NovelToon NovelToon

Aku Istri Gus Zidan

1. Terjebak di kamar hotel

Aza duduk gelisah di dalam mobil, kedua tangannya mengepal erat di pangkuannya. Wajahnya tegang, pikirannya berputar-putar dengan seribu satu cara untuk bisa lolos dari rencana ini. Orang tuanya memutuskan secara sepihak mengirimnya ke pesantren, dengan alasan yang menurut Aza tidak masuk akal. Ia ingin kebebasan, bukan dikekang oleh aturan-aturan yang menurutnya terlalu membatasi.

Di sampingnya, pamannya sibuk dengan setir, tanpa menyadari gejolak yang menghantui gadis di sebelahnya. Tiba-tiba, sebuah ide muncul di benak Aza, nyaris instingtif. Ia meremas perutnya dan mengerang pelan.

"Om, perut Aza sakit sekali," ucapnya dengan suara lemah, wajahnya berpura-pura kesakitan. "Kita berhenti di hotel saja untuk istirahat sebentar? Mungkin Aza bisa pulih setelah tidur sebentar."

Pamannya menatap Aza, ragu sejenak, namun melihat wajah Aza yang tampak pucat, ia pun setuju. "Baiklah, kita cari tempat untuk menginap malam ini biar paman beritahu ayahmu. Besok pagi, kita lanjutkan perjalanan ke pesantren."

Aza menahan senyumnya. Setelah beberapa menit, mereka menemukan sebuah hotel kecil di pinggir jalan. Saat malam semakin larut dan pamannya telah tertidur lelap, Aza melihat kesempatannya. Dengan langkah hati-hati, ia menyelinap keluar dari kamar, berusaha secepat mungkin kabur dari hotel itu.

Namun, ketika Aza melewati lorong, suara langkah kaki terdengar di belakangnya. Panik, ia mempercepat langkahnya, mencari jalan keluar. Langkah kaki itu semakin dekat dan suara pamannya yang tengah memanggil namanya.

Tanpa berpikir panjang, Aza membuka pintu kamar yang tidak terkunci dan menyelinap masuk, menutup pintu dengan cepat di belakangnya.

Ia menghela napas lega sejenak, namun tiba-tiba tubuhnya menegang. Di depannya, seorang pria berdiri dengan rambut basah, hanya mengenakan handuk mandi. Matanya membelalak saat melihat Aza yang tampak terkejut di ambang pintu.

"Siapa kamu?" tanyanya, suaranya rendah dan penuh kecurigaan. Aza terpaku, jantungnya berdebar kencang. Ia baru saja memasuki situasi yang jauh lebih berbahaya dari yang ia bayangkan.Aza menelan ludah, panik mulai menjalari tubuhnya saat tatapan pria di hadapannya semakin tajam. Ia melangkah mundur, tapi tidak ada lagi tempat untuk bersembunyi. Dengan suara tercekat, ia mencoba memohon.

"Tolong… biarkan aku di sini sebentar saja. Ada orang yang tengah mengejar ku," katanya, suaranya lirih tapi mendesak.

Pria itu mengernyitkan alisnya, jelas tidak puas dengan alasan Aza. "Ini bukan urusan saya. Kamu tidak bisa sembarangan masuk ke kamar orang lain. Keluar sekarang sebelum kamu buat masalah yang lebih besar."

Aza menggeleng, menolak untuk pergi. "Aku mohon… aku tidak bisa keluar sekarang. Jika aku keluar, mereka akan menemukanku," katanya dengan putus asa, suara gemetar.

Pria tampan itu menghela napas panjang, jelas sudah kehilangan kesabaran. Ia hendak berbicara lagi ketika tiba-tiba pintu kamar terbuka dengan keras. Seorang pria lain masuk, raut wajahnya seketika terperangah saat melihat pemandangan di depannya—atasannya hanya mengenakan handuk, sementara seorang wanita asing berdiri ketakutan di dalam kamar.

"Gus Zidan… siapa dia?" tanya pria itu dengan suara serak, matanya masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Sang pria menatap asisten pribadinya dengan tatapan tegas, lalu kembali menoleh ke Aza yang masih berdiri membeku. "Dia akan segera keluar," jawabnya dingin.

Aza menyadari bahwa situasinya semakin genting. Asisten itu memandangnya seolah dia sedang berada di tempat yang salah—dan memang begitu. Terjepit antara keinginan untuk kabur dan realitas yang makin sulit, Aza merasa semua rencananya hampir runtuh.

"Aku mohon," Aza berbisik lagi, suaranya mulai pecah, "hanya sebentar lagi."Belum hilang keterkejutan di wajah asisten itu, tiba-tiba segerombolan orang berdiri di belakangnya—para wartawan dengan kamera siap di tangan. Sang asisten tampak panik, menyadari situasi yang semakin kacau. Dia semula datang untuk memberi peringatan bahwa para wartawan mencari Gus Zidan, tetapi malah menemukan pemandangan yang memicu lebih banyak pertanyaan.

"Ada wartawan di luar! Mereka mencarimu, Gus!" ucap asisten itu dengan tergesa-gesa, hanya bibirnya yang bergerak tanpa mengeluarkan suara.

Namun, sebelum ia bisa menjelaskan lebih lanjut, para wartawan yang melihat pintu kamar terbuka langsung bereaksi. Mereka menembakkan kamera mereka tanpa henti, mengambil gambar pria yang masih mengenakan handuk mandi dan Aza, seorang wanita misterius yang tampak terjebak dalam situasi aneh di kamarnya.

Kilatan lampu kamera memenuhi ruangan, menambah ketegangan. Aza, yang merasa terancam, panik. Tanpa pikir panjang, ia berlari ke arah pria itu dan bersembunyi di belakang punggung bidangnya, seolah mencari perlindungan dari sorotan yang memburunya.

Pria itu menegang sesaat, menatap Aza yang gemetaran di belakangnya. Ia segera sadar situasi sudah semakin di luar kendali. "Keluar dari sini!" bentaknya kepada wartawan, sementara asisten pribadinya mencoba menahan gerombolan itu.

"Siapa wanita ini, gus? Apa hubungan kalian? Apa benar beritanya jika Gus Zidan sudah menikah?" salah satu wartawan berteriak, sambil terus mengambil foto.

Pria itu menggeram, merasa privasinya dilanggar. Suasana di dalam kamar terasa mencekam—Aza masih bersembunyi di belakangnya, napasnya berat dan tak teratur.

Aza, merasa semakin terpojok, hanya bisa menggeleng lemah, masih gemetar di balik perlindungannya. Masalah yang ia coba hindari kini berubah menjadi mimpi buruk yang jauh lebih besar.

Aza terkejut, tidak mengerti situasi yang terjadi, dan hampir tidak bisa bernapas karena ketegangan. Dari balik punggung pria itu, ia mendengar asisten bernama Wahyu dengan tenang dan cepat berkata, "Wanita ini adalah istri Gus Zidan yang baru dinikahi tadi sore."

Gus Zidan, pria yang berdiri di hadapan Aza, tampak terpaku di tempatnya. Matanya melebar tak percaya dengan apa yang baru saja diucapkan oleh asistennya. "Apa?" bisiknya keras, suaranya hampir tidak terdengar di atas keramaian wartawan yang masih berusaha mencari tahu lebih banyak di luar pintu.

Aza pun sama terkejutnya, tubuhnya membeku. "Istri?" gumamnya, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Kepalanya penuh kebingungan, matanya menatap Gus Zidan dari belakangnya, berharap ini semua hanyalah kesalahpahaman yang segera berakhir.

Wahyu, meskipun gugup, mencoba menjaga agar situasi tetap terkendali.

Gus Zidan menatap Wahyu tajam, masih terkejut oleh keberanian asistennya untuk menciptakan cerita seperti itu tanpa persetujuannya. Namun, ia juga menyadari bahwa tidak ada pilihan lain. Wartawan di luar sudah mulai membangun narasi mereka sendiri, dan setiap detik yang berlalu hanya memperburuk situasi.

Aza, yang masih berlindung di balik punggung Gus Zidan, merasakan napasnya semakin cepat. Ia tidak tahu apakah harus bersyukur atau lebih panik dengan alibi yang baru diciptakan Wahyu. Ini bukan rencana kaburnya—ini adalah mimpi buruk baru yang tidak pernah ia bayangkan.

"Aku harus bagaimana?" Aza berbisik lirih, lebih kepada dirinya sendiri daripada siapa pun di ruangan itu.

Gus Zidan tidak menjawab, tatapannya tetap pada pintu yang masih dijaga oleh Wahyu. Di luar, para wartawan masih ribut, tetapi alibi yang diciptakan Wahyu mulai menenangkan mereka. Namun, masalah baru telah tercipta—sebuah cerita yang sama sekali tidak diharapkan oleh Aza maupun Gus Zidan.

Hingga suara mulai hening, Gus Zidan kembali menatap asistennya itu, "Beraninya kamu bicara seperti itu!?" ucapnya dengan suara dingin.

"Saya pikir ini cara terbaik untuk menjelaskan situasi kepada wartawan. Mereka akan berpikir ini hanya urusan pribadi keluarga, dan mereka akan berhenti mengejar cerita."

Kemudian Gus Zidan beralih menatap Aza yang perlahan keluar dari persembunyiannya, "Apa sebenarnya yang kau lakukan di sini?" ia berbisik dengan nada penuh amarah, sementara kilatan kamera masih terdengar dari balik pintu yang tertutup rapat.

Bersambung

Happy reading

2. Semakin terjebak

Kemudian Gus Zidan beralih menatap Aza yang perlahan keluar dari persembunyiannya, "Apa sebenarnya yang kau lakukan di sini?" ia berbisik dengan nada penuh amarah, sementara kilatan kamera masih terdengar dari balik pintu yang tertutup rapat.

"Aku kan sudah bilang dari tadi." ucap Aza tanpa rasa bersalah.

Setelah semua wartawan berhasil diusir oleh Wahyu, Aza menghela napas lega, perasaannya sedikit lebih tenang. Masih dengan hati-hati, ia melangkah ke depan, mencoba menghindari tatapan tajam Gus Zidan. Aza merasa sudah cukup masalah untuk satu malam.

"Terima kasih atas bantuanmu," ucap Aza pelan, masih dengan nada penuh rasa syukur meski situasinya terasa begitu canggung. Ia menundukkan kepala sejenak dan berbalik untuk pergi. Namun, baru saja ia melangkah menuju pintu, Wahyu dengan cepat memblokir jalannya, wajahnya tampak serius.

"Maaf, Nona, tapi Anda tidak bisa pergi sekarang," kata Wahyu tegas, tangannya terangkat seolah untuk menghentikannya.

Aza menatap Wahyu, bingung dan frustrasi. "Kenapa? Saya sudah berterima kasih kan? saya tidak ingin menimbulkan lebih banyak masalah. Saya hanya ingin keluar dari sini."

Wahyu menggeleng. "Tidak sesederhana itu. Wartawan di luar mungkin sudah pergi, tapi masalah yang lebih besar pasti akan muncul. Mereka sudah melihat Anda di sini bersama Gus Zidan. Jika Anda pergi begitu saja, spekulasi akan semakin liar. Mereka akan menganggap ada sesuatu yang disembunyikan dan akan sangat merugikan Gus Zidan begitu juga dengan anda."

Aza terdiam, memikirkan kata-kata Wahyu. Perasaannya yang sebelumnya lega mulai kembali tegang. Ia bisa membayangkan judul-judul berita esok hari jika ia keluar dari hotel ini sendirian setelah kehebohan tadi. Apalagi dengan klarifikasi yang dibuat pria yang bernama Wahyu tentang dirinya sebagai "istri" Gus Zidan. Segalanya akan jadi lebih buruk.

Gus Zidan akhirnya berbicara, nadanya lebih tenang namun penuh ketegasan. "Wahyu benar. Jika kamu pergi sekarang, gosip itu akan meledak, dan kami tidak akan bisa mengendalikannya. Kamu harus tinggal sementara sampai situasi tenang."

Aza membelalak. "Tinggal di sini? Tapi… ini tidak masuk akal. Saya hanya gadis biasa yang baru lulus SMA, memang siapa yang akan membuat gosip bodoh itu!?"

Wahyu tersenyum miring, "Mungkin anda gadis biasa, lalu bagaiman dengan Gus Zidan, ia seorang...," belum sampai menyelesaikan ucapanya Gus Zidan segera memberi isyarat pada wahyu agar tidak melanjutkan ucapannya.

"Kalian benar-benar misterius, tapi apapun itu aku tidak bisa terjebak dalam masalah ini lebih lama lagi." ucap Aza yang kembali panik.

Wahyu menatapnya serius. "Percayalah, ini bukan hanya masalah Anda. Jika Anda pergi, situasi ini bisa menghancurkan reputasi Gus Zidan dan juga Anda. Anda harus menunggu sampai kami bisa mengurus semuanya dengan aman."

Aza merasa terjebak dalam situasi yang semakin rumit. Ia ingin kabur dari masalah awalnya, tetapi kini malah terjebak dalam masalah yang lebih besar. Mata Gus Zidan masih mengamati, dan Aza tahu dia tidak akan mengizinkannya pergi begitu saja.

Dengan berat hati, Aza menghela napas panjang. "Jadi… apa yang harus saya lakukan sekarang?" tanyanya, setengah putus asa.

Gus Zidan dan Wahyu saling bertukar pandang. Mereka tahu ini bukan pilihan yang mudah, tapi situasi ini menuntut tindakan hati-hati.

Gus Zidan menghela napas panjang, merasa situasi ini semakin tidak masuk akal. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia berbalik dan berjalan menuju lemari di sudut kamar, mengabaikan perdebatan antara Aza dan Wahyu yang semakin memanas. Dia tahu, mengenakan handuk mandi sambil berdiskusi dengan wanita asing yang jelas bukan mahramnya adalah hal yang tak mungkin ia lakukan lebih lama.

"Biarkan aku ganti baju dulu," katanya dengan suara rendah namun tegas, meski lebih ditujukan untuk dirinya sendiri.

Aza menatapnya sekilas, merasa semakin canggung dengan keadaan ini. Ia menyadari betapa aneh dan tidak nyaman posisi mereka saat ini, terutama bagi Gus Zidan yang harus berurusan dengan seseorang yang baru saja masuk ke kamarnya tanpa izin. Sementara itu, Wahyu masih berdiri di ambang pintu, menjaga agar Aza tidak keluar.

Gus Zidan dengan cepat membuka lemari, mengambil pakaian, dan masuk ke kamar mandi untuk mengganti bajunya. Suara air keran yang menyala terdengar samar-samar di balik pintu. Di dalam kamar mandi, Gus Zidan merasa perlu menenangkan pikirannya. Ini semua terjadi begitu cepat—dari wartawan yang menyerbu hingga klaim Wahyu bahwa Aza adalah istrinya. Sesuatu yang jelas-jelas tidak pernah ia bayangkan.

Di luar, Aza berdiri canggung, memeluk dirinya sendiri. Perasaannya berkecamuk, ia merasa ingin pergi, tapi tahu bahwa Wahyu mungkin benar—masalah ini bisa jadi lebih besar jika ia bertindak sembarangan. Namun, tinggal di sini lebih lama bersama Gus Zidan juga bukanlah sesuatu yang nyaman baginya.

"Kenapa aku bisa terjebak dalam situasi seperti ini?" pikirnya, sambil menatap pintu kamar mandi yang tertutup rapat.

Wahyu, yang diam-diam memperhatikan Aza, tahu bahwa masalah ini harus diatasi dengan hati-hati. “Nona, kita harus menyelesaikan ini dengan baik. Saya yakin Gus Zidan tidak ingin masalah ini berkembang lebih jauh, dan begitu juga dengan Anda. Kita tunggu saja sampai dia selesai ganti baju, baru kita bicarakan solusinya."

Aza hanya bisa mengangguk pelan, berharap ada jalan keluar dari kekacauan ini.

Baru saja Gus Zidan selesai mengganti bajunya dan melangkah keluar dari kamar mandi, ponsel Wahyu tiba-tiba berdering. Wahyu memandang layar ponselnya sejenak, wajahnya berubah tegang saat melihat nama yang tertera.

"Ini dari Abah Yai," katanya dengan suara rendah, sambil melirik Gus Zidan.

Gus Zidan mengangguk perlahan. "Angkat. Aku ingin tahu apa yang akan Abah Yai katakan."

Wahyu segera mengangkat telepon, suaranya hormat ketika berbicara, "Assalamualaikum, Abah Yai."

Suara di ujung telepon terdengar dalam dan serius, meski Aza tak bisa mendengar dengan jelas apa yang dibicarakan. Namun dari ekspresi wajah Wahyu yang semakin cemas, ia tahu bahwa masalah ini jauh lebih besar dari yang ia bayangkan. Setelah beberapa saat, Wahyu memandang Gus Zidan dengan sorot mata serius.

"Berita tentang kejadian tadi sudah menyebar, Gus. Abah Yai sudah mengetahuinya. Beliau meminta pertanggungjawaban dan menuntut kita untuk tidak bergerak dari sini. Beliau akan datang segera untuk menyelesaikan masalah ini."

Gus Zidan terdiam sejenak, meresapi kata-kata itu. Hatinya mulai dipenuhi perasaan berat. Abah Yai, kakeknya, adalah sosok yang dihormati, baik dalam keluarga besar maupun di kalangan pesantren. Jika Abah Yai sudah turun tangan, itu berarti masalah ini sudah dianggap serius.

Aza yang mendengar itu, langsung merasa tubuhnya melemas. Ia semakin terjebak dalam situasi yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

"Siapa yang mau datang? Apa aku juga harus ikut menunggu?" tanya Aza yang sudah tidak nyaman berada di dekat Gus Zidan dan Wahyu, rasanya ingin segera kabur saja.

"Abah Yai... kakek saya." ucap Gus Zidan singkat bahkan tanpa menatap Aza.

"Memang apa hubungannya denganku kalau dia akan datang ke sini?" tanyanya berlagak cuek sembari membetulkan penutup jaketnya agar menutupi kepalanya yang memang tidak memakai jilbab. Meskipun ustad Zaki begitu religius tapi ia tidak pernah memaksakan putrinya untuk memakai jilbab, ia yakin suatu saat putrinya itu akan terbuka sendiri hatinya untuk memakai jilbab.

Gus Zidan mengangguk perlahan, tatapannya masih serius. "Karena kamu sudah berurusan dengan saya. Jadi jangan harap bisa kabur sampai Abah yai datang."

Aza hampir tidak bisa percaya dengan apa yang terjadi. Rencana kaburnya telah berubah menjadi bencana yang lebih besar. Dan kini, ia harus menunggu kedatangan seorang ulama besar yang akan menuntut penjelasan atas semua ini.

Di luar kamar, suasana kembali sunyi, tapi ketegangan di dalam semakin memuncak. Gus Zidan merasakan tekanan yang luar biasa, tapi ia tahu tak ada jalan lain selain menghadapi masalah ini dengan tegar. Abah Yai tidak akan menerima alasan apapun selain kebenaran, dan Gus Zidan harus bersiap untuk memberikan jawaban yang jelas—entah untuk dirinya sendiri atau untuk gadis yang kini terjebak dalam kehidupannya.

Bersambung

Happy reading

3. Sidang dengan Abah yai

Aza memandang Gus Zidan dan Wahyu dengan penuh kecemasan. Perasaan terjebak semakin menghimpit dirinya, dan yang ada di pikirannya hanyalah pamannya, Amir, yang pasti sedang panik mencarinya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi paman Amir jika tahu dia terjebak dalam situasi ini.

"Please... lepaskan aku. Paman ku pasti sedang mencariku. Dia akan panik kalau aku tidak kembali," Aza memohon, ia sengaja menggunakan pamannya agar bisa kabur dari dua pria asing di depannya itu.

Gus Zidan menatapnya, ekspresinya tidak menunjukkan amarah atau simpati, hanya ketenangan yang dingin. Ia tahu bahwa gadis di depannya berada dalam situasi yang sulit, tetapi melepaskannya sekarang hanya akan memperburuk keadaan, terutama dengan perintah dari Abah Yai. Namun, melihat kegelisahan Aza, ia tahu ada satu hal yang bisa ia lakukan.

"Wahyu," katanya pelan, memanggil asistennya, "serahkan ponselmu pada gadis itu. Biarkan dia menghubungi pamannya."

Wahyu menatap Gus Zidan sejenak, agak ragu, tetapi kemudian menyerahkan ponselnya kepada Aza. "Hubungi dia," ucap Wahyu singkat, mencoba menawarkan sedikit kenyamanan dalam situasi yang serba salah ini.

Aza mengambil ponsel itu dengan ragu, bukan itu yang ia inginkan. "Aku bisa pergi saja menemuinya, dia di hotel ini juga." ucap Aza beralasan.

"Telpon atau tidak sama sekali." ucap Gus Zidan dingin membuat Aza semakin terjebak. Pikirannya berkecamuk—apa yang harus ia katakan pada Paman Amir? Bagaimana ia bisa menjelaskan semuanya tanpa memperburuk keadaan? Namun, ia tahu ia tidak punya pilihan lain. Aza pun mengetik nomor pamannya dan menunggu dengan ragu.

Panggilan itu tersambung, dan suara Paman Amir terdengar di ujung sana, penuh kekhawatiran. "Aza? Kamu di mana? Kenapa belum kembali? Ini nomor siapa?"

Aza menelan ludah, mencoba meredam kegugupannya. "Paman... aku... aku baik-baik saja. Maaf, aku tidak bisa kembali sekarang. Ada masalah yang terjadi."

"Apa? Masalah apa?" Suara Paman Amir terdengar semakin cemas.

Aza mengambil napas panjang, mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan. Aza pun mulai menjelaskan semuanya pada paman Amir tanpa terkecuali.

Di seberang telepon, terdengar keheningan yang mencekam, dan Aza bisa merasakan betapa terkejutnya Paman Amir. " Aza, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kamu bisa ada di sana?"

Aza menggigit bibirnya, bingung bagaimana menjelaskan semuanya tanpa membuat situasi semakin buruk. "Aku akan jelaskan nanti, Paman. Tapi sekarang, aku hanya ingin Paman datang ke sini."

Paman Amir terdengar menarik napas panjang, jelas ia masih merasa khawatir. "Baik, jangan kemana-mana sampai paman datang."

Aza mengangguk meski tahu Paman Amir tak bisa melihatnya. "Terima kasih, Paman."

Setelah panggilan itu berakhir, Aza menyerahkan ponsel kembali pada Wahyu. Ia menatap Gus Zidan yang kini menunggu dengan sabar.

"Terimakasih, pamanku akan segera ke sini dan membawaku pergi dari sini." ucap Aza, suaranya masih sedikit gemetar.

Gus Zidan hanya tersenyum hambar. "Terserah. Sekarang kita tunggu Abah Yai. Sampai saat itu, saya yakin kamu tidak bisa ke mana-mana."

Hanya butuh waktu lima menit, pintu kamar hotel itu diketuk dari luar. Wahyu pun segera membuka pintu dan tanpa salam paman Amir masuk dengan tergesa-gesa.

"Aza, kamu tidak pa pa?!" ucap ya panik dan Aza pun segara berhambur memeluk paman Amir.

"Paman, bawa aku pergi." rengek Aza membuat paman Amir meradang, ia segera menarik Aza kebelakang punggungnya.

"Siapa yang berani menahan keponakan saya?" ucapnya dengan penuh emosi.

"Saya." ucap Gus Zidan membuat Amir menoleh ke arah Gus Zidan, melihat siapa yang berada di depannya Amir segera membungkukkan badannya dengan hormat.

"Gus Zidan, bagaimana anda di sini?" tanya Amir sungkan.

"Tanya sama keponakan 'njenengan', saja." ucap Gus Zidan dengan sopan.

***

Di dalam ruang VVIP hotel, suasana begitu tegang. Seorang pria dengan rambut dan jenggot yang hampir sepenuhnya memutih duduk tegak di kursinya, menatap Gus Zidan dan Aza dengan mata tajam namun teduh. Sosok itu adalah Abah Yai, ulama besar sekaligus kakek Gus Zidan yang sangat dihormati. Di sampingnya, Ustaz Zaki—ayah Aza—juga hadir, setelah diberi kabar oleh Paman Amir.

Abah Yai memandang kedua anak muda itu dengan ekspresi penuh pertimbangan. Meski tatapannya lembut, ada kekuatan dalam sorot matanya yang membuat Gus Zidan merasa terpaku di tempatnya, sementara Aza semakin gelisah di kursi yang ia duduki. Tidak ada satu pun dari mereka yang berani memulai bicara.

"Saya ingin penjelasan," suara Abah Yai akhirnya terdengar, pelan namun tegas. "Apa yang sebenarnya terjadi?"

Gus Zidan menelan ludah, mengumpulkan keberanian untuk bicara. Sebagai cucu Abah Yai, ia sangat menghormati kakeknya, namun kali ini situasinya terlalu rumit untuk dijelaskan dengan mudah. Ia menoleh sebentar ke arah Aza yang tampak gugup, lalu kembali menatap kakeknya.

"Abah Yai, ini semua hanya kesalahpahaman," Gus Zidan memulai dengan nada hati-hati. "Kami hanya terjebak dalam situasi yang tidak ia inginkan, gadis ini masuk tanpa ijin ke dalam kamar saya dan tanpa sengaja wartawan menemukan kami dalam kondisi yang salah. Kami tidak melakukan sesuatu yang melanggar, tapi... keadaan terlihat buruk."

Aza yang duduk di sebelah Gus Zidan segera mengangguk, mencoba menegaskan pernyataan itu. "Benar, Abah. Saya hanya... saya sedang mencoba kabur dari paman saya yang mau membawa saya ke pesantren, dan kebetulan saya masuk ke kamar Gus Zidan tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Saya tidak bermaksud menyebabkan masalah ini."

Abah Yai tetap diam, mendengarkan setiap kata dengan seksama. Sementara itu, Ustaz Zaki—ayah Aza—tampak tegang dan tidak sabar. Ia menatap putrinya dengan campuran rasa marah dan kecewa, tetapi ia menahan diri untuk tidak memotong penjelasan mereka.

"Saya tidak menyangka ada wartawan yang akan datang," lanjut Gus Zidan. "Dan karena situasinya begitu rumit, Wahyu terpaksa memberikan klarifikasi bahwa gadis ini adalah istri saya untuk meredam situasi. Tapi jelas, itu hanya untuk menghentikan wartawan agar tidak memperburuk keadaan."

Mendengar penjelasan itu, Ustaz Zaki menghela napas panjang, matanya terpejam sejenak seolah berusaha meredam emosinya. Ketika ia membuka mata, tatapannya langsung tertuju pada putrinya.

"Aza, apa yang kamu lakukan ini sangat mencoreng nama baik keluarga kita," katanya dengan nada rendah namun sarat dengan kekecewaan. "Mengapa kamu kabur dari pamanmu? Apa yang sebenarnya kamu pikirkan?"

Aza menunduk, menahan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya. Ia tahu ia telah membuat kesalahan besar, namun di saat itu ia hanya ingin melarikan diri dari tekanan yang ia rasakan. "Ayah, aku... aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku merasa terjebak. Maafkan aku."

Abah Yai menghela napas panjang, menenangkan suasana yang semakin memanas. "Zidan, nak Aza," katanya lembut tapi tegas, "kalian berdua telah membuat situasi ini menjadi jauh lebih rumit. Jika kami para orang tua tidak turun tangan sekarang, nama baik pesantren dan keluarga kita akan dipertaruhkan."

Gus Zidan dan Aza saling menatap, keduanya tahu bahwa apa pun yang terjadi selanjutnya akan sangat menentukan. Mereka hanya bisa menunggu apa yang akan diputuskan oleh Abah Yai dan Ustaz Zaki, serta berharap bahwa solusi terbaik akan ditemukan.

Bersambung

Happy reading

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!