Pagi itu Lila duduk di tepi tempat tidur kosannya yang kecil di sudut kota. Matanya setengah terbuka, masih ngantuk. Jam di ponselnya menunjukkan pukul 06.30 pagi, tapi rasanya seperti jam 3 subuh.
"Kenapa, sih, bangun pagi itu berat banget?" gumamnya sambil meraih ponsel yang tergeletak di meja samping tempat tidurnya.
Dia menatap layar ponselnya, menggeser-geser notifikasi yang nggak penting. Dari grup alumni sekolah, notifikasi diskon online shop, dan, tentu saja, beberapa pesan tak dikenal yang sepertinya spam. Matanya tiba-tiba terpaku pada satu pesan misterius dari nomor yang nggak ada di kontaknya. Isi pesannya singkat tapi bikin penasaran.
"Kamu terpilih. Sudah waktunya mulai melihat lebih jelas."
Lila langsung duduk tegak, rasa kantuknya hilang seketika. Dia membacanya ulang, memastikan nggak salah baca.
"Hah? Terpilih? Maksudnya apa?" batinnya.
Hati Lila mulai nggak enak. Bukan soal pesannya yang aneh, tapi firasatnya... Sejak kecil, Lila tahu dia beda. Bukan cuma bisa "merasakan" hal-hal aneh di sekitarnya, tapi kadang-kadang dia juga bisa melihat sesuatu yang nggak bisa dilihat orang lain. Selama ini, dia berusaha mengabaikannya, berharap hidupnya bisa normal di kota besar ini. Tapi sepertinya, hari itu semuanya berubah.
"Ya ampun, Lila. Jangan terlalu dipikirin. Mungkin cuma prank orang iseng," katanya meyakinkan dirinya sendiri, meski hatinya bilang sebaliknya.
...****************...
Setelah mandi dan sarapan seadanya, Lila berangkat ke kantornya di daerah pusat kota. Dia bekerja sebagai jurnalis di sebuah media kecil. Bukan media yang terkenal, tapi cukup bikin sibuk.
Di dalam bus, pikiran Lila nggak berhenti mikirin pesan misterius tadi pagi. "Apa mungkin ada hubungannya sama... kemampuan gue?" pikirnya. Dia ingat beberapa kali melihat bayangan aneh di sudut-sudut kantor, tapi nggak pernah bilang ke siapa-siapa.
"Lila, lo terlalu banyak baca novel horor deh!" kata hatinya berusaha menghibur. Tapi percuma, rasa khawatirnya nggak juga hilang.
Setibanya di kantor, suasana seperti biasa. Meja-meja berantakan, orang-orang sibuk mengetik atau ngobrol soal gosip terbaru. Lila berjalan menuju mejanya dengan perasaan lega. Di tempat ini, dia bisa merasa 'normal'.
"Yo, Lil! Udah dapet bahan buat liputan belum?" suara Rina, rekan kerjanya, memecah lamunannya.
Lila tersenyum tipis. "Belum sih, tapi kayaknya bakal ada yang menarik hari ini," jawabnya sambil duduk.
Rina tertawa kecil. "Heh, feeling lo nggak pernah salah, ya! Mungkin ada misteri di balik pojokan warung kopi tuh," canda Rina.
Lila hanya tertawa kecil, tapi dalam hatinya dia bertanya-tanya, apakah ini hari di mana semuanya bakal berubah?
...****************...
Siang itu, Lila dapat tugas liputan dari bosnya. Bukan tugas besar, cuma liputan tentang renovasi gedung tua di pusat kota. Tapi entah kenapa, saat dia dapat informasi soal gedung itu, perasaannya jadi nggak enak lagi.
Gedung tua itu dikenal punya sejarah yang kelam. Beberapa tahun lalu, katanya ada kebakaran besar di sana dan banyak korban yang nggak sempat selamat. Sekarang gedung itu akan direnovasi jadi gedung perkantoran modern.
Waktu tiba di lokasi, suasana terasa... berbeda. Meski siang bolong, ada sesuatu yang bikin bulu kuduk Lila merinding.
"Kenapa auranya beda, ya?" pikir Lila.
Dia berjalan pelan, sambil melihat-lihat sekeliling. Bayangan gedung yang hitam dan suram terasa begitu kontras dengan sinar matahari yang cerah. Para pekerja konstruksi tampak sibuk di sana-sini, tapi Lila tahu ada sesuatu yang nggak beres di sini.
Ketika dia memotret bagian depan gedung, matanya menangkap sosok samar di jendela lantai dua. Bayangan hitam... berdiri diam, mengawasinya.
"Lila, lo liat apa?" tanya Rina yang ikut dalam liputan.
Lila nggak langsung menjawab. Dia menatap tajam ke arah jendela itu, tapi sosoknya sudah hilang.
"Nggak... nggak apa-apa," jawab Lila, berusaha terdengar normal. Tapi dalam hatinya, dia tahu dia melihat sesuatu. Sesuatu yang orang lain nggak bisa lihat.
...****************...
Malamnya, Lila kembali ke kosannya. Rasa lelah setelah seharian kerja membuat tubuhnya terasa berat. Dia meletakkan tasnya di kursi dan merebahkan diri di kasur. Di kamar yang kecil dan sunyi itu, Lila akhirnya bisa sedikit merasa tenang. Namun, pikiran tentang gedung tua itu terus menghantui.
"Apa yang gue liat tadi siang beneran?" tanya Lila dalam hati. Dia mencoba meyakinkan dirinya bahwa mungkin itu cuma imajinasinya yang lelah.
Tiba-tiba, ponselnya berbunyi. Notifikasi pesan masuk. Dengan malas, Lila meraihnya.
Nomor tak dikenal lagi. Isi pesannya:
"Sudah waktunya kamu melihat lebih dalam, Lila. Mereka menunggumu."
Lila terdiam. Jantungnya berdegup kencang. Siapa yang menunggunya? Dan apa maksudnya dengan 'melihat lebih dalam'?
"Hah, apa-apaan ini...?" bisiknya pelan, mencoba mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Telepon tiba-tiba berdering. Nomor tak dikenal. Tangan Lila bergetar saat meraih ponselnya. Dia menatap layar sebentar, ragu-ragu. Haruskah dia mengangkatnya?
Akhirnya, dengan napas tertahan, Lila menggeser layar untuk menerima panggilan.
"Halo...?"
Suara di ujung telepon terdengar pelan, hampir seperti bisikan. "Lila... kita sudah lama menunggumu. Saatnya kamu memahami siapa dirimu."
Lila terdiam, merasa dingin merambat di tulang punggungnya.
"Siapa... siapa lo?" tanyanya, suaranya sedikit gemetar.
Tapi sebelum dia bisa mendapat jawaban, panggilan terputus. Ruangan yang tadinya tenang tiba-tiba terasa lebih mencekam. Lila memandang ponselnya dengan ngeri, perasaannya campur aduk.
Dia tahu, hidupnya nggak akan pernah sama lagi.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
ini bab pertama nya semoga kalian suka yah guys
Pagi itu, Lila nggak bisa tenang. Semalaman dia kepikiran soal telepon aneh tadi malam. Siapa yang nelepon? Maksud mereka apa dengan 'kita sudah menunggumu'? Kepalanya penuh tanda tanya.
Lila bangkit dari tempat tidur, tapi masih linglung. "Apa gue mimpi semalem?" gumamnya, setengah berharap semua kejadian itu cuma imajinasinya yang kelelahan.
Setelah mencuci muka dan ngopi seadanya, Lila berusaha meyakinkan dirinya kalau hari ini bakal biasa aja. "Gue harus balik fokus. Jangan mikirin hal-hal aneh dulu," katanya dalam hati sambil memandang cermin. Tapi jauh di dalam, dia tahu itu nggak bakal semudah itu.
Di luar, jalanan sudah mulai ramai. Suara klakson dan hiruk-pikuk kota bikin Lila merasa sedikit normal lagi. Dia menyusuri trotoar menuju kantor, tapi bayangan telepon semalam terus mengintainya.
...****************...
Di kantor, suasana sama aja kayak biasanya. Rina udah nongkrong di depan meja Lila, seperti biasa dengan ekspresi penuh gosip.
"Lil, lo tau nggak sih, kemarin gue denger ada kecelakaan di gedung yang lo liput!" seru Rina tiba-tiba.
"Hah? Kecelakaan?" Lila terdiam. Jantungnya tiba-tiba berdetak lebih kencang.
"Iya! Katanya ada salah satu pekerja jatoh dari lantai dua. Lo tahu nggak? Tempat itu kayaknya beneran angker, deh!" Rina ngedumel sambil menggoyang-goyangkan tangannya, berusaha menakuti Lila.
Lila menelan ludah. Dia teringat bayangan hitam yang dia lihat di jendela lantai dua kemarin. "Sial, jangan-jangan gue beneran ngeliat sesuatu," batinnya.
"Tapi yaudahlah ya, nggak usah lo pikirin banget," lanjut Rina sambil duduk di meja sebelah. "Lo kan paling nggak suka hal-hal kayak gini."
Lila menghela napas. "Iya sih... tapi tetep aja, Rin. Gedung itu emang bikin gue ngerasa nggak nyaman," jawabnya jujur.
Rina menatapnya dengan tatapan heran. "Maksud lo gimana?"
"Nggak tau. Waktu gue di sana, rasanya... kayak ada yang ngawasin gue. Gue bahkan sempet liat bayangan di jendela," Lila menjelaskan sambil mengernyit, mencoba mengingat perasaannya saat itu.
"Hii... serem banget!" Rina langsung merinding. "Seriusan lo? Lo ngeliat apa?"
"Nggak jelas. Cuma bayangan hitam. Tapi waktu gue liat lagi, udah nggak ada," Lila menjawab dengan nada serius.
"Lo harus hati-hati, Lil. Jangan-jangan lo ngeliat hantu pekerja yang dulu mati di situ," kata Rina setengah bercanda, tapi sorot matanya menunjukkan kalau dia juga merasa nggak nyaman.
Lila tertawa kecil, meski di dalam hatinya nggak selega itu. "Iya, lo bener. Mungkin gue cuma kecapekan."
...****************...
Siang itu, Lila mendapat panggilan dari bosnya, Pak Anton. Dengan langkah pelan, dia menuju ruangannya, sambil berharap itu bukan tentang sesuatu yang buruk.
"Lila, gue ada liputan tambahan buat lo," Pak Anton langsung buka suara begitu Lila masuk. "Ini tentang seorang paranormal terkenal yang katanya bisa nyelesaikan kasus-kasus gaib. Gue pikir lo yang paling cocok buat ngeliput ini."
Lila diam sejenak. "Paranormal?" tanya Lila, memastikan dia nggak salah dengar.
"Iya. Orang ini udah sering bantuin orang-orang di kota ini yang merasa diganggu sama makhluk gaib atau yang kehilangan jejak anggota keluarga. Gue pikir ini bisa jadi artikel yang menarik," jelas Pak Anton sambil menyerahkan selembar kertas dengan informasi detailnya.
Lila merasa aneh. Seolah alam semesta ngasih sinyal ke dia. Telepon aneh, bayangan hitam di gedung tua, dan sekarang, liputan tentang paranormal?
"Gue kayak ditarik ke hal-hal aneh terus," pikir Lila sambil menatap kertas itu.
"Lo gimana? Mau nggak?" Pak Anton bertanya lagi, memandang Lila dengan sorot penuh harap.
Lila akhirnya mengangguk. "Yaudah deh, Pak. Gue ambil," jawabnya. Bagian dari dirinya penasaran, meski bagian lain sedikit takut.
...****************...
Sore harinya, Lila dan Rina pergi ke lokasi liputan: rumah besar di pinggiran kota yang katanya tempat si paranormal itu tinggal dan praktek. Dari luar, rumahnya terlihat biasa aja, tapi begitu mereka melangkah masuk, atmosfernya langsung beda. Udara terasa lebih dingin, dan suasananya kayak nggak dari dunia ini.
"Lil, lo ngerasa nggak sih? Kok gue jadi merinding gini ya?" Rina berbisik, memeluk dirinya sendiri.
"Iya, gue juga ngerasa," jawab Lila pelan, sambil mengamati sekeliling. Dia berusaha tetep tenang, meski hatinya bilang tempat ini nggak wajar.
Mereka disambut oleh asisten paranormal, seorang pria tua dengan wajah datar. "Silakan, masuk," katanya dengan suara serak, membukakan pintu lebih lebar.
Di dalam, suasana lebih suram lagi. Ada banyak benda-benda aneh seperti patung-patung kecil, lilin, dan botol-botol kaca berisi cairan misterius. Lila berusaha nggak terlalu fokus pada hal-hal aneh itu.
Tak lama kemudian, mereka bertemu dengan paranormalnya. Seorang wanita berumur sekitar 50-an dengan wajah tenang tapi tajam. Dia duduk di sebuah kursi besar, seolah menunggu kedatangan mereka.
"Selamat datang," sapa wanita itu dengan suara pelan tapi jelas.
Lila dan Rina duduk di hadapannya. Lila merasa jantungnya mulai berdegup lebih kencang. "Terima kasih udah mau ditemuin, Bu," kata Lila sambil berusaha tersenyum.
"Jadi, kalian ingin tahu tentang pekerjaan saya sebagai paranormal?" wanita itu langsung bertanya, sorot matanya tajam seolah bisa melihat ke dalam diri Lila.
Lila mengangguk. "Iya, saya jurnalis, dan kami tertarik buat nulis tentang aktivitas paranormal di kota ini," jawabnya.
Wanita itu memandang Lila dengan lebih tajam lagi, seolah menilai sesuatu yang lebih dari sekadar niat liputan. "Kamu... punya sesuatu yang spesial, ya?" tanyanya tiba-tiba.
Lila terdiam. Dia nggak tahu harus jawab apa. "Maksud ibu...?"
"Kamu bisa melihat mereka, bukan? Makhluk dari dunia lain," kata si paranormal tanpa ragu, seolah hal itu sudah jelas.
Rina langsung kaget. "Hah? Apa maksudnya, Lil?"
Lila nggak langsung menjawab. Suasana di ruangan itu tiba-tiba terasa berat. Dia bisa merasakan tatapan wanita itu yang seolah tahu segalanya tentang dia. "Gue nggak bisa bohong," pikir Lila. Akhirnya, dia menghela napas panjang.
"Iya... kadang-kadang gue bisa lihat hal-hal yang orang lain nggak bisa lihat," jawab Lila pelan.
Rina membelalak, nggak percaya dengan apa yang baru didengarnya. "Serius, Lil? Kok lo nggak pernah cerita?"
Lila tersenyum tipis. "Gue pikir itu nggak penting, Rin. Lagian, gue juga nggak mau orang-orang ngira gue aneh."
Si paranormal mengangguk pelan. "Kamu belum sepenuhnya menerima siapa dirimu, Lila. Tapi waktunya sudah tiba. Mereka akan terus datang kepadamu."
Lila terdiam. Kata-kata wanita itu seolah menjadi pertanda. Dia tahu apa yang akan datang... sesuatu yang besar, sesuatu yang nggak bisa dia hindari lagi.
...****************...
Dalam perjalanan pulang, Rina masih syok dengan pengakuan Lila. "Gue nggak nyangka, Lil. Lo beneran bisa liat hantu?"
"Kadang," jawab Lila singkat. "Tapi gue nggak bisa ngontrol kapan atau gimana."
"Terus lo nggak takut?"
Lila tertawa kecil, tapi ada sedikit ketegangan di balik tawanya. "Ya takutlah, Rin. Gue cuma nggak mau mikirin terus. Kalo gue takut terus, hidup gue bakal kacau."
Rina mengangguk pelan, masih berusaha mencerna semua informasi yang baru dia terima. "Lo kuat juga, Lil."
Lila tersenyum, tapi dalam hatinya, dia bertanya-tanya... seberapa lama lagi dia bisa bertahan tanpa benar-benar menghadapi semua ini?
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
besok di lanjut yah guys Author mau tidur dulu
🥱🥱
bye bye guys
Setelah kejadian di rumah paranormal kemarin, Lila jadi susah tidur. Bayangan wajah si paranormal terus muncul di pikirannya. Kata-katanya juga, tentang “mereka akan terus datang kepadamu,” bikin Lila ngerasa kayak dijagain hantu tiap malam.
“Ya ampun, apaan sih ini? Gue pengen hidup normal aja!” Lila ngeluh sambil berguling di kasurnya. Mata udah lima watt tapi otaknya nggak mau diem. Kebayang-bayang terus sama apa yang dia liat, dan sekarang ditambah kata-kata si paranormal.
Pagi itu, Lila bangun dengan mata panda. “Coba kalo gue bisa tidur kayak orang normal,” gumamnya sambil lihat pantulan dirinya di cermin. Nggak butuh waktu lama buat dia siap-siap, pake jaket hoodie kebesaran, jeans belel, dan sneakers andalannya. Hari ini dia ada janji sama Rina buat ketemu di kafe sambil ngerjain tugas.
...****************...
Di kafe, suasana rame banget. Anak-anak muda nongkrong sambil scroll TikTok, ngerumpi, atau kerja di laptop masing-masing. Lila ngelirik meja tempat Rina duduk sambil melambai.
“Yo, Lil! Mukanya kenapa tuh? Habis nonton marathon film horor?” Rina langsung nyindir.
Lila cuman senyum setengah hati, terus duduk. “Jangan tanya deh. Gue nggak bisa tidur semalem.”
Rina ngangkat alis. “Lagi mikirin paranormal itu ya?”
Lila cuma angguk. “Iya, Rin. Gue nggak tau kenapa, tapi kata-katanya bener-bener nempel di otak gue. Serasa gue lagi dikasih tugas buat ngadepin sesuatu yang lebih gede dari yang gue kira.”
“Yaudah sih, cuekin aja. Mungkin dia cuma sok pinter. Lagian kan paranormal emang suka bikin orang paranoid!” Rina bercanda sambil nyeruput kopi.
“Tapi masalahnya, gue ngerasa ada yang bener sama apa yang dia bilang. Gue... gue beneran liat mereka, Rin. Dan semakin lama, semakin banyak.”
Rina langsung diem. “Serius lo?”
“Iya, Rin. Ini bukan pertama kali, tapi sekarang makin jelas. Bahkan kadang gue nggak bisa bedain mana yang manusia, mana yang bukan,” Lila menghela napas panjang, akhirnya ngebuka semua ke temennya itu.
“Gila sih, Lil. Kalo gue jadi lo, mungkin udah stress duluan,” Rina ngelus jidat. “Tapi lo kuat ya. Gue kagum sama lo.”
“Kagum apaan? Gue malah pengen lari dari semua ini,” Lila tersenyum kecut. “Gue pengen hidup normal, Rin. Pengen ngerasa kayak cewek biasa yang kerja di kota, punya temen, nongkrong, tanpa harus ngadepin arwah gentayangan setiap hari.”
Rina terdiam, mungkin bingung harus ngomong apa. “Ya gue nggak tau ya, Lil, tapi mungkin lo nggak sendirian. Maksud gue, mungkin di luar sana ada orang yang juga punya kemampuan kayak lo. Lo cuma belum ketemu mereka.”
...****************...
Setelah obrolan di kafe, Lila jalan-jalan sendirian. Dia butuh waktu buat ngilangin rasa cemasnya. Berjalan di trotoar yang ramai bikin dia merasa sedikit normal lagi, kayak orang-orang lain yang cuma peduli sama urusan kerja, belanja, atau scroll medsos.
Tapi langkahnya tiba-tiba berhenti di depan sebuah gedung tua. Ya, gedung yang sama yang dia liput waktu itu. Entah kenapa kakinya kayak otomatis bawa dia ke sini.
“Kenapa gue balik lagi ke sini?” pikir Lila, matanya menatap lurus ke jendela lantai dua. Bayangan hitam yang dulu dia liat masih terngiang. Di siang bolong kayak gini, seharusnya nggak ada yang aneh, tapi aura gedung ini tetep bikin bulu kuduknya berdiri.
Tanpa sadar, Lila mendekat. Pintu gedung itu sedikit terbuka. “Ah, nggak bener nih,” pikirnya. Tapi kayak ada sesuatu yang manggil dia masuk.
Dia ngambil napas panjang. “Oke, cuma sebentar,” katanya ke diri sendiri. Dengan langkah pelan, Lila masuk ke dalam gedung. Bau debu langsung menyergap, suasana dalamnya gelap dan dingin. Jauh lebih sunyi dari luar.
“Kenapa gue ada di sini?” pikirnya sambil terus berjalan ke tengah ruangan.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di belakangnya. Lila langsung berhenti, jantungnya berdetak kencang. Dia nggak sendiri.
“Siapa di sana?” Lila mencoba bertanya, tapi nggak ada jawaban. Suara langkah itu berhenti, dan udara di sekitarnya terasa makin berat.
“Gue nggak seharusnya di sini,” batinnya. Tapi saat dia mau berbalik, sebuah bayangan hitam muncul di ujung ruangan.
Lila terdiam, menatap bayangan itu dengan ngeri. Bayangannya tinggi, nggak jelas bentuknya, tapi dia tau pasti itu bukan manusia. Seketika, ruangan terasa semakin sempit, udara dingin menusuk kulitnya.
“Kenapa gue selalu nemuin hal-hal kayak gini?” Lila mulai panik, tapi tubuhnya nggak bisa gerak.
Tiba-tiba, bayangan itu mendekat dengan cepat, dan... cling!!
Lila langsung terbangun di atas kasur, napasnya tersengal-sengal. “Apa-apaan tadi?! Mimpi?!” Lila mencoba menenangkan diri. Dia melihat sekeliling, memastikan kalau dia benar-benar di kamarnya.
Dia menyentuh dadanya yang masih berdebar-debar. “Kenapa mimpi gue kayak nyata banget?” gumamnya, mencoba mengingat kembali apa yang terjadi di gedung itu.
...****************...
Hari berikutnya, Lila merasa nggak enak badan. Mungkin karena kurang tidur, ditambah rasa takut yang nggak ilang-ilang dari mimpi tadi malam. Meski begitu, dia tetap nekat ke kantor.
Di meja kerjanya, Rina udah nunggu dengan muka penasaran. “Lil, lo nggak cerita-cerita lagi kemarin? Ada update soal hantu-hantuan itu?”
Lila mendesah. “Kemarin gue mimpi aneh banget, Rin. Kayak gue balik lagi ke gedung itu dan... gue liat makhluk hitam lagi.”
Rina langsung meletakkan kopinya. “Makhluk hitam? Yang sama kayak yang di gedung waktu itu?”
“Iya, sama persis. Tapi kali ini dia ngedeketin gue. Gue kayak nggak bisa ngapa-ngapain, dan gue beneran ngerasa takut banget,” Lila bercerita, suaranya masih gemetar.
Rina terdiam, jelas kebingungan. “Lo yakin itu mimpi?”
Lila menatap Rina dengan serius. “Entahlah, Rin. Kadang gue nggak bisa bedain mana mimpi, mana kenyataan.”
Rina menghela napas. “Gue nggak tau harus ngomong apa, Lil. Tapi gue rasa lo perlu istirahat. Jangan terlalu dipaksain buat ngeliput atau apapun deh.”
Lila mengangguk. “Iya, mungkin gue butuh waktu buat tenangin diri.”
...****************...
Setelah pulang kantor, Lila memutuskan buat jalan-jalan lagi. Dia nggak mau langsung pulang dan terjebak dengan pikirannya sendiri.
Kali ini, dia jalan ke taman kota. Suasana di sana lebih tenang, banyak orang duduk di bangku taman, anak-anak kecil main bola, dan beberapa pasangan asyik jalan-jalan sore.
Lila duduk di salah satu bangku, ngambil napas dalam-dalam. “Gue cuma perlu rileks,” pikirnya. Tapi saat dia lagi mencoba tenang, tiba-tiba ada suara anak kecil tertawa di dekatnya.
Lila menoleh. Di pojokan taman, ada seorang anak kecil lagi lari-lari, tapi... nggak ada orang dewasa yang ngawasin dia.
“Hah? Kok sendirian?” pikir Lila. Dia terus memperhatikan anak itu, dan tiba-tiba, anak kecil itu berhenti. Menatap langsung ke arah Lila, dengan tatapan tajam yang bikin Lila merinding.
“Eh, apaan nih?” Lila mulai nggak nyaman. Anak itu tetap berdiri di tempatnya, masih menatap Lila tanpa berkedip.
Lila berdiri, siap buat ninggalin taman. Tapi sebelum dia sempat melangkah, anak itu tiba-tiba menghilang. Begitu saja, seperti asap yang ditiup angin.
Lila terdiam, bingung. “Gue ngeliat apa tadi?”
...****************...
Saat malam tiba, Lila kembali ke kosan dengan perasaan campur aduk. Dia duduk di tepi tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar yang tiba-tiba terasa begitu sempit.
"Apa gue bisa terus kayak gini?" bisik Lila.
Dia tahu, semakin hari, semakin banyak hal-hal aneh yang dia lihat. Dan mungkin, mimpi-mimpi buruk itu bukan sekadar mimpi.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
pesona Mbak Lila guys
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!