Hujan semakin deras, menyapu jalanan dengan suara gemuruh yang tak henti-hentinya. Di bawah atap terminal bus yang sempit, seorang gadis berusia dua puluhan, Caitlin, memeluk tubuhnya erat-erat untuk mengusir dingin. Ponselnya bergetar di tangan, jemarinya gemetar saat menekan nomor pamannya.
"Paman, aku tidak bisa pulang. Di sini tidak ada bus," katanya dengan suara yang bergetar, mencoba menahan ketidaknyamanan yang menguasai tubuhnya.
Suara pamannya terdengar di seberang, terdengar kesal dan sedikit mengeluh, "Caitlin, kenapa kamu lambat sekali, sehingga hujan turun baru sampai ke terminal?"
Caitlin menghela napas. "Paman, aku mana tahu kapan hujan dan panas," jawabnya dengan sedikit nada putus asa, "Bagaimana kalau Paman jemput aku saja."
Pamannya terdiam sejenak, mungkin berpikir. "Hujan deras begini, aku mana bisa bawa mobil," katanya akhirnya, terdengar tak acuh.
Rasa frustrasi mulai merayapi Caitlin. "Kalau tidak bisa bawa mobil, jalan kaki saja!" balasnya dengan nada kesal, suaranya semakin tinggi, berusaha agar pamannya memahami situasinya.
Pamannya bertanya dengan nada malas, "Kamu di jalan apa?"
Caitlin memandang sekeliling, mencoba mengenali jalan, tapi semuanya tampak kabur di bawah hujan deras. "Tidak tahu!" jawabnya singkat.
"Coba gambar dan kirim ke sini!" titah pamannya tanpa rasa simpati.
Caitlin menggeram, menggigit bibirnya untuk menahan kekesalan. "Aku hampir mati kedinginan masih menyuruhku menggambar! Di mana Kakak? Minta dia jemput aku! Kalau tidak, makanan kesukaan Bibi aku habiskan sekarang juga!"
Pamannya tertawa kecil di ujung sana, terdengar menantang. "Coba saja kalau kau tidak sayang nyawamu!" ancam balik sang paman dengan santai.
Caitlin baru akan membalas, ketika tiba-tiba terdengar suara benturan keras. Jantungnya berdegup kencang, matanya melebar saat ia melihat ke arah sumber suara. Sebuah kecelakaan, tidak jauh dari tempatnya berdiri. Dengan rasa terkejut, Caitlin segera berlari ke arah itu, ponselnya masih di tangan, menempel di telinga.
"Hallo? Hallo? Kenapa tidak ada suara?" suara pamannya terdengar bingung, tapi Caitlin tak lagi memedulikannya.
"Gawat! Gawat! Ada kecelakaan mobil, ada yang terluka, Paman!" teriaknya, suara panik mulai merasuk.
Suara pamannya terdengar lebih serius sekarang. "Tinggalkan tempat itu! Jangan terlibat!" perintahnya dengan tegas.
Caitlin, yang masih dikuasai adrenalin, berhenti sejenak dan berpikir sejenak. "Kalau Paman yang kecelakaan, apakah aku harus pergi agar tidak terlibat?" balasnya, lidahnya bergerak lebih cepat dari pikirannya, yang tidak mau kalah.
"Kau ini..." pamannya tidak sempat menyelesaikan kalimatnya.
Dengan cepat, Caitlin memutuskan sambungan telepon dan fokus pada kecelakaan yang terjadi di depannya. Ia mendekati mobil yang ringsek di bawah hujan deras. Kaca jendela pecah, dan darah terlihat bercucuran dari sopir yang tak sadarkan diri. Di kursi belakang, seorang pria tampak terjebak dalam posisi terbalik, darah mengalir di wajahnya.
"Tuan, cepat bangun, Tuan!" teriak Caitlin dengan suara panik, hujan terus mengguyur deras, menggigit kulitnya yang sudah basah kuyup. Ia berjongkok di dekat mobil yang ringsek, mencoba membangunkan kedua pria asing yang terjebak di dalam. Pandangannya berpindah dari sopir yang tak sadarkan diri ke pria di kursi belakang yang terluka parah.
Dengan tangan gemetar, Caitlin merogoh tasnya, mengeluarkan pisau lipat kecil yang selalu dibawanya untuk berjaga-jaga. Ia memakainya untuk memotong sabuk pengaman yang menahan pria di kursi belakang. Sabuk itu terikat erat, tetapi Caitlin memotongnya dengan cepat, pisau meluncur dengan tekad yang semakin besar.
"Bangun! Tolong bangun, kakimu terluka parah!" serunya lagi, kali ini dengan nada yang lebih mendesak. Ia melihat kakinya terjepit, tampak memar dan berdarah. "Sepertinya kamu akan cacat kalau kita tidak bergerak cepat," lanjut Caitlin, berusaha tetap tenang meski di dalamnya ada ketakutan yang terus tumbuh.
6 bulan kemudian
Mansion Fernando berdiri megah dengan arsitektur klasik yang mengesankan, dikelilingi oleh taman hijau yang terawat sempurna. Di dalam ruang utama, keheningan menyelimuti seolah mengikuti kepribadian pemiliknya. Reynard Fernando, pria tampan yang memancarkan wibawa meski duduk di kursi roda, tengah merenung dalam kesunyian. Dia adalah CEO yang sukses di bidang elektronik canggih, dan namanya terkenal di beberapa negara. Meskipun tubuhnya terbatas, pikirannya tetap tajam dan ambisinya kuat.
Seorang asisten yang setia, Nico, dengan cekatan membantu Reynard mengenakan jas hitam yang dirancang khusus untuk menonjolkan ketampanan dan kedewasaan pria itu. Wajah Reynard terpahat tegas, garis-garis wajahnya menggambarkan pengalaman hidup yang penuh liku, namun tetap ada pesona yang memancar dari sorot matanya.
"Tuan, mereka sedang menunggu kita, dan putri mereka juga sama," ucap Nico, memecah keheningan. Suaranya tenang namun penuh penghormatan.
Reynard memandang cermin di depannya, menatap refleksi dirinya. Sesaat, keraguan melintas di benaknya, seperti awan yang melintasi langit. "Nico," katanya pelan, namun tegas, "Apakah kamu yakin putri mereka tidak keberatan dengan kondisiku?"
Nico berhenti sejenak, lalu menatap Reynard dengan penuh keyakinan. "Dia sangat berharap bertemu dengan Anda, Tuan. Dan dia sudah tahu kondisi fisik Anda," jawab Nico.
Reynard menghela napas panjang. Meski sukses dalam kariernya, kehidupan pribadinya selalu terasa seperti medan perang, penuh ketidakpastian. "Aku akan pergi, dan aku tidak menjamin akan menikahinya. Pertemuan ini aku anggap sebagai perkenalan, bukan perjodohan," jawab Reynard dengan nada yang tak terbantahkan.
Nico mengangguk penuh pengertian. "Baik, Tuan!" jawabnya.
Mansion Revelton
Di ruang tamu yang luas dan mewah, Rolla, seorang wanita paruh baya dengan dandanan yang elegan, berdiri di depan cermin besar, mengamati putrinya dengan tatapan penuh ambisi."Nancy, apakah kamu sudah siap? Kenakan pakaian yang cantik dan seksi, agar bisa menarik perhatian Tuan Fernando," seru Rolla.
Nancy menuruni tangga dengan anggun, penampilannya benar-benar memukau seperti seorang bidadari. Wajahnya yang cantik dengan bibir merah menggoda, tubuhnya yang ramping dibalut dress ketat yang menonjolkan setiap lekuknya. Dress itu menampilkan belahan dada yang cukup dalam, sengaja dipilih untuk menarik perhatian pria manapun yang melihatnya.
"Tentu saja, Ma. Aku siap," jawab Nancy dengan senyum puas di wajahnya.
Di sudut ruangan, Tom, ayah Nancy, berdiri dengan tangan terlipat di dada. "Nanti, ketika Tuan Fernando datang, kamu harus bisa mengambil hatinya. Ini kesempatan emas untukmu, dan untuk keluarga kita," katanya dengan nada penuh tekanan.
Nancy mendengus kecil, mengangkat bahu dengan angkuh. "Papa, tenang saja. Aku baru membeli gaun ini, dan lihat, sangat cocok, bukan? Lagipula, Tuan Fernando memang lumpuh, tapi dia kaya raya. Itulah yang paling penting, bukan?" jawabnya dengan nada meremehkan. Baginya, kondisi fisik Reynard Fernando tidak ada artinya dibandingkan kekayaannya yang melimpah.
Tom tersenyum tipis, matanya berbinar penuh harapan. "Tentu saja, Itulah yang kita butuhkan," katanya.
Rolla, yang sejak tadi memperhatikan, tiba-tiba bertanya dengan nada lembut, "Nancy, di mana Caitlin?"
Nancy memutar matanya, menunjukkan ketidaksabarannya. "Dia masih di kamar, Ma. Semalam baru tidur jam dua karena aku memintanya mencuci semua pakaian dalamku," jawabnya dengan santai.
Tom, yang mendengar hal itu, mengerutkan kening. "Kamu sudah dewasa, Nancy. Kenapa bukan kamu sendiri yang melakukan hal-hal seperti itu?" tanyanya dengan nada lebih serius.
Nancy hanya tersenyum tipis, lalu menjawab dengan sikap angkuh. "Pa, Caitlin hanya numpang tinggal di sini. Dia makan, tidur, dan menikmati semua fasilitas rumah ini. Apa salahnya kalau aku memberinya sedikit pekerjaan?" ucapnya dengan nada meremehkan. Baginya, Caitlin hanyalah seorang yang tidak penting yang tidak sepadan dengannya dan hanya layak melakukan tugas-tugas rumah.
Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar dari pintu utama Mansion Revelton. Reynard Fernando, didorong oleh asistennya Nico, masuk ke ruang keluarga. Kehadirannya membawa aura dingin dan kaku, menciptakan suasana yang segera berubah hening. Reynard, pria tampan dengan raut wajah tegas namun tanpa ekspresi, duduk di kursi rodanya dengan postur yang tetap berwibawa meski tubuhnya terbatas. Matanya tajam, tak menunjukkan sedikit pun tanda kehangatan.
Di sudut ruangan, Tom berdiri dengan senyum lebar, mencoba menyembunyikan kegugupannya. "Tuan Fernando, sungguh keberuntungan bagi kami karena Anda bersedia datang bertamu ke rumah ini," ucap Tom, berusaha memecah keheningan. Suaranya terdengar terlalu ramah, seperti seseorang yang sangat berharap mendapatkan keuntungan dari pertemuan ini.
Nancy, yang sejak tadi duduk di seberang Reynard, tak henti-hentinya menatapnya dengan senyuman manis. Ia mengenakan gaun ketatnya, berharap bisa menarik perhatian pria kaya yang duduk di depannya. Meski tahu kondisinya, ia tetap percaya bahwa penampilannya akan membuat Reynard tertarik.
Namun, tanpa memperdulikan senyuman Nancy atau sambutan hangat Tom, Reynard menatap lurus dengan dingin. "Aku datang karena sudah janji," ucapnya singkat, suaranya rendah dan tegas. Tidak ada keramahan dalam intonasinya, seolah-olah kedatangannya hanya formalitas yang tak ia nikmati.
Nancy berusaha memecah ketegangan dengan suara lembut, "Tuan Fernando, saya harap perjalanan Anda ke sini menyenangkan. Kami sudah menunggu lama untuk bertemu Anda."
Namun, Reynard hanya menatap Nancy sebentar sebelum kembali memalingkan wajahnya. "Perjalanan biasa. Tak ada yang perlu diungkapkan lebih jauh," jawabnya dengan nada yang sama, dingin dan tanpa emosi.
Suasana di ruang keluarga Mansion Revelton yang semula hening langsung berubah tegang ketika suara teriakan dari lantai atas terdengar begitu keras. Caitlin, keponakan Tom, berlari menuruni anak tangga dengan langkah cepat, tampak sangat kesal, tidak menyadari kehadiran tamu penting di rumah itu.
"Paman!" teriak Caitlin dengan wajah masam. "Tolong beritahu putrimu jangan selalu menyuruhku mencuci pakaiannya. Semalam dia datang dengan setumpuk pakaian dalam ke kamarku dan memintaku mencucinya. Padahal sudah jam 10 malam!" keluhnya tanpa henti, seolah-olah ini adalah satu-satunya kesempatan baginya untuk meluapkan semua rasa frustrasi yang selama ini ia pendam.
Tom, yang mendengar itu, langsung tersedak minumannya dan batuk-batuk, wajahnya memerah antara malu dan marah. Nancy, yang duduk tidak jauh dari Reynard, tampak berusaha mempertahankan senyumnya meskipun jelas terlihat bahwa emosi di dalam dirinya mulai memuncak. Sementara itu, Reynard duduk diam di kursi rodanya, mengamati gadis muda itu dengan tatapan tak terbaca.
"Aku baru bisa tidur jam 2 pagi gara-gara itu!" Caitlin melanjutkan, tidak menyadari betapa tegangnya suasana. "Untuk apa tampil cantik kalau bahkan celana dalam saja tidak mau dicuci sendiri? Dalam sehari ganti berapa kali ? Sampai aromanya jadi seperti itu. Bukannya sering mandi? Tapi kenapa masih ada bau yang begitu menusuk?"
Kata-katanya yang ceplas-ceplos membuat Nancy menggertakkan gigi, sementara Tom hanya bisa menahan diri, wajahnya semakin merah. Rolla, yang duduk di sana, tampak tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi.
"Caitlin, bisa diam sedikit?" pinta Tom dengan suara kecil, penuh harap agar keponakannya berhenti bicara.
Reynard, yang sejak tadi memperhatikan Caitlin, tidak bisa menahan pandangannya dari gadis yang masih mengenakan pakaian tidur dengan motif kartun. Wajah Caitlin masih polos, jelas belum dicuci, matanya sembab seolah baru saja bangun dari tidur, tetapi ocehannya tak kunjung berhenti.
"Paman, lain kali aku tidak mau mencuci pakaian dalamnya lagi," Caitlin menambahkan, suaranya lantang dan tanpa rasa malu. "Aromanya menusuk. Kakak akan jadi terlalu nyaman kalau aku terus melakukannya. Atau, lebih baik jangan pakai pakaian dalam sekalian kalau malas mencucinya."
"Apa kamu tidak lihat kita ada tamu?" suara Rolla terdengar dingin, mencoba menenangkan situasi sambil menahan emosi yang hampir meledak.
"Tamu?" Caitlin akhirnya memperhatikan sekelilingnya. Matanya menyapu ruangan hingga akhirnya ia melihat Reynard dan Nico. Wajahnya berubah terkejut. "Hah? Kamu siapa? Masuk dari mana? Kenapa tadi aku tidak melihatmu?" tanyanya polos, tanpa henti seperti seorang anak kecil yang penasaran.
Tom yang sudah kehilangan kesabarannya, menjawab dengan tegas, "Caitlin, Tuan Fernando datang untuk pertemuan perjodohan dengan kakakmu. Tolong bersikap sopan!"
Mendengar hal itu, Caitlin memandangi Reynard dengan lebih seksama. "Apa kamu akan jadi kakak iparku?" tanyanya, suaranya kini lebih tenang tapi tetap ceplas-ceplos. "Kamu cukup tampan, pantas jadi suami kakakku. Tapi kamu harus sabar. Kakakku memang cantik, tapi banyak yang akan berusaha merebutnya. Itu kelebihannya. Kekurangannya, ya, dia tidak suka mencuci pakaian dalam. Kamu harus siap cari pembantu untuk itu."
Nancy tidak tahan lagi dan berkata tajam, "Caitlin, sudah cukup!"
Namun, Caitlin tidak berhenti. "Kak, jangan marah. Sebelum menikah, calon pasanganmu harus tahu kekuranganmu. Meski dia lumpuh, tapi wajahnya cukup tampan dan masih bisa dipamerkan."
Tom, kini benar-benar kesal, mencoba mengusir Caitlin dengan sopan namun tegas. "Caitlin, kembali ke kamarmu sekarang!"
Caitlin melirik ke arah pamannya dengan alis terangkat. "Aku baru saja keluar dari sana, Paman. Masa disuruh masuk lagi?" jawabnya dengan nada tidak peduli, sambil mengucek matanya.
Nancy menatap tajam ke arah Caitlin, merasa malu dengan kelakuan adiknya yang tidak tahu tempat. Sementara itu, tatapan Reynard yang sejak tadi terfokus pada Caitlin tidak luput dari pengamatan Nancy.
"Tuan Fernando, bagaimana kalau malam ini kita makan bersama?" ajak Nancy dengan senyum manis yang dipaksakan, berusaha menarik perhatian Reynard.
"Tidak perlu," jawab Reynard dengan suara datar dan dingin.
Melihat itu, Caitlin langsung menyela dengan ceplas-ceplosnya, "Calon Kakak Ipar, apa kamu sedang jual mahal? Kakakku sudah mengajakmu makan. Demi mendapatkan hatimu, dia sampai melupakan harga dirinya. Kalian memang cocok. Yang satu diam tanpa sepatah kata, dan yang satu lagi suka banyak bicara."
Nancy menahan napas, mencoba untuk tidak meledak di depan Reynard. "Caitlin, pergi siapkan makanan malam. Tuan Fernando akan makan di sini," katanya tegas, berusaha mengambil kendali situasi.
Caitlin hanya mendengus sambil beranjak pergi, "Iya, iya, aku tahu. Kamu memang tidak pernah masak, hanya tahu makan." Ocehan itu terdengar begitu menusuk, membuat Nancy semakin jengkel. Tapi Caitlin terus saja melangkah ke dapur tanpa rasa bersalah.
Sambil berjalan, Caitlin bergumam pada dirinya sendiri, "Tapi kenapa pria itu terlihat tidak asing, di mana aku pernah melihatnya?"
Namun rasa penasaran itu tidak berhenti di sana. Caitlin, yang tak pernah ragu untuk bertindak tanpa memikirkan akibatnya, berbalik arah dan menghampiri Reynard lagi. Tanpa basa-basi, ia mendekatkan wajahnya dengan jarak yang sangat dekat, membuat semua orang di ruangan terkejut.
"Sepertinya aku pernah melihatmu," kata Caitlin sambil memicingkan mata, mencoba mengingat. "Tapi di mana ya?"
Nico, asisten Reynard, tampak cemas melihat tindakan Caitlin yang begitu lancang. Tom dan Rolla juga terdiam, tidak tahu bagaimana harus bersikap di tengah situasi yang aneh ini. Nancy, di sisi lain, tampak semakin marah melihat adiknya bertingkah sangat ceroboh.
Reynard menatap tajam ke arah Caitlin, yang tampak semakin penasaran. "Singkirkan tanganmu," perintah Reynard dengan nada dingin, sorot matanya begitu menusuk.
Caitlin, yang masih dalam keadaan bingung, menunduk dan menyadari tangannya tanpa sadar telah menekan paha pria itu. Wajahnya seketika memerah karena malu, namun alih-alih mundur, ia justru tersenyum canggung. "Kenapa marah? Lagi pula kakimu juga tidak merasakan apa-apa, bukan?"
Mata keduanya saling bertemu, seakan merasa ada yang aneh, Namun perasaan tersebut tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Ruangan itu terasa semakin tegang. Caitlin yang terkenal dengan sikap ceplas-ceplosnya kini menjadi pusat perhatian, sementara Reynard hanya memandangnya tanpa ekspresi, wajahnya tetap dingin dan penuh misteri.
Tom, yang merasa canggung di hadapan tamunya, segera menarik keponakannya menjauh dari Reynard. "Caitlin, jangan tidak sopan. Dia adalah calon kakak iparmu!" serunya dengan tegas, berharap Caitlin akan berhenti bersikap sembarangan.
Caitlin, yang tidak peduli dengan formalitas, menjawab dengan nada santai. "Paman, jangan cemas! Aku tidak menyakitinya. Aku merasa wajahnya tidak asing. Tidak tahu pernah lihat di mana sebelumnya," katanya sambil mengerutkan kening, mencoba mengingat.
Tom segera berusaha meredam situasi, mengarahkan senyumnya pada Reynard. "Tuan Fernando, maafkan Caitlin. Dia masih kekanakan. Jangan simpan dalam hati!" ucap Tom dengan nada penuh permohonan, berharap Reynard tidak tersinggung.
Namun, Caitlin tidak tinggal diam. "Siapa yang kekanakan? Aku sudah bisa memasak, sementara putri paman tidak bisa apa-apa, hanya tahu berdandan," balasnya dengan tajam, membuat suasana semakin canggung.
Tom menghela napas, merasa frustasi. "Sudah! Sudah!" katanya, berusaha menenangkan.
Reynard yang sejak tadi diam tiba-tiba berbicara, suaranya tenang namun memancarkan otoritas. "Aku ingin makan siang di restoran yang dekat dari sini. Apakah kamu bisa membawaku ke sana?" tanyanya, langsung pada Caitlin, tanpa memperdulikan Nancy yang duduk di sampingnya.
Caitlin memandang Reynard dengan alis terangkat. "Kenapa harus aku? Calon istrimu ada di sampingmu. Pertama kali datang sudah menyusahkanku. Kalian memang pasangan yang serasi," jawab Caitlin sinis, tanpa rasa takut sedikitpun. Kata-katanya menimbulkan keheningan di ruangan itu. Tatapan dingin Reynard membuat Tom dan Nico semakin cemas.
Tom segera mencoba menengahi, merasa situasi semakin memburuk. "Jangan suka melawan! Ini adalah permintaan tamu kita. Tuan Fernando tidak tahu restoran terdekat. Jadi tidak salah kalau kamu yang mengantarnya," ujar Tom sambil menepuk pundak Caitlin, berharap gadis itu mau menurut.
Caitlin mendengus, masih bersikeras. "Paman, jaraknya tidak jauh dari sini. Lagi pula kalau tersasar, dia tidak akan hilang. Dia sudah dewasa," katanya setengah berbisik.
"Jangan membantah! Pergi cepat!" perintah Tom dengan nada lebih tegas kali ini, menandakan bahwa dia tidak ingin diskusi lebih lanjut.
Caitlin menghela napas panjang, menyerah pada situasi. "Iya, iya, pergi ya pergi," jawabnya, lalu berjalan menuju pintu. Namun sebelum melangkah lebih jauh, dia menoleh ke arah Reynard. "Calon Kakak Ipar, mari kita pergi!" ajaknya sambil setengah menggerutu, sama sekali tidak menyadari bahwa dia masih mengenakan pakaian tidur.
Tom yang memperhatikan penampilan Caitlin langsung berseru. "Sebentar!" katanya.
Caitlin berbalik, kebingungan. "Apa lagi?" tanyanya dengan nada kesal.
"Lihat dirimu dulu, seperti apa penampilanmu! Kamu baru bangun, belum cuci muka, belum mandi, dan masih memakai pakaian tidur. Pergi mandi sana!" ujar Tom sambil menunjuk ke arah Caitlin, matanya memicing, tidak percaya bahwa keponakannya hendak keluar dalam kondisi seperti itu.
Caitlin memutar matanya dengan malas. "Kalau bukan karena putrimu, mana mungkin aku sampai seperti ini," gumamnya sambil melirik tajam ke arah pamannya.
Caitlin menaiki anak tangga dengan langkah santai, tanpa peduli pada tatapan tajam Tom yang masih menunggui di bawah. "Calon Kakak ipar, aku mandi dulu. Kalau bisa tunggu, silakan. Kalau tidak bisa, pergi dulu. Nanti aku menyusul. Kalau kamu hilang, bukan tanggung jawabku!" ucapnya ringan sebelum menghilang ke lantai atas.
Tom hanya bisa menghela napas panjang, sementara Reynard tetap duduk dengan ekspresi datar, tak terpengaruh oleh ocehan Caitlin.
**Satu jam kemudian.**
Reynard dan Caitlin kini duduk di sebuah restoran, suasana di antara mereka tampak kontras. Reynard, dengan sikap tenang dan penuh kehati-hatian, fokus pada makanannya, menikmati setiap suap dengan ketenangan yang khas. Sementara itu, Caitlin tampak sibuk mencoret-coret di sebuah nota kecil, wajahnya penuh konsentrasi. Ia tak memedulikan makanan di depannya, seolah sesuatu yang lebih menarik perhatian daripada hidangan itu.
Reynard memandangnya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. "Apa yang kamu lakukan?" tanyanya, memecah keheningan.
"Sedang menggambar," jawab Caitlin tanpa mengalihkan pandangannya dari kertas. Tangannya bergerak cepat, menciptakan garis-garis yang mulai membentuk sesuatu.
Reynard mengangkat sebelah alis. "Kenapa tidak jadi pelukis saja?" tanyanya, nada suaranya datar namun menyiratkan minat.
Caitlin mendengus sambil tetap menggambar. "Calon Kakak ipar, kapan kamu akan menikahi kakakku? Kalau bisa jangan membuang waktu. Cepat bawa dia pergi!" ucapnya
Reynard berhenti makan sejenak dan memandang Caitlin dengan pandangan tajam. "Sepertinya kamu tidak sabar ingin mengusirnya," ujarnya dengan nada yang lebih dalam.
Caitlin tertawa pelan, meletakkan pensilnya sebentar. "Bukan mengusir. Tapi aku tidak mau menjadi pembantunya lagi. Masa pakaian dalam saja harus aku yang cuci. Anggap saja kamu melakukan kebajikan dengan menikahinya," katanya, sama sekali tanpa ragu.
Reynard hanya menggeleng pelan, senyuman samar di wajahnya. Pandangannya beralih ke kertas di tangan Caitlin, memperhatikan apa yang digambarnya. "Bukankah itu adalah restoran ini? Untuk apa kamu melukisnya?" tanyanya dengan nada penasaran.
Caitlin, dengan wajah serius, menjawab sambil menunjukkan hasil gambarnya. "Paman akan bertanya ke mana kita pergi. Jadi aku tinggal serahkan nota ini padanya setelah pulang," katanya sambil menatap hasil gambarnya dengan puas.
Reynard menggeleng pelan, merasa aneh dengan penjelasan itu. "Kamu hanya perlu memberitahu di mana restoran ini," ujarnya.
Caitlin tersenyum tipis, ada sedikit kegetiran di balik senyumnya. "Aku tidak bisa menulis dan membaca, tapi aku bisa menggambar," jawabnya dengan santai, seolah itu hal biasa.
Reynard tertegun, hampir tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya. "Tidak bisa menulis dan membaca?" tanyanya, suaranya sedikit lebih rendah, menunjukkan rasa terkejutnya.
Sebelum Caitlin sempat menjawab, suara berat seorang pria memecah percakapan mereka. "Reynard, ternyata kamu ada di sini?" suara itu terdengar dari arah belakang mereka.
Caitlin menoleh dengan cepat, matanya membulat saat melihat seorang pria paruh baya berjalan mendekati mereka. Pria itu tampak mengenakan jas rapi, wajahnya penuh percaya diri, namun ada sesuatu yang membuat Caitlin merasa tidak nyaman. "Pria tua ini...?" gumamnya dalam hati, berusaha mengingat di mana ia pernah melihat sosok tersebut.
Reynard berbalik perlahan, wajahnya berubah sedikit lebih tegang, namun tetap mempertahankan senyuman tipis yang jelas-jelas palsu. "Aku sedang makan siang. Tidak kusangka bisa bertemu dengan Paman di sini," ucap Reynard, menyapa pria itu dengan formalitas yang kaku, jauh dari kehangatan.
Caitlin yang mendengar percakapan itu segera mengalihkan perhatiannya ke notanya yang penuh dengan gambar. Ia membuka satu halaman dan melihat sketsa wajah seorang pria. "Ternyata dia... dia adalah pria tua yang muncul di malam kecelakaan itu," batinnya terkejut, dan mendadak ingatannya tentang kejadian tragis itu kembali muncul dengan jelas di benaknya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!