“KALIAN MAU MEMBATALKAN PUASA?”
Seorang laki-laki tua dengan pakaian baju kokoh putih serta sarung hitam kotak-kota dan ditangannya memegang sorban menatap penasaran kearah depan dimana terdapat empat santri yang entah sedang melakukan apa.
Empat santriwati itu panik saat mendengar dan kemudian melihat siapa yang baru saja meneriaki mereka, dengan wajah panic dan masih terkejut mereka perlahan berdiri berjejer dan menundukkan kepala.
“Mampus lah kita…,” Lirih seorang diantara mereka berempat.
“Husstttf, diam.” Yang lain ikut berbisik.
“Sedang apa kalian disini?” Tanya laki-laki itu setelah sampai tepat didepan para santri putri yang masih asik menunduk itu.
“Assalamu’alaikum kiyai.” Salam mereka secara bersamaan saat tahu didepan mereka adalah sang Kiyai dan pemilik yayasan.
Kiyai Aldan Nakhlan, pendiri yayasan pondok pesantren Al-Nakhla. Seorang Kiyai yang begitu dikagumi dikalangan santri-santrinya yang menimba ilmu di pondok pesantren Al-Nakhla. Sosok yang begitu kental dengan kerendahan hatinya dan kesederhanaan hidupnya, menjadikan kiyai Aldan adalah sosok yang menjadi panutan setiap santrinya.
“Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarokatuh.”
Jawab kiyai Aldan. “Sedang apa disini?” Tanyanya kembali.
Kiyai Aldan dapat melihat para santriwati didepannya sedang mengode satu sama lain membuatnya menghela napas panjang.
“Adira, Almaira, Aruna, Ayyara. Saya tanya sedang apa kalian disini?” Tanya kiyai Aldan masih berusaha mendapatkan jawaban dari satri putri ini.
“Mmm… maaf kiyai, ki-kita anu… aaa itu…,” Adira salah satu dari santri yang berdiri ditengah dengan tangan sibuk mencolek kedua temannya untuk membantunya menjawab.
Kiyai Aldan menatap Adira dengan alis terangkat. “Apa? Kenapa gagap seperti itu?”
“Ehhh… bukan seperti itu kiyai, kami disini cuman aa-mm… anu…,” Timpal Ayyara yang berdiri disisi kiri Adira.
“Mau membatalkan puasa?” Tebak kiyai Aldan. Keempat santri putri itu kaget.
Mereka berempat menatap kiyai Aldan dengan wajah panik, seperti biasa mereka sudah tahu ujung dari masalah ini nanti.
Meringis pelan, memilin ujung hijabnya. Adira menjawab. “Heheh, maaf kiyai.” Ucapnya dengan pelan.
“Kamu jangan ketawa ihhh, liat mukanya kiyai mau makan hidup-hidup kita.” Bisik pelan Aruna. Dia sedikit takut dengan wajah kiyai Aldan saat ini.
“Jadi benar kalau kalian mau membatalkan puasa sunnah lagi?” Tanya kiyai Aldan. Tidak habis pikir dengan anak didiknya ini.
Sang pelaku hanya mengangguk pelan dan memberikan senyum terbaik kepada kiyai Aldan, mereka tampak terlihat dekat.
Tidak ada rasa takut mungkin karena keseringan berhadapan dengan kiyai-Nya ini.
“Lailahaillah… kalian ini astaga.” Kiyai Aldan mengusap wajahnya dengan pelan. Lelah menghadapi mereka.
Keempatnya kembali meringis pelan melihat respon kiyai Aldan yang masih terlihat tetap awet muda diusianya yang tidak muda lagi, wajahnya tak keriput dimakan oleh waktu. Semakin bertambahnya usia kiyai Aldan maka semakin terlihat juga wajah tampan laki-laki itu.
“Kiyai… k-kita tidak bermaksud membatalkan puasa, cuman ini benar-benar mendesak dan genting kiyai.” Jelas Aruna.
“Benar kiyai.”
“Betul banget kiyai.”
“Benar kiyai.”
Yang lain ikut menimpali
perkataan Aruna. Kiyai Aldan masih berdiri ditempatnya dengan tatapan tak lepas dari keempatnya.
“Tetap saja.” Jawab kiyai Aldan sedikit galak. “Sudah batal atau belum puasanya? Kalian ini bukan anak kecil lagi, kalian juga sudah biasa puasa sunnah kan? Terus kenapa mau dibatalkan? Ha?” Cecar kiyai Aldan.
Santri putri itu menggeleng sebagai jawaban dari pertanyaan terakhir kiyai Aldan kepada mereka.
Kiyai Aldan mengangguk sekilas. “Bagus, habis sholat asar temui kiyai dipendopo. Jangan telat seperti kemarin, paham?”
“PAHAM KIYAI.”
“Bagus, sekarang kembai ke asrama dan istirahat. Jangan berkeliaran.” Lanjut kiyai Aldan.
“NA’AM KIYAI.”
“Mmm maaf kiyai, ki-kita tidak dihukum?” Tanya Adira dengan pelan. Menghiraukan tatapan tajam ketiga temannya.
Kiyai Aldan tersenyum tipis. “Mau dihukum sekarang?” Tanya kiyai Aldan kembali.
Sontak pertanyaan kiyai Aldan membuat mereka menggeleng cepat, bisa-bisa tambah lemas dihukum disiang bolong begini. Mana lagi puasa.
“Heheh, tidak kiyai. Yasudah kami pamit kiyai, assalamu’alaikum.” Ayyara menunduk sopan. Menarik dengan cepat tangan Adira setelah mencium punggung tangan kiyai Aldan.
“Pamit kiyai, assalamu’alaikum.” Lanjut Aruna.
“Aku juga pamit kiyai, assalamu’alaikum.” Lanjut Almaira.
Kiyai Aldan hanya menggeleng melihat tingkah mereka. “Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarokatuh.”
xxx
Puk
“Ihhh kenapa sih? Lagian juga kiyai tidak bilang mau memberi kita hukuman kan? Jadi santai ajah.” Jawab Adira mengusap-usap pelan lengan yang baru saja ditipuk Ayyara.
Adira Talitha Tanjaya atau Adira. Santri putri yang tahun ini akan berumur 19 tahun, perempuan imut, cantik, mandiri dan memiliki tinggi hanya 150 cm. tubuhnya yang pendek dan imut itulah menjadi andalannya saat ingin menerobos kerumunan dan juga dia memiliki pipi berisih. Makannya banyak tapi tubuhnya tetap saja kecil.
Adira anak paling sabar, lebih sabar lagi jika menginginkan sesuatu. Ramah, namun orang-orang yang hanya melihatnya sekilas dia adalah anak yang misterius dan dingin tapi kenyataannya tidak begitu jika mengenalnya lebih jauh lagi.
Santri putri dengan segala tingkahnya yang sulit ditebak itu adalah Adira Talitha anak bapak Jaya.
“Kamu tadi tidak dengar kiyai bilang pendopo? Kamu tahu artinya kan Adira?” Tanya Almaira.Duduk lesehan di lantai dengan menyandarkan punggungnya di tempat tidur bertingkat itu.
Almaira Gava Putri atau Almaira. Santri putri pecicilan, terkadang caper jika sudah melihat yang bening-bening, anak baik, cerewet, gampang nangis dan tentunya kurang sabar. Almaira lebih tua dari Adira hanya selisih sebulan.
Anaknya cantik, punya tubuh tinggi 156 dengan badan kecil, memiliki lesung pipi disebelah kirinya, moodnya gampang berubah-ubah dan paling sabar jika ada maunya.
“Benar, aku mencium bau-bau kita bakalan dihukum lagi. Apes banget sih kita ini.” Timpal Aruna dengan wajah memalas.
Aruna Maheswari atau Aruna. Santri putri dengan segala tingkah pecicilannya, agak manja, punya kebiasaan mengandeng lengan temannya seperti hendak menyeberang jalan, dan tentunya anak baik.
Aruna adalah yang paling muda dari ketiga temannya, dia cantik, memiliki dua gingsul yang menambah kesan manis ketika senyum, tingginya 158 cm dan jangan lupakan dia tidak memiliki kelopak mata, terkadang jika bangun tidur matanya seperti habis digigit nyamuk terlihat bengkak. Dan satu lagi, dia termasuk anak paling mageran.
“Aku lebih penasaran kiyai ngasih hukuman apa lagi ke kita, bukannya hampir semua sudut di pesantren ini kita udah jelajahi karena hukuman kiyai?” Tanya Ayyara dengan wajah penasarannya.
Ayyara Belvi Adsila atau Ayyara. Santri putri yang memiliki mageran tingkat stadium akhir, terkadang memiliki jiwa paling semangat jika ada maunya. Punya mulut tajam dan dia juga anak yang pemberani.
Ayyara adalah yang paling tua diantara ketiga teman-temannya, terkadang dia tidak bisa menjadi dewasa dan penengah diantara teman-temannya namun dia bisa diandalkan. Anaknya cantik dan tingginya 158 cm, terkadang dia juga kurang sabar kecuali ada maunya.
Ketiganya menatap Ayyara, benar juga. Kiyai Aldan sudah banyak memberi mereka hukuman hingga mungkin setiap sudut pondok pesantren ini kecuali asrama putra mereka sudah jelajahi akibat hukuman yang diberikan oleh sang kiyai.
“Iya juga ya, tapi… kalau hukumannya kali ini kita di jadiin santri khusus gimana dong?” Tanya Almaira.
Adira menatap Almaira yang duduk tepat disebelahnya. “Tenang, kalau di pikir-pikir kayanya tidak mungkin sampai kesana.” Jawabnya.
“Kenapa begitu?” Tanya mereka bertiga kepada Adira.
“Cuman ada dua, kiyai hukum kita kaya biasa atau bisa jadi kiyai…”
Kiyai Aldan menghela napasnya sekali lagi, ini adalah keputusan yang tepat untuk para santriwati didepannya ini. dia sudah cukup lelah menghadapi mereka dan keputusan ini dia sudah pertimbangkan beberapa kali.
“Hmm… saya tidak akan memberi kalian hukuman lagi, saya kira semua hukuman sudah kalian jalankan namun lihat… tak ada perubahan sama sekali.” Jelas kiyai Aldan.
Adira, Almaira, Aruna, dan Ayyara menunduk dalam. Mereka duduk didepan kiyai Aldan.
“Afwan kiyai.” Lirih mereka berempat.
“Sebagai gantinya, saya akan menyerahkan kalian kepada beberapa ustadz yang baru saja kembali dari mesir setelah menyelesaikan studi mereka. Mereka inilah yang akan membina kilian sampai kalian benar-benar berubah.” Lanjutnya.
“U-u-ustadz kiya? Maksudnya kami akan diawasi oleh ustadz?” Tanya Ayyara. Dengan wajah kaget dia menatap kiyai Aldan.
Kiyai aldan mengangguk pelan. “Saya sudah cukup lelah dengan kalian, namun setelah kalian dibina langsung oleh mereka bukan berarti saya lepas tanggung jawab terhadap kalian ini.”
“Kiyai serius?” Tanya Adira pelan. Dia asik memilin jari-jarinya.
“Ya, dan mereka sudah tiba di pondok pagi tadi. Selesai shalat isya' berjama’ah jangan langsung kembali keasrama, paham?” Kiyai Aldan tersenyum tipis.
Keempatnya hanya bisa mengangguk patuh, mereka bisa apa? Mau menolak pun tak ada gunanya dan lagi pula mereka tidak berani melawan sang guru.
“Paham kiyai!”
“Bagus, dengar nak… kalian sudah kelas tiga, setahun lagi kalian lulus dan selesai di pondok ini. saya tidak masalah jika harus selalau menghukum kalian karena pelanggaran yang kalian lakukan, tapi apakah kalian tidak memikirkan orang tua dirumah? Hm?”
“Saya boleh minta satu hal kepada kalian berempat tidak? Bukan sebagai kiyai disini tapi sebagai orang tua kalian, boleh?”
Adira, Almaira, Aruna dan Ayyara saling menatap, lalu kemudian menatap kepada kiyai Aldan dan secara bersamaan mereka mengangguk pelan.
Kiyai aldan tersenyum. “Tolong, saya orang tua kalian bahkan sekalipun kalian telah selesai dari sini nanti saya tetap orang tua semua santri disini. Saya… ah bukan, jika kalian ada masalah dan tidak tahu harus berbagi dengan siapa kalian boleh datang ke saya atau tidak pada umi di ndalem.”
“K-kiyai…,”
xxx
Pondok Pesantren Al-Nakhla adalah salah satu pondok pesantren yang terletak di Surabaya dengan jumbelah santri mencapai 3.000 santri. Sudah berdiri sejak awal 1994 yang didirikan oleh almarhum guru besar Fatir Al nakhlan yaitu orang tua dari kiyai Aldan Nakhlan.
Pondok pesantren modern yang memiliki para santri yang berprestasi, setiap tahunnya selalu saja memborong berbagai pernghargaan dari lomba-lomba yang mereka ikuti.
Salah satu pondok pesantren yang melahirkan anak-anak yang berakhlak baik, penuh dengan kesederhanaan, kerendahan hati dan juga pondok pesantren yang tidak pernah meninggalkan nilai-nilai kewargaan Negara untuk anak-anak didiknya.
Sore hari menjelang ba’da maghrib semua santri terlihat berbondong-bondong menuju masjid utama pondok, di sisi kiri masdid ada santri putra dan sisi kanan ada santri putri. Masjid ini sangatlah luas dan besar hingga mampu menampung semua santri dan para pembinanya.
“Zidan, silahkan adzan.” Perintah kiyai Aldan kepada salah satu santri putra.
Zidan mengangguk patuh. “Na’am kiyai.”
Perlahan semua shaf terisih dan hanya ada kehiningan menunggu lantunan adzan berkumandang dengan suara indah dari Zidan salah satu santri tingkat ke dua.
ALLAHU AKBAR, ALLAHU AKBAR
ALLAHU AKBAR, ALLAHU AKBAR
ASYHADU AL LAA ILAAHA ILLALLAAH
ASYHADU AL LAA ILAAHA ILLALLAAH
Adzan merkumandang dengan irama yang menenagkan hati dan jiwa bagi yang mendengarnya, satu panggilan sakral bagi setiap orang mukmin untuk berjumpa dengan Tuhan-Nya. Suatu panggilan kerinduan seorang manusia kepada Tuhan-Nya.
Di shaf kedua dari depan ujung kanan, terlihat empat santri putri dengan mukenah putihnya mereka terlihat tenang mendengarkan adzan dan menjawabnya dalam hati.
Mereka benar-benar cantik jika diam seperti itu, namun bedah lagi jika sudah berganti mode full beteri.
Semua jama’ah melakukan shalat sunnah sebelum shalat maghrib, begitu juga keempat santriwati itu.
“Aku makin penasaran yang dibilang kiyai Aldan tadi sore, ustadz mudahnya dong.” Cicit Aruna kepada Ayyara. Dua orang ini jika sudah disatukan maka bisa lupa dengan sekitarnya.
“Kalau tampan boleh lah…,” Timpal Ayyara dengan suara yang lebih kecil dari Aruna.
“Hussstttff… kalian jangan bisik-bisik dalam masjid.” Potong Almaira.
LURUSKAN DAN RAPATKAN SHAFNYA DEMI SEMPURNANYA SHALAT KITA.
xxx
“Ah… jadi ini santriwati yang dimaksud kiyai?” Tanya seorang laki-laki muda yang mungkin umurnya yang masih tergolong muda.
Kiyai Aldan tersenyum tipis dan mengangguk beberapa kali. “Benar nak, mereka adalah Adira, Almaira, Aruna dan Ayyara. Santriwati yang selalu memiliki energi penuh.” Jelas kiyai Aldan menunjuk para santri putri yang menunduk itu.
“Hahah, in sya Allah saya pasti memegang amanah dari kiyai untuk mendidik mereka.” Ucap ustadz muda itu.
“Terimakasih nak Agra, dan kalian…,” Kiyai Aldan menjeda kalimatnya sembari menatap keempat santri putri itu. “Ini adalah ustadz Agra yang saya sudah katakan kepada kalian sore tadi.”
“Na’am kiyai.”
Keempat santri putri itu sedikit mencuri pandangan kepada laki-laki yang baru saja diperkenalkan kiyai Aldan kepada mereka, mengintip sedikit tidak masalahkan pikir mereka.
“Ma sya Allah, nikmat mana lagi yang engkau dustakan.” Pekik tertahan Almaira. Dia dapat melihat wajah bak pangeran itu walau hanya sekilas saja.
“Subahanallah.” Lanjut Aruna.
“Kiyai, maaf sebelumnya teman-teman yang lain tidak bisa hadir karena mereka sedang mengurus pekerjaan diluar pondok. Mereka akan kembali sebentar lagi.” Jelasnya kepada kiyai Aldan.
Kiyai Aldan mengangguk. “Tidak apa-apa nak, lagi pula besok juga bisa.”
Agra Putra Mahardika atau ustadz Agra baru saja menyelesaikan pendidikan diluar negeri dan baru kembali pagi tadi. Memutuskan untuk mengabdikan dirinya di pondok pesantren yang telah membesarkan namanya dan memberinya banyak pengalam ini.
Dia memiliki tinggi 176 cm. wajah tegas dan rahang yang sempurna jangan lupakan juga tatapannya yang selalu tajam namun memiliki hati yang lembut dan hangat, laki-laki muda dengan segala sifat lembutnya untuk orang-orang terdekatnya dan dingin jika sudah berada dilingkungan baru.
“Kalian kembalilah ke asrama, ingat jika kalian melanggar lagi hukumannya tergantung pada nak Agra bukan saya lagi.” Tutur kiyai Aldan kepada santrinya.
“Na’am kiyai.”
“Besok senin, jangan sampai telat dan juga setoran hafalan matannya jangan lupa kepada pembinanya.” Lanjutnya lagi.
“Baik kiyai.”
“Na’am kiyai.”
“Ya sudah, istirahatlah.” Lanjut kiyai Aldan lagi.
Keempatnya mengangguk, menunduk dan kemudian berjalan mundur tak lupa mengucapkan salam kepada kedua laki-laki yang bedah generasi itu. “Pamit kiyai, ustadz Agra. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam warahmatullahi barokatuh.” Jawab keduanya.
“Saya benar-benar berharap kalian bisa merubah sifat mereka nak, saya tidak lelah mendidik mereka hanya saja saya sudah merasa tidak mampu lagi. Dengan adanya kalian disini, saya harap mereka bisa berubah sebelum selesai dari sini.” Kiyai Aldan mengucapkan setiap kalimatnya sebari menatap dari dalam masjid keempat punggung anak-anak didiknya itu dengan harapan besar dalam dirinya untuk mereka.
Agra tersenyum. “Saya tidak berjanji untuk ini kiyai, namun kami akan selalu berusaha untuk bisa membimbing mereka berempat. Kiyai fokus saja pada masalah pondok dan untuk santri putri biar kami yang mengurusnya.”
“Terimakasih banyak nak.”
Di asrama putri.
Didalam kamar yang berisikan empat santri putri itu tengah menyiapkan keperluan sekolah besok pagi, dari menyetrika pakaian sekolah dan menyiapkan alat tulisnya.
“Kalian tadi liat ngak wajah ustadz Agra itu?” Tanya Aruna dengan semangat. “Ma sya Allah banget, aku baru tahu kalau pondok kita nih punya ustadz mudah yang tampan banget.” Lanjutnya.
“Benar banget, walau cuman lihat sekilas ustadz Agra mendekati kata sempura. Mana suaranya aggrrrr…” Lanjut Ayyara. Tangannya sibuk menyetrika pakaian sekolahnya.
Almaira dan Adira menggeleng pelan. Memang benar yang di katakan kedua temannya jika ustadz Agra memanglah tampan dan mendekati kata sempurna.
“Ustadz Agra udah punya pasangan belum ya? Kalau belum ada boleh tidak kalau aku daftar jadi calonnya.” Tutur Almaira. Memakan makanan ringannya.
“Waduhhh, parah sih kalau ustadz Agra belum ada pasangannya. Wajah tampan tuh emang harus dimanfaatin.” Timpal Aruna.
Adira sudah berbaring di tempat tidurnya, sepertinya dia sudah mengantuk. “Aku lebih penasaran lagi sama ustadz yang tidak hadir tadi, sahabat ustadz Agra. Kira-kira melebihi tampannya ustadz Agra?”
Ketiganya menghentikan aktivitasnya, kemudian menatap Adira yang tengah bersiap menyelami alam mimpinya.
Anak itu jika sudah berbaring dimana pun sangat mudah tertidur bahkan dalam keadaan genting pun dia tetap bisa tertidur cepat dan pulas.
“Lah iya! Katanya mereka ada urusan pekerjaan diluar, aduh makin tidak sabar buat lihat mereka besok.” Jawab Almaira semangat.
“Nah iya, kalau kaya gini mah makin betah dihukum hahah.” Timpal Aruna dengan kekehan diakhir kalimatnya.
“Astagfirullah, sadar ukti.” Lirih Adira. “Iya juga, bakalan betah sih!” Lanjutnya lagi.
Puk
Ayyara melemparkan sajadah ke Adira, gemes punya teman seperti Adira. “Adira kalau ngomong suka benar.”
“Ya Allah, ternyata besok senin.” Keluh Aruna. Sangat malas rasanya menyambut senin pagi besok.
“Besok menu ketring asrama apa? Jangan bilang kalau telur mata sapi lagi.” Lanjut Adira dengan kedua tangan menopang dagunya.
“Bersyukur ihhh.” Ucap Almaira.
Pernah melihat atau mendengar sekolah atau madrasah melakukan upacara bendera merah putih menggunakan bahasa Arab?
Jika pada umumnya sekolah melakukan upacara bendera merah putih setiap senin dengan bahasa Indonesia, maka berbeda dengan pondok pesantren Al-Nakhla ini.
Mereka sudah lama menerapkan untuk menggunakan bahasa Arab untuk melaksanakan upacara, tujuannya untuk mengasah kemampuan peserta didiknya dalam menggunakan bahasa Asing.
Madrasah Aliyah/MA. Mereka berdiri dan baris di kelas masing-masing, begitu juga dengan keempat santriwati yang telah siap mengikuti serangkaian upacara pagi ini.
“Ini masih jam tujuh, kenapa mataharinya terasa panas seperti disiang bolong.” Lirih Ayyara.
Adira yang baris disebelahnya mengangguk setujuh dengan ucapan Ayyara barusan. “Benar, mana masih lama.”
“Kalian jangan ribut, tuh liat kiyai Aldan.” Timpal Almaira yang baris paling depan tepat didepan Ayyara. “Dari tadi ngawasin kita, mana tatapannya kaya mau menerkam kita.” Lanjutnya dengan berbisik.
“Ustadz Agra tampan banget.” Celetuk Aruna tiba-tiba. Berdiri tegak di barisan pertama dengan Almaira, dibelakangnya ada Adira.
“Hussstttf, sempat-sempatnya kamu Aruna.” Ujar Almaira.
اِحْتِرَامٌ عَامٌّ إِلَى مُدِيْرِ الْمَرَاسِيْمِ تَحْتَ قِيَادَةِ قَائِدِ الْمَرَاسِيْمِ
PENGHORMATAN UMUM KEPADA PEMBINA UPACARA.
إِهْتَمُّوْا إِلَى الجَمِيع، إِلَى مُدِيْرِ الْمَرَاسِيْمِ تَحِيَّةٌ إِحْتِرَامًا دُرْ !
SELURUHNYA, KEPADA PEMBINA UPACARA HORMAT GERAK!
سَلامٌ كِفْ
TEGAK GERAK!
رَفْعُ الْعَلَمِ اْلأَحْمَرِ الأَبْيَضِ بِجَيْشِ"مَنْبَعُ الصَّالِحيْن" الرَافِعِ العَلَمَ مُشَيَّعٌ بِنَشِيْدً وَطَنِيٍّ
PENGIBARAN BENDERA MERAH PUTIH DI IRINGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA OLEH KELOMPOK PADUAN SUARA.
إِهْتَمُّوْا إِلَى الجَمِيع، إِلَى اللِّوَاء اْلأَحْمَرِ الأَبْيَضِ تَحِيَّةٌ إِحْتِرَامًا دُرْ !
PERHATIAN… SELURUHNYA, KEPADA BENDERA MERAH PUTIH HORMAT GERAK!
سَلامٌ كِفْ
TEGAK GERAK!
Upacara berlangsung dengan khidmat, dalam upacara ini santri putra dan putri tidak disatukan melainkan memiliki barisan masing-masing khusus santri putri dan khusus santri putra. Begitu juga pada saat dalam ruangan kelas mereka dibatasi oleh tirai yang menjadi penghalang keduanya.
xxx
“Panasss…,”
“Haus…,”
“Lelah, letih, lemas…,”
“Capek…,”
Pemilik suara itu adalah Adira dkk yang saat ini berjalan dengan lemas kearah kantin madrasah, di saat santri lainnya mengarah ke kelas untuk menunggu guru namun berbedah dengan keempatnya yang memilih mengademkan tenggorokan terlebih dahulu.
“Kenapa jam pertama harus setoran sih, mana bisa fokus kalau gerah kaya gini.” Ujar Aruna. Anak itu sedari tadi mengeluh perihal hafalan yang sebentar lagi disetor.
“Tidak bisa fokus atau belum hafal Aruna?” Tanya Ayyara dengan menaik turunkan alisnya menatap kearah Aruna.
Aruna memicingkan matanya saat mendengar pertanyaan itu, namun tak berselang kemudian dia terkekeh pelan. “Dua-duanya.” Jawabnya. Ketiga temannya hanya menggeleng dan tertawa.
“Awas loh nanti bu Jamilah yang masuk, bukan suaminya. Bisa-bisa dihukum lagi kamu.” Tutur Adira.
“Nah benar! Bu Jamilah kan udah masuk lagi setelah cuti lahiran.” Timpal Almaira.
Mereka berjalan beriringan melewati koridor yang masih banyak santri berlalu lalang menuju kelas masing-masing, saat hendak berbelok melewati lapangan basket keempat santri putri itu malah dikejutkan dengan segerombolan laki-laki tampan.
“Astagfirullah.” Lirih Adira dengan pelan. Dia hampir saja menabrak dada bidang seseorang.
“Hampir.” Lanjut ketiga santri putri itu. Mengelus dada masing-masing karena hampir saja terjadi insiden yang tidak diinginkan.
“Loh kalian mau kemana?” Suara bas milik dari seorang laki-laki diantara mereka mengundang perhatian keempat santri putri itu.
Adira, Almaira, Aruna, Ayyara tidak bisa menahan rasa penasaran hingga mereka dengan kompak menatap pemilik suara bas itu. Hingga…,
“Ma sya Allah, rezeki anak sholeh.” Cicit Aruna dengan pelan. Tanpa sengaja memukul pelan lengan Ayyara yang tepat berada disebelahnya.
“Pangeran dari mana kah ini? Aku tidak sedang bermimpikan?” Lanjut Ayyara tanpa mengalihkan tatapannya dari wajah-wajah bak pangeran itu.
Adira dan Almaira menggeleng pelan, malu dengan kedua temannya yang bisa-bisa memuji secara langsung didepan para ustadz muda di pondok mereka.
“Teman siapa sih mereka?” Tanya Almaira dengan suara pelan kepada Adira.
“Punya teman kok gini amat ya Allah.” Ucap Adira. Menghela napas panjang. “Afwan ustadz, tadi ana tidak melihat dan hampir saja menabrak anda.” Lanjutnya dengan pandangan melihat ujung sepatunya.
“Tidak apa-apa, lagi pula tidak disengajakan dan lain kali hati-hati.” Jawab ustadz tersebut yang berdiri didepan ketiga temannya.
“Na’am ustadz Agra, sekali lagi maaf.” Ucap Adira lagi masih merasa tidak enak kepada ustadz Agra.
Agra tersenyum tipis bahkan hampir tidak terlihat. “Sudah, jadi kalian ini mau kemana? Bukannya ini sudah masuk jam belajar?” Cecar Agra kepada keempat santriwati itu.
“Eh…, i-tu kita mau ke-kantin dulu ustadz.” Jawab Adira dengan gugup. Lengannya sibuk menyenggol Almaira untuk membantunya menjawab.
Almaira yang paham mengangguk. “B-benar ustadz, k-kita mau beli minum dulu.”
“Benarkah? Kenapa gugup seperti itu? Kami tidak memakan manusia, jadi santai saja.” Celetuk seseorang tepat disebelah Agra. “Tunggu…,”
“Eh-iya?”
“Hussstttff, sudah kalian silahkan kekantin tapi ingat segera kembali kekelas. Jangan bolos, apa lagi buat ulah.” Tutur Agra dengan tegas. “Kalau sampai itu terjadi, ingat… kami yang akan memberi hukuman kepada kalian, paham?”
Keempatnya mengangguk dengan cepat.” PAHAM USTADZ!”
“Bagus, kami permisi. Assalamu’alaikum.” Salamnya. Lalu berjalan menjauh diikuti oleh ketiga teman-temannya.
“Wa’alaikum salam.” Jawab mereka.
“Gila! Aura mereka kuat sekali, aku merinding.” Ujar Ayyara pelan dengan tatapan masih menatap punggung para ustadz itu.
“Benar banget, apa lagi tadi dengar nada tegas ustadz Agra.” Lanjut Almaira.
xxx
“Jadi mereka adalah yang dimaksud kiyai Aldan? Santriwati yang selalu melanggar?” Tanya salah seorang dari mereka.
Mereka duduk ditaman madrasah yang memperlihatkan luasnya lapangan basket didepan mereka, mereka juga sedikit mengenang momen dimana mereka masih menjadi santri sebelum akhirnya mereka kembali lagi untuk mengabdikan diri mereka sebagai seorang guru.
“Benar, mereka yang menjadi tanggung jawab kita.” Jawab Agra. Menikmati semilir angina yang menyapa wajahnya.
“Owwhhh, kalau diperhatikan mereka tidak terlihat seperti santri yang suka melanggar.” Ucap Abraham.
Abraham Fairus, seorang ustadz muda yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di Mesir bersama-sama ketiga sahabatnya, laki-laki muda dengan wajah kecil namun terlihat tegas. Tubuhnya tegap dan juga dia paling ramah.
“Benar Abraham, namun kenyataannya ya mereka memang santriwati dengan segala tingkah ajaibnya.” Lanjut Bima. Duduk diantara Agra dan Abraham.
Aditnya Bima Rajasa, umurnya lebih tua dari semua rekan-rekannya mereka selisih setahun. Laki-laki muda yang memiliki wajah manis dan lesung pipi di sebelah kanannya menambah kesan manis saat dia tersenyum. Dia juga sedikit misterius.
“Ana bahkan tidak berfikir kita akan kembali mengasuh anak-anak dengan segala tingkahnya itu, untung saja kita sudah berpengalaman.” Timpal Abyan.
Abyan Putra Praharja laki-laki dengan segala tingkah yang sangat sulit ditebak, terkadang dia akan menjadi pribadi yang dingin seperti Agra. Memiliki rahang tegas dan bola mata hitam pekat, dia paling tidak suka saat seseorang berbohong entah alasan apapun itu.
Agra dan lainnya mengangguk setuju, mereka sudah memiliki pengalaman mendidik santri nakal jadi itu tidak sulit bagi mereka berempat. Namun…,
“Itu santri putra, dan kita sedang menghadapi makhluk sejenis betina?” Tanya Abraham dengan wajah tak menyangka. “Wahhh, ana harus menyiapkan mental.” Lanjutnya lagi.
“Ya, mendidik mereka sangat jauh berbeda dengan yang kita lakukan kepada santri putra. Bahkan tadi adalah pertemuan perdana kita.” Ujar Bima.
“Itu juga karena tak sengaja bertemu.” Lanjut Abyan.
Agra memainkan lidahnya didalam sana, sepertinya dia tengah memikirkan sesuatu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!