat yang menyediakan minuman kopi hitam.

Disaat aku baru mulai melangkah memasuki warung, tiba-tiba dua teman sekelasku datang menghampiriku. Aku terus saja memasuki warung, mencari posisi di mana aku biasa duduk di warung itu. Meja paling sudut belakang warung itu adalah tempat favoritku. Kursi kayu di samping meja itu, kembali menyambutku di hari itu.

“Ada apa?” tanyaku pada mereka yang juga ikut masuk ke warung kopi itu. Dua temanku itu ialah Zadi dan Razis.

Zadi orangnya tinggi namun sedikit agak kurus. Kulitnya putih dengan rambut lurus yang bersibak sama banyak di atas kepalanya. Wajahnya tampan dengan hidung sedikit mancung di tengah wajahnya, membuatnya selalu menjadi idola cewek-cewek yang berhidung pesek.

Sedangkan Razis, seorang pria berambut ikal yang selalu menjadi idola di SMA tempatku bersekolah. Tidak ada yang patut dijelaskan dari wajah pria yang satu ini. Semua yang ada padanya adalah kriteria ketampanan laki-laki indonesia. Mulai dari mata, hidung, bibir dan tingginya pun juga standar pria indonesia yaitu 166 cm, tiga senti lebih pendek dari Zadi. Jika aku berjalan dengan mereka berdua, kami akan terlihat seperti tiga anak tangga.

“Ada yang ingin aku bicarakan sama kamu Fan!” jawab Razis duduk di bangku yang ada disampingku.

“Oke! Kita pesan kopi dulu,” kataku, lalu memanggil pemilik warung untuk memesan tiga gelas kopi hitam. “Mau bicara apa?” lanjutku pada Razis.

“Gini fan! tadi pagi Vika menemuiku. Dia bilang, dia suka sama kamu, dan memintaku untuk menyampaikan perasaannya itu padamu!” terang Razis.

“Vika?

“Iya! Si manis lokal sebelah!” sela Zadi yang ternyata telah lebih dulu tahu cerita itu dari Razis. “Aku tidak menyangka temanku yang pendek ini ada pengagumnya juga!” sambungnya dengan nada mengejek.

“Gimana Fan?” tanya Razis mendesak.

Aku hanya diam. Cerita yang baru saja kudengar tidak sedikitpun membuatku senang. Yang aku pikirkan saat itu hanya bagaimana cara untuk menjelaskan isi hatiku yang tidak merasakan apa-apa terhadap Vika.

“Wooii!” Razis menepuk pundakku. “Apa jawabanmu?

“Sebenarnya, aku sudah tahu semua itu dari dulu.

“Weee… sok-sokan! Mentang-mentang lagi ditaksir langsung buang arang!” Zadi yang duduk di bangku kayu yang ada di depanku kembali meledek, memotong pembicaraanku.

“Diam dulu kau, cina kurus!” sosor Razis menyumpal mulut Zadi dengan gorengan yang terletak di atas meja.

Zadi diam, mengunyah gorengan yang masuk ke mulutnya. Saat itupun pemilik warung datang menghidangkan tiga gelas kopi hitam di meja kami.

“Apa jawabanmu Fan?” tanya Razis lagi padaku.

Aku mengambil gelas kecil yang berisi kopi hitam yang masih panas. Baunya mengepul ke udara, menyegarkan indra penciuman. Sedikit demi sedikit aku menyeruput kopi itu perlahan, merasakan rasa pahit, manis dan hangat yang menyatu sempurna di lidah.

“Aku bisa merasakan sikap Vika yang berbeda terhadapku.” sambungku kemudian, meletakan kembali gelas kopi ke tadahnya. “Hanya saja, aku nggak merasakan perasaan apa-apa terhadapnya.

“Jadi, kamu menolak Vika?” tanya Razis tak menyangka. Kerut dahinya sedikit terlihat.

Aku mengangguk sambil sedikit memaksakan senyum.

“Astaga Fan! Kamu terlalu banyak minum kopi sampai-sampai kamu nggak tahu seperti apa yang manis itu!” ujar Zadi dengan kesal.

“Kamu serius menolak Vika?” Razis masih belum yakin dengan apa yang kukatakan.

“Iya.

“Apalagi yang kamu cari Fan! Vika itu sudah baik, cantik, manis lagi, dan bonusnya, dia anak orang kaya! Masa iya, dari segitu banyak kelebihannya nggak satupun yang kau suka?” Razis menghirup gelas kopi miliknya. Wajahnya tampak kecewa.

“Kau normal kan Fan?” tanya Zadi, kembali mengulang kebiasaannya yang selalu membuatku kesal. Teman sebangku Razis itu selalu suka mengolok-olok siapapun.

“Apa kamu nggak ingin punya pacar seperti kita Fan?” timpal Razis.

Aku tak menjawab. Andai dia tahu, hatiku ini sudah lama menginginkan itu.

“Padahal aku sudah sangat senang saat aku tahu kalau Vika menyukaimu. Kamu nggak akan sendirian lagi di sini. Sebenarnya aku sedih melihatmu setiap hari menyendiri di warung ini, setiap laki-laki di lokal kita sibuk dengan pasangan mereka, sedangkan kau?

“Ya! Itu benar Fan! Nanti Kamu bisa bergabung bersama kami di kantin sekolah, daripada terus menerus menghuni warung para jomblo ini!” ujar Zadi menyambung ucapan Razis sambil melihat ke meja sebelah yang ditempati murid-murid lain.

“Sebaiknya kamu terima saja Fan! Cobalah jalani dulu hubungan ini,” saran Razis merangkul pundakku. “Ini bukan pernikahan! Hanya hubungan yang sedikit lebih dari pertemanan. Jika setelah kamu jalani, rasa suka nggak juga tumbuh di hatimu, kamu bisa mengakhiri hubunganmu itu.

“Itu benar Fan! contoh saja pujangga gagal itu, dengan alasan mencari cinta sejati, hampir setiap wanita di SMA ini dia pacari!” tukas Zadi. Kali ini Razis yang menjadi sasaran ledekannya.

“Terkadang cinta itu tumbuh setelah dijalani Fan! Kita nggak akan pernah tahu benih itu bisa tumbuh atau tidak sebelum benih itu kita tanam!” sambung Razis tanpa memperdulikan ejekan Zadi.

Bersambung.

Terimakasih sudah membaca. Jangan lupa beri dukungannya ya! “Penulis tanpa dukungan pembaca, hanya seperti lukisan indah di depan orang buta.”(R M Affandi)

Chapter Kedua Buku Itu

“Mata itu menipumu. Hanya ada pupil liar di dalamnya, yang membesar saat kau jauh, mengecil saat kau mulai dekat. Dan di sisi kacanya yang lengkung, akan ada bayangan yang seolah-olah itu adalah bayangan Tuhan.”

Kata-kata Razis terasa benar di benakku. Aku mulai berpikir di saat itu, apa salahnya kalau aku mencobanya? Mungkin selama ini aku tidak menyukai Vika karena aku belum terlalu mengenalnya? Mungkin saja cinta itu tumbuh karena sudah terbiasa?

“Kamu mau mencobanya?” Razis menanyaiku kembali.

“Jika suatu saat nanti aku juga nggak bisa menyukai Vika, lalu mengakhiri hubungan dengannya, dia akan baik-baik saja kan?” tanyaku memastikan.

“Kamu nggak perlu mengkhawatirkan itu! Kamu bisa lihatkan berapa kali aku putus sama cewek-cewek di SMA ini? Setelah aku putus dengan mereka, semua baik-baik saja! Aku bisa membangun hubungan kembali, dan merekapun juga begitu,” urai Razis mencontohkan beberapa hubungannya yang telah berakhir.

Razis memang terkenal Playboy di sekolahku. Hampir setiap murid di sekolahku tahu tentang kisah percintaannya. Namun, pamornya tak pernah pudar. Setiap kali putus, selalu saja ada cewek baru yang didapatkannya. Seakan-akan hubungannya yang berakhir memang dinanti-nanti oleh wanita lain di sekolahku itu.

Sejak saat itu, hidupku mulai sedikit berubah. Jalanku selalu ditemani oleh vika. Walaupun hubungan yang kujalin dengan Vika tanpa rasa suka, tapi aku tetap mencoba untuk selalu menemaninya di setiap saat senggang di sekolah. Aku telah menjalani hubungan tak biasa pertama dalam hidupku dengan seorang wanita bernama Vika Aediva.

Hari-hari terus berlalu dengan cepat, Aku dan Vika telah merasa semakin dekat, namun cinta tak jua melekat. Aku hanya selalu bisa menganggapnya sebagai teman biasa. Meski perhatiannya selalu ada untukku, kasih sayangnya sangatlah sempurna padaku, tapi semua itu belum bisa membuat hatiku luluh.

Di suatu malam yang teramat suram, langit berwarna hitam kelam. Bintang dan bulan tiada muncul menatap malam. Membuat sepi terasa semakin nyata, tapi bibirku tetap berwarna oleh senyuman yang mengusir lelah, karena cerita-cerita lucu dari Vika datang membela cakrawala jiwa yang tengah gundah.

Pesan dari Vika datang silih berganti di HP Nokia berlayar kuning milikku. Akupun terus membalas pesan dari Vika seiring waktu yang terus bergulir di malam itu. Alat komunikasi genggam yang baru dibelikan ayahku seminggu yang lalu, membuatku kecanduan dengan alat itu. Lagi pula benda elektonik yang disebut Handphone itu baru masuk beberapa bulan ini di kampungku. Jenis komunikasi itu sedang marak-maraknya di kalangan anak muda seusiaku.

Sangat lama aku dan Vika saling bertukar pesan, jam dinding kamarku telah menunjukan pukul sembilan malam. Tidak lama, pesan dari operator seluler menyelip di atas pesan dari Vika. Pesan itu menyatakan bahwa pulsaku telah habis. Pulsa yang kubeli sepuluh ribu rupiah siang itu, tak bertahan lama untuk membayar biaya pengiriman pesan yang seharga Rp300/pesan waktu itu.

Aku tak bisa lagi membalas pesan dari Vika. Ku letakkan handphone di samping kiri kepalaku, lalu kucoba untuk memejamkan mata. Tiba-tiba, handphone ku berdering, nama Vika tertera di tampilan layar telpon genggam itu.

“Pulsaku habis,” jawabku mengangkat panggilan handphone.

“Aku beliin ya?” ucap Vika menawarkan.

“jangan! Sudah malam.

“Bentar!” ujarnya mengakhiri panggilan.

Aku tak dapat berkata apa-apa lagi. Sikap baiknya yang terlalu berlebihan kepadaku kembali terbukti malam itu. Aku kembali merebahkan tubuhku di atas tempat tidur yang dilapisi sprei berwarna putih. Dengan satu tangan di letakkan di belakang kepala, aku terus memikirkan betapa besarnya kepedulian Vika terhadapku. Tapi mengapa aku belum juga bisa memberikan perasaanku padanya?

Tak lama kemudian, aku tersentak dari lamunanku. Handphoneku kembali bergetar. Vika menelponku lagi.

“Udah masuk pulsanya Fan?” tanya Vika dalam panggilannya.

“Belum. Kenapa?

“Aku udah mengisinya dua puluh lima ribu barusan! Masa nggak masuk? Coba cek dulu!

Aku coba memeriksa saldo pulsa di handphoneku. Hanya angka Rp179 yang tertera di layanan operator saat itu.

“Pulsaku belum bertambah,” ungkapku pada Vika.

“Kok bisa? Bentar ku cek dulu sama yang jual,” ucap Vika mematikan handphonenya.

Lamaku menunggu kabar dari Vika, namun kabar itu tak kunjung datang. Kubaringkan tubuhku dengan handphone yang ku letakkan di dadaku. Sambil menunggu pesan dari Vika, ku pejamkan mataku yang terasa agak berat. Tanpa kusadari, entah jam berapa aku tertidur malam itu.

Paginya handphoneku berdering sangat keras. Aku sengaja menaikan volume di handphoneku semalam, agar aku terbangun jika ada pesan atau panggilan yang masuk. Ku melihat ada ikon pesan di layar Handphoneku itu, namun di atas gambar amplop di layar kecil itu ada angka 07.15.

“Ya ampun! Aku kesiangan!” sentakku segera meluncur dari tempat tidur.

Hari itu aku terlambat datang ke sekolah. Waktu lima belas menit tak cukup bagiku untuk mempersiapkan segala kebutuhan sekolah di senin pagi itu. Buku pelajaran yang belum masuk kedalam tasku, pakaian sekolah yang belum disetrika, dan aku tak makan sarapan apapun di senin pagi hari itu. Dan pada jam istirahat di sekolah hari itu, aku hanya berdiam di dalam kelas, mengerjakan tugas yang belum selesai, karena lupa membuat tugas sekolah yang seharusnya ku selesaikan di rumah.

Saat lonceng sekolah berdenting menandakan waktu pulang, aku segera berlarian keluar ruangan. Perutku terasa lapar karena belum makan apapun sejak dari pagi. Namun, ternyata Vika telah berdiri di depan kelasnya, menatap tajam ke arahku. Aku menghampirinya, karena aku tahu dia pasti sedang menungguku. Aku belum sempat menemuinya di hari itu.

“Nunggu siapa?” tanyaku berpura-pura.

“Nunggu seseorang!” jawabnya dengan kesal.

“Siapa tuh orangnya?” balasku tersenyum.

“Ya jelas kamulah orangnya!

“Ooo... Tapi kenapa masih cemberut? Aku kan udah ada di sini! Lama-lama pasang muka kayak gitu, nanti manisnya hilang lo!

Vika merapikan rambut lurusnya yang menjuntai hingga ke punggung. Poninya yang menyatu dengan alis, kembali dirapikannya dengan jepitan kupu-kupu yang hampir tergelincir. Sedikit pujian dariku tadi, mampu menghadirkan senyuman manis yang cukup lama di bibir tipisnya.

“Kenapa pesanku nggak di balas?” tanya Vika kemudian.

“Kan nggak ada pulsa.

“Aku udah isi lagi pagi tadi. Kenapa nggak balas juga? Padahal aku mau ngajak makan pas jam istirahat.

Aku meraba-raba kantong celanaku. “Ya ampun! Hpku ketinggalan di rumah! tadi pagi aku bangunnya kesiangan, jadi buru-buru aja berangkatnya. Jadi lupa deh bawa hp,” jelasku tersenyum hambar.

“Kok bisa kesiangan? Mama kamu nggak bangunin?

“Orang tuaku lagi nggak di rumah. Beliau pergi ke rumah bibi! ada acara keluarga di sana. Aku sendirian aja di rumah.

“Mmmm… “ Vika kembali tersenyum. “Maaf ya, semalam!” ucapnya.

“Maaf buat apa?” tanyaku bingung.

“Semalam aku nggak bisa ngabarin kamu, soalnya pas mau keluar lagi buat ngecek pulsamu yang belum masuk, aku ketahuan mama. Hpku diambil! Pasti gara-gara nunggu pesan dari aku, kamu tidurnya jadi kemalaman.

“Nggak juga kok! Eh! Kamu ngisi pulsa aku lagi?

“Iya,” Vika mengangguk. Sebagian poninya kembali menyentuh alisnya yang tebal.

“Pulsa semalam gimana?

“Hehehe.. Salah nomer,” kekehnya menutup mulut.

“Kok bisa?

“Semalam aku buru-buru aja nulis nomermu Fan. Aku takut ketahuan mama keluar malam-malam. Pas ku cek pagi, rupanya pemilik M-kios salah baca angka yang ku tulis cepat-cepat. Angka empat di belakang nomermu, dikiranya angka sembilan,” terangnya.

“Jadi?

“Ya, ngisi lagi!” jawabnya tersenyum tanpa beban sedikitpun.

“Orangnya nggak mau ganti?

“Ya nggak lah! Salah aku juga kan? Kenapa main pergi aja sebelum memastikan nomernya!

“Tapi..,

“Udahlah! Nggak usah dipikirin. Ayo! kamu belum makan kan? Aku lihat kamu nggak keluar-keluar dari kelas sejak pagi,” potongnya tak mempermasalahkan yang terjadi, meskipun uang dua puluh lima ribu di zaman itu, bisa untuk membeli sepuluh piring makan siang di kantin sekolah.

Setelah makan siang di kantin sekolah bersama Vika, aku kembali menuju rumah. Kubaringkan tubuhku di atas sofa ruang tamu. Dengan mata terpejam, kukosongkan pikiran yang sesak oleh kepadatan tugas pelajaran yang semakin menumpuk menjelang ujian.

Tiba-tiba, cerita Vika siang itu kembali singgah di benakku. Ku kembali melipat pelupuk mata, teringat kata-kata Vika yang salah menulis nomor.

“Kenapa aku tidak mencoba menghubungi nomer itu? Mungkin saja orang itu mau balikin pulsanya?” Sebuah pemikiran terlintas di pikiranku. Meski terasa mustahil, aku sangat tertarik untuk mencobanya.

Segeraku berlari ke kamar, mengambil handphone yang tergeletak di atas kasur. Kucoba menghubungi nomor yang beda satu angka dengan nomorku itu.

“Halo, Assalamualaikum!” Suara lembut mengalun perlahan di speaker kecil handphoneku. Dengan intonasi yang tenang, suaranya terasa hangat dan menenangkan. Ada kedalaman emosional yang menyentuh hati dari alunan suara itu.

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!