NovelToon NovelToon

Battle Scars

Tempat dan Tujuan

Draap.. Draap... Draap...

Suara derap langkah kaki yang tengah berlari menyusuri sebuah ladang jangung di sebuah desa terdengar sayup., begitupun dengan nafas yang tidak beraturan dari seorang gadis yang dari tadi tengah dikejar oleh beberapa kelompok orang berpakaian hitam dan memakai kacamata hitam, yang entahlah dia sendiri tidak tau mereka siapa?

"Nona Balqis... Berhentilah, tidak ada gunanya anda terus berlari! Ingat Nona sedang terluka, jangan sampai boss kami murka dan membunuh kami gara-gara luka anda semakin parah!" teriak salah satu dari pria berperawakan tambun.

"Benar Nona... Menyerahlah dan ikut dengan kami maka Nona akan aman, juga Pak Hans juga akan selamat!" teriak seseorang lagi.

Penampilan dari gadis itu sangat lusuh, wajah dan rambut pajangnya dipenuhi dengan keringat sementara tangan kanannya menekan bagian perut sebelah kanan karena tadi sempat berkelahi dan terluka akibat tusukan dari serangan para kelompok itu.

Masih dengan tertatih gadis itu merintih merasakan perih yang dialaminya.

"Shiittt!! Sampai kapan gue harus kabur dari mereka? kenapa mereka nggak nyerah buat ngikutin gue? apa mereka musuh dari uncle Jonathan? mereka mafia? Ada masalah apa Daddy sama mereka?"

FLASHBACK ON

"Nak, untuk sementara kamu pergi ke alamat ini dan tinggal disana untuk sementara waktu sampai semua masalah ini selesai... Daddy janji Daddy pasti akan jemput kamu dan bawa kamu keluar dari sana... Daddy yakin disana aman buat kamu sayang... Dan mereka tidak akan mengejar kamu sampai kesana!" ucap Hans sambil menyerahkan secarik kertas yang berisikan sebuah alamat rumah.

"Tapi kenapa Dad... Dan aku nggak mungkin tinggalin Daddy disini dalam keadaan kacau kayak sekarang... Sebenernya mereka siapa Dad?!"

"Daddy nggak apa-apa Nak... Mereka ada hubungannya dengan alm. Uncle Nathan, yang ingin Daddy turun dari jabatan... Kamu tenanglah Anak buah Daddy sebentar lagi akan datang..."

"Nggak Dad! Aku bakalan lawan mereka bareng sama Daddy... Kita berjuang sama-sama buat ngelawan mereka Dad... "

"No! Mereka bukan lawanmu Nak... Daddy tau kamu bisa bela diri dan bisa melawan mereka, tapi sekali lagi Daddy nggak mau melibatkan kamu dalam masalah Daddy.. Daddy sudah berjanji sama almarhum Ibu kamu untuk menjaga kamu! Please kali ini nurut sama Daddy ya... Bawa ini juga untuk jaga-jaga nanti kamu disana..." ucap Hans sambil memberikan sebuah tas kecil dan secarik kertas.

Gadis itu terdiam dan melihat kertas itu membaca alamat yang akan ditujunya.

"Siapa yang ada di alamat ini? Aku nggak kenal sama mereka?"

"Daddy mohon kamu kesana, mereka pasti akan ngenalin kamu Nak... Kau harus baik-baik disana dan jangan buat ulah... Mereka yang ada disana baik-baik semua... Jadi Daddy mohon kamu kesana ya... Setelah ibumu pergi, cuma kamu satu-satunya harta yang Daddy punya sekarang! Kamu harus selamat!"

"Tapi--"

"Selama putri kesayangan Daddy selamat dan aman, maka Daddy pun akan baik-baik saja!"

"Dad--"

"Teruslah berlari, jangan sampai berhenti apalagi sampai tertangkap oleh mereka!"

FLASHBACK OFF

Obrolan singkat antara sang gadis dengan Daddynya sebelum pergi terus terngiang di kepalanya. Dan itu juga yang menjadi penyemangatnya agar terus bertahan dan terus berlari menyelamatkan diri dari para gerombolan itu yang sepertinya lebih mirip disebut sebagai mafia.

Balqis Nadira Aini memang tau kalau ayahnya Hans ketua dari mafia yang ditinggalkan oleh uncle Jonathan. Tapi Balqis sendiri belum pernah terlibat dan berhubungan langsung dengan mereka ataupun dengan anak buahnya karena Hans tidak memperbolehkan Balqis untuk terjun ke dunianya yang kelam. Hans hanya membekali putri kesayangannya itu bagaimana cara bertahan hidup, mandiri dan tentu saja bisa membela diri.. Dan itu terbukti dengan prestasinya di bidang taekwondo, judo, silat... Dia meraih juara pertama di setiap bidangnya.

Dan pada saat Balqis tiba dan menginjakan kaki di jalan raya yang tidak terlalu besar sebuah mobil melaju kearahnya. Dengan senyum mengembang Balqis pun berlari kearah mobil itu dan langsung menghadangnya seraya memohon agar diizinkan menumpang.

"Pak... Bisakah saya menumpang sampai depan? Saya mohon!" ucapnya masih sambil menekan perutnya dan tidak memperlihatkan keadaanya yang sedang kesakitan. Karena memang dari keadaan saat itu jam 1 malam dan pakaian yang Balqis kenakan pun serba hitam, jadi orang tidak akan ekspek dengan keadaan Balqis yang tengah berjuang hidup.

Sementara ke 3 orang pria yang ada di dalam mobil pun saling lirik satu sama lain.

"Kamu bukan kawanan begal kan?"

"Demi Tuhan Pak, saya bukan begal saya sedang dikejar oleh para penjahat... Please Pak..." mohon Balqis yang mulai panik ketika suara langkah kaki dari belakangnya mulai terdengar dan mendekat.

"Hey... Jangan kabur kamu!" teriak salah satu dari gerombolan itu memperingati Balqis.

"Pak... Tolong saya... Biarkan saya menumpang sampai jalan yang agak ramai saja..."

Saat ketiga orang itu menyetujui para gerombolan itu pun semakin banyak yang keluar dari semak-semak pohon jagung yang sudah tinggi menjulang lebih dari tinggi manusia.

Bruuum...

Saat mobil itu melaju kencang meninggalkan gerombolan itu. Balqis melihat kearah belakang memperhatikan para gerombolan itu yang terlihat sedang marah, kesal dan tidak terima karena targetnya sudah benar-benar kabur.

Balqis pun bersandar di jok mobil bernafas lega, kini dia benar-benar bisa lolos dari musuh Daddynya. Kini Balqis melihat kearah 3 laki-laki yang ada di mobil itu dengan siaga.

"Nak.. Siapa namamu?" ucap salah seorang pria paruh baya yang sedang duduk di samping supir melihat kearah Balqis.

"Balqis... Nama saya Balqis..." ucapnya dengan keringat di keningnya yang bercucuran karena menahan sakit apalagi dia sudah banyak mengeluarkan darah karena luka tusukannya.

"Aaarrgghh..." erangnya tak tahan. Matanya sudah berkunang-kunang.

"Astagfirulah... Kamu terluka nak? Ridwan, putar mobilnya kita bawa dia ke rumah sakit dulu!"

"No... Jangan... Jangan ke rumah sakit! Tolong... Kalau saya dibawa ke rumah sakit mereka pasti akan menemukan saya... Turunkan saja saya di jalan yang agak ramai..." ucapnya tersenggal-senggal.

Lalu beberapa menit kemudian dia pun tidak sadarkan diri.

"Nak... Hey... Sadarlah.. Astagfirullah... Bagaimana ini, Al?"

*****

Disebuah ruangan serba biru...

Balqis yang tengah terbaring disebuah blankar pun mulai sadar dan melihat sekeliling ruangan. Dengan masih pengaruh obat bius dia pun perlahan beranjak untuk duduk... Dia mengenali dimana dia berada sekarang.

"Shiit!! Udah saya bilang jangan bawa saya ke rumah sakit..." geram Balqis menahan kekesalannya.

"Nak tenanglah ini bukan rumah sakit.. Ini hanya sebuah klinik yang terpencil dan orang-orang tadi tidak akan menemukanmu... percayalah..." ucap pria paruh baya yang dari tadi terus berbicara pada Balqis.

Balqis pun mulai agak tenang dan berbaring kembali memejamkan matanya berfikir kemana lagi dia harus berlari?

"Nak... Siapa kamu sebenarnya? Dan kenapa mereka mengejar bahkan sampai bisa menusukmu seperti ini?"

Balqis pun membuka matanya dan melihat kearah pria paruh baya itu.

"Mereka orang-orang jahat! Mereka menyerang Daddy dan saya saat dalam perjalanan pulang ke rumah."

"Lalu kemana tujuanmu sekarang?"

Balqis pun terdiam teringat kembali kertas yang diberikan oleh ayahnya dan ingin agar dirinya untuk tinggal disana sementara. Tak lama Balqis benar-benar mengangkat tubuhnya dengan susah payah untuk duduk dan menghadap kearah mereka.

"Saya baru lihat ada gadis yang begitu kuat, anda baru saja menjalani kejadian buruk dan baru saja saya menjahit lukamu 30 jahitan asal kamu tau... lukamu cukup serius loh..." ucap seorang perempuan memakai jilbab panjang.

"Hah... Terima kasih-- dokter Anna" ucap Balqis menjeda sambil melihat nametag yang ada di sneli perempuan itu, lalu tersenyum miris.

Gue aja nggak nyangka bisa ketusuk sama gerombolan itu... Kalo aja tadi gue nggak jatoh trus ngelawan mereka... Gue nggak mungkin kena tusuk!

"Ini..." ucapnya sambil menyerahkan kertas itu pada pria paruh baya yang sedari tadi mengajak ngobrol Balqis.

"Saya nggak tau! Tapi tadi Daddy bilang saya harus datang ke alamat ini, " ucap Balqis sambil sesekali melirik kearah satu pria yang selalu ada disamping pria paruh baya itu juga dokter Anna.

"Nak... Apa Daddy kamu bernama Hans?"

Balqis melihat pria paruh baya itu kaget dan keheranan.

Gimana bisa bapak ini kenal sama daddy gue? Apa mereka saling kenal?

"Kalau begitu kamu akan ikut pulang ke rumah bersama kami Nak... Entah ini kebetulan atau takdir, tapi alamat ini adalah tempat tinggal kami!"

Balqis terdiam dia bingung sekaligus pusing sambil harus mencerna juga apa yang dikatakan pria paruh baya itu. Apa keputusan yang akan dia ambil? Tapi semisal dia menolak, terus dia mau kemana? Dia tidak tau lagi harus kemana karena dia sendiri tidak punya tujuan lain.

"Baik... Saya ikut Bapak aja!" ucapnya lalu tak lama dia pun pingsan lagi karena terlalu lelah dengan kejadian apa yang menimpanya hari ini.

Pria itu mengangguk dan membawanya pulang.

Beberapa menit berlalu. Jam menunjukkan pukul 2 malam. Mobil hitam yang sejak tadi ditumpangi kini berhenti di halaman rumah bercat biru.

"Balqis, ayo bangun nak? Kita sudah sampai. " ucap Pria tua masih dengan nada berwibawa.

Yupz... Balqis yang tertidur mengerjapkan matanya. Dia menggeliat sambil menguap lalu tiba-tiba dia meringis karena lupa kalau tadi perutnya sudah mendapatkan pengobatan dari dokter kepercayaan pria paruh baya itu.

Shhhttt... Shitt! Lupa kalo tadi perut gue dapet jahitan gegara ketusuk!

Kemudian, matanya membulat saat melihat seorang perempuan berkerudung hitam menatapnya sambil tersenyum.

"Ayo turun? Kamu pasti lelah kan?"

Dengan muka yang masih bingung Balqis hanya mengangguk. Dia pun perlahan turun masih memegangi perutnya yang terasa sakit lagi akibat reaksi obat nyerinya sudah habis dan bergabung dengan yang lain. Dia juga tertegun saat melihat seorang laki-laki yang duduk di dekatnya sejak tadi dibantu turun.

Oohh... Jadi dia pake kursi roda toh?

Mata Balqis terus memperhatikan laki-laki itu. Wajahnya sangat tampan, hidungnya mancung, bulu matanya lentik.

Wow... he's so perfect.

"Balqis, kamu tidur di sini aja ya malam ini,' "

"I-Iya."

"Balqis ini namanya teh Azizah, dia Teteh kedua Alditra."

"Alditra?!" Balqis kebingungan. Dia tidak tahu siapa sosok Alditra itu.

"Itu yang namanya Alditra," ucap Azizah sambil tersenyum dan menunjuk kearah laki-laki yang duduk di kursi roda. "Dia Alditra, adik bungsu Teteh. Kita itu empat bersaudara,"

"Kenapa dia duduk di kursi roda?"

Azizah pun tersenyum mendengar pertanyaannya. "Dia nggak bisa jalan. Dia juga nggak bisa bicara."

Oohh... Masa sih?

Balqis tertegun mendengarnya. Dia kira laki-laki itu sakit kaki biasa, ternyata fakta membuktikan lebih dari itu. Padahal dia sangat perfect.

Setelah mengobrol beberapa kata, Balqis pun masuk ke salah satu kamar. Dia harus segera istirahat untuk menghilangkan rasa lelahnya karena terus berlari.

Haah... Mungkin tinggal di sini bakalan aman buat gue.

Balqis termenung sesaat lalu mengambil sesuatu di dalam saku celananya. Dia mengambil sebuah tas yang diberikan Hans tadi s3b3lum berpisah dan membukanya. Senyumannya menyungging saat melihat perhiasan dan black card pemberian Daddynya sebelum dia pergi. Barang-barang itu akan dipakainya untuk membiayai kehidupannya.

Ya.. Ini udah lebih dari cukup.. Asal ada blackcardnya Daddy hidup gue aman...

Tinggal Sebagai Seorang Santriwati

"Eumm!"

Mata Balqis mengerjap beberapa kali saat mendengar suara bersautan membangunkannya. Dia pun beranjak perlahan masih dengan memegang bekas lukanya karrna masih sakit lalu melihat suara apa itu.

Tap!

Langkahnya terhenti di depan kamar. Matanya menatap Alditra yang tengah melipat sorban. Laki-laki itu sangat tampan pagi ini.

Karena takut ketahuan Balqis pun segera pergi keluar untuk mencari suara yang bersautan itu.

Siapa mereka?

Lagi-lagi Balqis terdiam saat melihat beberapa perempuan berlalu lalang masuk ke mesjid. Mereka memakai mukena putih sampai terkesan horor saat berjalan di tempat yang gelap.

"Sebenernya gue lagi dimana sih ini?"

Balqis memperhatikan tempat sekitar. Dia tidak bisa melihat dengan jelas tempat apa yang diinjaknya sekarang.

"Balqis, aku barusan nyari kamu loh. Ini..."

Balqis tersenyum saat Azizah menghampiri. Kemudian mengambil kain berwarna putih yang disodorkannya.

"Kita shalat subuh berjama'ah ya. yuk?"

Balqis mengangguk saja. Dia pun mengikuti Azizah di belakang dengan ragu.

"Tunggu, Balqis! kamu udah wudhu belum?"

Balqis menggelengkan kepalanya dengan datar.

"Kalo gitu kamu wudhu dulu di sana ya. kalo udah beres, kamu langsung nyusul aja ke mesjid."

Balqis kembali mengangguk manut. Dia pun berlalu ke tempat wudhu yang ditunjuk Azizah tadi. Baru saja dia menginjak tempat wudhu itu, matanya melongo karena semua air rasanya dingin tidak ada yang hangat.

Ck.... Yang bener aja, di pagi buta kayak gini gue harus megang aer dingin. Aarrgghhttt tempat apa sih ini sebenernya?

Balqis yang tidak berani menyentuh air menyilangkan tangannya. Dia berpikir air itu akan menghangat bila ditunggu beberapa menit lagi.

Sudah sekitar 10 menit Balqis menunggu, akhirnya dia pun pergi ke mesjid. Tadinya dia kira airnya akan menghangat, tapi ternyata air itu masih dingin sampai dia terpaksa membasuh wajahnya sambil menggigil.

Tap!

Mata Balqis membulat sempurna. Dia terkejut melihat banyak orang duduk rapih menghadap kiblat.

"Balqis, di sini!" seru Azizah.

Balqis pun tersenyum kecut saat semua mata tertuju padanya. Mereka benar-benar memperhatikannya yang tengah berdiri mematung. Kemudian berjalan melewati mereka menuju Azizah.

"Siapa dia? Kenapa kenal sama Ning Azizah?"

"Apa dia santriwati baru?"

"Mana mungkin! Kalau pun santri baru pasti bakalan langsung pergi ke kobong, tapi kan dia enggak."

Jujur saja Balqis sangat canggung. Apalagi bisikan orang-orang terdengar jelas di telinganya saat ini.

Santri! Maksudnya ini di pesantren? Seriously? Daddy ngirim gue ke pesantren? Yang bener aja?!

Beberapa menit berlalu. Shalat berjama' ah sudah selesai. Kini semua santri membuka Al-Qur'an, mereka mengaji bersama sampai jam 6 pagi.

Balqis yang tidak tahu harus apa ikut mengambil Al-Qur'an, karena sangat tidak memungkinkan untuk dia pergi sekarang. Apalagi jalan keluar dijaga seorang perempuan yang badannya lebih gemuk darinya.

"Anti salah buka surah," ucap seseorang di sebelahnya.

Balqis melirik. Matanya menatap seorang perempuan yang badannya hampir sama dengannya.

"Emang belum nyari kok."

Perempuan itu mengangguk. Dia kembali membaca Al-Qur'an bersamaan dengan yang lain. Sedangkan Balqis, matanya diam-diam membaca nama surah yang tengah dibaca.

"Mau aku bantu nggak?"

Balqis kembali melirik. Kini perempuan barusan tersenyum manis menunjukkan lesung pipinya.

"Nggak usah. Gue bisa sendiri."

Dengan ketidaktahuan, Balqis kembali mencari nama surah itu. Dia sebenarnya terlalu gengsi bila harus dibantu orang lain.

"Biar aku bantu aja ya, biar cepat,"

Perempuan itu mengambil alih Al-Qur' an yang dipegang Balqis. Dia membuka surah yang tengah dibaca. Hanya perlu hitungan detik dia dapat menemukan nama surah itu.

"Emang ini namanya Surah apa?" tanya Balqis.

"Surah Al-Waqiah." perempuan itu menjawab sambil tersenyum. "Aku Melodi. Siapa nama anti?"

"Hah! Maksudnya nama gue?" Balqis menunjuk dirinya.

Perempuan bernama Melodi mengangguk. Kali ini dia tersenyum menunjukkan gigi gingsulnya,

"Oh.. Eu--Balqis." jawab Balqis terbata-bata matanya masih memperhatikan Melodi. Dia benar-benar heran karena perempuan di depannya itu memiliki semua yang diinginkan setiap perempuan.

Gigi gingsul, lesung pipi, imut, manis, semua ada pada dirinya.

Sedangkan dia? Jauh dari kata itu.

"Balqis, apa kamu santriwati baru di sini?"

"Santriwati?!" Balqis terdiam sejenak. "Hmm, iya. Santriwati."

"Kamu dari mana? Kapan sampai ke sini? kok aku nggak tau?"

"Mmhh.. Gue dari jauh sih. Gue aja sampe sini tadi jam 2 maleman, soalnya perjalanan yang ditempuh emang jauh banget."

Balqis terpaksa berbohong. "Mel, emang ini pesantren ya?"

Kening Melodi mengerut mendengar pertanyaannya. "Iya, ini pesantren. Santri di sini juga banyak. Mereka memang dari berbagai daerah."

Balqis mengangguk-ngangguk. "Terus gimana kehidupan di sini?"

"Biasa aja sih. Cuma kita harus patuh sama peraturan yang udah dibuat. Kalau melanggar kita pasti kena hukuman."

"Peraturan!" Balqis paling tidak suka mendengar kata itu. Karena sepanjang dia hidup, dia menolak mengenalnya. "Peraturannya macam apa?"

"Pertama, kita harus bangun subuh untuk shalat berjama'ah. Lalu kita harus membereskan tempat tidur sendiri. Masak sendiri,"

"What? Serius sebanyak itu?"

"Itu sih bukan seberapa. Karena masih banyak peraturan yang diterapkan buat kita."

Hollysh** mampus gue!

Balqis menghela nafasnya. Dia kira akan aman tinggal di tempat ini, ternyata ini membuatnya sangat tidak betah. Dia merasa salah mencari tempat untuk bersembunyi.

Bukannya mengantarkannya pada tempat yang indah, malah mengantarkannya ke pesantren.

"Balqis, apa terjadi sesuatu?"

"No... Nggak apa-apa, Gue cuma pengen pulang. gue nggak betah."

"Kenapa?"

Balqis hanya mengedikkan bahunya, tidak menjawab pertanyaan Melodi. Dia malah beranjak dari duduknya. Kemudian keluar begitu saja.

Gila gila gila... Gue kudu nyari tempat yang lebih aman. Di sini nggak baik buat jantung gue.

Tidak terasa jam menunjukkan pukul 8 pagi. Balqis keluar dari kamar. Dia juga sudah siap akan pergi dari tempat itu sekarang.

Dengan perasaan lega, Balqis meringis sakit karena saat menggeliat bebas merentangkan otot-ototnya bekas jahitannya pun ikut merenggang.

"Auww... Shit... Lupa gue kalo lagi luka" gumamnya kesal.

Detik kemudian, matanya memicing tidak sengaja melihat Alditra tengah membaca buku membelakanginya.

"Cih... samperin ah!" ucapnya dengan wajah tengil.

Tanpa basa-basi, Balqis langsung mengambil buku yang tergelek di meja. Sontak saja hal itu juga membuat Alditra menoleh melihatnya.

Detik kemudian, Alditra memalingkan wajahnya. Bahkan dia memutar roda kursinya menjauh dari Balqis yang menatap kebingungan.

"Heh, kok lo pergi sih? Waaaiitt!"

Karena merasa kesal diabaikan. Balqis menarik kursi roda Alditra.

"Kenapa lo pergi gitu aja? emang muka gue keliatan mau gigit gitu?"

Alditra tetap memalingkan wajahnya. Dia sama sekali tidak melihat Balqis. Bukan karena apa-apa, melainkan penampilannya yang terbuka. Jacket yang kemaren dikenakannya dia lepas dan melilitkannya di pinggangnya.

"Gimana kalo kita kenalan? Siapa tau kita cocok?!"

Alditra masih tidak menjawab. Dia terlihat kesal karena Balqis malah berdiri di depannya.

"Astaghfirullah!"

Balqis menoleh. Dia melihat seorang perempuan sudah tua menghampiri. Dari wajahnya terlihat galak.

"Apa-apaan kamu? Kenapa berpakaian seperti itu di depan putraku? Apa kamu mencoba menggodanya?"

Balqis menunjuk dirinya sendiri. Tuduhan perempuan itu tidak diterimanya dengan baik.

What??? Nggak salah denger gue...

"Ck... Denger ya, nenek tua! Gue itu lagi ngajak om-om ini kenalan, bukan ngegodain dia."

"Di mana sopan santunmu? Kenapa berpakaian seperti itu? Sedangkan ini di pesantren bukan di luaran sana,"

Aaaiiiisshhh!!

Balqis mengorek telinganya. Perkataan perempuan itu membuat pendengarannya terganggu.

Ssshhhhttttt.... Berisik banget sih ni nenek-nenek suaranya..

"Dari mana kamu? Kenapa tiba-tiba ada di rumah ini?"

Hah...

Balqis memutar matanya malas. Kemudian beralih menatap Alditra yang setia memalingkan wajahnya.

"Heh, Om coba lo bilang sama nenek tua ini, kalo semalem gue ke sini sama lo,"

"Apa?"

Perempuan itu menatap tidak percaya. Dia pun menarik tangan Alditra agar menoleh ke arahnya. "Al, bilang sama Umi yang sejujurnya. Apa benar perempuan ini dibawa kamu ke sini?"

"Umi?!" beo Balqis sambil menatap perempuan itu.

"Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut?" Azizah yang baru masuk langsung terkejut melihat penampilan Balqis.

Tidak membuat orang terkejut bagaimana? Penampilan Balqis saat ini sangat terbuka. Dia memakai baju yang tanktop, meskipun celananya panjang tapi sangat ketat bahkan perutnya yang terlihat perban pun terekspos, rambut panjangnya tergerai.

"Astaghfirullah, Balqis!"

Azizah mengambil handuk di atas kursi. Dia langsung membungkus badan Balqis agar tidak terekspos.

"kenapa sih?" Balqis menggeliat karena lilitan handuk yang dilakukan Azizah sangat kuat. "Ada apa ini? Emangnya Kenapa?"

"Zizah, siapa perempuan ini? Apa kamu kenal sama dia?"

Azizah mengangguk. "Iya Umi, dia Balqis. Dia baru sampai ke sini semalam bersama aby, rois Ridwan dan Alditra,"

Perempuan bernama Fatimah itu mengerutkan keningnya. "Kenapa Umi nggak dikasih tau kalau semalam aby membawa perempuan?"

"Maaf, Umi! Semalam sudah terlalu larut untuk menghubungi Umi yang pastinya sedang istirahat ," balas Azizah.

"Lalu siapa perempuan ini? Apa dia istri kedua aby?" tanya Fatimah.

"Mohon maaf ya, nenek tua! Gue ini masih gadis, mana mau sama cowok yang udah tua," sela Balqis.

"Zizah, dari mana aby menemukan perempuan ini? Kenapa perkataannya sangat kasar dan tidak sopan?" Fatimah terlihat kesal karena perkataan Balqis yang terlalu ceplas-ceplos.

"Tenang ya, Umi!" ucap Azizah fengan sabar sambil mengusap punggung uminya agar dia tenang dan tidak tersulut emosi. "Balqis, kenapa kamu berpakaian seperti ini?"

"loh emang kenapa? Ini kan baju yang gue pake kemaren, emang salah?" Balqis bertanya balik. "Lagian ini emang pakean gue kayak biasanya juga kok... udah biasa kali,"

Azizah tersenyum mendengarnya. "Tapi Balqis, ini tuh di pesantren. Kamu harus bisa merubah penampilan kamu. Kamu harus menutup semua aurat dari ujung kepala sampai ujung kaki,"

"Ck... Ya ampun, ribet banget sih!" ketus Balqis.

"Zizah, panggil aby agar kembali memulangkan dia," titah Fatimah.

"Siapa yang dipulangkan?"

Balqis menoleh ke sumber suara. Dia melihat seorang pria yang semalam membawanya ke rumah ini. Dia bernama Arsalan.

"Aby, siapa perempuan ini? Kenapa Aby membawanya pulang?" tanya Fatimah.

"Tenang, Umi! Dia adalah putri dari Hans dan alm. Nadin yang Aby ceritakan kemarin," jawab Arsalan.

"Apa Aby serius? Berarti Kalau Balqis putrinya pak Hans yang dititipkan itu--," tanya Azizah.

Arsalan mengangguk. "Beruntung Aby tadi malam bertemu dengannya saat perjalanan pulang, dan Balqis juga sedang--,"

"Tunggu bentar! Apa maksudnya dititipkan?" Balqis tidak mengerti perkataan mereka. "Dan Kenapa kalian kenal sama Daddy?"

"Begini Balqis, kita kenal dengan ayahmu sejak dulu. Beberapa hari lalu, beliau menghubungi kami agar kami bisa menjaga putri satu-satunya. Dia juga bilang, kalau putrinya akan datang ketika terjadi sesuatu," jelas Arsalan.

"Dan semalam kita dihubungi ayah kamu, kalau kamu akan datang. Tapi tanpa menunggu kedatanganmu, kita sudah bertemu terlebih dulu,"

Balqis terdiam. Tanpa harus berkelana mencari alamat, ternyata dia sudah tinggal di alamat yang akan ditujunya. Dan dia juga baru tahu, yang dimaksud ayahnya tentang pergi ke alamat itu. Yaitu memasukkannya ke pesantren.

Anjay, takdir apa ini? Bisa kebetulan gini!

"Mulai sekarang kamu akan tinggal di sini sebagai seorang santri. Kebutuhan yang kamu perlukan akan Azizah bantu membelikannya," ujar Arsalan.

"Jadi ini maksudnya gue nggak bisa keluar dari sini?" tanya Balqis.

Arsalan mengangguk. "Kamu akan tinggal di sini dan tidak bisa pergi dari sini sebelum ayah kamu menjemput."

Hah?

Balqis melongo. Dia tidak percaya harus tinggal di tempat penuh peraturan ini. Mimpi yang sangat buruk untuknya.

Haaahh... What??? Cobaan apalagi ini?? Daddy nggak bercanda kan? seorang Balqis Nadira Aini jadi Santri? Nggak... Nggak mungkin. Gue nggak bisa tinggal di sini. Apalagi gue harus pake baju kayak mereka. Itu bakalan buat jantung gue nggak aman. Pokoknya gimanapun caranya gue harus bisa kabur dari sini.

Rencana Balqis

Matahari masih bersinar sore ini. Angin ikut bertiup sepoi-sepoi menggoyangkan dedaunan dan hamparan sawah yang meleok-leok.

Suasana yang tentram dan menyejukkan, membuat para santri betah berada di saung mempelajari ilmu agama.

Ketiga saung yang didirikan penuh dengan para santriwan. Mereka tengah belajar mengaji yang digurui seorang Ustadz.

Bukan hanya terdapat saung di dekat persawahan saja, bunga-bunga bermekaran memberikan keindahan, serta pohon-pohon menjulang tinggi.

Cekitt!

Setelah mobil hitam terparkir, Azizah turun bersama Balqis. Mereka baru saja pulang setelah membeli banyak kebutuhan. Tidak hanya membeli kebutuhan mandi saja, Balqis juga membeli beberapa gamis serta kerudung yang mulai sekarang akan dipakainya. Balqis beberapa kali menolak membeli gamis karena tidak menyukainya. Tapi pada akhirnya dia pasrah saat Azizah terus saja menceramahinya.

"Assalamu'alaikum?"

"Wa'alaikumussalam "

Balqis menatap ketiga perempuan yang baru dilihatnya. Kemudian memalingkan wajah karena mereka balik memperhatikannya.

"Nah... Qis, mulai sekarang mereka teman satu kobong kamu," ujar Azizah yang sudah memanggil Balqis dengan nyaman. "Dan kalian... Tolong jaga baik Balqis dan bantu dia kalau ada kesusahan,"

"Baik, Ning."

Setelah mengobrol beberapa kalimat, Balqis pun mengikuti mereka yang membawanya ke kobong santriwati. Tidak ada obrolan di antara mereka berempat selain saling diam membisu.

Tap!

Balqis menatap ke sekeliling. Dia melihat orang-orang berlalu lalang. Mereka hanya melirik tanpa menyapanya sama sekali.

"Balqis!" Panggil Melodi sambil berlari dari tangga. Dia menghampiri sambil tersenyum manis. "Kamu akan tidur di kamar mana?"

"Nih ajak saja dia ke kamar kamu, Mel. Soalnya kamar yang lain sudah pada penuh."

Melodi mengangguk. Kemudian membantu Balqis membawa barang-barangnya. "Ayo?"

Balqis pun mengikuti Melodi di belakang masih diam. Tapi matanya tidak mau diam karena memperhatikan lingkungan kobong yang sangat bersih.

Bugh!

"Kalau jalan lihat ke depan dong,"

"I-iya maaf, Teh!"

Balqis seketika memperhatikan perempuan yang bertubrukan dengan Melodi barusan. Sorot matanya sangat tajam, wajahnya sangat tidak bersahabat sama sekali.

"Siapa dia, Mel?"

"Oh... Itu tadi Teh Tuti. Dia itu wakil rois."jawab Melodi.

"Ck... Wajahnya sombong amat," cebik Balqis tidak suka.

"Bukan sombong. Tapi tegas." sahut Melodi.

Kening Balqis mengerut. Dia bukan anak kecil yang tidak bisa membedakan mana yang sombong dan mana yang tegas. Karena jelas-jelas perempuan barusan sombong.

Ceklek!

"Nah... Ini kamar aku dan akan jadi kamar kamu juga sekarang," dengan semangat Melodi menunjukkan kamar yang sudah ditempatinya 2 tahun ini.

"Kamar ini ditempati lima orang, sekarang jadi enam orang sama kamu."

Balqis meletakkan barang-barang yang dibawanya. Dia memperhatikan kamar yang dipenuhi baju menggantung di sana sini.

"Ini lemari kamu. Aku bantu rapihin ya.." Melodi dengan gesit merapihkan baju-baju Balqis. Dia terlihat sangat telaten melakukannya.

"Mel, mereka orangnya baik-baik kayak lo, ga?" tanya Balqis.

"Baik kok, mereka sangat baik. Kamu tenang aja ya." jawab Melodi.

Balqis pun menggela nafas dan mengangguk. Dia sedari tadi tidak membantu Melodi membereskan baju. Dia malah anteng memeriksa perban pada bekas luka tusukan yang baru saja diganti oleh Azizah sebelum mereka berangkat belanja.

"Assalamu'alaikum?"

"Wa'alaikumussalam"

Balqis pun buru-buru menutup bekas lukanya itu dan melirik empat orang perempuan yang baru datang. Dia yakin kalau mereka orang-orang yang sudah menempati kamar ini sebelum dirinya.

"Kamu santriwati baru itu?"

"Iya. Gue Balqis."

"Kenalin aku Siska. Dan ini namanya Amel, lalu yang itu Siti, yang satunya lagi Raras."

Balqis mengangguk. Dia akan ingat dengan baik nama mereka. Apalagi mulai sekarang mereka akan menjadi teman.

"Mel, kamu ubah jadwal di kamar kita. Masukin nama Balqis supaya ikut membantu," titah Siska.

"Baik, Teh." sahut Melodi.

Hah... Jadwal! Aiiisshhh, sial banget gue. Baru juga masuk udah disuguhin sama jadwal segala.

Setelah selesai membereskan barang-barang ke dalam lemari, Balqis menghampiri Melodi yang berkutat di mading kecil.

Dia memperhatikan tangan lentik Melodi yang tengah menulis namanya di daftar kegiatan dalam kamar.

"Ini maksudnya apa ya?" Balqis menunjuk jadwal memasak nasi. "Gue nggak bisa ngelakuin ini loh,"

"Nanti aku ajarin kalau memang kamu nggak bisa." sahut Melodi.

Balqis mendengus kesal. Dia sangat sebal karena harus turun tangan memasak nasi sendiri karena memang sebelumnya saat dirumahnya dia apa-apa tinggal makan, tinggal pakai, karena ada pembantu yang yang menyiapkan dan Chef yang memasakan makanan buatnya.

"Dan ini pasti kamu bisa melakukannya,"

Balqis menoleh. Matanya langsung membulat sempurna.

"Gue juga harus bersiin kamar? Yang bener aja,"

"Kenapa emangnya? Apa itu terlalu sulit buat kamu?" sela Amel.

"Iyalah, sulit banget malah. Di rumah gue nggak pernah ngelakuin itu. Semua dilakuin sama bibi, gue sih tau beres aja." sahut Balqis. "Pokonya gue nggak mau ngelakuin itu. Gue nggak suka dan gue nggak biasa,"

"Seberapa kaya sih orang tua kamu sampai tidak bisa mengajarkan anaknya membereskan kamar sendiri?" tanya Siti.

"Daddy gue tangan kanan CEO dan punya organisasi penting. Sedangkan Ibu gue udah masuk surga pas ngelahirin gue. Jadi wajar aja sih ya kalo anak kesayangannya nggak dibolehin bersiin kamar sendiri. Lagian Daddy gue mampu bayar orang kok." jawab Balqis mantap.

Amel dan Siti seketika bungkam. Awalnya mereka tidak percaya. Tapi dilihat dari karakter Balqis yang terlihat manja dan angkuh, sudah dipastikan bahwa memang dia anak orang kaya.

"Tenang Qis! Nanti aku bantu kamu, okeh!" Melodi mencoba menenangkannya.

"Mel, nggak ada gitu kerjaan yang lebih gampangan dikit? Semua ini sulit banget buat gue," tanya Balqis.

"Ada. Mencuci baju sendiri," jawab Melodi.

Balqis lagi-lagi mendengus kesal. "Gue juga nggak bisa nyuci. Di sini nggak ada laundry emang? Biar gue nyuci baju ke laundry aja deh. Takutnya tangan gue gatel kalo nyentuh sabun,"

"Nggak ada Qis. Mana ada laundry di pesantren,"sela Amel.

"Ya... Wajar aja sih kalo Daddy kamu memasukkan kamu ke pesantren, ternyata kamu memang tidak bisa mandiri sama sekali," timpal Siti.

"Buat apa mandiri? Selama lo banyak duit, Lo nggak perlu ngelakuin hal-hal kayak gitu. Hanya dengan uang Lo bisa memerintah orang" sahut Balqis.

Amel dan Siti lagi-lagi dibuat bungkam. Perkataan Balqis memang luar biasa sangat diluar nalar.

"Eu.... Qis, gimana kalo kita masak? Kamu nggak perlu membantu, cukup nemenin aku aja," tawar Melodi. Dia sengaja mengajak Balqis pergi karena raut wajah mereka berdua sudah memerah menahan marah.

"Ok! Gue juga mau liat gimana masakan di sini. Seenak masakan di rumah gue yang berkelas bintang lima, nggak?" balas Balqis.

Melodi mengangguk. Dia pun mengambil bahan-bahan masakan di baskom. Kemudian menarik tangan Balqis agar cepat keluar.

"Mimpi apa kita semalam? Sampai punya teman sekobong yang berbeda kelas," ujar Amel.

"Bisa-bisanya perempuan sombong seperti itu menjadi teman sekamar kita." timpal Siti.

Sementara itu, Di dapur.

Balqis terdiam memperhatikan Melodi memasak. Tidak ada sedikit pun niat untuk membantunya selain melihat.

Diaa tidak ingin berkutat dengan peralatan dapur. Apalagi sejauh ini dia tidak pernah menginjakkan kaki di area seperti itu.

"Mel, pakai bakso ya? Biar mienya enak,"

"Baik, Teh."

Balqis melirik sekilas Siska yang mengawasi Melodi memasak. Dia kira, perempuan itu akan membantunya. Ternyata dia pergi setelah mengecek masakan.

"Qis, apa makanan kesukaan kamu?"

Balqis berfikir sejenak lalu melihat hasil masakan Melodi yang terdapat tiga menu. Tempe goreng, ikan asin dan tumis mie campur bakso.

"Apa ada yang kamu sukai?"

"Nggak ada."

"Hmmm, lalu apa ada yang kamu inginkan?"

"Ada. Gue mau makan daging wagyu, bluefin tuna, strawberries arnaud and dalgona coffe. Kayaknya menu itu enak kalo dimakan sore-sore gini,"

Melodi tersenyum mendengar keinginan Balqis. Karena sudah jelas makanan yang diinginkannya tidak ada. Apalagi makanan seperti itu harganya pasti sangat mahal.

"Gimana, Mel? Apa makanan kayak gitu ada disini?"

"Nggak ada. Aku nggak punya bahan untuk membuatnya. Tapi mungkin kalau di rumah umi pasti ada."

Balqis terlihat kesal. Makanan yang disukainya kali ini tidak bisa dimakannya. Biasanya makanan lezat itu sudah tersedia di meja, dia tinggal menyantapnya sampai kenyang.

"Qis, bantu aku bawa ini semua ke atas yuk?"

"Nggak mau. Gue mau keluar dulu."

Tanpa membantu apa pun, Balqis pergi begitu saja membiarkan Melodi yang kesusahan membawa makanan ke lantai atas.

Yupz... Sikap Balqis memang seperti itu. Dia paling tidak suka menolong, membantu atau belas kasih. Dia angkuh dan tidak peduli terhadap orang-orang.

"Ck, nggak ada yang bisa dimakan ya di sini. Bisa-bisa gue kelaperan ini."

Bibir Balqis terus menggerutu. Dia sangat sebal karena tidak bisa makan enak seperti di rumahnya. Detik kemudian, mata Balqis memicing. Dia melihat Alditra tengah melajukan kursi rodanya seorang diri.

"Cih... Mau kemana om om itu... Kagetin ah!"

Balqis pun menghampiri Alditra dengan cara mengendap-endap untuk mengagetkannya.

Dooor!

Alditra hanya melirik. Dia tidak terkejut sama sekali. Dia malah acuh dan kembali memutar kursi rodanya.

"Heh, Kok lo nggak kaget sih? Cih... Sombong banget sih! Heh tunggu Om!"

Balqis menarik kursi roda Alditra agar berhenti. Kemudian berdiri di depannya.

"hey Om... Apa gue kurang lucu sampe lo nggak kaget?"

Alditra sama sekali tidak melirik. Dia membuang wajahnya ke sembarang tempat.

"Ck, emang nyebelin banget nih Om Om tua!"

Kali ini Alditra melirik karena Balqis menyebutnya Om Om. Apalagi perempuan itu kini menyilangkan kedua tangannya di dada sambil cemberut.

"Asal lo tau ya Om? Gue tuh nggak betah tinggal di sini. Kalo bisa sih tar malem gue bakalan kabur."

Alis Abqary mengeryit. Mood Balqis berubah-ubah dalam sekejap. Baru saja dia marah, tapi sekarang menjadi tukang curhat.

"Tinggal di sini emang nggak sesuai harapan gue. Masa iya sekelas pesantren disini nggak ada daging wagyu, bluefin tuna. Cih... Bayangin aja, hidup macam apa ini kalo nggak makan enak?"

"Pokonya tar malem gue harus kabur. Dan lo Om... jangan bilang sama siapa-siapa ya. Awas aja kalo rencana gue ini bocor! Cukup lo aja yang tau! Tapi kalo bisa sih bantu gue kabur ya..."

Alditra hanya diam. Dia membiarkan Balqis terus bicara.

"Al, kamu sudah minum obat?"

Balqis menoleh ke belakang saat mendengar suara. Matanya langsung membulat sempurna melihat seorang laki-laki berpakaian dokter menghampiri mereka sambil tersenyum manis.

Heol Daeebbakkk... Siapa tuh cowok?ganteng banget!?

Ya... Laki-laki itu sangat tampan dan terlihat sudah mapan juga. Apalagi gayanya yang cool memberikan karisma yang luar biasa.

"Heh Om... dia siapa?" bisik Balqis sambil berdiri mematung. Dia menatap laki-laki itu yang berjalan melewatinya.

"Kamu udah minum obat?"

Alditra mengangguk pelan. Dia juga membiarkan laki-laki itu mengusap pucuk kepalanya.

"Abang masuk dulu. Kamu jangan pergi terlalu jauh."

Balqis yang masih berdiri di tempat sangat terkejut.

Hah??? Abang? Nggak salah?

Balqis melirik kearah Alditra.

Kok kayaknya yang harusnya disebut abang dia deh... Apa gara-gara dia sakit jadi keliatan mukanya kusem jadi kayak lebih tua...

Kini dia tahu laki-laki berpakaian dokter itu adalah kakaknya Alditra.

"Om, kakak lo ganteng juga ya!"

Balqis masih menatap laki-laki itu. Matanya berbinar-binar membayangkan kemanisannya.

Ya... Bagaimana pun juga mau sedewasanya, sedinginnya Balqis tetap saja usia tidak akan berbohong... Dengan usianya yang masih 18 tahun dan masih labil, dia langsung nyerocos berbicara pada Alditra yang hanya terdiam memperhatikan balqis..

"dia udah nikah blum, Om? Kalo belum boleh dong kenalin gue sama dia.. Nggak apa-apalah umurnya jauh lebih tua juga.."

Alditra memutar mata malasnya. Karena bukan hanya Balqis yang matanya berbinar melihat sang abang, tapi santriwati lain pun sama.

Dia yang tidak suka dengan keributan kembali memutar roda kursinya lalu meninggalkan Balqis.

"Heh, tunggu! Ck.. yeilaaahh"

Lagi-lagi kursi roda Alditra ditarik Balqis. Kali ini dia tidak melirik sama sekali selain membuang wajah.

"Biasa aja sih masang wajahnya. Lagian gue juga nggak tertarik sama lo kok."

Balqis melepaskan pegangannya. Dia membiarkan Alditra kembali memutar roda kursinya.

"Maa syaa Allah, Gus Miftah!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!