Pagi itu terasa lebih sibuk dari biasanya. Rumah yang biasanya tenang seketika berubah menjadi medan pertempuran. Aku berlari ke sana ke mari, memastikan Naura, putriku, memiliki semua yang dia butuhkan untuk sekolah dan memastikan suamiku memiliki semua berkas penting untuk presentasinya di kantor.
"Mah, berangkat dulu ya," seru Naura dengan semangat, matanya berbinar penuh kegembiraan akan hari baru.
"Iya nak, peluk dulu," jawabku sambil memeluknya erat. Kedua tanganku mengelus punggungnya, mencoba menangkap dan menyimpan momen ini dalam ingatan.
Naura kemudian berlari kecil menuju mobil yang sudah ditunggui suamiku yang juga tampak siap dengan setelan jas rapi dan map di tangan. Aku mendekat ke jendela mobil, menyalami tangan suamiku dengan penuh kehangatan.
"Mas berangkat dulu ya," ujarnya sambil memeriksa kembali kunci mobil dan barang-barangnya.
"Iya, Mas, hati-hati di jalan ya," balasku, mataku menatapnya penuh harap. "Oh iya, Mas,nanti aku ada acara di mall, jangan sampai terlambat."
"Aku gak janji bisa datang, semoga sukses," sambungnya dengan senyuman, mendorongku untuk memberikan yang terbaik hari itu.
Mobil itu pelan-pelan menjauh dari pandangan, meninggalkan debu dan kenangan pagi yang hangat di hatiku. Aku berdiri sejenak, mengambil napas dalam-dalam, menyiapkan diri untuk kembali ke dalam dan memulai rutinitas harian yang lain, dengan hati yang sudah sedikit lebih ringan.
Aku segera masuk ke dalam rumah, tak lama kemudian, bibik, ART kami, datang ke rumah. Memang rutinitasnya bekerja dari pagi hingga sore karena rumahnya tidak terlalu jauh.
"Pagi, Nyonya," sapa bibik dengan ramah.
"Pagi juga, Bik," sahutku sembari tersenyum ke arahnya.
Namaku Rania, seorang istri yang bangga memiliki suami bernama Adnan, yang bekerja di salah satu perusahaan ternama di kota ini. Dalam hati, aku selalu bersyukur karena suamiku memiliki posisi yang cukup tinggi di perusahaan tersebut.
Sedangkan aku, aku adalah seorang desainer dan pemilik butik yang, alhamdulillah, mendapat banyak kepercayaan dari pelanggan untuk merancang berbagai pakaian dan gaun mereka.
Sambil menyesap kopi pagiku, pikiranku melayang sejenak, merenungkan kesuksesan yang telah kami raih bersama sebagai pasangan.
Aku tak pernah menyangka kehidupan kami akan menjadi seperti ini, dan aku tahu betul betapa kerja keras suamiku juga sangat berpengaruh dalam kesuksesan ini.
"Ya Tuhan, terima kasih telah memberkati kami dengan hidup ini," gumamku dalam hati, dengan rasa syukur yang mendalam.
Ponselku berdering tiba-tiba. Kulihat Sonya partner kerjaku tertampil di layar.
Aku [ "Hei Sonya, ada apa?" tanyaku. ]
Sonya ["Hei Rania, jangan dulu berangkat siang-siang. Ada yang ingin ketemu kamu," ujar Sonya dengan serius. ]
Aku [ "Siap! Lagi ngopi dulu nih. Benci kalau nggak mulai hari tanpa kopi," balasku sembari tertawa kecil.]
Sonya [ "Hahahaha, dasar kamu ini tukang ngopi sejati!" sahut Sonya. ]
Aku ["Hehehe, sudah ya. Aku mau mandi dulu. Biar segar!" kataku memutuskan pembicaraan.]
Sonya ["Beres, ran!" Sonya menutup dengan singkat. ]
Ponselku kumatikan dan aku bergegas ke kamar untuk mandi, menyegarkan diri untuk pertemuan nanti.
Setelah selesai mandi, aku membuka lemari dan tiba-tiba sebuah kertas putih yang seperti struktur belanja terjatuh ke lantai. Aku mengambilnya, penasaran, lalu membacanya.
"Apa ini?" aku bertanya-tanya dalam hati, "Kalung berlian?" Aku duduk di tepi kasur, merasa heran karena Mas Adnan belum pernah membelikan aku kalung berlian sebelumnya.
Dalam hati, aku berpikir, "Apa mungkin Mas Adnan ingin memberikan kejutan untukku?" Semakin aku mengayalkannya, semakin aku merasa senang dan bahagia membayangkan betapa romantisnya Mas Adnan jika memang ini sebuah kejutan darinya.
Segera aku melanjutkan persiapan untuk ke acara yang akan aku hadiri. Kertas itu kuletakkan kembali ke dalam lemari.
Kemudian, sumi seorang kepercayaan aku mulai bermake-up dan menata rambutku agar terlihat cantik.
Tok tok...
"Iya, bik, masuk saja," seruku pada pembantu yang mengetuk pintu.
Bibik masuk ke dalam sambil membawa blouse putih yang sepertinya bukan milikku, "Ini blouse nyonya baru atau gimana kok banyak nodanya?" Tanya bibik seraya memberikannya kepadaku.
Aku mengamati blouse tersebut dan mulai bertanya-tanya, "Loh, ini blouse siapa bik?" Aku mulai merasa bingung dengan situasi ini.
"Lah, bukan milik nyonya tho?" Heran bibik.
"Punya kamu ya, Sumi?" Tanya bibik kepada Sumi yang sedang sibuk merapikan rambutku.
"Tidak lah bik, itu blouse mahal mana mungkin aku bisa beli," jawab Sumi tegas.
Aku mulai merasa ada yang aneh hari ini, "Tadi struktur kalung berlian, sekarang blouse aneh banget. Apa yang sedang terjadi?"
Bibik terlihat bingung, lalu aku memutuskan untuk menyelesaikan situasi ini dengan berkata, "Cuci saja bik, mungkin aku lupa." Aku mencoba mengurangi rasa bingung di ruangan tersebut.
"Siap, nyonya, tapi ini noda bukan karena keteledoran bibik ya," ucap bibik sambil pergi meninggalkan ruangan.
"Oke beres"
Aku tetap merenung, mencoba mencari tahu asal-usul blouse tersebut dan mengapa ada di cucian yang kotor.
"Iya bik" senyumku
Bibik keluar dari ruanganku, karena semuanya sudah siap jadi aku dan sumi bergegas untuk berangkat ke mall untuk acara hari ini.
Sepanjang perjalanan, aku dan Sumi terlibat dalam obrolan mengenai pekerjaan yang padat ini. Butikku mendapatkan banyak pesanan, terutama pada bulan-bulan pernikahan.
Para pengantin menginginkan gaun resepsi yang sesuai dengan keinginan mereka. "Apakah aku bisa memenuhi harapan mereka? Atau apakah aku harus membatasi klien agar bisa fokus pada kualitas, bukan kuantitas?" gumamku dalam hati.
Bukan hanya itu, beberapa waktu sebelum prewedding pun menjadi tantangan tersendiri. Beberapa makeup artist ternama memintaku untuk merancang gaun yang sempurna untuk klien mereka, agar mereka tampak cantik dan mewah saat memakai gaun yang kubuat.
Aku merasa tertantang, namun di sisi lain, ada rasa khawatir jika aku tidak dapat memberikan yang terbaik untuk setiap klienku.
"Sumi, apa menurutmu aku cukup baik dalam pekerjaan ini? Aku takut kehilangan klien jika terlalu banyak mengambil pekerjaan," tanyaku padanya.
Sumi tertawa terbahak-bahak, dan tanpa sadar, kata-katanya sukses memberiku suntikan semangat.
"Rania, Rania, kamu itu sangat hebat! Di usia 24 tahun, kamu sudah mempunyai bisnis besar seperti ini. Kamu benar-benar profesional, jadi jangan takut," seru Sumi.
Aku menoleh padanya, merasa terharu, tapi juga tersipu malu. "Sum, kenapa harus bawa-bawa umur, sih? Jadi malu aku," keluhku.
Namun, Sumi tahu bagaimana cara membuatku merasa lebih percaya diri. "Lah, kenapa malu? Memang gitu kan, Ran? Kamu itu nikah muda, pejuang rupiah lagi, istri karier pastinya."
Tidak bisa dipungkiri, aku memang telah berjuang keras untuk meraih kesuksesan di usia muda ini, dan itu membuatku bangga.
Aku mencubit lengan Sumi dengan sedikit kesal, tapi bersyukur karena dia selalu bisa membantuku menemukan kekuatan yang sebelumnya terpendam.
Namun, saat aku melirik ke arah kaca pintu mobil, sebuah pemandangan tak terduga mencuri perhatianku. Aku seperti melihat Adnan, suamiku, sedang membukakan pintu mobil untuk seorang perempuan muda.
Detak jantungku mulai berdebar, perasaan cemas dan kecurigaan mulai menerpa. "Mas Adnan," bisikku dengan suara lirih yang tak terdengar oleh Sumi, yang tak menyadari apa yang sedang terjadi di balik senyum semangatnya.
Sementara itu, pikiranku mulai menjerat diriku dalam keraguan dan ketakutan tentang apa yang sedang terjadi antara Adnan dan wanita muda itu.
****
Aku menatap keluar jendela mobil dengan pandangan yang kabur. Matanya terasa panas, dada berdebar kencang saat melihat sosok Adnan yang ditemani oleh seorang wanita lain yang tidak dia kenal.
Di dalam hatiku, ada rasa yang tak bisa dijelaskan, campuran antara kekecewaan dan rasa ingin tahu yang memuncak.
"Rania, kamu kenapa sih dari tadi ngeliatin ke arah sana, ke pintu mobil saja?" tanya Sumi dengan nada khawatir.
Suara Sumi memecah lamunan ku, namun aku hanya mampu memberikan jawaban singkat tanpa banyak emosi.
"Eemmm, gak papa, Sum," jawab ku mencoba menyembunyikan kegelisahanku.
Aku memutuskan untuk tidak berbicara banyak. Ada perasaan bersalah yang menggelayut di hatiku, mungkin aku hanya salah lihat. Namun, rasa penasaran itu terlalu kuat untuk diabaikan.
Dengan langkah yang masih ragu, aku mengambil ponsel dan menekan nomor mas Adnan. Panggilan diangkat dengan cepat, namun jawaban yang dia terima hanya menambah kebimbangannya.
Adnan ["Maaf, Rania. Aku lagi meeting, nanti kita bicara,"] kata Adnan dengan suara yang terburu-buru sebelum akhirnya mematikan telepon.
Aku mematung, ponsel masih tergenggam erat di tangan. Pikiranku melayang, mencoba memahami situasi yang baru saja terjadi. Ada kekosongan yang mendadak muncul, menyisakan lebih banyak tanya daripada jawaban.
Merasa bahwa Mas Adnan, suamiku, tiba-tiba menjadi sedikit aneh, aku mulai mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Seringkali aku melihatnya tersenyum sendiri saat memegang ponselnya, seolah-olah dia tengah mengobrol dengan seseorang yang membuat hatinya bahagia.
Selain itu, dia juga kerap pulang larut malam dan bepergian keluar kota tanpa mengajakku dan Naura seperti sebelumnya.
Mengapa aku baru menyadari perubahan ini sekarang? "Sudah setahun berlalu dan baru sekarang aku menyadari keanehan ini. Ada apa sebenarnya? Kenapa aku merasa seperti ini?" gumamku cemas dalam hati.
Mungkin saja tadi aku salah lihat dan kesedihan ini hanya hasil dari kekhawatiranku belaka. Namun, perasaan gelisah ini tak kunjung hilang, seolah-olah ada yang tengah mengendap dan menunggu untuk menghancurkan kebahagiaan keluarga kami.
Semoga saja ini hanyalah prasangka burukku dan Mas Adnan tetap menjadi suami yang setia dan penyayang.
Tak terasa, aku sudah berada di mall yang megah ini. Di sekelilingku, banyak orang terkenal dan para artis berkeliaran, sedangkan aku disambut oleh beberapa rekan kerja dan rekan bisnis.
Acara akan segera dimulai, jadi aku duduk manis di depan sendirian. Sumi, orang kepercayaanku, tampak sibuk dengan pekerjaannya.
"Rania," sapa Ibu Risma yang mendekatiku. Muncul rasa bangga ketika diakui oleh seseorang yang kumenghormati.
"Ibu Risma, apa kabar ibu?" jawabku dengan ramah.
"Alhamdulillah baik, Rania," seru Ibu Risma, tersenyum lebar.
"Kamu tambah cantik, dan desain gaun kamu sangat bagus dan menarik, banyak yang suka."
"Alhamdulillah, ibu," seruku. Aku merasa terharu dengan pujian dari ibu Risma.
Begitu banyak perjuangan dan jerih payah yang telah kulalui, dan sekarang akhirnya aku bisa menikmati hasilnya.
"Masih muda, tapi sangat menginspirasi banyak orang," seru Ibu Risma sambil menepuk pundakku dengan hangat.
Mendengar pujian itu, aku merasa semangat dan lebih termotivasi untuk terus berkarya. Ibu Risma berasal dari kota Bali, dan ia sangat suka dengan semua rancangan gaun yang aku buat. Bahkan, butiknya di Bali sangat ramai dan selalu jadi perbincangan.
"Ah, Ibu Risma bisa saja," sahutku sambil tersenyum malu. "Semua tidaklah mudah, bu. Ada banyak perjuangan dan liku-liku jalan yang harus dilewati."
Namun, melihat kesuksesan ini, aku yakin bahwa setiap tetes keringat dan air mata pasti akan berbuah manis di akhirnya.
Acara pun dimulai, dan aku mencoba menghubungi Mas Adnan, tetapi ia tidak mengangkat panggilan sama sekali. Bahkan pesanku pun tidak ia buka.
"Apa dia masih meeting? Kok meetingnya lama banget, sampai-sampai tak bisa menghadiri acara penting ini," keluhku dalam hati. Sejujurnya, kecewa rasanya. Acara pun berlangsung, semua hasil gaunku dipakai oleh model terkenal dan juga artis.
Aku merasa sangat terharu sekaligus bahagia. "Alhamdulillah, walaupun aku hanya lulusan SMP dan SMA kejar paket, tapi dengan ketekunan dan kepercayaan diriku untuk belajar menjahit, akhirnya aku bisa menjadi desainer seperti sekarang ini," batin ku bangga. Di tengah-tengah acara, tiba-tiba teleponku berbunyi.
Aku terkejut melihat nama di layar; guru sekolah Naura sedang meneleponku. "Kenapa ya, kok dia meneleponku sekarang? Ada apa dengan Naura? Haruskah aku menjawab panggilan ini sekarang atau menunggu acara selesai?" Aku menjadi cemas dan bingung, menimbang-nimbang antara menjawab panggilan itu dan melanjutkan acaraku yang begitu penting ini.
Aku mencoba tetap fokus pada acara ini, sambil menahan kecemasan yang mulai menyelimuti pikiranku.
"Mungkin Pak sopir terlambat menjemput Naura, jadi aku tak perlu mengangkat teleponnya walaupun dia menelfon berkali-kali," gumamku dalam hati, mencoba meyakinkan diri.
Tiba-tiba, sebuah pesan masuk dari Ibu Guru Naura, berisi foto yang menunjukkan Naura terbaring lemah di atas tempat tidur.
Jantungku berdegup kencang, panik menyergapku dan aku segera mencari Sumi yang sedang asyik mengobrol dengan para manajer artis
"Sumi!" Panggilku lirih
"ada apa, Ran?" tanyanya dengan wajah penasaran.
"Kamu urus semuanya, Naura di rumah sakit!" ucapku dengan panik.
"Ya ampun, Naura! Kenapa bisa begitu, Ran?" Sumi terlihat khawatir dan tidak kalah panik.
""Pasti nanti Sonya bantu kamu, aku langsung otw, ya?" seruku cepat.
"Tapi Rania, aku takut nih..."
"Tenang, aku yakin kamu bisa handle ini. Naura lebih butuh aku sekarang, Sum."
"Baiklah, semoga Naura nggak kenapa-kenapa ya, Ran."
"Amin, semoga semuanya lancar."
Karena sahabatku sedang sibuk dengan urusannya, aku hanya bisa mengirim pesan singkat dan meminta dia untuk mengurus semuanya.
Dalam hati, aku merasa bersalah telah meninggalkan Naura dan menyerahkan tanggung jawab pada Sumi dan sahabat lainnya. Tetapi, saat ini yang terpenting adalah kesehatan Naura dan aku harus segera mengecek kondisinya di rumah sakit.
Aku berlari terburu-buru menuju parkiran mobil, syukurlah tadi Sumi sempat memberikan kunci mobilnya padaku.
Dengan hati berdebar kencang, aku langsung melaju ke dalam mobil dan menggeber gasnya dengan kecepatan tinggi, membelah jalanan ibu kota menuju rumah sakit.
Sambil berkendara, aku mencoba untuk menelfon Mas Adnan lagi dan lagi, tetapi sayangnya tidak ada jawaban dari ujung sana. Frustrasi mulai menyelimuti, aku lemparkan ponselku ke bangku samping dengan kesal.
"Sebenernya kami di mana, Mas?" teriakku di dalam mobil, seolah-olah suaraku bisa mengusir kebimbangan yang ada dalam pikiranku.
"Kenapa harus saat-saat genting seperti ini kamu menghilang? Aku sangat membutuhkanmu di sini," keluhku dalam hati.
Aku berharap apa yang terjadi ini hanya mimpi buruk semata, dan sebentar lagi aku akan terbangun dengan semuanya kembali normal. Namun sayangnya, inilah kenyataan yang harus aku hadapi, sendiri tanpa Mas Adnan di sisiku.
****
Begitu sampai di rumah sakit, aku segera bergegas menuju UGD untuk menemui Naura, anakku yang sedang sakit.
Di sana, aku melihat Bu Anita, guru Naura, yang tampak cemas dan khawatir. Aku tidak bisa menahan sedih melihat keadaan anakku.
"Astaghfirullah, Naura... Kenapa, Nak?" ucapku dengan air mata yang mulai menetes.
"Naura tadi pingsan, Bu Rania," jawab Bu Anita dengan suara parau.
Aku menatap wajah Naura yang tertidur dengan wajah pucat dan tampak lesu. Tangannya yang kecil dipasangi selang infus, membuat rasa sakit di hatiku semakin memuncak.
Ini adalah saat yang tak pernah kubayangkan sebelumnya; melihat anakku yang tadi sehat penuh semangat, kini terbaring lemah di rumah sakit.
Mendengar suaraku yang lirih, Naura pun perlahan membuka matanya. Dia menatapku sambil tersenyum kecil, berusaha menenangkan hatiku yang gundah.
"Mamah..." ucapnya lemah.
Aku merasa bahwa ada begitu banyak pertanyaan yang menggelisahkan di benakku, mengapa ini bisa terjadi, apa penyebabnya, dan bagaimana kalo nuara harus rawat inap?
Namun, aku tahu bahwa aku harus tetap kuat demi anakku, memberikan dukungan moral dan perhatian yang dia butuhkan.
Di tengah rasa sedih yang menggelayut, aku mencoba tersenyum padanya, mencoba memberikan keberanian agar dia bisa lebih cepat pulih.
Aku mengelus lembut wajah Naura,.."iya nak, mamah ada di sini bersamamu" seruku
ini, jangan khawatir," bisikku sambil berusaha menahan air mata. Melihat anakku yang lemah di ranjang rumah sakit membuat hatiku terasa hancur.
Bu Anita berdiri di sampingku, memberikan dukungan moral. "Naura sangat kuat, Ibu Rania. Dia pingsan karena kelelahan dan dehidrasi, kami langsung membawanya ke sini," jelasnya dengan nada suara yang menenangkan.
Sambil terus menggenggam tangan Naura yang dingin, aku memperhatikan setiap alat medis yang terhubung di tubuhnya, berharap semua ini hanya mimpi buruk yang segera berakhir.
Naura, dengan segala kekuatannya, mencoba memberikan senyum yang memberi kekuatan, meskipun matanya tampak sayu.
"Ibu... maafkan Naura, tidak bilang kalau Naura lelah," ucap Naura dengan suara yang hampir tak terdengar. Hatiku semakin pilu mendengar pengakuan itu.
"Tidak apa-apa, sayang. Yang penting sekarang kamu cepat sembuh," jawabku, mencoba memberikan semangat. Aku mengusap pelan rambutnya dan berdoa dalam hati agar Naura segera pulih.
Saat aku tiba di rumah, ibu Anita bergegas pamit pulang. Sebelum dia pergi, aku tidak lupa menyampaikan terima kasih karena sudah menjaga Naura.
Tidak lama kemudian, dokter datang untuk memberikan penjelasan tentang kondisi Naura. Mendengar penjelasannya, aku cukup terkejut. Selama ini, Naura tak pernah mengeluhkan pusing atau sakit lainnya, hanya saja ia sering mengeluh sakit perut.
Aku tidak menyangka, bahwa ternyata perut Naura ini bukan masalah sepele, tapi lebih kompleks.
"Naura adalah anak yang kuat, Ibu Rania. Usus buntu ini bisa sangat menyakitkan," ujar dokter itu.
Aku merasa gelisah dan khawatir. "Dok, lalu apa tindakan yang perlu kita ambil?"
"Operasi, Bu Rania," jawab dokter itu tegas. Mendengar kata operasi, panik seketika menghampiriku.
Aku berusaha menenangkan diri sambil berpikir positif untuk kesembuhan anakku tercinta ini. Bagaimanapun, Naura adalah anak yang kuat dan aku yakin dia akan mampu melewati cobaan ini.
Aku menatap wajah cantik putriku yang penuh harapan dan kesakitan. Sementara ia membalas tatapan dengan mata berkaca-kaca.
"Lakukan yang terbaik, dokter," pinta ku dengan perasaan yang mencampuradukkan antara cemas dan optimis.
"Baik Ibu Rania, besok pagi operasi akan dilaksanakan.Nak Rania, jangan makan dari jam satu malam ya, Ibu?" Dokter itu mengingatkan kami dengan lembut.
"Siap, dok," sahutku mantap, mencoba memberikan semangat bagi putriku.
"Kalau begitu, saya permisi dulu. Biar suster yang memindahkan nak Naura ke Bangsal," kata dokter itu sebelum pergi.
"Terima kasih banyak, Dok," ucapku penuh terima kasih, berharap segala sesuatu berjalan dengan lancar.
Naura meringis kesakitan lagi. Aku bisa melihat keringat dingin yang mengucur di wajahnya dan aku yakin bahwa rasa sakit itu pasti luar biasa.
Dokter segera menyuntik obat untuk mengurangi rasa sakitnya. Meskipun hanya beberapa jam, tapi setidaknya itu bisa membuat Naura merasa lebih baik dan bisa beristirahat sejenak sebelum operasi.
Sambil mengikuti suster yang membawa Naura ke ruang VVIP, aku mencoba menelpon mas Adnan. Kali ini, untungnya, ia mengangkatnya. Aku bersyukur, karena aku benar-benar membutuhkan dukungan dari suamiku di saat-saat genting seperti ini.
Aku ["Mas Adnan, Rania lagi di rumah sakit Cahaya Bunda. Tolong segera kesini setelah meeting!" ]ucapku dengan nada mendesak.
Mas Adnan ["Aduh, Rania! Bisa gak sih jangan ganggu dulu? Aku lagi meeting nih,"] balas Mas Adnan, terdengar kesal.
Aku [ "Meeting terus dari tadi. Ini penting, Mas!"]
Mas Adnan [ "Emangnya kenapa? Apa urgensi-nya?" ]tanyanya, tidak mengerti.
Aku ["Aku gak mau berdebat, Mas. Tolong, ini serius. Aku mohon, segera ke sini ya?"] pintaku dengan nada mengharap.
Mas Adnan [ "Gak janji," ] jawabnya singkat, kemudian dengan tegas menutup ponselnya.
Frustrasi, aku mencoba menelefonnya lagi, namun kali ini tidak ada jawaban. Sungguh, dia sangat menyebalkan di saat-saat seperti ini.
Kupegang erat ponselku, lalu kemasukkan kembali ke dalam tas. Aku berniat menelepon lagi setelah tiba di bangsal. Begitu sampai di sana, suster langsung keluar menyambutku.
Aku segera mengabari Sonya dan Sumi bahwa aku berada di rumah sakit.
Mereka langsung panik dan merasa sedih, sangat berbeda dengan respon Mas Adnan. Kenapa dia malah tidak menunjukkan kepedulian sama sekali? Apakah ini hanya masalah ego atau sesuatu yang lebih dalam?
Aku menghela nafas dan memutuskan untuk menelfon ibuku, adekku, serta ibu dan bapak mertuaku. Meski kutahu kedua mertuaku tinggal di Bali, tak mungkin datang ke sini, tetapi setidaknya aku sudah memberi tahu mereka tentang keadaan Naura.
Dan benar saja, mereka memang tak bisa ke sini, tapi aku maklum. Sementara itu, ibuku dan adek akan segera menyusul. Aku merasakan kepala mulai berdenyut karena banyaknya pekerjaan yang menumpuk.
"Bagaimana aku harus menjaga Naura di rumah sakit, sementara pekerjaanku menanti?" gumamku dalam hati.
Namun, aku tak boleh lemah. Semua ini pasti bisa kulewati dengan cinta dan kekuatan hati. Naura, ibu akan selalu ada di sisimu.
"Mah..." lirih Naura. "Iya nak," jawabku sambil menoleh ke arah Naura.
"Papah mana, Mah? Naura mau sama Papah."
Pikiran dan rasa cemas mulai menyergapku. Naura memang sangat dekat dengan ayahnya. Aku berusaha untuk tenang dan menjawab,
"Papah masih kerja, nanti Mamah telepon ya."
"Sekarang, Mah," tuntut Naura dengan wajah tidak sabaran.
Kuputuskan untuk menelfon suamiku, Mas Adnan, lagi. Namun, tidak ada jawaban dari sana. Aku mencoba kembali menekan nomornya, kali ini akhirnya diangkat.
Mas Adnan [[ "Hallo?" ]suara yang datang dari seberang membuat hatiku berdegup kencang, seolah dunia berhenti sejenak.
Aku sangat kaget bukan main, yang mengangkat teleponnya adalah suara perempuan yang belum pernah kudengar sebelumnya.
"Siapa ini?" desahku dalam hati, merasa ada yang tidak beres. Pertanyaan demi pertanyaan mulai bermunculan dalam benakku.
Apakah Mas Adnan sedang bersama perempuan lain? Mengapa telepon suamiku diangkat oleh orang yang tak kukenal? Apakah seharusnya aku khawatir? Tapi, bagaimana jika ini hanyalah kesalahpahaman semata? Aku memandangi Naura yang menatapku dengan wajah polosnya, dan kembali pada suara perempuan di seberang telepon.
Saat itu, aku hanya bisa berharap yang terbaik untuk kami semua. Aku memutuskan untuk mengambil langkah berani untuk mencari tahu lebih dalam, demi kebahagiaan keluarga kecil kami.
****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!