Piip piip
Selimut polkadot berwarna biru menggeliat lembut. Perlahan sosok yang berada dibalik selimut menampakkan diri.
Dia mengerjapkan mata seraya mengumpulkan nyawanya yang baru kembali dari alam mimpi.
Tangan mungil meraba meja di samping ranjang, mencari keberadaan jam alarm yang mengusik tidurnya.
Gadis itu melangkah menuju kamar mandi. Dengan gesit dia menuntaskan ritual mandi untuk segera pergi ke universitas x dimana dia menempuh studi.
"Ppsstt.. Lihat siapa yang datang."
Bersamaan dengan itu munculah sang gadis yang tengah dibicarakan.
"Astaga.. aku tak bisa berhenti memandangnya."
"Kendalikan dirimu sebelum air liur itu jatuh dari ujung bibirmu yang menjijikan."
Gadis yang menjadi sorotan itu bernama Sherly, mahasiswi tahun kedua fakultas seni di universitas x. Dengan badan mungil proporsional, wajah kalem menawan, ditambah lagi matanya yang berwarna aquamarine, siapa yang bisa menolak pesona itu.
Sepak terjangnya di bidang akademik juga tak bisa di remehkan. Namun dari sekian banyak kelebihan yang dia miliki, tak sekalipun pernah terlihat dia menggandeng kekasih.
Jangankan kekasih, dia juga tak begitu dekat dengan mahasiswi lainnya. Sherly selalu terlihat sendirian dan satu lagi, tak ada yang pernah melihatnya tersenyum.
Apa yang salah dengan gadis yang nyaris sempurna itu? Tak ada yang tahu jawabannya sampai saat ini.
"M.. S-selamat pagi Sherly." sapa seorang mahasiswa saat gadis itu berjalan mendekati tempat dimana dia berdiri.
"Pagi." hanya satu kata yang terucap dari bibir mungilnya, itupun tanpa senyum. Lantas dia melewati laki-laki itu begitu saja tanpa menoleh.
"Ought! Sepertinya aku terkena serangan jantung! Setidaknya tersenyumlah padaku sedikit saja." laki-laki itu memegang dadanya, bertingkah seolah bagian itu terasa sakit karena sikap Sherly yang acuh.
"Hah.. Coba katakan itu langsung di depannya, berani?"
"I-itu.."
"Sudahlah.. Sebaiknya kau menyerah kawan. Dia tak mudah ditaklukan hanya dengan sapaan ringan seperti itu."
**
Sherly menatap datar kursi kuliah yang biasa dia duduki sesampainya di kelas. Setumpuk kado dan amplop yang sepertinya berisi surat cinta memenuhi kursinya.
"Lagi?" dia mendengus dan memasukan semuanya ke sebuah kantong plastik.
"Apa kau akan membuang semua itu Sherly?"
Sherly menoleh dan mendapati Bob, teman sekelasnya yang bertubuh tambun sudah berdiri di belakangnya.
Dialah satu-satunya teman yang bisa ngobrol santai dengan gadis itu karena sifatnya yang menyenangkan.
"Kau mau ini?"
"Jika kau tak keberatan."
Bob terlihat antusias. Tentu saja dia mengincar beberapa coklat dan kue yang ada di kantong itu. Hanya makanan yang penting baginya.
Gadis itu lantas memberikan kantong plastik itu untuk Bob yang tentu saja diterima laki-laki itu dengan riang. Sherly pun duduk di kursinya.
"Sherly, aku lihat kau tak pernah tertarik dengan semua ini. Jadi apa boleh aku mengambilnya jika ada yang memberikannya lagi untukmu?"
"Ambil semuanya Bob." ucapnya seraya membalik buku yang dibacanya.
"Yuhuu.. Kau sangat baik. Terima kasih! Lalu ini?" Bob mengambil satu dari belasan surat cinta untuk Sherly.
"Untukmu juga."
Bob mengernyitkan dahi. Dia berpikir mungkin dia bisa berkreasi dengan kertas-kertas itu, entah dijadikan lukisan abstrak atau kliping. Iseng dia membaca surat itu dan tertulis nama Marco di sana.
"Lihatlah, ini dari Marco!" ucap Bob antusias. Dia menunjukan surat itu persis di depan wajah Sherly.
"Lalu?"
"Sudah kuduga reaksi mu akan sedatar itu. Harusnya kau senang mendapat surat cinta dari anak pemilik kampus kita ini."
Sherly tidak menanggapi celoteh Bob. Dia lebih tertarik membaca buku yang dipegangnya. Bob pun menyerah, dia kembali ke tempat duduknya dengan membawa pemberian Sherly.
Kejadian itu ternyata menarik perhatian beberapa gadis di kelasnya. Segera saja ada topik gosip terbaru.
"Lihatlah betapa sombongnya dia." bisik salah satu dari mereka.
"Benar! Apa dia merasa gadis paling cantik di sini? Lagipula apa yang Marco lihat darinya?"
"Aku setuju. Laki-laki seperti Marco tak perlu mengemis cinta dari gadis seperti dia."
"Sepertinya dia memakai cara tertentu untuk menarik perhatian Marco di balik sikapnya yang dingin."
"Hei pelankan suara kalian!"
"Bodoh." Sherly tersenyum sinis dari balik buku. Dia bisa mendengar gosip konyol itu dengan jelas.
Setiap hari selalu ada gosip baru tentang Sherly. Gosip yang dibuat para gadis yang iri terhadapnya. Itulah salah satu penyebab dia tak memiliki teman.
"Teman-teman!"
Masuklah seorang gadis salah satu teman penggosip itu. Dari raut wajahnya, sepertinya ada hal luar biasa yang baru saja dia alami.
"Ada apa?"
"Kalian tahu siapa mahasiswa yang baru saja kulihat?"
"Siapa? Marco?"
"Bukan! Seseorang yang lebih spesial dari Marco."
Para mahasiswi itu berpikir keras. Mereka tidak bisa menebak siapa yang dimaksud temannya itu.
"Nathan! Aku melihat Nathan!"
"Hah?! Dia sudah kembali?!"
"Dimana?!"
"Di lorong menuju ruang rektor!"
Tak ayal semua penggosip itu bergegas keluar menuju ruang rektor untuk melihat laki-laki yang bernama Nathan. Namun sayang sekali langkah mereka harus terhenti saat dosen galak menghalau mereka di pintu kelas.
"Kelihatannya kalian buru-buru. Apa ada hal yang lebih menarik daripada mata kuliahku?"
Tanpa menjawab sepatah katapun mereka kembali ke kursi masing-masing. Untung saja akal sehat mereka masih berfungsi atau nilai mereka langsung tercetak 'D' jika nekat bolos mata kuliah itu.
"Tenanglah, kita bisa menemuinya di kantin saat makan siang."
"Aku sudah tak sabar."
Sherly hanya mendengarkan dari tempat duduknya.
(Memangnya siapa Nathan sampai mereka se-ribut itu?)
**
"Kau baru saja kembali?"
"Benar pak."
"Bagaimana Jepang? Musim apa di sana saat ini?"
"Musim semi."
"Aku harap aku bisa mengunjungi tempat itu suatu hari nanti. Apakah bisnismu berjalan lancar?"
"Tentu saja. Semuanya berjalan sesuai yang di harapkan. Terima kasih karena mengijinkan ku mengambil cuti."
"Kau adalah putra dari sahabatku. Lagipula kau tak pernah membuat masalah selama kuliah, karena itu aku mengabulkan pengajuan cuti mu. Tapi aku minta penuhi target akademik mu selama kau pergi ke Jepang."
"Tentu saja. Aku permisi."
Pemuda itu pamit meninggalkan ruang rektor. Dia langsung menjadi pusat perhatian segera setelah keluar dari sana.
Bertubuh tinggi, tampan, dan pengusaha muda yang mapan. Dialah Nathan, mahasiswa tahun ketiga di fakultas teknik. Banyak yang mempertanyakan kenapa dia tidak mengambil jurusan bisnis dan lebih memilih teknik, tepatnya teknik mesin.
Hanya satu jawabannya, karena suka. Tidak ada alasan khusus dia memilih teknik mesin. Lagipula dia sudah handal di dunia bisnis.
"Nathan?! Astaga.. Akhirnya kau kembali!"
Seorang mahasiswa menghambur memeluk Nathan.
"Haha.. Robin kau tidak berubah, masih tetap seperti bocah."
"Siapa yang kau sebut bocah?" sebuah tinju dilayangkan Robin ke bahu Nathan. Hal itu justru membuat laki-laki itu tertawa.
"Cih! Apalah arti tinjuku bagi seorang pemegang sabuk hitam taekwondo."
"Berhenti mengeluh dan ayo ke kantin, sudah waktunya makan siang. Aku merindukan sandwich buatan Bibi Tessa." ucap Nathan seraya melihat arlojinya. Mereka berdua lalu berjalan menuju kantin.
Para mahasiswa dan mahasiswi terhipnotis dengan kedatangan kedua sahabat itu di kantin. Tak bisa di pungkiri, pesona Nathan terlalu kuat untuk diabaikan begitu saja.
Sebastian, salah satu yang mengagumi talenta Nathan pun menyusul ke kantin setelah tahu dia ada di sana.
Brakk!
Suara bising di depan pintu membuat pengunjung kantin menoleh tak terkecuali Nathan. Tampak baju Sebastian kotor karena tak sengaja menabrak mahasiswa lain yang sedang membawa makanan.
"Hei! Kau taruh dimana matamu?! Lihat baju mahal ku kotor!"
"T-tapi kau yang menabrak ku."
"Berani sekali kau menyalahkan ku!"
Sebastian yang memang di kenal temperamen mengacungkan tinjunya tinggi. Tingkahnya yang seperti berandalan membuat dia cukup di takuti di universitas x.
"Menyingkir lah, kau menghalangi pintu."
Suara itu sukses menghentikan tinju yang kurang beberapa inchi saja dari laki-laki malang yang ketakutan di sana. Tampak Sherly berdiri memandang Sebastian dengan wajah datar.
"S-Sherly.."
Sherly memalingkan wajahnya ke laki-laki yang kerah bajunya tengah di cengkeram Sebastian, dan itu adalah Bob.
"Hai Bob. Kenapa kau masih di sini? Ayo, tunjukkan spaghetti yang kau bilang lezat itu."
Sherly langsung menarik tangan Bob dari cengkeraman Sebastian. Hal itu semakin membuatnya marah. Apalagi Nathan sedang melihat ke arahnya. Dia tidak mau reputasinya jelek hanya karena seorang gadis kecil.
"Berani sekali kau ikut campur urusanku!" teriaknya lantang.
Di sisi lain Nathan memperhatikan kejadian itu dengan serius. Gadis itu telah menarik perhatiannya.
"Namanya Sherly." bisik Robin.
"Sherly? Aku tak pernah melihat dia sebelumnya."
"Tentu saja, dia masuk saat kau sibuk dengan bisnismu."
"Apa dia bodoh? Apa dia tak tahu siapa Sebastian?"
"Entahlah, aku tak tahu banyak tentang dia. Yang aku tahu, dia sangat cantik namun susah di dekati. Sayang sekali jika wajah secantik itu terluka karena ulah Sebastian."
"Ini berbahaya Rob, dia bisa masuk rumah sakit jika Sebastian menggila."
"Hem.. Tidak biasanya kau menghawatirkan orang lain, apa lagi seorang gadis. Kau tertarik padanya?"
Kembali ke Sebastian, Bob, dan Sherly. Sebastian memandang Sherly dengan tatapan garang. Namun otak kotornya mengambil alih setelah melihat wajah cantik Sherly.
"Kau ternyata sangat cantik. Daripada bersama si gendut itu, lebih baik kau kencan denganku." dia membelai pipi Sherly tanpa permisi.
"Jauhkan tangan kotor mu dariku."
Sebastian tertawa mengejek. Dia semakin berani menurunkan tangannya menuju pinggang Sherly.
"Atau apa?"
Tanpa peringatan Sherly menarik lengan Sebastian. Dengan tubuh yang 2x lebih kecil, dia membanting Sebastian ke lantai dengan mudahnya.
Hal itu tak hanya membuat Sebastian kaget, namun semua pengunjung kantin pun melongo di buatnya tak terkecuali Nathan.
Sherly memandang Sebastian yang terbelalak kaget.
"Ayo Bob, aku sudah lapar."
Sherly berjalan mendekati kedai spaghetti. Kebetulan kedai itu tepat di sebelah meja Nathan dan Robin.
Nathan terpaku saat Sherly melewati meja tempatnya dan Robin berada. Wajah cantiknya terlihat jelas dari jarak sedekat itu dan dia kehabisan kata-kata saat menatapnya.
"Berhenti menatapku seperti itu Bob."
"Wow Sherly, aku tidak tahu kau bisa bela diri." puji Bob. Dia tak menyangka gadis mungil yang berada di sampingnya itu mengalahkan Sebastian dengan sangat mudah.
Sherly tak menjawab dan bersikap dingin seperti biasa.
"Ngomong-ngomong aku tidak ingat pernah mengatakan padamu soal spaghetti." sambung Bob.
"Kau lebih suka dipukuli?"
"Tentu tidak!"
Sherly melirik Bob sesaat. Sungguh laki-laki tambun itu bisa membuat Sherly bicara lebih dari tiga kata.
Sherly membalikkan tubuhnya bermaksud melihat keberadaan Sebastian dan ternyata pria itu sudah pergi. Namun perhatiannya tertuju pada sesosok pria yang terus menatapnya dengan pandangan takjub.
Mata Sherly dan Nathan bertemu. Untuk beberapa saat mereka saling memandang. Beberapa detik kemudian Sherly memutuskan membawa makan siangnya ke luar area kantin. Dia kurang nyaman berada di tengah keramaian seperti itu.
Nathan hanya bisa menatap kepergian gadis itu.
"Cantik, sangat cantik."
"Memang dan sepertinya dia tak tertarik padamu." goda Robin.
Itulah yang membuat Nathan semakin tertarik padanya, semakin ingin tahu lebih banyak tentang siapa gadis itu.
**
"Sial!" Sebastian langsung meluapkan emosi setibanya di ruang latihan tinju. Dia tak habis pikir bisa dikalahkan begitu mudah oleh seorang gadis.
"Tenang kawan. Kenapa kau sangat marah? Katakan pada kami siapa orang yang membuatmu kesal." tanya temannya.
Tulang pipi Sebastian mengeras menahan amarah. Dia tidak mungkin mengatakan bahwa seorang gadis telah membanting tubuhnya ke lantai. Reputasi yang dibangunnya susah payah selama ini akan hancur jika dia mengatakannya.
"Bukan urusanmu!" dia melampiaskan kekesalannya dengan memukul samsak tinju di depannya berkali-kali.
"Teman-teman, lihatlah si cantik itu. Astaga dia benar-benar mempesona."
Sebastian dan semua yang ada di ruang itu menoleh. Terlihat Sherly berjalan santai sendirian sambil membawa makanan melewati ruang latihan.
"Kau mau kemana cantik?" seorang dari mereka tiba-tiba menghadang perjalanan Sherly. Dia bersikap sok akrab dengan gadis itu padahal kenal saja tidak. Bahasa tubuhnya membuat Sherly terpaksa masuk ke ruang latihan.
Sebastian diam terpaku. Dia memalingkan wajah saat melihat kedatangan Sherly. Ingatannya kembali ke beberapa menit yang lalu.
"Kau Sherly kan?"
Gadis itu hanya diam, dia malas menanggapi hal tidak penting itu.
"Jawab saat aku bertanya sayang." laki-laki itu beringsut maju mendekati Sherly. Jemarinya mulai membelai rambut panjang Sherly.
"Jaga sikapmu." Sherly langsung menepis tangan laki-laki tak sopan itu.
Sebastian yang hanya memperhatikan mendapat firasat bahwa kejadian yang dia alami akan terulang lagi pada temannya. Ekspresi Sherly sama persis seperti yang dia tunjukkan tadi saat di kantin.
Belum selesai Sebastian berangan-angan, temannya sudah terjengkang di lantai dengan Sherly menindih tubuhnya. Kedua tangan laki-laki itu di tarik ke belakang sampai dia meronta memohon agar dilepaskan.
Herannya, tak ada yang mau membantu laki-laki itu. Sorot mata Sherly sudah cukup membuat mereka semua terdiam tak berkutik.
"Lanjutkan jika kau ingin kedua tanganmu patah." ucap Sherly datar.
Tiba-tiba tubuh mungilnya terangkat di udara. Seseorang dengan mudah menarik Sherly dan memeluknya erat.
"Bukan hanya patah, kau bisa membunuhnya." bisik sosok itu.
Sherly melihat seorang pria tegap di sana. Lengannya yang tertutup baju lantas menunjukkan otot-otot terlatih saat dia mendekap Sherly dari belakang.
Nathan menikmati aroma parfum gadis itu. Entah karena parfum atau memang gadis itu yang telah membuatnya mabuk kepayang. Dia juga bisa merasakan betapa kecil tubuh Sherly.
Gadis cantik itu sedikit tersentak. Namun dia segera mengendalikan dirinya lagi untuk menghadapi situasi tak terduga ini.
(Siapa pria ini? Kenapa dengan mudahnya dia menghentikan pergerakan ku?)
Nathan beralih memandang pria yang meringis kesakitan di lantai.
"Tingkah mu lebih mirip pengecut tak bermoral daripada seorang mahasiswa. Memalukan."
Sebastian yang dari tadi diam kini angkat bicara.
"Nathan kenapa kau lebih membela gadis barbar itu daripada temanmu sendiri?"
"Teman? Maaf saja, pria mesum seperti dia tidak pantas untuk disebut teman. Termasuk dirimu."
Betapa terkejutnya Sebastian mendengar ucapan Nathan. Pencitraan yang selama ini dibangun untuk mendapat perhatian Nathan telah hancur. Dia pun pergi dengan segudang dendam untuk Sherly.
(Tunggu pembalasanku!)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!