Calon pertama...
Alan tergopoh-gopoh mencari kakaknya di kamar atas.
“Mbak! Mbak Ara!”
Alan mengetuk pintu kamar kakaknya dengan tergesa-gesa.
“Ada apa sih, bocah?!”
Ara membuka pintu dengan bersungut-sungut.
“Turun dong. Ada yang pengen ketemu sama kamu.”
“Siapa?”
“Temenku.”
“Kalau temenmu, ngapain pengen ketemunya sama aku?”
“Penting. Kita bicara di bawah aja.”
“Nggak mau. Kamu pasti aneh-aneh.”
“Enggaaak… Ayolah, plis. Ini cuma masalah desain. Kami mau buka toko sepatu, dan logo yang bagus tuh gimana biar bawa hoki.”
Ara melirik curiga pada adiknya.
“Nunggu apa lagi, Mbak?”
“Nunggu aku ganti baju! Nanti aku nyusul.”
“Oke.”
Alan turun ke lantai satu, duduk bersama Mamanya yang sudah berdandan ayu. Ara menyusul turun lima menit kemudian. Dia merasa aneh dengan kehadiran Mamanya di ruang tamu bersama adiknya.
“Nah, itu Mbak Ara.”
Alan memberi kode kepada temannya untuk berdiri dan bersalaman.
“Halo, Mbak Ara. Saya Putra. Saya temennya Alan.”
“Hai. Temen kuliah?”
“Iya.”
“Ooh, mau bikin desain logo?”
“Hah?”
Alan menyikut pinggang Putra sambil cengengesan.
“Oh, iya.”
Ara duduk di sofa, di samping Mamanya.
“Mama juga kamu ajak diskusi, Lan?”
“Itu…”
“Mama mau lihat calon suami kamu kayak gimana.”
“Hah?” kali ini Ara yang melongo.
“Putra ini pebisnis yang mumpuni. Dia punya kafe dan barbershop. Bentar lagi dia buka toko sepatu bareng Alan. Orangtuanya dosen. Dia bungsu. Lulusan terbaik Manajemen Bisnis.”
Alis Ara mengkerut. Dia melirik tajam pada Alan. Alan yang ditembak tatapan mematikan dari mata kakaknya itu langsung menunduk.
“Maksudnya…” Ara terbata.
Putra tiba-tiba saja angkat bicara.
“Saya sudah lama tahu Mbak Ara dari Alan. Saya ingin sekali deket sama Mbak Ara. Kata Alan, kalau nggak datang ke rumah, saya nggak boleh minta nomernya Mbak Ara. Jadi, saya datang ke sini…”
“ALAN!” Ara naik pitam. “Sini kamu!”
Ara menghampiri Alan sambil menjewer telinga adiknya itu.
“Berani-beraninya ya kamu main jodoh-jodohin kakakmu sama berondong temen kamu sendiri! Nggak minta izin, nggak diskusi, nggak ngasih upeti!”
“Duh! Lepasin dong, Mbak! Malu dilihat ama temenku!”
“Putra…lihat ini! Kehidupan rumah tangga mungkin saja akan ada adegan seperti ini. Apa kamu sudah siap? Kamu masih terlalu muda buat aku. Maaf, aku punya adik dua aja udah repot, apalagi kalau sampai calon suamiku juga adek-adek macam kalian. Jangan ya dek ya, jangan…saya susah sekali ngasuhnya.”
Putra yang melihat tontonan horor di depan mukanya langsung merinding. Dia tidak mau telinganya copot seperti Alan.
“Kalau gitu, saya permisi…”
“Ya. Bagus. Pulang saja. Masa depan kamu masih panjang, selagi masih muda carilah uang sebanyak-banyaknya, jangan mikir nikah dulu. Jadi kepala rumah tangga itu berat, kamu harus nafkahin anak orang, skin care-nya, biaya arisan, biaya traveling, belum lagi kalau udah punya anak, kamu udah sempet mikirin popok untuk anakmu juga? Belum lagi kalau ada masalah dengan mertuamu, kamu harus jadi pemimpin yang bijaksana. Kembali saja sepuluh tahun lagi kalau kamu masih punya nyali.”
Mama Ara memijit pangkal hidungnya.
Calon kedua...
Karena kemarin bertemu dadakan di rumah tidak berhasil, kali ini Alan mengubah strategi. Dia mengatur pertemuan Ara dan calon pilihannya di rumah makan kesukaan Ara. Mama Ara tidak ketinggalan untuk ikut.
Seorang pria melambaikan tangan pada Alan dari arah pintu masuk.
“Halo, Alan. Nggak nyangka ketemu di sini.”
“Om Daru, kebetulan sekali. Silakan duduk sini, Om. Saya lagi makan bareng kakak dan Mama saya.” kata Alan memulai sandiwaranya.
Om? Ara melirik pria yang sebelas dua belas sama Papanya itu.
“Ini Ara? Wah, sudah besar ya, cantik kayak Mamanya.”
Mama Ara tersipu tapi tetap mempertahankan jaimnya, sedangkan Ara malah risih.
“Alan bilang kamu suka traveling, Ra? Kebetulan besok lusa saya mau ke Medan. Ada kerjaan di sana. Saya butuh asisten, yaah…seperti sekretaris pribadi lah. Kalau kamu mau, sekalian saya mau minta izin sama Mamamu juga.”
Ara melotot lebar-lebar ke Alan. Kali ini Alan tidak menunduk, melainkan melihat langit-langit sambil kakinya goyang-goyang sendiri.
“Maaf, Om umur berapa? Kok mirip adik Papa saya malahan.”
“Saya 50. Tapi tua-tua begini saya masih berjiwa muda loh. Saya masih sering mendaki gunung, sepedaan, naik kayak, yang belum itu ski es di Everest sana. Belum ada waktu. Pekerjaan saya banyak, ngurus perusahaan sendirian satu-satu itu capek banget. Kalau ada yang bantuin jadi asisten, saya akan senang sekali.”
“Om udah punya istri?”
“Belum. Ini lagi nyari. Kalau pacar sih…dulu punya banyak, tapi…saya nggak selera lagi. Kebanyakan mereka mintanya aneh-aneh.”
“Aneh-aneh gimana, Om?”
“Ada yang minta dibeliin kucing, komplit sekandang dan pakannya. Saya paling nggak suka kucing. Pemalas.”
Oh, ada celah. Batin Ara.
“Maaf, Om. Saya punya kucing, banyak. Saya nggak bisa hidup tanpa kucing. Dan saya juga nggak bisa jadi sekretaris pribadinya Om. Apalagi ke Medan cuma berdua aja. Mama saya nggak suka saya pergi jauh-jauh.”
Kali ini Daru malah melirik Mamanya Ara.
“Yuk pulang.” kata Ara sambil bangkit dari kursi.
...* * * * *...
Ruang tamu seketika jadi ribut sepulang mereka bertiga ke rumah.
“AMPUUUN!! Mama sama Mbak Ara jangan keroyokan gini doooong!”
“Habisnya kamu kebangetan ya nyariin aku jodoh aneh-aneh begitu!”
Ara masih tidak berhenti mencubiti pinggang adiknya, sedangkan mamanya menepak lengan Alan berkali-kali.
“Kamu kalau cari calon buat kakak kamu tuh tanya Mama dulu, jangan bilangnya bagus, keren, mantap, ternyata om-om sebangsa Papa kamu! Alan…Alan…”
“Habisnya aku bingung seleranya Mbak Ara itu gimana sekarang. Yang muda salah, yang tua salah. Maunya yang kayak gimana? Kakek-kakek sakti?”
“Tambah kurang ajar ya kamu. Kualat kamu nggak jadi nikah sama Dista!”
“Ampun, jangan kutuk dong, Mbaak. Mama nih yang ngasih aku syarat kalau mau nikah duluan, aku harus nyariin kamu jodoh dulu!”
Ara berhenti memiting tangan adiknya. Dia beralih ke Mamanya.
“Beneran Mama ngasih syarat kayak gitu ke Alan?”
“Mama kan nggak pengen kamu malu atau merasa nggak adil dilangkahi adik-adikmu. Azka udah nikah, sekarang Alan juga mau lamaran. Kamu malah belum ada rencana apa-apa, Ara.”
Dada Ara bergemuruh.
“Ara bukan tipe kakak yang kejam sampai ngga ngebolehin adiknya nikah duluan, Ma. Kalau mereka udah dapat jodoh duluan, Ara nggak masalah. Mama sama aja maksa Ara nikah tanpa proses dulu kalau kayak gini caranya.”
Ara kembali menatap Alan yang masih garuk-garuk kepala.
“Alan…kamu boleh nikah duluan. Kakakmu ini ikhlaaaas…relaaaa...”
“Beneran, Mbak?”
“Iyaaa….masak iya sih aku nggak ngebolehin kamu nikah. Kamu liat tuh si Azka udah nikah duluan, aku izinin kan. Daripada zina, kalau kamu udah kebelet, nikahlah, halalin pilihanmu. Aku ikut seneng kalau kamu bahagia sama pasangan kamu. Menikah itu butuh keberanian. Aku salut sama kamu kalau kamu berani memutuskan untuk menikah. Bukan cuma pacar-pacaran nggak jelas.”
Alan terdiam mendengar perkataan kakaknya itu. Dia sekonyong-konyong menyalami tangan Ara sambil mengucap terima kasih.
“Makasih, Mbak. Makasih banyak. Besok aku lamar Dista.”
Ara mengangguk-angguk mantap sambil mengacungkan jempol.
“Ma, Alan udah dapat restu ya. Alan nggak perlu nyariin calon lagi buat Mbak Ara. Dia masih pengen bertapa di Gunung Gede bareng Wiro Sableng kayaknya.”
“Hush! Ngomong yang bener. Tugas kamu tetep jalan walaupun kamu udah nikah nanti. Selama kakakmu itu belum nikah, tugas kalian adalah mencarikannya jodoh. Pokoknya jangan berhenti berusaha!”
“Mamaa….” Ara mulai mengeluh.
“Nggak ada penolakan. Anak Mama harus udah nikah semua sebelum Mama ulang tahun ke-56!”
Mama Ara melenggang pergi masuk ke kamar, sedangkan Ara dan Alan masih sama-sama berdiri di ruang tamu dengan perasaan terbebani.
“Alan…”
Ara merangkul pundak adiknya sambil berbisik.
“Kamu nggak perlu nyariin jodoh buat aku, kamu bisa bebas tugas.”
“Kata siapa? Mama yang ngasih tugas, mana ada yang bisa lepas.”
“Kamu nggak usah repot-repot. Asalkan kamu ngasih upeti sama aku.”
“Halah…sama aja…lepas dari mulut harimau, masuk ke comberan!”
“Kurang ajar! Kamu nyamain aku sama comberan?”
Ara membanting badan besar adiknya ke lantai sampai-sampai adegan harus disensor karena mengandung unsur kekerasan.
“Astaga… adik kecilku kini sudah mau menikah. Beneran sudah siap? Pipis aja masih kena celana.”
“Ayolah… jangan bilang begitu di depan calon istriku, Mbak.”
“Justru ituu… calon istrimu harus tahu ini sebelum dia memutuskan mau menikah denganmu. Masih belum terlambat kalau mau menyesal sekarang.”
Ara tertawa ala mertua galak dalam sinetron sedangkan Alan mulai mencari cara untuk menutup mulut kakak perempuannya itu.
Dista, calon istri Alan, hanya bisa tersenyum malu sambil menutup mulutnya dengan cemilan. Dia akan makan apa saja ketika merasa cemas.
Sementara kakak adik itu mulai saling mengacak-acak rambut, si Anak Tengah, Azka, sibuk mengejar anak balitanya yang sibuk mengejar kucing yang sibuk melarikan diri.
“Syilaa… udah dong, jangan dikejar lagi kucingnya, kasihan dia takut sama kamu.”
“Meng-nya mau Syila peluk, Yaah.”
“Meng-nya nggak mau dipeluk. Rambut dia sudah tebal, sumuk. Ntar dimarahin Budhe Ara loh kalau kucingnya kamu kejar-kejar terus.”
“Nggak, Budhe Ara baik sama Syila.”
Azka menghela nafas.
“Udah ya, Ayah capek. Sana duduk aja sama Bunda. Nanti kita makan es krim. Siapa yang nggak duduk manis, nggak dikasih es krim duluan.”
“Oke!”
Syila berlari kemudian duduk di sebelah Tari, istri Azka. Azka menyusulnya sambil menyeka keringat. Memiliki anak aktif perlu ekstra tenaga. Sejak memiliki anak, berat badannya mulai turun perlahan.
“Lumayan lah ya, buat olahraga Ayah.”
Azka tertawa kecil mendengar perkataan Tari.
“Bagaimana kalau lain kali kita olahraga bareng?”
Kali ini Tari yang tertawa.
“Kalau aku punya waktu luang, aku pastikan aku ada di tempat tidur, Mas.”
“Ngorok?”
Kali ini Syila yang tertawa. Azka menyadari tak akan pernah bisa mengusik waktu tidur Tari. Walaupun ada gempa atau tsunami, mungkin Tari akan jadi orang terakhir yang bangun dari tempat tidur.
Tamu-tamu mulai berdatangan. Keluarga Darmana mulai berkumpul menyambut keluarga calon besan. Bapak Agung Darmana dan Ibu Sarah Darmana bersama anak-anak dan cucunya. Aradila Putri Darmana, si Sulung. Azkanio Putra Darmana, Si Tengah. Dan Alandra Putra Darmana, si Bungsu. Mereka berjajar memperkenalkan diri kemudian dibalas oleh keluarga Dista.
Ara merasa gelisah. Setelah acara resmi selesai, dia memilih untuk menepi, menyingkir dari keramaian dan duduk di tepi kolam. Ara merasa lega ada tempat bagi dirinya untuk menyendiri. Dia bersyukur Alan tidak memilih rumah mereka sendiri untuk mengadakan acara lamaran. Alan cenderung tidak mau repot dan ribet.
Ara masih memegang segelas es krim bertabur tropical fruit dan jelly, menu kesukaannya di manapun ada acara makan-makan.
Ara memandang langit malam.
“Polusi cahaya bikin aku nggak bisa lihat bintang. Seandainya seluruh kota mati lampu.”
“Ngapain di sini sendirian?”
“Astaga! Bikin kaget aja sih!”
Alan menyusul Ara dengan membawa gelas es krim.
“Kamu bawa itu buat aku?”
Tangan Ara gesit memindahkan isi gelas Alan ke gelasnya. Kini es krim di gelas Ara terlihat menumpuk.
“Makasih.”
“Sama-sama.” balas Alan bete karena es krimnya lenyap dalam sekejap.
“Ngapain kamu di sini? Acara lamaran gini nggak bagus meninggalkan calon istrimu sendirian. Ntar diambil orang, loh.”
Alan nyengir.
“Siapa yang mau ambil? Isinya keluarga sendiri.”
“Eh, jangan salah, bisa aja sepupunya Dista naksir trus berencana…”
“Kamu kebanyakan nonton drama, Mbak.”
“Beneran, dari sekian probabilitas, satu persen itu bisa saja terjadi.”
“Seperti yang terjadi padamu?”
“Yang mana?”
“Yang bagian kamu mau dijodohkan dengan sepupu tapi kamu nggak mau.”
“Mama yang nggak mau, aku bahkan nggak tahu ada perjodohan itu.”
“Kalau tahu, kamu bakalan mau?”
“Belum tentu juga sih.”
Alan tertawa. Dia memandang kakaknya dan merasa bahwa Ara semakin kurus.
“Aku sudah denger mereka ngomong apa.”
“Siapa?”
“Orang-orang itu.”
“Ngomongin apa?”
Ara tidak bisa menyembunyikan rasa gelisahnya. Dia menyendok es krim beberapa kali hingga nyaris tandas.
Pertanyaan itu memang sudah berseliweran di telinganya beberapa bulan terakhir. Kenapa Ara tidak punya pasangan, kenapa Ara tidak menikah, kenapa dia didahului adik-adiknya, apa pekerjaannya, apakah dia galak sehingga tidak ada laki-laki yang mau menikah dengannya? Kenapa nasibnya tidak bagus?
Ara memijit pelipisnya.
“Tidak usah dimasukin hati, mereka nggak kenal kita, jadi ngomongnya seenak hati.” Alan menepuk-nepuk pundak kakaknya.
“Haha… lalu harus aku masukin ke mana? Saku bajumu? Telingaku bahkan lebih tajam dari anjing pelacak.” Ara merengut.
“Aku mau menikahi Dista karena aku mau. Pernikahan bukan sesuatu yang harus dipaksakan. Kalau kamu belum siap, ya… nggak apa-apa, Mbak. Jangan jadi beban pikiranmu.”
“Cieee… sudah mulai bijaksana nih, calon suami orang. Anak kemarin sore.”
“Iya, iya, aku cuma adikmu tapi aku beneran serius ngomong ini, Mbak.”
“Iya, aku paham. Sudah sana, balik ke habitatmu.”
Ara memutar bahu Alan dan mendorongnya kembali ke dalam. Alan melangkah perlahan. Dia masih berharap Ara mengikutinya ke dalam untuk kembali berkumpul bersama keluarga. Namun Ara tetap tak bergeming. Dia kembali menatap langit, berharap bintang terang bisa terlihat.
...* * * * *...
Hiruk pikuk acara lamaran Alan telah selesai. Rumah keluarga Agung Darmana kembali seperti sedia kala. Mbok Siran menyiapkan sarapan pagi yang sudah ditata di meja panjang untuk tujuh orang.
Sarah yang pertama kali sampai di ruang makan. Wajahnya yang ayu sudah terpoles tipis oleh bedak dan lipstick. Usianya sudah lewat 55 tahun ini namun kecantikannya tidak pudar ditelan masa. Darah bangsawan yang mengalir dalam dirinya membuat Sarah memiliki kharisma di atas angin.
“Anak-anak belum pada turun, Mbok?”
“Belum, Bu.”
Sarah duduk di kursi paling ujung, mencucuk irisan buah dengan garpu. Terdengar langkah kaki terburu-buru dari tangga. Sarah memejamkan matanya karena gemas.
Ini pasti Ara.
Sarah memandang ke tangga, tampak Ara sudah siap memakai ransel dan menenteng sepatu gunungnya.
“Mau ke mana pagi-pagi gini?”
“Survey, Ma.”
“Makan dulu!”
“Iya, pasti.”
Ara berlari kecil menuju meja makan. Dia juga mencucuk irisan buah sebelum membalikkan piring untuk mengambil nasi. Kebiasaan dan kesukaan yang sama antara Sarah dan Ara.
Tidak lama terdengar suara langkah kaki yang lebih berat dan lebih terburu-buru dari sebelumnya.
Ini pasti Alan.
Sarah kembali memandang tangga. Dan benar saja, Alan turun dengan tergopoh-gopoh sampai hampir tersungkur ke depan karena tubuhnya yang makin gempal.
“Pelan-pelan kalau turun tangga!”
Alan hanya nyengir. Dia menyomot selembar roti lapis dan meminum segelas susu.
“Alan mau pergi pagi. Pulangnya besok.”
“Ke mana?” tanya Sarah.
“Pameran sepatu di luar kota. Buka stan di sana sama temen.”
Sarah hanya mengangguk.
“Ara juga pergi pagi, Ma. Pulang malam.”
“Survey sampai malam tuh survey apa, Ara?” jawab Sarah.
“Lokasi camping. Ara mau ngadain acara diklat teater di sana.”
“Di mana?”
“Bukit utara.”
“Kok jauh?”
“Tempatnya bagus.”
“Sama siapa?”
“Kakak kelas Ara pas kuliah.”
“Kenapa nggak kakak kelasmu aja yang survey? Kamu kan perempuan, nggak bagus pulang malam-malam. Nggak dibayar juga kan kamu?”
Ara terdiam sejenak. Mulai malas dengan percakapan menyangkut uang.
“Ya nggak lah, ini kan acara komunitas. Sukarela. Masa’ Ara minta bayaran.”
“Sia-sia dong tenaga kamu.” Sarah dengan nada tenang namun menusuk membuat Ara jengah.
Ara cepat-cepat menyelesaikan sisa nasi terakhir dalam piringnya kemudian minum teh hangat sampai tandas.
“Ini jusnya, Mbak Ara.” Mbok Siran menyerahkan sebotol jus jambu ke sebelah piring Ara.
“Makasih, Mbok.”
“Budheeee!!” suara riang Syila membelah suasana kaku di meja makan.
“Haaai…anak cantik udah bangun. Good morning, Princess!”
Ara memeluk keponakannya itu dengan gemas. Dia menggendongnya sambil berputar-putar hingga membuat Syila tertawa.
“Kayak naik komidi putal, Budhee.”
“Iya ya. Kapan kita bisa main bareng lagi ke pasar malam ya?”
“Nanti aku mau ajak Syila ke playground. Mbak Ara mau ikut?” suara Azka muncul dari balik punggung Ara.
Sarah tersenyum tipis sambil membatin. Anak ini, langkah kakinya bahkan tidak terdengar di tangga, tahu-tahu sudah muncul saja.
“Nggak bisa, Dek. Aku mau pergi.”
“Yaaah…kok Budhe Aya nggak ikut, nggak seru.” gerutu Syila.
“Lain kali aja ya. Nak Cantik.”
Ara menurunkan Syila yang langsung lari ke pelukan ayahnya. Azka membawa Syila duduk di meja makan untuk minum susu dan sarapan telur ceplok.
“Pamit, Ma.”
Ara mencium punggung tangan Mamanya tanpa menunggu jawaban Sarah. Ara selalu hafal kebiasaan Mamanya. Melihat raut wajah yang muram, Ara tahu sebenarnya Mamanya tidak suka dengan kegiatan Ara selama ini. Namun Ara tetap lanjut. Dia hanya ingin melakukan apa yang dia suka.
Ketika deru motor Ara mulai menjauh dan tidak terdengar lagi, Sarah memijit pelipisnya.
“Kakakmu itu, sampai kapan mau hidup seperti itu?”
“Seperti apa, Ma?” tanya Alan.
“Umurnya sudah tiga puluh tahun tapi kelakuannya masih kayak anak ABG. Main sana-sini sama temen-temennya. Ya kalau mainnya itu menghasilkan uang buat beli keperluan dia sendiri, seringnya kerja gratisan tanpa bayaran. Disuruh kerja kantoran nggak mau. Heran Mama, apa maunya anak itu. Anak-anak temennya Mama yang seusia dia udah pada nikah dan punya anak, Ara masih santai-santai aja. Perempuan kan punya batasan usia buat hamil. Dia masih aja nggak mau…”
“Mama nggak seneng liat Mbak Ara seneng gitu? Alan liat dia enjoy aja ama kegiatannya sekarang. Kalau nggak beruang, mana mungkin dia pelihara kucing sampai tiga biji. Bikin cat house segala. Mana makannya kayak kuli lagi. Sekarang tuh yang penting dianya seneng. Biarin aja lah. Daripada kayak dulu. Nggak bentrok sama Mama aja udah syukur.”
Sarah mendelik ke arah Alan. Alan bangkit dari duduknya lalu buru-buru cium tangan kemudian kabur secepat roket demi menghindari omelan ibunya.
“Anak itu sama saja!” gerutu Sarah. Dia beralih ke Azka yang sedang menyuapi Syila. Pandangan matanya melembut, emosinya meluruh ketika melihat ayah dan anak itu.
Sarah bersyukur dia sudah memiliki satu cucu dari Azka. Paling tidak, dia tidak disindir terus-terusan ketika berada di lingkungan keluarganya atau teman-teman sosialitanya.
Sarah sering mengajak Syila menghadiri acara di luar bersama suaminya. Seolah Syila adalah obat untuk kesedihannya selama ini. Syila adalah penyelamat martabat dan posisinya dalam pergaulannya dari mulut-mulut pedas tanpa tata krama.
“Azka, kamu bilangin itu kakakmu. Cariin jodoh. Temen-temen kamu yang pegawai pemerintah atau pegawai bank nggak ada? Temennya Tari yang dokter gitu juga nggak apa-apa.”
Azka tertawa.
“Mbak Ara kan udah gede toh, Ma. Masa’ jodoh aja masih perlu dicariin kita. Dia bisa cari sendiri.”
“Dia cari sendiri hasilnya malah berantakan gitu kok…”
Sarah menahan genangan air mata agar tidak tumpah di depan anak dan cucunya. Mengingat masa lalu Ara selalu membuatnya miris. Pilu di dalam hatinya belum bisa terkubur dalam-dalam.
Ara tiba di basecamp Antara sepuluh menit sebelum kawanan itu berangkat. Antara adalah nama sanggar teater di kampusnya dulu. Walaupun Ara sudah lulus beberapa tahun yang lalu namun Ara selalu menyempatkan diri untuk datang ketika bantuannya diperlukan.
“Yooo! Araaa! Si Luwak!!”
“Jangan panggil nama Antara-ku lah, Kak Pamu.”
Pamungkas, kakak kelas Ara semasa kuliah, tertawa sambil menepuk kepala Ara.
“Manggil namaku yang bener lah, Ra!”
“Oo…mau dipanggil Lutung?”
“Lutung aja bagus tuh.” ejek Jiteng.
Pamungkas adalah mantan ketua Antara, sedangkan Jiteng adalah wakilnya. Ara tersenyum melihat legenda Antara bisa bertemu sekaligus seperti ini. Mereka berdua telah bekerja di perusahaan besar, tapi sama seperti Ara, ketika Antara ada kegiatan, mereka selalu menyempatkan diri untuk hadir.
“Pertemuan kalian berdua tuh langka banget. Kok bisa sempet dua-duanya?” tanya Ara.
“Mumpung masih hidup dan masih bisa berbagi. Bosku mau nyumbang buat panti di sana itu udah bagus banget, makanya aku sempetin dateng.” jawab Jiteng.
Ara manggut-manggut.
“Udah pamit sama Mama?” tanya Pamungkas.
“Udah.”
“Tumben dikasih izin. Dulu kamu disuruh berhenti gara-gara kegiatan Antara sampai malam.”
“Aku pamitnya survey lokasi camping buat diklat.”
“Kok nggak jujur aja kita mau baksos sekalian?”
Ara menggeleng sambil tersenyum kecut.
“Ya udah, nanti kita usahain nggak sampai jam sembilan udah kelar.”
“Berangkat sekarang?”
“Yuk.”
Pamungkas naik ke motor Ara, dia mengemudi sedangkan Ara membonceng. Jiteng dan beberapa orang lainnya naik mobil bersama logistik yang akan dibagikan.
“Gimana kerjaanmu?” tanya Pamungkas di sela-sela konsentrasinya mengendarai motor.
“Aman.”
“Masih freelance desain?”
“Yap.”
“Baguslah. Yang penting kamu ada kegiatan yang positif. Orang-orang seperti kita ini harus menyibukkan diri kalau ingin tetap waras, Ra.”
Pamungkas tertawa geli.
Ara tercenung. Ingin ikut tertawa tapi dia tidak bisa menemukan bagian lucunya ada di mana.
“Lihat tuh, Ra!” Pamungkas menunjuk seseorang di pinggir trotoar.
Ara mengikuti arah telunjuk Pamungkas. Dia terkesiap melihat seorang laki-laki bertelanjang dada yang sedang duduk santai sambil makan nasi bungkus.
“Dia-nya masih ada?! Ya ampun, panjang umur banget ya.”
“Kamu masih ingat, toh?”
“Masih lah, Kak! Gara-gara kakak tuh, aku jadi pemeran ODGJ di diklat kita.”
“Pas ketemu ODGJ beneran malah kamu ajak ngobrol! Hahaha! Kocak banget!”
“Bebas banget ya dia, nggak mikir apa-apa, nggak kena jerat hukum, nggak kena sanksi sosial.”
“Merdeka yang sesungguhnya?”
Pamungkas dan Ara tertawa bersama. Bukan karena menghina tapi karena salut, para penyintas ODGJ ini masih bisa bertahan hidup di tengah kerasnya dunia.
...* * * * *...
Sarah melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul enam sore. Adzan maghrib sudah berkumandang sejak tadi. Dia duduk di sofa ruang tamu sendirian.
“Assalamu'alaikum.”
“Waalaikumssalam.”
Sarah seketika bangkit berdiri, menyambut suaminya yang sedang melepas sepatu. Agung menyerahkan tas kerjanya ke tangan istrinya.
“Kok muka Mama kusut gitu?”
“Ara belum pulang.”
“Tadi sudah pamit mau ke mana?”
“Sudah.”
“Kenapa cemas gitu?”
“Ini sudah lewat maghrib.”
“Dia bilang mau pulang malam?”
“Iya sih…”
“Ini baru jam berapa, ngapain dicemasin?”
Sarah terlihat tidak puas dengan pembelaan suaminya terhadap Ara.
“Yuk, sholat bareng dulu. Biar tenang.”
Agung memeluk bahu istrinya dan membimbingnya masuk ke dalam rumah. Setelah mandi, Agung memimpin sholat maghrib di mushola kecil yang berada dekat dengan ruang tengah.
Sarah menyiapkan teh hangat di meja makan setelah selesai sholat. Dua piring sudah siap untuk makan malam.
“Azka sudah pulang ke rumahnya?”
“Iya.”
“Alan jadi ikut pameran?”
“Jadi. Pulangnya besok.”
“Ooh…”
“Pa…” Sarah duduk di kursi berhadapan dengan suaminya. “Telpon Ara, gih.”
“Kenapa nggak Mama aja yang telpon?”
“Kalau tahu Mama yang nelpon, pasti nggak dia angkat.”
“Apalagi Papa.”
“Ara itu sedikit nurut kalau sama Papa.”
“Masa’ sih?”
“Mama cuma khawatir dia pergi ama orang yang nggak bener. Pulang malam-malam juga nggak bagus buat perempuan.”
“Ara pergi sama Pamungkas, kan?”
“Siapa itu?”
“Kakak kelasnya dulu.”
“Kok Papa bisa tahu?”
“Papa lihat postingan dia di Instagram.”
“Bukannya Ara udah nggak punya sosmed?”
“Papa liat akun teater kampusnya, Ma. Mereka lagi ngadain baksos tuh. Foto-fotonya di-upload ke IG buat dokumentasi.”
“Kok bilangnya sama Mama dia mau survey lokasi?”
“Ya sekalian kali’. Sekali jalan dua kegiatan terselesaikan. Makanya pulangnya malam.”
“Tuh kan, kalau sama Mama, Ara nggak pernah mau jujur.”
Agung menghela nafas pelan. Dia menyesap tehnya sebelum berbicara panjang.
“Kejujuran anak itu tergantung sama orangtuanya. Bagaimana kita bisa menciptakan suasana yang nyaman untuk tempat mereka cerita. Kadang kita sebagai orangtua sudah bikin anak-anak ketakutan dihakimi kalau mereka cerita apa adanya. Papa sering lihat Ara cerita ke Mama. Itu bagus, kan.”
“Iya, tapi dia ceritanya sama Mama nggak pernah yang serius. Masa’ cerita tentang kambingnya Mbok Siran melahirkan. Anaknya lucu-lucu. Trus ngajak Mama ngasih kado.”
Agung tertawa terbahak-bahak mendengar pengakuan Sarah.
“Malah bagus, kan. Cerita yang ringan-ringan gitu malah bisa menurunkan ketegangan. Mengurangi resiko penyakit stroke karena stres. Anggap saja kalau Ara cerita itu hiburan buat Mama. Ara nggak mau bikin Mamanya tegang.”
Sarah bersedekap sambil membuang mukanya tanda masih tidak terima.
“Anak kambingnya jantan atau betina? Barangkali kita bisa besanan sama Mbok Siran. Kambing kita yang dititipkan Mbok Siran juga lagi hamil, kan?”
“PAPA!”
...* * * * *...
“HATSYIII!!”
“Waduuuh! Udah mulai bersin-bersin nih. Pulang aja yuk.”
Pamungkas mendekati Ara yang baru saja mengelap ingus dengan tisu.
“Udah selesai, Kak?”
“Kita duluan aja. Biar Jiteng yang handle.”
“Tapi kalau belum selesai…”
“Udaah…gampang itu. Kamu udah kerja keras hari ini. Udah cukup. Terima kasih. Mari kita pulang. Aku nggak mau kena omel Mama Sarah.”
Pamungkas mengedipkan matanya menggoda Ara.
“Beneran nggak apa-apa?”
Pamungkas memasangkan helm ke kepala Ara tanpa menjawab pertanyaannya. Ara naik ke jok belakang motornya. Pamungkas tersenyum.
Mereka berpisah di markas Antara setelah satu jam perjalanan.
“Salam buat Kak Fani ya.” kata Ara sambil memutar motornya menuju pintu keluar.
“Oke.”
“Sebenarnya kalau Inara di sini pengen tak cubit pipinya. Dia gemesin banget. Anakmu itu mirip banget sama kamu, Kak.”
“Oh ya? Syukurlah. Aku tenang kalau gitu. Dia memang anakku.”
Ara tertawa jahil. Dering telepon menahan tangan Ara meghidupkan mesin motor. Dari Papanya.
“Halo, Pa? Iya, ni mau otw. Ya. Nggak ngebut, tenang aja.”
“Udah dicariin orang rumah?” tanya Pamungkas.
“Iya.” Ara tersenyum samar.
“Mereka perhatian banget sama kamu.”
Ara tak menanggapi kata-kata Pamungkas. Dalam hati Ara mengiyakan, namun di sisi lain ada rasa terbelenggu.
“Pulang dulu ya. Dadaaah!”
Ara melambaikan tangan sambil melajukan motornya.
“Hati-hati!”
Ara tertawa lebar sebelum benar-benar menghilang dari pandangan Pamungkas. Pamungkas merasa ada yang hilang juga dari hatinya. Ara sudah dia anggap seperti adik sendiri. Melihatnya bisa tersenyum sekarang sudah cukup baginya untuk bisa melepaskannya pergi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!