Hari ini merupakan hari yang paling ditunggu-tunggu oleh seluruh siswa kelas 12 SMA Budi Luhur, lantaran pada akhirnya mereka bisa melangsungkan sesi pemotretan untuk album kenangan yang nantinya akan dibagikan tepat di hari wisuda mereka. Persiapan demi persiapan yang telah direncanakan dengan matang oleh masing-masing kelas sejak beberapa bulan belakangan pun mulai menampakkan hasilnya. Terlihat jelas dari betapa unik, menarik, serta meriahnya konsep yang diusung oleh masing-masing kelas.
Di antara seluruh siswa yang sibuk berkutat dengan segala hingar bingar dan euforia kelulusan, Sanu ialah salah satunya. Meski sama excited-nya dengan yang lain, sosok siswa laki-laki pendiam, kaku, dan sopan itu terlihat sangat santai dan tak terlalu ambil pusing dengan segala persiapan yang seharusnya ia lakukan untuk menyambut kelulusan. Alih-alih sibuk berdandan atau merapikan diri layaknya teman-temannya yang lain, Sanu hanya duduk menyendiri seraya membaca sebuah buku tipis berisi kumpulan puisi.
Dari kejauhan, datang sosok gadis cantik berwajah campuran Indonesia-Timur Tengah yang tak lain ialah Layla, salah satu siswi populer di SMA Budi Luhur yang juga sekaligus sahabat baik Sanu. Meski masih terpisah jarak puluhan meter, Sanu seakan mampu merasakan kehadiran Layla. Hal ini terlihat jelas dari bagaimana Sanu mengalihkan perhatiannya yang semula terpusat pada buku yang ia pegang, kini dengan cepat berganti pada Layla. Sanu mengulum senyum simpul usai menyadari bahwa sosok itu memang benar tengah berjalan ke arahnya.
"Udah aku duga kamu pasti mojok sambil baca. Kenapa kaya ngga semangat gitu sih kamu? Sebentar lagi kan kita udah mau lulus," Layla merampas buku yang ada di genggaman Sanu, lantas membuangnya asal. Menyadari aksi Layla membuat Sanu terlonjak kaget, buru-buru ia ambil bukunya yang tergeletak di tanah. Tangannya sibuk mengibas-ngibaskan pasir serta debu yang menempel di sampul buku tersebut.
"Lay, jangan buang-buang buku kaya gitu, ini kan ilmu. Lagian aku juga bingung harus ngapain." Sanu melirik Layla sekilas. Wajah kalem serta lembut yang nampak dari sahabatnya itu memang berbanding terbalik dengan sikapnya yang terkadang grusak-grusuk dan juga frontal.
"Bodo amat. Jangan mentang-mentang kamu udah ganteng, lainnya dandan kamu malah santuy di sini. Ini lagi, baju apaan sih, kelas kamu pake konsep apa kok pake baju kayak gini?" Layla menelisik model baju Sanu yang terlihat sangat aneh. Bajunya nampak penuh noda, selain itu celana yang dikenakannya pun sobek-sobek.
"Konsep gembel," Sanu menunduk, turut mengamati kostumnya. Meski terlihat tidak banyak persiapan, nyatanya Sanu semalaman berusaha mengotori bajunya dengan oli serta pasir sehingga ia bisa memperoleh kesan 'gembel' yang sesungguhnya.
"Ang ang ang! Pantesan daritadi aku liat ada yang pake baju pengemis, gembel, bahkan pengamen juga ada." Layla tertawa pelan usai mengamati siswa-siswi di sekelilingnya. Ternyata memang benar semua siswa yang ada di sekeliling kelas Sanu sedang berlomba-lomba mengotori pakaian dan membolongi baju untuk memperkuat kesan 'gembel' mereka.
Sanu tersenyum tipis saat melihat sahabatnya itu tertawa. Kedua matanya sibuk memperhatikan gerak-gerik Layla serta ekspresinya yang menawan. Detak jantung yang semula normal kini berangsur meningkat hanya dengan melihat Layla tertawa riang.
Benar, Sanu ialah satu di antara segelintir orang yang jatuh hati pada sahabatnya sendiri. Bagi orang pendiam yang tak memiliki terlalu banyak teman seperti Sanu, Layla adalah warna indah yang selalu memberikan corak baru pada kanvasnya yang kusam. Sanu menyukai segala hal tentang Layla. Hatinya terasa aman dan tentram tiap kali mendengar suara gadis tersebut meski bukan dengannya Layla berbicara. Bagi Sanu, tidak ada hal menarik di hidupnya selain eksistensi Layla dan segala hal yang menyertainya.
"Eh, giliran kelas aku yang foto sekarang. Aku ke sana dulu ya, nanti kalo aku selesai duluan aku tunggu di tempat biasa. Kalo kamu duluan, jemput ke kelas aku ya? Hehe." Layla tersenyum simpul usai memastikan Sanu mengangguk, menyanggupi permintaannya.
Sanu mengamati punggung Layla dari tempatnya berdiri. Sesekali gadis tersebut nampak berhenti untuk sekedar saling bersapa dengan kawan-kawannya. Tanpa sadar Sanu kembali tersenyum, matanya tak sedikitpun terlepas dari Layla hingga sosoknya sempurna menghilang di balik belokan yang ada di sebelah gedung perpustakaan.
Usai dirinya benar-benar tak bisa lagi melihat Layla, Sanu membuang muka lantaran tak ingin berdiam di sana terlalu lamam Ia pun memutuskan untuk bergabung dengan rekan-rekannya yang lain. Ia menelisik ke segala penjuru, mencoba menemukan teman sebangkunya yang biasanya paling aktif dan berisik di antara yang lain. "Oy!" sebuah pukulan ringan mendarat di punggung Sanu, mengejutkannya hingga nyaris tersedak ludah sendiri.
Sanu menoleh, dilihatnya sosok yang sejak tadi ia cari. "Kok lo masih cakep sih. Lihat nih gue, udah mirip gembel betulan. Awwwww tidak!" Roni menjerit dengan suara melengkingnya, membuat teman-teman sekelas mereka yang tengah sibuk dengan segala persiapan melihat ke arahnya dengan ekspresi heran.
Sanu hanya tersenyum kecil, ia mengakui ucapan Roni memang benar adanya.
"Btw, kenapa baju lo ketat banget sih elah otot lo itu kan jadi terpampang. Gue gak rela ya!" mendengar ucapan Roni membuat Sanu menunduk untuk mengamati bajunya. Ucapan Roni ternyata ada benarnya, otot perut serta lengannya tercetak sempurna meski tidak terlalu jelas. Pantas saja ia terus merasa diamati sejak awal menginjakkan kaki di pelataran kelasnya.
"Gak ada baju lain." Sanu meraih tasnya untuk mengeluarkan jaket yang tadi sempat ia kenakan selama perjalanan ke sekolah.
"Tapi apa lo emang yakin gak mau cari gandengan sebelum promnight atau wisuda nanti? Lumayan buat bayar-bayarin lo, buat gandengan, atau cuma sekedar ngasih lo bucket flower. Lagian gue lihat loker lo udah penuh lagi tuh sama surat cinta," Roni menarik diri untuk duduk di sebuah kursi kayu yang terletak tidak jauh dari posisi mereka berdiri.
Sanu memasukkan bukunya ke dalam tas seraya mengikuti Roni untuk duduk di kursi kayu tersebut. "Gue baca kok surat-suratnya, tapi bukan berarti gue bisa seenak hati memanfaatkan rasa suka mereka untuk kepentingan pribadi gue. Mereka berhak jalan sama orang yang beneran suka sama mereka."
Roni melirik Sanu kemudian menghela napas, tidak habis pikir dengan kawannya ini. Sudah puluhan orang yang menyuratinya atau bahkan memberi hadiah, tidak sedikit pula gadis cantik yang terang-terangan suka padanya, namun Sanu sama sekali tidak tergerak dan tetap bersikap tenang menanggapi gadis-gadis tersebut dengan diam.
Di kalangan anak laki-laki, Sanu memang cukup terkenal, meski memiliki postur tubuh yang tinggi dan proporsional, tidak jarang ia dianggap banci oleh sesama lelaki lantaran kulitnya yang putih serta tatapan sayu yang dimilikinya. Terlebih lagi, Sanu selalu bergaul dengan Roni yang dianggap sebagai banci oleh rekan-rekannya karena posturnya yang lenjeh serta sikapnya yang nyablak dan feminin. Selain itu, Sanu banyak dikenal di kalangan siswi perempuan karena fisiknya yang dianggap mirip dengan idola Korea sehingga banyak yang tertarik pada Sanu karena parasnya tersebut.
Sejujurnya kulit putih Sanu bukan sepenuhnya hal baik sebab hal ini terjadi lantaran Sanu menderita fotosensitivitas yang menyebabkan dirinya tidak bisa berlama-lama terpapar sinar matahari. Namun, kini Sanu patut bersyukur sebab penyakitnya ini entah kenapa sudah tidak separah dulu. Akhir-akhir ini ia mulai bisa mengikuti upacara dan tidak perlu takut muncul ruam dan gatal meski ia telah lama berada di bawah sengatan matahari. Meski begitu, ia tetap berhati-hati dengan selalu memakai tabir surya kemanapun ia pergi untuk melindunginya dari sinar uv. Bagaimanapun juga, ia harus berhati-hati sebab kemungkinan terburuk bisa terjadi kapan saja.
Tidak banyak orang yang mengetahui fakta tersebut bahkan Roni dan Layla sekalipun. Mereka hanya tahu jika Sanu memang seringkali menghindari matahari dan kerap mengenakan jaket serta masker jika cuaca terlalu panas.
Selain kulitnya, hal lain yang membuat Sanu disukai banyak gadis adalah postur tubuh dan sifatnya yang sopan. Meski tak terlalu menyukai olahraga, Sanu rutin melakukan fitness di rumahnya agar tetap bugar. Hal ini membuat tubuh tingginya nampak proporsional dan ideal. Oleh karena itu melihat Sanu mengenakan pakaian ketat membuat banyak perempuan terkejut bahkan salah tingkah sebab bentuk tubuh Sanu yang selama ini tersamarkan oleh seragam yang kebesaran itu pun tercetak jelas saat dirinya hanya memakai kaos.
Usai berbincang-bincang selama beberapa waktu dengan Roni, tibalah giliran kelas mereka untuk melakukan sesi pemotretan. Seluruh siswa nampak bersenang-senang dan gembira. Tak terkecuali Sanu yang beberapa kali ikut tertawa bersama teman-temannya. Meski tak banyak yang ia lakukan semasa SMA, Sanu merasa sama sedihnya dengan yang lain. Ia pun sama bencinya mendengar kata perpisahan. Tiga tahun mereka yang selama ini terajut bersama-sama akan segera berakhir. Ia akan segera berpisah dengan teman-temannya di sekolah menengah atas, berpisah dengan buku-buku tebal yang selalu menemaninya di perpustakaan, berpisah dengan Roni yang tak pernah absen mengganggunya, juga dengan Layla yang selalu mencerahkan harinya.
---
"Permisi. Maaf, Layla-nya ada?" Sanu menunduk segan menatap dua orang teman sekelas Layla yang tengah asik berfoto ria di depan kelas.
Menyadari siapa yang mengajaknya berbicara membuat dua gadis tersebut mematung sepersekian detik kemudian berlari terbirit-birit ke dalam kelas mereka. "Laaaayyyyyyyy! Dicari Sanu di depann!"
"Buseeetttt, gue diajakin ngomong barusan. Gilak-gilak gue di tatap anjrit!"
"Gila gue malu banget! Muka gue buluk banget ga ya tadi?"
Sanu menghela napas kemudian berdiri mensejajari pintu kelas Layla. Ia menepi dan bersandar tepat di balik pintu, menunggu Layla keluar dari dalam kelasnya.
Ia menatap kosong lantai keramik di bawahnya sembari melamunkan beberapa bulan ke depan saat ia dan Layla sudah tidak berada di sekolah yang sama lagi. Saat ia mungkin tak bisa lagi menjemput Layla di kelasnya serta mengobrol di ayunan belakang rumah Layla seperti biasanya. Sanu merasa hatinya di remas saat membayangkan Layla berada jauh darinya namun berada di tempat yang sama dengan-
"Nu..."
"Sanu! Ih, kok malah ngelamun sih. Ayo pulangg!" Layla mengangkat sebelah alisnya memperhatikan Sanu yang baru saja tersentak dari lamunan. Lelaki itu tersenyum kecil sembari mengangguk lemah. Astaga, Layla tidak bisa tidak merasa gemas dengan kelembutan dan keluguan sahabatnya ini.
"Kamu tahu? Tadi di kelas heboh bangett." Layla menarik lengan Sanu, menatapnya dengan penuh semangat.
Sanu tersenyum tipis. "Kenapa?"
Layla menarik napas. "Kan kelas aku tuh tema-nya pet ya. Jadi pada bawa hewann. Ada yang bawa puddle, ada yang bawa kucing, cihuahua, squirrel, nah ada juga yang bawa apatuh namanya yang ada lancip-lancipnya?" Layla mendongak menatap Sanu, menelisik ke dalam ingatannya sebab ia melupakan nama hewan yang menghebohkan seisi kelasnya tadi.
Sanu mengerutkan dahi, "Apa ada lancip-lancipnya? Sapi?" Sanu membantu memberi jawaban.
"Kok malah sapi sih! Mana ada sapi lancip. Bukan, apa sih aduh..." Layla mengusap rambutnya gusar. Jawabannya terasa ada di ujung lidah, namun ia tak dapat menemukan kata yang tepat untuk menggambarkannya.
"Astagaaa! Landak!" Pekik Layla histeris. Sanu tertawa kecil melihat ekspresi Layla. Ia menatap lekat gadis tersebut tanpa sekalipun mengalihkan perhatian. Mendengarkan segala hal yang diucapkan Layla tanpa sedikitpun merasa bosan.
Mereka berjalan beriringan menuju gerbang sekolah dengan masih saling bercerita -lebih tepatnya Layla yang bercerita-. Orang yang tidak mengenal keduanya pasti akan dengan mudah menyimpulkan bahwa mereka adalah pasangan. Dilihat dari segi manapun mereka memang sangat serasi. Sifat yang amat berbeda membuat mereka saling mengisi. Namun apa yang terlihat berbanding terbalik dengan apa yang terjadi. Mereka hanyalah dua sahabat yang tinggal bersebelahan serta tumbuh besar bersama. Tidak ada hal yang tidak diketahui Sanu tentang Layla.
Sanu adalah pendengar setia cerita keseharian Layla yang penuh warna. Ia adalah tisu yang bersedia menyeka air mata kesedihan Layla di hari-hari terberatnya. Ia adalah jaring yang selalu menangkap Layla kapanpun gadis itu terjatuh. Ia adalah samsak tempat Layla melampiaskan seluruh kekesalannya. Ia adalah bahu tempat Layla bersandar tiap kali tak punya pegangan. Ia bisa menjadi apapun untuk Layla. Sedang baginya Layla hanyalah satu, kebahagiaan.
"Rehan!" Layla memekik usai melihat sosok laki-laki bertubuh jangkung yang sedang duduk diam di atas sebuah motor Kawasaki Ninja 250. Menyadari dirinya dipanggil, laki-laki tersebut menoleh kemudian tersenyum lebar seraya menunjukkan tanda hati yang ia bentuk dengan kedua tangannya.
"Sanuu, kamu pulang duluan yaa. Nanti malam jangan lupa ke ayunan, oke?" Layla tersenyum semangat menunggu Sanu menyanggupi permintaannya.
Sanu memasang senyum terbaiknya kemudian mengangguk antusias. Layla mengacak rambut Sanu gemas layaknya melihat seorang anak SD yang baru saja diberi permen oleh ibunya. Tanpa menunggu lebih lama, Layla berlari kecil menghampiri Rehan. Gadis itu lantas duduk di boncengan motor Kawasaki tersebut.
Sebelum motor yang membawanya pergi melaju, Layla melihat Sanu yang masih tersenyum menatap kepergiannya. Layla melambaikan tangan dengan semangat kemudian melaju cepat bersama motor kekasihnya meninggalkan asap putih dari kenalpot motor Rehan.
Sanu menghela napas, tersenyum getir lataran perasaan sedih di hatinya. Layla adalah kebahagiaannya. Namun Layla pula rasa sakitnya. Saat itu, Sanu belum mengerti bahwa perasaan yang kala itu ia pikir hanya dapat ia rasakan pada Layla hanyalah permulaan atas perasaan yang jauh lebih besar pada sosok baru dalam hidupnya kelak.
Sanu membalik halaman bukunya dengan tenang. Suara soundsystem dari rumah sebelah tidak sedikitpun mengganggu konsentrasinya dalam membaca. Sesekali ia melirik ke bawah balkon kamarnya, memastikan kepulangan Layla yang hingga kini tak kunjung terlihat kedatangannya. Sekali lagi Sanu memandang langit mendung di atasnya, berharap tidak turun hujan sampai Layla benar-benar telah tiba di rumah.
Lembar demi lembar telah selesai Sanu baca. Puluhan kali ia melirik ke bawah balkon kamarnya, berharap Layla segera pulang sebab hari telah semakin larut. Jam digital yang ada di ponselnya menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Terlalu larut untuk ukuran gadis rumahan seperti sahabatnya itu. Dengan kekhawatiran yang semakin menggunung, Sanu meraih ponselnya, mempertibangkan apakah ia harus menghubungi Layla atau menunggu sedikit lebih lama.
"Dia kan lagi sama Rehan. Dia pasti baik-baik aja." Sanu bergumam pelan, ia meletakkan kembali ponselnya. Berusaha tetap tenang dan berpikiran positif. Lagipula ia bukan siapa-siapa. Tidak berhak pula ia bersikap terlalu khawatir sampai berani mempertanyakan apa saja yang Layla lakukan hingga belum pulang selarut ini.
Tidak begitu lama setelahnya, suara halus mesin motor samar-samar terdengar mendekat. Sanu melongok ke bawah untuk memastikan. Dan benar saja, Layla dan Rehan baru saja tiba di kediaman sahabatnya itu. Dengan tatapan sayunya, Sanu mengamati kedua sejoli tersebut. Layla nampak sempoyongan, gadis tersebut terlihat mabuk dari tempat Sanu mengamati. Beruntung Rehan dengan sigap menangkap tubuh Layla yang limbung.
Selama beberapa saat mereka berdiri berhadapan di depan pagar rumah Layla, membicarakan sesuatu yang tak bisa diketahui Sanu. Tanpa berusaha mengusik privasi dua sejoli itu lebih banyak lagi, Sanu beranjak dari tempatnya untuk kembali ke kamar dan tidur dengan nyenyak sebab rasa khawatirnya telah mereda usai melihat Layla telah pulang dengan selamat. Sesaat sebelum Sanu benar-benar meninggalkan balkon, sudut matanya menangkap pemandangan yang tak seharusnya ia lihat malam itu.
Darahnya berdesir, ia merasa sedih sekaligus terkejut. Matanya membelalak sempurna usai memastikan bahwa apa yang ia lihat sesuai dengan apa yang ia bayangkan. Sanu tersenyum getir, matanya mulai memanas. Ia merasa sedih, namun ia sadar bahwa ia tak boleh merasa sedih atas kebahagiaan Layla. Malam itu, gadis yang paling penting bagi Sanu di muka bumi ini sekali lagi resmi mematahkan perasaannya ketika melihat secara langsung bagaimana bibir itu dikecup, ketika tubuh itu dipeluk oleh seseorang yang dicintainya. Seseorang yang ia pikirkan dan ia pedulikan jauh melebihi Sanu yang hanyalah seorang sahabat baginya.
Sanu tersenyum kecil, merasa tidak perlu lebih lama mengamati dua insan yang saling jatuh hati itu bermesraan. Dengan langkah lemah Sanu masuk ke dalam ruang kamarnya. Menutup semua pintu dan jendela kemudian membaringkan diri di atas kasur empuk bergambar Iron Man, tempat ternyaman yang selalu menjadi pelarian atas segala keluh dan kesalnya.
Sanu membenamkan wajahnya di antara bantal dan guling yang bergambar senada dengan kasurnya lantas memejamkan matanya dengan paksa. Dadanya terasa sesak, sakit sekali mengingat betapa sering Layla dibuat menangis oleh Rehan namun ialah yang berusaha mati-matian mengembalikan senyumnya.
Di saat yang bersamaan, kesedihan lain turut menyeruak dan memenuhi pikiran Sanu. Ia mendadak mengingat sikap ayahnya yang tak pernah bisa menganggap keberadaannya lantaran ibunya meninggal ketika melahirkan Sanu. Selain itu, ingatan mengenai hinaan orang-orang terhadap ketidakmampuannya dalam terpapar sinar matahari terlalu lama juga menyeruak masuk ke dalam pikirannya.
Sangat menyakitkan mengingat seluruh cacian orang-orang hanya karena sifat dan fisiknya yang tak sesuai harapan mereka. Betapapun Sanu berusaha berbuat baik kepada semua orang, tak ada yang benar-benar bersedia menjadi tempatnya berbagi, mengerti dirinya sebagaimana ia mencoba mengerti orang lain.
Sanu semakin membenamkan kepalanya. Mencoba memejamkan mata dan memaksa tidur agar segala sedih dan sakitnya tak lagi terasa.
----
"Sanu, bangun Dek. Udah pagi nih, kamu nggak sekolah?" seorang gadis yang terlihat dua atau tiga tahun lebih tua dari Sanu itu terus berusaha membangunkannya seraya mengguncang lengan Sanu dengan pelan.
Mendengar suara wanita tersebut membuat Sanu perlahan membuka mata. Segera setelah ia bangkit dari kasurnya, Sanu menyipitkan mata saat melihat sosok yang amat dirindukannya selama ini ternyata tengah asik menatapnya dengan seutas senyum yang amat cerah.
"Kakak? Kapan pulang?" Sanu dengan cepat memeluk kakaknya, melepas segala rindu yang selama ini ia rasakan semenjak kepergian gadis tersebut dari rumah.
"Semalem. Kakak sampai rumah langsung ke kamar kamu. Taunya kamu udah tidur. Tumben banget." Senyum tulus mengembang sempurna usai sang adik memeluk erat dirinya.
Dua tahun lalu, Sania resmi meninggalkan rumah untuk mengenyam pendidikan tinggi. Hubungan Sania dan sang ayah sama buruknya, bahkan lebih buruk lagi dari hubungan Sanu dan ayahnya. Tidak seperti Sanu yang penurut, Sania adalah gadis pemberani yang tanpa segan menentang perintah orang tuanya apabila tak sejalan dengan visi hidup yang ia pilih.
Sania sejujurnya sangat enggan meninggalkan Sanu sendirian di rumah kala itu. Ia sadar, dengan kepergiannya sang ayah akan semakin semena-mena pada adiknya, namun Sania tidak punya pilihan lain. Dengan menjadi sukses tanpa bantuan sang ayah, Sania berharap dapat mengeluarkan dirinya serta adik kesayangannya itu dari neraka yang selama ini memenjara mereka. Baguslah Sanu kini hampir lulus SMA, ia ingin Sanu tinggal dengannya dan berkuliah dengan baik di sana tanpa perlu lagi menjadi pelampiasan sang ayah atas segala kegagalannya dalam hidup.
Sania melepas pelukan Sanu dan mengamati adiknya itu dengan seksama, "Kamu sekarang udah makin gede ya?" Mata Sania berkaca-kaca.
Sepeninggal Sania, Sanu selalu menjalani semuanya tanpa banyak bicara. Ia bahkan nyaris tidak bisa merasakan emosi apapun selain pada Layla dan kakaknya.
Sania hanya mengangguk sekilas. "Kulit kamu sekarang lumayan kekuningan ya, seingat kakak terakhir kali ketemu kulit kamu masih pucat banget. Terus ini juga, dapet darimana otot lengan ini? Mana sekarang kamu tinggi banget. Udah gede ya kamu sekarang." Sania mengusap pipi adiknya. Rupanya sudah terlalu banyak yang ia lewatkan setelah kepergiannya dari rumah.
Sanu memeluk kakaknya sekali lagi. Membenamkan kepalanya di bahu sang kakak yang selama ini ia rindukan. Sejak kecil Sanu tidak pernah merasakan bagaimana kasih sayang seorang ibu, ia bahkan tak tahu bagaimana rupa ibunya sebab sang ayah melarang pekerja rumah mereka memasang foto sang ibunda di penjuru rumah. Alasannya sederhana, ia tak ingin Sanu melihat wajah istrinya, wajah seseorang yang telah Sanu hilangkan nyawanya. Itu pula yang membuat Sanu menjalani hidup dengan rasa bersalah pada tiap tarikan napasnya, sebab karena ia hidup, ibunya harus rela meregang nyawa.
Sania menggosok punggung Sanu dengan lembut. "Kamu mau kuliah di mana? Udah punya gambaran?"
Sanu melepas pelukannya. Ia mengangguk mendengar pertanyaan sang kakak. "Sanu mau kuliah di Ibukota, kak. Udah daftar di salah satu universitas di sana. Tinggal nunggu pengumumannya aja." Jelasnya dengan suara pelan.
Sanu tahu bahwa Sania sangat ingin agar ia tinggal dengannya. Sanu pun sebenarnya sangat ingin tinggal bersama Sania. Hanya kakaknya lah satu-satunya orang yang mengerti dirinya. Namun setelah dipikirkan lagi, Sanu mungkin hanya akan menjadi beban bagi kakaknya. Untuk membayar biaya kuliah Sania harus bekerja keras lantaran perang dingin dengan sang ayah yang belum juga terselesaikan.
Belum lagi jika Sanu menambah bebannya. Ia tak ingin merepotkan. Dengan berkuliah di ibukota, Sanu bisa jauh dari Layla dan ayahnya. Ia juga tak perlu repot masalah biaya sebab ayahnya lah yang akan menangani semuanya. Berkuliah di ibukota adalah perintah sang ayah, namun Sanu enggan menceritakannya pada sang kakak sebab tak ingin membuatnya lebih khawatir lagi.
"Hmm, di ibukota ya. Walaupun kakak agak kecewa kamu nggak mau tinggal sama kakak tapi yaudah. Mungkin emang kamu harus keluar dari kota ini biar nggak pusing-pusing lagi. Kamu juga butuh tempat dan lingkungan baru." Sania menghela napas. Meski berat baginya, namun Sanu sekarang sudah dewasa. Tubuhnya bahkan sudah jauh lebih besar dari tubuh Sania yang notabene tergolong perempuan yang tinggi. Apalagi yang harus Sania khawatirkan?
"Iya kak. Hari ini rencananya Sanu ngga ke sekolah. Karena udah mendekati kelulusan, udah nggak ada apa-apa di sekolah." Sanu memeluk kakaknya sekali lagi. Pada siapa lagi ia bisa bersikap manja seperti ini jika bukan pada kakaknya.
"Yaudah, ayo ke bawah. Makan dulu. Kakak udah masak." Sania memeluk Sanu sekilas kemudian keluar dari kamar adiknya menuju lantai dasar.
Sementara itu, Sanu pergi ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya. Ia memperhatikan wajahnya di kaca. Jika dipikir lagi, sudah sangat lama sejak terakhir kali ia mengaca. Sanu memperhatikan warna kulitnya yang kini memang sudah mulai kekuningan, tidak sepucat dulu. Setidaknya kini ia bisa menghela napas lega lantaran tak perlu khawatir dengan pertanyaan ataupun pandangan aneh orang lain terhadap kulit pucatnya.
Usai membersihkan diri seraya berganti pakaian, Sanu berjalan pelan menuruni anak tangga untuk pergi ke ruang makan. Rumahnya berada di kawasan komplek perumahan elit, tak heran jika rumah yang hanya dihuni dua orang beserta belasan pembantu ini nampak amat begitu besar dan luas.
Ayah Sanu, Sandika Dhandarian merupakan seorang pebisnis sukses yang berhasil menorehkan namanya di jajaran dua puluh orang terkaya di Indonesia. Bisnis properti, konstruksi, makanan, waralaba, serta e-commerce membuat kekayaan Sandika terus menumpuk tanpa ada habisnya. Meraih segudang kesuksesan di usia yang belum menginjak setengah abad semakin menaikkan pamornya di kalangan pebisnis Indonesia bahkan Asia. Oleh karenanya, bagi Sandika uang bukanlah apa-apa.
Sanu menarik pelan kurisnya tanpa suara. Ia melirik ke arah ayahnya yang sibuk membaca koran seraya menyesap secangkir kopi. Menyadari kehadiran Sanu tidak membuat Sandika tertarik sama sekali. Ia tak mengindahkan putranya dan tetap melanjutkan kegiatannya.
Sementara itu, Sania datang membawa dua piring nasi goreng special dengan toping dan campuran yang nampak lebih banyak dari nasi itu sendiri. Sania tersenyum lebar, sudah lama ia tidak makan makanan enak. "Nih.... Kakak kasih udang, cumi, kepiting, sosis, mmm apalagi ya. Pokonya banyak."
Sanu mengulum senyum tipis. Ini kali pertama baginya memakan masakan kakaknya setelah dua tahun. Dengan semangat, Sanu menyuapkan nasi goreng beserta segala campurannya itu ke dalam mulut. Mengunyahnya dengan tetap mengulum senyum lantaran Sania tak berhenti menatapnya.
Sandika melirik kedua anaknya yang nampak berbincang tanpa menghiraukan kehadirannya sama sekali. Sania putrinya. Sudah lama sejak terakhir kali ia melihat putri sulungnya itu. Terlebih pertemuan terakhir mereka adalah hari di mana keduanya bertengkar hebat yang kemudian membuat Sania pergi meninggalkan rumah.
"Kenapa pulang? Nggak bisa cari uang lagi?" Sandika tersenyum sinis, ia yakin kedatangan putrinya mungkin saja karena ingin meminta maaf sebab telah menentang perintahnya.
Mendengar ucapan sang Ayah membuat Sania tertawa kecil. Ia tidak percaya laki-laki di hadapnnya ini adalah ayahnya. "Maaf Bapak Sandika yang terhormat. Saya kembali ke sini bukan untuk apa-apa. Saya hanya ingin menemui adik saya." Sania menekankan suaranya pada tiap kata yang terucap dari mulutnya.
Sandika tersenyum kecut. "Bilang saja kamu mau minta uang dari adikmu."
Mendengar ucapan sang Ayah kembali membuat darah Sania mendidih. Memang tidak ada hal lain lagi selain uang di benak si tua ini. "Sanu, makan yang banyak ya. Kakak heran, bisa-bisanya kamu tahan tinggal di sini selama ini. Neraka seperti ini? Haha." Sania meletakkan sendoknya. Nafsu makannya mendadak hilang akibat ucapan sang Ayah.
Sandika terdiam. Ia mengingat kembali masalah perjodohan yang tempo hari sempat ia bicarakan dengan salah satu koleganya. "Sanu, jangan lupakan tentang masalah perjodohan yang kemarin. Dia juga akan berkuliah di kampusmu, kalian mungkin akan bertunangan di semester pertama atau kedua setelah mulai berkuliah." Sandika membuang pandangan. Malas berlama-lama menatap anak sialan yang telah menghilangkan nyawa istri yang amat di cintainya itu.
Sanu masih melanjutkan kegiatannya tanpa menghiraukan sama sekali ucapan sang Ayah. Bagi Sanu dan ayahnya, diam artinya iya. Oleh karenanya, selama bertahun-tahun seringnya hanya obrolan satu arah yang terucap dari mulut keduanya. Sanu sendiri sudah terbiasa dengan semua ini. Tak ada artinya ia menolak atau membalas ucapan ayahnya sebab semua hal yang keluar dari mulut pria itu adalah perintah.
Sementara itu, Sania yang tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi pun mencoba mencerna ucapan sang Ayah. Berkali-kali ia menatap ayahnya dan Sanu bergantian, mencoba mencari jawaban dari ekspresi yang mungkin terlihat di wajah keduanya. Usai berpikir keras selama bermenit-menit, Sania akhirnya paham.
Ayahnya pasti memaksa Sanu untuk menerima perjodohan yang telah ia rencanakan. Gadis itu tinggal dan juga berkuliah di ibukota, oleh karenanya si brengsek Sandika menyuruh Sanu untuk berkuliah di sana. Sania menggertakkan giginya. Kekesalan serta kebenciannya pada sang Ayah terasa semakin menggunung dan membara.
"Astaga. Bener-bener. Gue gak nyangka bisa punya dna dia di tubuh gue." Batin Sania, sesaat sebelum ia meledakkan amarahnya.
"Papa memang keterlaluan ya. Nggak ada habisnya Papa memonopoli Sania dan Sanu," Dengan sekali tarikan napas, Sania melancarkan amarahnya pada Sandika. Tak tahan lagi dengan sikap keterlaluan sang Ayah.
"Bukan urusan kamu. Lagipula Sanu tidak keberatan. Anggap saja balas budi atas kematian Mama kamu," Sandika masih membolak-balik korannya. Tak tertarik sama sekali dengan suara putri sulungnya yang meninggi dan berapi-api.
Jawaban Sandika rupanya semakin memperparah emosi Sania. Tanpa ragu, Sania membombardir ayahnya dengan segenap rasa kecewa yang selama ini dirasakannya.
"Haha! Selalu itu yang Papa ungkit. Mama melahirkan Sanu dan rela membahayakan diri karena Mama sadar bahwa Sanu adalah anaknya, buah hatinya. Seharusnya Papa sadar, Mama sudah pergi dan meninggalkan Sanu untuk Papa. Bukannya dirawat dengan baik malah diperlakukan seperti orang asing! Papa cari uang sebanyak itu untuk apa? Untuk siapa? Di luar sana, orang tua berlomba-lomba menyayangi anaknya sehingga nanti ketika mereka pergi, keturunannya yang akan mengenang dan mendoakan mereka. Jadi, siapa yang bakal mendoakan Papa nanti? Uang-uang Papa?"
Sandika tertegun mendengar ucapan Sania. Rahangnya mengeras lantaran amarah yang sudah sampai pada batasnya. "Jaga ucapan kamu Sania! Bagaimanapun juga Papa ini masih orangtuamu!"
Sania mendecih mendengar jawaban ayahnya. Masihkah layak orang ini ia sebut sebagai Ayah? Di sisi lain, Sanu yang mulai merasa geram dengan aksi adu mulut ayah dan kakaknya pun memutuskan untuk menengahi mereka berdua, "Udah kak. Nggak apa-apa," Sanu beranjak dari kursinya, mencoba menenangkan Sania dengan memeluk bahu gadis yang kini tengah dikuasai oleh amarah tersebut.
Sania masih terengah, ia masih ingin mengumpat dan menjejali ayahnya dengan segala keburukan serta kebiadaban yang selama ini dilakukannya.
Sementara Sania sibuk mengatur napas, Sanu pun memanfaatkan keheningan ini sebagai peluang baginya untuk berbicara, "Sanu mau nurutin apapun mau Papa asal Papa mau kabulkan dua permintaan Sanu," ujarnya lirih dan tiba-tiba, mengejutkan Sania serta Sandika yang masih saling memandang penuh amarah.
"Apa?" Meski merasa terkejut, Sandika tetap berusaha dingin dan tidak peduli dengan putranya. Bagaimanapun juga, kebenciannya terhadap Sanu tak bisa hilang seberapapun sering anak itu berhasil menyentuh hatinya.
"Yang pertama, Sanu mau Papa biayai semua kebutuhan kuliah dan kehidupan kakak," Sanu melirik kakaknya yang nampak melebarkan kedua bola mata karena terkejut mendengar ucapan sang adik.
"Sanu? Maksud kamu apa? Kakak nggak mau kamu mengorbankan diri cuma supaya orang ini ngebiayain kakak!" Sania meraih tangan adiknya, mencoba mencari keraguan di kedua bola mata berwarna coklat itu.
Sanu tersenyum, "Enggak kok. Sanu nggak mengorbankan diri, Kak. Ini kemauan pribadi Sanu," ia mencoba meyakinkan Sania, lantas kembali menatap ayahnya.
"Yang kedua, Sanu mau Papa belikan apartemen untuk tempat tinggal selama kuliah, mobil, dan semua hal yang nantinya akan Sanu minta pada Papa. Intinya papa harus memenuhi semua kebutuhan materil Sanu dan Kakak tanpa terkecuali," Sanu sadar betul bahwa dengan permintaannya ini, Sandika akan semakin meremehkannya, namun hanya ini yang bisa dilakukannya untuk membantu Sania. Untuk meringankan beban kakak yang amat disayanginya.
Sandika tersenyum meremehkan. Ia tahu, kedua anak nakal ini tidak akan bisa hidup tanpa uang darinya, "Oke. Lalu apa permintaan yang kedua?" Sandika menatap malas ke arah anak bungsunya itu.
"Masih belum Sanu pikirkan. Tapi suatu saat nanti pasti akan Sanu minta," tanpa menunggu jawaban dari Sang Ayah, Sanu beranjak dari meja makan kemudian berjalan keluar rumah.
Sania yang masih belum bisa menerima keputusan Sanu mendecak kesal kemudian berjalan cepat mengikuti Sang Adik, meninggalkan Sandika yang bahkan tidak bergeming sedikitpun.
"Dek, maksud kamu apa? Kenapa kamu mau? Kakak nggak butuh uang orang itu, kakak bisa cari uang sendiri. Kakak mau kamu bahagia, jangan peduliin si tua bangka itu. Kamu tinggal aja sama kakak, biar semua biaya kita bisa pikirin sama-sama. Ya?" Sania menarik lengan Sanu, menggenggamnya dengan erat. Ia tidak bisa untuk tidak merasa khawatir memikirkan keputusan adiknya ini.
Sanu melepaskan genggaman Sania dengan lembut, "Kak, ini pilihan Sanu. Lagipula Sanu mau kakak fokus kuliah biar bisa segera lulus dan kerja. Sanu nggak mau kakak terbebani dengan masalah keuangan apalagi sampai nggak fokus belajar. Sanu harap kakak mau mengerti."
Perlahan, Sania mulai berkaca-kaca. Ia tidak paham lagi penderitaan batin macam apa yang selama ini diterima Sanu hingga adiknya itu nampak telah terbiasa dan santai saja menghadapi kesewenangan ayah mereka. Namun Sania tidak memiliki pilihan lain, meski ia keberatan dengan perjodohan yang direncanakan ayahnya, namun ia tidak bisa berbuat banyak lantaran Sanu terlihat yakin dengan keputusannya.
Lagipula ucapan Sanu ada benarnya, bila masalah keuangan bisa teratasi, Sania bisa berkuliah dengan optimal dan segera lulus kemudian mencari kerja. Dengan begitu ia bisa membawa Sanu bersamanya dan melepaskan diri sepenuhnya dari ayah mereka yang egois.
Sanu melirik Sania sekilas, "Sanu mau keluar sebentar," ujarnya pelan. Usai memastikan Sania mengangguk, Sanu berjalan keluar dari rumah.
Dengan hanya mengenakan kaos polos serta celana pendek selutut, Sanu sempat merasa bingung hendak pergi kemana. Usai berdiri cukup lama di depan pintu, pada akhirnya ia berjalan menuju halaman belakang rumah Layla. Tempat ia dan sahabatnya itu biasa menghabiskan waktu bersama.
Di halaman belakang rumah Layla terdapat banyak spot yang Sanu bangun bersama dengan Rafa, kakak Layla yang kini sudah menikah. Terdapat sebuah pondok kecil lengkap dengan televisi dan kasur lantai -beserta guling dan bantalnya-, terdapat pula dua buah ayunan yang dililiti tanaman, serta sebuah kotak surat yang sampai saat ini belum pernah dikeluarkan isinya.
Sementara Layla paling menyukai ayunan dari semua hal yang ada di taman belakang rumahnya, Sanu melabuhkan pilihannya pada kotak surat. Sanu begitu menyukai kotak surat tersebut bukan karena benda itu dibuat berdasarkan idenya, melainkan karena di situlah satu-satunya tempat di mana Sanu merasa aman dan nyaman mengungkapkan semua yang ia rasakan. Hanya kotak surat tersebut yang mampu menelan semua suka dan dukanya tanpa pernah berkata-kata.
Di dalam kotak surat tersebut, Sanu dan Layla memiliki kebebasan penuh untuk menuliskan surat dan memasukkannya ke dalam sana tanpa perlu takut ada yang membaca atau melihat. Surat-surat tersebut berisi segala macam hal yang tidak terikat secara spesifik. Mereka bebas menulis atau bahkan menggambar apapun dengan satu-satunya syarat adalah tidak boleh membuka kotak tersebut sampai waktu yang tidak ditentukan. Mereka masih belum menentukan bagaimana proses pengeluaran surat-surat tersebut nantinya, namun setidaknya Sanu harus memastikan bahwa nanti ketika tiba saatnya mengeluarkan semua surat itu, Layla tidak boleh membaca surat-surat miliknya.
Sanu duduk di atas ayunan dengan tenang. Sejujurnya ia pun merasa berat untuk menyanggupi perjodohan yang direncanakan Sang Ayah, namun Sanu merasa pilihannya ini ialah satu-satunya hal terbaik yang bisa ia lakukan untuk saat ini. Kalaupun Sanu menolak, tetap tidak ada yang akan berubah. Hidupnya masih akan penuh kesengsaraan dan belenggu kesewenangan Sang Ayah. Sanu tidak akan bisa menyelamatkan hidupnya juga kakaknya. Setidaknya dengan begini Sanu bisa meringankan beban Sania dan bisa tinggal jauh dari Sandika.
Tidak banyak yang dilakukan Sanu selama berada di halaman belakang rumah Layla. Ia hanya duduk di ayunan sembari melamunkan segala hal yang menimpanya selama ini.
Hari itu waktu berlalu begitu cepat. Sanu bahkan tidak menyadari berapa lama ia berada di sana hingga Layla datang menghampirinya dengan masih mengenakan seragam sekolah dan ekspresi kesal yang tiada tara.
Layla menjejakkan kaki ke rumput dengan sangat bertenaga hingga membuat rambut panjangnya terombang-ambing mengikuti irama langkah kakinya. Ia berhenti tepat di hadapan Sanu, memasang wajah kesal dengan bibir mengerucut. Entah apa yang mengganggunya, tetapi hanya dengan melihat Layla membuat Sanu merasa ialah penyebab kekesalan sahabatnya itu.
"Kenapa?" Sanu memasang ekspresi terbaiknya, mencoba memadamkan amarah yang membakar Layla.
"Kamu ke mana aja sih? Aku cari kamu kesana-kemari tahu nggak! Kenapa nggak masuk sekolah? Kamu sakit?" Layla mencecar Sanu dengan berbagai pertanyaan yang ada di benaknya.
Sanu menarik napas dalam, "Malas aja. Lagipula di sekolah udah nggak ada pelajaran kan."
"Kamu pulang sendirian?" Sanu menambahkan. Jika tidak bersama Rehan, Layla selalu pulang bersama Sanu dengan berjalan kaki karena jarak sekolah dan kompleks perumahan mereka yang tidak terlalu jauh.
Layla mengangguk, wajahnya sudah tidak se-masam sebelumnya, "Lain kali bilang dong. Kan aku khawatir jadinya."
Sanu tersenyum, tangan kanannya menepuk-nepuk ayunan yang ada di sebelahnya. Berharap Layla duduk di sana.
"Kamu yakin nggak ikut prom night?" tanya Layla.
Jika dilihat dari ekspresi serta gelagatnya, Layla sangat amat mengharapkan kehadiran Sanu di malam istimewa tersebut. Layla ingin Sanu menikmati masa akhir SMAnya dengan riang dan senang meski Layla sendiri sadar bahwa Sanu tidak pernah menyenangi keramaian. Setidaknya Layla ingin menyaksikan Sanu bergaul dengan banyak orang, membuat serta menciptakan lebih banyak kenangan bersama orang lain.
Sanu melirik Layla dengan ragu. Ia menggeleng pelan.
"Enggak. Kamu aja. Aku mending di rumah."
Layla menghela napas. Ia sudah memprediksi bahwa Sanu memang akan menolak ajakannya.
"Yaudah."
Sanu memperhatikan Layla dalam diam. Gadis tersebut terlihat marah. Bibirnya mengerucut tanpa disengaja.
Sanu tersenyum kecil kemudian berkata, "Kan ada Rehan. Kamu nggak akan kesepian di sana."
Layla menggeleng, "Bukan aku. Tapi kamu. Aku pengen kamu sesekali berbaur sama yang lain. Nanti kalau nggak ada aku, kamu mau sendirian terus?"
Sanu terdiam. Ia jadi ingat bahwa sebentar lagi mereka akan segera berpisah. Hal tersebut tentunya akan menjadi yang pertama kali sejak mereka kecil sebab selama ini keduanya tidak pernah terpisahkan. Sanu tidak bisa membayangkan bagaimana dirinya tanpa Layla.
Menyadari ada yang salah, Layla bertanya, "Kamu nggak apa-apa? Aku salah ngomong ya?"
"Enggak. Cuma kepikiran aja. Sebentar lagi kita akan berjauhan kan," Sanu memaksakan seutas senyum terbaiknya. Tidak ingin membuat Layla merasa sedih.
Layla meraih telapak tangan Sanu, "Kamu jadi kuliah di ibukota?"
Layla menatap tepat di kedua mata Sanu. Sejak berminggu-minggu lalu, Layla menentang keras keinginan Sanu untuk melanjutkan pendidikan di ibukota. Layla ingin terus bersama Sanu, tetapi ia sadar bahwa dirinya tidak akan mampu menembus kampus yang sama dengan sahabatnya itu jika Sanu benar-benar akan berkuliah di kampus unggulan nasional tersebut.
"Iya. Maaf Lay, tapi keputusan ini bukan cuma aku yang buat," Sanu melepaskan tangan Layla. Gadis tersebut membuang muka. Berkaca-kaca.
Selama beberapa waktu, keduanya hanya diam tanpa saling mempertukarkan kalimat apapun. Tidak lama setelahnya, Layla mengusap pipinya bergantian sebelum akhirnya menoleh ke arah Sanu. Membuat lelaki tersebut terkejut lantaran melihat sebulir air mata jatuh menuruni pipi Layla yang mulus. Ia tidak ingin melihat Layla menangis, tidak ingin membuat sahabatnya itu menitihkan air mata. Sementara Sanu masih sibuk dengan perasaannya, Layla meraih bahunya dengan lemah kemudianbmemeluknya. Ia mendekap Sanu dengan erat seraya menangis di bidang sahabatnya itu.
Sanu hendak membalas pelukan Layla, tetapi ia urung melakukannya. Tangannya terhenti di udara dan dengan begitu, Sanu membiarkan Layla dan dirinya saling mencurahkan kesedihan atas perpisahan mereka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!