Desir angin malam yang masuk melalui jendela membawa semangat baru. Ini adalah momen dimana Yao Chen akan menentukan tujuan hidupnya. Dia mengetahui "sebagian besar alur" di dalam novel, bagaimana setiap karakter bertindak sampai bagaimana setiap karakter itu berakhir. Namun apakah mukjizat itu sudah mewakili segala hal di Qingyuan? Hanya hasil yang dapat menyimpulkan.
Bab 1 - Liu Xiaotian
Gumpalan kapas putih di atas sana, bergerak lambat mendominasi langit, membuka semua mata di bawahnya akan betapa cerah siang hari ini. Namun keindahan di langit seakan terlewatkan begitu saja, tidak semua orang dapat menikmati pemandangan itu... tidak semua.
Di bawahnya, terbentang luas sebuah daratan luas yang mereka sebut dengan Benua Qingyuan. Daratan yang di penuhi oleh barisan gunung dan lembah, menciptakan kabut tebal yang bergerak lambat bagaikan selimut.
Tak jarang, menara kastil terlihat menembus kabut, menjulang tinggi dengan ditemani oleh kuil-kuil tradisional yang berdiri kokoh di berbagai sisi Gunung Baishan.
Di sini, di Benua Qingyuan, kekuasaan adalah harga tertinggi yang bisa didapatkan. Dinasti besar bangkit dan runtuh seperti gelombang lautan yang tak henti menghantam pantai. Perang saudara, pengkhianatan, dan perebutan takhta telah mengubah tanah ini menjadi kuburan bagi impian para raja. Tapi dari reruntuhan kerajaan lama, lahirlah cerita baru, sebuah kisah yang takdirnya telah tertulis di dalam darah para pahlawan yang telah bangkit dari tidur panjang mereka.
Salah satu Kerajaan terkuat di Benua Qingyuan, adalah Kerajaan Lianyun. Sebuah kerajaan besar dimana perebutan kekuasaan terasa lebih panas dari bara api yang berkobar di dalam tungku. Tak hanya itu, bisikan kegelapan dari sekte-sekte, kultus dan darah iblis juga mulai merasuki tanah kerajaan ini.
Seperti yang terlihat sekarang, tepat di depan gerbang utama Kerajaan Lianyun yang megah, ribuan nyawa baru saja melayang tak berarti. Semua tidak lain karena ambisi para penguasa, mereka lebih mengedepankan ego daripada harus menerima kenyataan yang ada.
Disana, kabut tebal masih menyelimuti bumi, dan angin sejuk menampar wajah Liu Xiaotian yang kini tak lagi peka terhadap rasa sakit. Dia terbaring di tanah berlumpur, tubuhnya setengah terkubur oleh tumpukan manusia yang tak lagi bernyawa. Sebagian masih hangat, sebagian telah membeku termakan waktu.
"Di mana aku...?"
Suara itu tak lebih dari sekedar bisikan, hilang di tengah raungan pertempuran yang memekakkan telinga. Pedang dan tombak saling bertemu, berdenting di kejauhan, melupakan keberadaan pemuda itu sebagai salah satu prajurit yang tersisa. Namun anehnya, tubuh Liu Xiaotian tidak terluka, meski darah mengalir membasahi tubuhnya.
Ketika bangkit, mata pemuda itu berkeliling. Tidak tercium lagi aroma antiseptik, tidak ada suara monitor atau pun bising mesin oksigen yang telah berbulan-bulan menemaninya sepanjang waktu. Sebaliknya, dia malah mencium aroma tanah basah bercampur dengan bau anyir yang busuk, serta merasakan getaran jauh dari suara dentingan logam yang saling bertabrakan.
"I-ini... bukan rumah sakit."
Kepalanya mendadak terasa begitu berat, memaksa Liu Xiaotian memejamkan matanya, mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Ingatan terakhirnya adalah ruangan gawat darurat rumah sakit dengan jendela terbuka, udara malam yang dingin, dan... novel favoritnya yang selalu ia baca setiap waktu. Ia ingat betul halaman terakhir yang dibacanya dengan jelas, adegan di mana seorang karakter bernama Yao Chen tengah bertarung mempertahankan Kerajaan Lianyun.
Hingga ia akhirnya menyadari, bahwa posisinya saat ini sangat mirip seperti adegan dalam halaman novel yang terakhir ia baca. Kedua matanya pun terperanjat, bersamaan dengan rahangnya yang tergantung kaku. "J-jangan bilang, a-aku... telah masuk ke dalam dunia novel?!"
Merasa telah menerima pukulan telak, segala macam pikiran negatif mulai berkecamuk di benaknya. Tanpa ia sadari, kakinya yang bergetar mulai melangkah perlahan, luntang-lantung di antara tumpukan mayat.
"Tidak, tidak, aku pasti masih di rumah sakit... aku pasti belum bangun! Ini semua hanyalah mimpi!"
Tubuhnya terus bergerak tanpa arah, tanpa tujuan, hanya mengikuti naluri untuk bertahan hidup. Tak peduli ke mana kakinya membawanya. Yang dia tahu, ia harus menjauh dari sini. Jauh dari mayat-mayat ini. Jauh dari dunia dongeng ini.
Namun, kenyataan yang kini terjadi, tidak mungkin dapat ia hindari. Setiap langkah yang diambil hanya menimbulkan cipratan lumpur di atas tanah. Napasnya memburu, dan keringat dingin mulai membasahi tubuhnya.
Hingga kakinya tersandung sesuatu, sebuah batu yang tertutup lumpur. Liu Xiaotian terjatuh, tubuhnya mencium tanah berlumpur. Tersungkur, dengan wajah tepat menghadap ke sebuah kolam kecil yang jernih. Airnya yang tenang mencerminkan langit yang cerah, tetapi yang paling mengejutkan adalah, sosok yang dilihatnya di sana.
Wajahnya begitu asing, bukan wajah aslinya.
"S-siapa... ini?!" Suaranya tercekat. Dia merasakan darahnya kian membeku. Tangannya bergetar ketika menyentuh wajahnya, merasakan tekstur kulit yang jauh berbeda dari apa yang dia miliki. Air kolam bergolak pelan, tapi cukup untuk mengkonfirmasi sebuah kenyataan yang mengerikan. Sangat mengerikan, apalagi setelah Liu Xiaotian akhirnya menyadari siapa sosok yang tercermin di permukaan air itu.
"Sepertinya aku mengenalnya." Paniknya semakin menjadi-jadi. "Tidak! Ini tidak benar!" Dia memukul air kolam dengan tangan kosong, menimbulkan percikan yang kacau. "Aku bukan Yao Chen! Aku Liu Xiaotian dan aku belum mati!!"
"Ini pasti mimpi, kan?" gumamnya menatap kedua telapak tangannya yang kotor. "Di kehidupan ku yang dulu, aku bukanlah siapa-siapa. Lalu di dunia ini... aku malah menjadi tokoh sampingan yang berakhir tragis."
Dia mencoba bangkit, berlari ke arah yang tidak jelas, berusaha lari dari tubuh yang bukan miliknya, tidak peduli akan kakinya yang terluka akibat tersandung batu. Namun kemana pun dia pergi, tubuh itu masih dan akan selalu bersamanya.
Di tengah keruwetan yang menyelimuti akalnya, terdengar suara pria berteriak. Sederhana, tapi mampu menggetarkan sekujur tubuhnya.
"Apakah masih ada yang selamat?!" seru pria dikejauhan. "Katakan sesuatu atau lambaikan tangan kalian ke udara!"
Liu Xiaotian, kini telah resmi bernama Yao Chen, menoleh perlahan. Di depan sana, seorang prajurit berdiri dengan gagah, dilengkapi dengan zirah hitam yang penuh goresan. Pada bagian dada, tepatnya di bagian depan zirah, lambang Bunga Keabadian terpatri kuat, mengisyaratkan prajurit itu adalah salah satu bagian dari elit militer Kerajaan Lianyun.
Karena telah membaca novel ini berulangkali semenjak dirinya dirawat di rumah sakit, tentu, Yao Chen mengenali pria yang berjarak sekitar sepuluh tombak dari tempatnya berdiri.
Pria itu adalah Yao Fenlong. Dingin dan angkuh. Nama yang selalu diucapkan dengan bisikan penuh hormat di antara barisan tentara. Yao Fenlong adalah paman Yao Chen, salah satu jenderal terkemuka di kerajaan ini, dan juga sosok yang dikenal karena kekejamannya dalam berperang. Baginya, tidak ada yang lebih penting selain kemenangan. Semua orang, bahkan keluarga, hanyalah bidak di atas papan catur yang dapat dipertaruhkan kapan saja.
Yao Chen menahan napasnya, tahu bahwa kontak mata dengan paman antagonisnya itu akan menjadi akhir dari cerita. Pemuda itu lantas buru-buru menyelinap di balik tumpukan mayat, berharap kotoran lumpur yang bercampur darah cukup untuk menyamarkan dirinya di tengah pemandangan horor ini.
Namun tepat ketika dia hendak membenamkan tubuhnya lebih dalam, terdengar suara wanita yang begitu halus, terdengar tidak asing, menghujam langsung ke dalam hatinya.
"Suamiku?" panggil wanita itu.
Suara itu menghentikan langkahnya seketika. Setiap syaraf dalam tubuhnya seolah lumpuh, tak mampu bergerak, tak mampu berpikir jernih. Ia mengenali suara itu. Mengenal dengan sangat baik. Suara yang akan selalu tertanam di dalam ingatannya. Suara yang paling ia takuti saat menjadi seorang Yao Chen.
Dengan berat hati, pemuda itu menoleh. Di depan sana, tepatnya di balik kabut tipis yang menyelimuti medan pertempuran, berdirilah seorang wanita dengan gaun merah berhias pinggiran emas layaknya bangsawan. Rambutnya disanggul rapi dan garis lengkung di bibirnya terlihat lebih manis dari madu.
Takdir yang selama ini tidak pernah sedikitpun terpikir oleh Liu Xiaotian, kini berdiri anggun di hadapannya, tidak terelakkan.
"Bukankah wanita itu adalah Hua Huifang... istri iblis Yao Chen, yang pada akhirnya menikam jantung suaminya sendiri di malam mereka bercinta, tepat setelah Yao Chen dilantik sebagai Raja Lianyun? Yang Maha Kuasa sepertinya sedang bercanda denganku," gumam Liu Xiaotian sembari menatap wanita berparas sempurna yang terus melempar senyuman kepadanya. Kecemasan di kedua bola matanya terlihat begitu palsu.
"Tidak akan kubiarkan iblis itu menyentuhku. Tidak sedikit pun."
Di bawah bayangan megah Gunung Baishan, Kerajaan Lianyun berdiri bak seekor naga yang menjaga setiap lembah di sekitarnya.
Letak strategis yang berada tepat di jantung jalur perdagangan antara Utara dan Selatan, ditambah cerita tentang Bunga Keabadian itu... menjadi magnet bagi kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Di tengah padang hijau yang bergelombang cembung ke langit dan barisan tebing batu yang menjulang tinggi di balut kabut, tanah ini dulunya pernah damai, namun sayangnya, belum lama ini kerap dikotori oleh debu pertempuran dan siul jerit kematian.
Musuh mereka barusan, Kerajaan Qingfeng, telah merencanakan serangan ini dengan matang. Selama bertahun-tahun, dendam yang mengalir dari perbatasan yang disengketakan dan keserakahan atas kekayaan alam Lianyun semakin menumpuk, hingga akhirnya meledak dalam satu ledakan pertempuran.
Alhasil Qingfeng mengutus jenderal terbaik mereka, Lian Xu, demi merebut kekuasaan atas Lianyun. Mereka tak hanya menginginkan tanah, tetapi juga ingin menghancurkan nama, sejarah, hingga harapan rakyat Lianyun, terutama Dinasti Yao, selaku pemegang kekuasaan tertinggi di kerajaan itu.
Selama berminggu-minggu, medan pertempuran berubah menjadi lautan darah. Pasukan Lianyun, meskipun terbiasa dengan kerasnya pegunungan, mulai goyah di bawah gempuran musuh. Benteng mereka yang kokoh bergetar, ribuan tentara kehilangan nyawanya, lantaran diserbu dari segala penjuru. Namun mereka mampu bertahan, karena Kaisar Yao Zhenghua pernah berkata, bahwa kekalahan bukanlah sebuah pilihan, kita hidup di Baishan atau mati.
Dalam bising pertempuran besar itu, langit yang mendung kini menjadi pertanda akhir, diikuti oleh hujan deras yang menyapu darah, sekaligus menjadi saksi bisu bagi sepuluh ribu lebih pasukan Qingfeng yang akhirnya ditarik mundur.
...[Yao Chen : Bayangan Iblis di Istana Lianyun]...
Beberapa waktu setelah perang besar terjadi, barak utama Kerajaan Lianyun kini dipenuhi oleh sorak kemenangan. Yao Mingzhe, dengan wajah kalem, duduk berhadapan dengan Yao Liangcheng, adik sepupunya yang terlihat berapi-api.
“Aku yakin mereka semua gentar ketika melihatku di garis depan,” dalam posisi bertelanjang dada, pemuda dengan kain jin hitam yang terikat kuat oleh tali renda di kepala itu berkata dengan tawa sombong, memamerkan pedang berkilauan di genggamannya. “Kerajaan Qingfeng tak pernah tahu apa yang menghantam mereka. Aku menghabisi pasukan kavaleri mereka seperti sekumpulan serangga. Mereka bukanlah tandingan ku!”
Di depan saudaranya yang berdiri bangga, Yao Mingzhe hanya membalas dengan senyuman tipis lalu menaikkan salah satu kakinya ke atas meja kecil. Melihat luka ringan di kaki Yao Mingzhe, seorang perawat wanita segera membasuh dan membalutnya dengan kain.
“Kau selalu saja berlebihan, Yao Liangcheng. Lantas, bagaimana nasib saudara kita itu? Aku belum melihatnya kembali ke barak.”
Yao Liangcheng tertawa keras, menahan perut. Membuat dua perawat wanita di kanan-kiri, kesulitan untuk mengobati luka di punggungnya. “Saudara kita? Yao Chen? Kak, yang benar saja, dia mungkin sudah terkubur bersama pasukannya! Aku melihat seluruh divisinya lenyap saat gelombang serangan pertama menghantam. Jika dia masih hidup, itu akan menjadi sebuah keajaiban yang lebih besar dari apapun. Bahkan Dewa Surgawi pun tak akan sanggup bertahan dari hujan panah sebanyak itu."
"Itu salahmu Yao Liangcheng... ." Yao Mingzhe juga terlihat menahan tawa di tengah kejaimannya. "Bagaimana kita menceritakan ini pada paman besar Yao Lin?"
Yao Liangcheng tertegun sejenak, menatap kilauan di pedangnya sebelum kembali tersenyum. "Kita ceritakan saja pada ayahku jika putra sulungnya itu tewas secara terhormat."
"Mulutmu jelek sekali," balas Yao Mingzhe sambil melempar saudaranya itu dengan segenggam kain yang kotor.
Saat tawa Yao Liangcheng menggema, pintu besar barak terbuka dengan kekuatan yang membuat mereka berdua terdiam. Yao Fenlong melangkah masuk, wajahnya tegas tanpa emosi. Mata tajamnya memandang lurus ke depan, mengabaikan tatapan semua orang, termasuk kedua pemuda itu. Yao Mingzhe yang menyadari kehadirannya, lantas berdiri, mendekati ayahnya dengan hormat.
“Ayah, apakah semua musuh telah mundur?” Yao Mingzhe bertanya, tapi Yao Fenlong tidak segera menjawab. Jenderal berusia 50-an itu terus melangkah menuju ruangan pribadinya, diikuti bayangan besar tubuhnya yang masih berbalut zirah, menelan cahaya masuk dari luar.
“Yao Lin dan Guangyao sedang membersihkan pasukan Qingfeng yang tertinggal,” jawabnya tanpa menoleh. "Aku akan menulis laporan untuk Kaisar Yao Zhenghua."
Yao Mingzhe hanya terdiam, ingin bertanya lebih lanjut, namun ia terlebih dahulu melihat sosok lain yang muncul di ambang pintu. Sosok yang membuat nafasnya tersendat. Begitu pula dengan Yao Liangcheng yang sebelumnya penuh tawa, kini memucat, rona merah diwajahnya terlihat begitu membara. Ditambah tatapan tajam yang tak bisa beranjak sedikit pun dari saudara tirinya itu.
Hua Huifang, perlahan masuk, memapah suaminya yang berlumuran darah dan kotoran.
"Hua Huifa— maksudku... istriku," panggil Yao Chen. "Aku baik-baik saja, ini hanya luka goresan kecil ketika aku tadi tersandung."
Namun istrinya tidak menanggapi perkataannya, ia justru membalas tatapan tajam ke arah Yao Mingzhe dan Yao Liangcheng.
Yao Chen merasakan nafas berat Hua Huifang di pundaknya, namun yang lebih berat lagi adalah beban dari tatapan saudara-saudaranya. Tangannya bergetar ketika mencoba menopang tubuhnya, tapi rasa sakit yang menjalar di kaki memaksanya untuk tetap bergantung pada istrinya. Tubuh barunya terlalu lemah.
"Kau selamat," suara Yao Mingzhe lirih namun menusuk. "Si bodoh yang tak pernah belajar dari kesalahan rupanya masih beruntung kali ini."
Yao Chen tertawa kecil dalam hati. Mingzhe, selalu saja penuh sarkasme... Sepertinya kau memang cerminan dari sebuah kebijaksanaan yang cacat. Aku sudah mengetahui bagaimana dirimu berakhir di masa depan. Walaupun awalnya terasa mengerikan, berpindah tubuh ke dalam dunia novel favorit ku ternyata lebih menarik dari yang aku kira.
"Beruntung?" Hua Huifang masih melotot dengan tatapan yang sama ke arah Mingzhe, seolah melempar tombak guntur dari matanya. "Kau sepertinya lupa, Mingzhe. Sejak awal suamiku tidak pernah bergantung pada keberuntungan. Dia punya keahlian yang tidak kau miliki. Kau hanya belum menyadarinya. Terlebih lagi, Kaisar Yao Lin akan melantiknya menjadi penerusnya suatu hari nanti."
Yao Liangcheng, yang berdiri tak jauh, mendengus sambil mengayunkan pedangnya. "Yao Chen menjadi Kaisar? Wow! Jika Yao Chen yang memimpin, aku yakin seluruh divisi akan ikut tersandung bersamanya. Itulah kenapa mereka bisa mati begitu cepat!"
"Lagipula... keahlian apa yang dimiliki dari seorang pangeran yang tidak dapat berkultivasi, aku harap kau masih hidup ketika kita menjarah ke benteng Kerajaan Qingfeng musim depan."
Yao Chen bisa merasakan darahnya mendidih, bukan karena hinaan itu, namun karena cara Liangcheng mengatakannya dan bisa-bisanya tebakannya benar jika dirinya baru saja tersandung—membuatnya malu. Selain itu, cecunguk yang satu ini juga tidak memanggilnya kakak. Yao Chen benar-benar ditenggelamkan oleh kerabatnya sendiri. Selalu begitu.
"Saudara kita ini memang spesial," Yao Mingzhe melipat tangannya di dada. "Tidak semua orang bisa dilahirkan cacat, kan?"
“Tapi sudahlah, Liangcheng. Kita tak perlu memperkeruh suasana bahagia ini. Bagaimanapun, Yao Chen masih di sini. Aku yakin ada alasan kuat dari Dewa mengapa dia selamat... walaupun agak sulit dipercaya. Sekarang biarkan mereka lewat.”
...[Yao Chen : Bayangan Iblis di Istana Lianyun]...
Waktu berlalu dengan cepat, membawa desir kedamaian malam yang perlahan menguasai seluruh istana. Langit yang semula dihiasi dengan semburat jingga, kini telah berubah menjadi gelap, hanya diterangi oleh sepotong bulan sabit yang menggantung di cakrawala.
Setelah melewati hari yang begitu melelahkan, baik secara fisik, maupun mental, Yao Chen akhirnya dapat menikmati waktu untuk dirinya sendiri, setidaknya mendapatkan waktu untuk menyesuaikan diri dengan raga barunya.
Tubuhnya kini berbaring santai diatas kasur mewah yang dipenuhi bantal satin. Seprei berbahan sutra segera menyentuh kulitnya, wangi dari Bunga Xianglan segera tercium, ditambah teksturnya yang lebih lembut dari bulu domba, tentu memberikan kenyamanan yang tiada duanya.
"Ini hari pertama yang gila," bisiknya, sambil terus memutar telunjuknya ke langit-langit.“Dunia ini penuh dengan kekejaman, diluar maupun di dalam kastil. Sebuah tamparan keras untuk seseorang yang telah terbiasa duduk di atas kursi roda sepertiku."
Matanya menerawang ke sekeliling ruangan. Segala detailnya terpahat sempurna, tirai emas, meja kayu dengan ukiran naga, perabotan mahal, semua jauh di luar jangkauan hidupnya di dunia sebelumnya.
"Lucu sekali," pikir Yao Chen, "Setidaknya kamar ini lebih besar daripada apartemen kecilku dulu. Haish... kenapa aku tidak jadi tokoh utamanya saja... kenapa harus jadi Yao Chen."
Disaat yang sama, pikirannya terhenti sejenak, setelah terdengar suara langkah kaki berjalan mendekati pintu kamar. Awalnya, ia mengira itu hanyalah salah satu pelayan yang biasa lewat, tetapi ada sesuatu yang berbeda dari suara langkah itu... terdengar lebih ringan, lebih anggun.
Yao Chen segera menoleh ke arah pintu, dan pemandangan di depannya membuat darahnya mendesir kencang. Hua Huifang muncul di ambang pintu, tubuhnya yang ramping sempurna hanya diselimuti kain tipis putih yang nyaris tidak menutupi apapun. Rambutnya tergerai di bahu, dan mata yang terkesan mengintimidasi itu memandang lurus ke arah Yao Chen, menerobos langsung ke dalam jiwa, membuat sekujur tubuhnya terasa panas.
"Ini buruk... sangat buruk, bahkan lebih menyeramkan dari menghadapi seratus Yao Fenlong sekaligus," pikir Yao Chen dalam hati. Dia tahu melawan seratus Yao Fenlong pun adalah hal tergila dalam hidupnya. Namun ketika teringat bagaimana cara tokoh Yao Chen mati di dalam novel, momen yang kini berjalan, terasa begitu dekat dengan kematiannya.
Tanpa berpikir jernih, dia melompat dari kasur, tubuhnya yang lemah dan belum terbiasa langsung terhuyung. Selimut yang menjerat kaki membuatnya tersandung, dan dengan gerakan yang sama sekali tidak keren, Yao Chen terjerembab mencium lantai dengan bunyi yang begitu keras, menimbulkan kerutan di kening istrinya.
“Benarkah... ini suamiku?”
Setelah kejadian memalukan tadi malam, Liu Xiaotian tidak bisa tidur dengan tenang. Kenyataan bahwa Yao Chen bukan seorang kultivator dan hubungannya yang canggung dengan Hua Huifang membuatnya berpikir tentang apa yang tertulis di dalam novel, jika karakter ini tidak lebih dari tokoh sampingan yang tak berguna. Namun kini ada sesuatu yang mengganggunya, seperti sebuah rahasia yang belum terungkap.
Pagi itu, ketika matahari baru saja menyusupkan sinar hangatnya ke jendela kamar, Liu Xiaotian mendapat dorongan untuk mengeksplorasi lebih jauh ke dalam kehidupan Yao Chen. Dia penasaran, apakah ini benar-benar hanya kesalahpahaman dari perspektif seorang pembaca atau memang ada alasan tersembunyi dibalik raga ini? Bahkan Liu Xiaotian sendiri tidak pernah memikirkan tentang tokoh Yao Chen ketika ia menghabiskan banyak waktu untuk membaca novel ini.
Mengikuti naluri, dia berkeliling rumah besar dari kayu yang sekarang ia tempati, bisa dibilang Wang Fu ini adalah tempat tinggal barunya. Di luar kamar tidur, terdapat lorong kayu panjang yang dipenuhi berbagai barang-barang antik, guci perunggu dengan berbagai macam ukiran sampai cakram giok besar berbentuk Bunga Keabadian, hampir semuanya berkilau dan bernilai tinggi. Beberapa lukisan keluarga juga terpampang disana, hal itu membuatnya berhenti untuk melihatnya sebentar.
Yao Chen adalah putra sulung dari Yao Lin, salah satu jenderal ternama Lianyun, dan karena Yao Zhenghua sudah mencapai usia ke 84-nya, Sang Kaisar akhirnya memutuskan untuk mencari penerusnya. Setelah pertemuan besar dengan para dewan kerajaan, keputusan akhirnya jatuh pada putra pertamanya, ayah Yao Chen.
Tepat di dalam lukisan itu, disebelah ayahnya, Yao Chen kecil terlihat berada di dalam pelukan ibunya yang bernama Zhang Lihua. Liu Xiaotian ingat betul setiap karakter di dalam lukisan-lukisan itu, dan bagaimana mereka semua berakhir. Ibu Yao Chen meninggal saat usiannya baru menginjak dua tahun. Alhasil, Yao Lin memutuskan untuk menikah lagi, namun kali ini ia menemukan wanita yang jauh berbeda dengan Zhang Lihua. Berbeda menurut sifat maupun cara berpenampilan.
Li Mei, istri barunya itu adalah seorang bangsawan kaya raya, dimana mereka dikaruniai satu orang putra bernama Yao Liangcheng, si bocah sombong itu.
Liu Xiaotian, entah kenapa merasa darahnya mendidih berlama-lama memandangi lukisan itu. Ia merasa bertanggungjawab atas raga barunya, termasuk seluruh kejadian yang berkaitan dengan sosok Yao Chen.
"Bagaimana pun, ini adalah kesempatan kedua. Aku harus melakukan yang terbaik, apapun resikonya," ucapnya dalam hati.
Lama ia memandangi lukisan itu, suara langkah berat sepatu terdengar mendekat dari belakang.
"Apa yang kau lihat, Nak?" suara itu membuat jantung Liu Xiaotian berdegup kencang. Ia nyaris memanggil nama Yao Lin begitu saja, beruntung dia segera ingat siapa dirinya sekarang.
"Oh... Ayah," jawabnya cepat, sedikit canggung. Yao Lin mendekat, menepuk bahu Yao Chen dengan kelembutan seorang ayah.
"Sudah lama kau tidak berdiri di depan lukisan ini. Kau pasti mengenang masa kecilmu, ya?" Yao Lin tersenyum tipis, memperlihatkan kerutan usia di wajahnya yang mulai menua, terutama disekitar mata kirinya yang tertutup oleh kain berwarna hitam.
Yao Chen hanya mengangguk pelan. Setiap kata terasa sulit keluar dari mulutnya, terutama saat menyadari bahwa Yao Lin adalah pria yang begitu berbeda dari sosok ayah yang pernah ia bayangkan. Liu Xiaotian selalu menganggap setiap orang dari Dinasti Yao adalah tokoh antagonis.
"Aku tahu," lanjut Yao Lin. "Perang kemarin pasti membuatmu lelah. Kau melakukannya dengan baik, meskipun kau mungkin merasa dirimu belum cukup kuat, padahal kenyataannya kau lebih dari itu, anakku."
Kekuatan? Tentu saja tidak. Tubuh ini bukan milik kultivator hebat, bahkan bukan seorang kultivator, tapi ayahnya tetap memberikan kepercayaan penuh. Itu yang sekarang membuatnya merasa lebih berat memikul nama Yao Chen. Sekaligus membuatnya percaya, bahwa tokoh antagonis dalam cerita ternyata masih memiliki hati yang tulus.
"Oh, ya. Apakah kau melihat Yao Liangcheng belakangan ini? Aku belum melihatnya berlatih di Wuchang pagi ini."
"Tempat biasanya dia berlatih?" Yao Chen menggeleng. "Aku tidak tahu."
"Benar." Yao Lin mendesah panjang, nada suaranya berubah menjadi lebih berat. "Anak itu... terlalu dimanja oleh ibunya. Sudah waktunya dia mendapatkan disiplin yang lebih keras. Besok aku akan memberinya latihan fisik seharian penuh."
Sebelum Yao Chen sempat menjawab apa pun, Yao Lin kembali berbicara. "Ngomong-ngomong, Nak. Jika kau tidak keberatan, aku ingin kau pergi ke Toko Ruolan untuk membeli beberapa ramuan peningkat kultivasi. Aku rasa Li Mei lupa untuk membelinya kemarin. Ajak juga istrimu, dia pasti akan memerlukannya bulan depan."
Kebingungan melintas di wajah Yao Chen. "Apa yang akan terjadi bulan depan, Ayah? Apakah Kerajaan Qingfeng akan kembali secepat itu?"
"Bukan, anakku." Langkah Yao Lin berhenti, lalu menoleh dengan serius. "Perburuan Jiwa Surgawi," jawabnya. "Kultivator dari berbagai penjuru Qingyuan akan berkumpul di Baishan untuk memburu monster dan meningkatkan kultivasi. Itu adalah ajang yang sangat penting. Berhubung Hua Huifang adalah salah satu kultivator terkuat, aku harap kau dapat memberinya dukungan terbaik. Orang-orang pasti akan merencanakan hal buruk kepadanya. Terlebih istrimu memiliki darah Iblis Baifeng."
Yao Chen terdiam. Ia tidak pernah mendengar perburuan seperti itu dalam novel. Tepat ketika pikirannya mulai berkecamuk, Yao Lin sudah menjauh, meninggalkannya dengan berbagai pertanyaan yang belum terjawab.
"Jika dipikir-pikir... bergantung pada pengetahuanku tentang novel ini saja tidak cukup," gumam Yao Chen kembali melihat ke arah lukisan keluarganya. "Dunia ini terlalu detail jika semua momen dituliskan dalam satu buku. Aku mesti mempelajari semuanya lagi seperti bayi."
...[Yao Chen : Bayangan Iblis di Istana Lianyun]...
Ratu Iblis pemimpin Kerajaan Lianyun. Demikianlah kata-kata yang sering dibisikkan oleh pengikut setianya, sebagian besar adalah keturunan asli Suku Baishan yang dikenal dengan nama Baifeng. Maklum, wanita dengan seringai lebar yang terlihat lebih sadis dari seringai serigala itu memang salah satu keturunan asli Suku Baifeng yang tersisa.
Duduk santai di lantai paling atas pagoda hanya membuat hidungnya makin kembang-kempis. Mendengus kesal lantaran orang yang dia nantikan tidak kunjung tiba. Cheongsam putih yang melekat sempurna di tubuhnya mulai berdebu, belum lagi terik matahari pagi yang mulai merangsek masuk melalui jendela, menjadi bom waktu sebelum kesabarannya habis sepenuhnya.
"Maaf terlambat, Ratu Iblis."
“Apa kau datang hanya untuk memberi tahu alasan keterlambatanmu?” Hua Huifang tidak menoleh. Ia hanya mengibaskan kipas di tangannya dengan gerakan yang paling angkuh.
Salah satu hal yang disukai Ratu Iblis kepada gadis ini adalah Ning Zixuan selalu tepat waktu. Namun tidak untuk hari ini. Sebagai gadis berpisau paling tajam diantara pengikut dari Kultus Iblis seharusnya dia tidak membiarkan ratunya berdebu di dalam pagoda.
“Ada komplikasi di lapangan, Ratu Iblis. Aku harus memastikan semuanya bersih sebelum datang,” jawab Ning Zixuan dengan tenang, nada bicaranya datar, nyaris tanpa emosi.
"Komplikasi?" Hua Huifang akhirnya menoleh, memicingkan mata. “Kau tahu, aku tidak suka menunggu untuk alasan yang begitu sepele. Ning Zixuan, kau tahu konsekuensinya.”
Ning Zixuan tidak bergeming. Ia sudah terbiasa dengan tatapan mematikan dari Hua Huifang. Lagipula, tak ada ketakutan yang bisa menyelinap ke dalam dirinya. Profesinya tidak mengizinkan kelemahan.
"Aku sudah pastikan bahwa segalanya berjalan sesuai rencana. Yao Lin akan segera menjadi Kaisar, dan kita hanya tinggal menunggu waktu yang tepat."
"Menunggu waktu yang tepat?" perkataannya barusan hanya membuat perut Hua Huifang makin terasa geli. "Kau pikir aku akan sabar menanti hanya untuk membiarkan waktu yang ‘tepat’ menentukan nasib kita? Yao Lin harus mati setelah dia duduk di singgasana. Tidak ada penundaan, tidak ada ruang untuk kesalahan. Sekecil apapun itu."
"Dan itulah yang akan terjadi, Ratu Iblis," tegas Ning Zixuan, menyatukan kepalan kedua tangannya di depan wajah sambil membungkuk hormat. "Penobatan sudah diatur, dan aku sudah menyusupkan orang-orang kita dari Kultus Iblis di setiap sudut istana. Setelah mahkota dipasangkan, Yao Lin tidak akan bertahan lama."
Hua Huifang berdiri, mengibaskan debu dari cheongsam putihnya dengan menahan emosi. “Yao Chen, suamiku, terlalu lemah untuk mengklaim tahtanya sendiri. Maka, aku harus mengatur semuanya. Ini bukan hanya soal membunuh Yao Lin; ini adalah soal menghancurkan fondasi keluarga Yao dari dalam.”
“Kau sudah melihat Yao Chen tadi malam, kan? Dia seperti anak kecil yang terperangkap di tubuh pria dewasa, tidak berguna dan juga lamban."
"Maaf aku tidak bisa mengikuti Ratu Iblis pada waktu itu. Aku takut merusak privasi Ratu," timpal Ning Zixuan. "Apakah ada yang aneh dari Yao Chen?"
"Yang aneh? Ya, ada sedikit." Kipas di tangan Hua Huifang berhenti bergerak, dan matanya menyipit begitu tajam. "Tidak ada seorang pun yang pernah menolak kecantikanku."
"Menurutku... Yao Chen adalah penyuka sesama jenis."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!